Kamis, 19 Mei 2022

Ngulapin, Upacara Kembalikan Bayu, Seimbangkan Catur Sanak

 


Begitu banyak tradisi yang ada di Bali dengan beragam makna. Soal ritual Ngulapin misalnya, sungguh sangat banyak filosofi hidup yang terkandung di dalamnya. Bagaimana sejatinya upacara yang sering dilaksanakan ketika ada orang apes atau mengalami musibah di jalanan ini?

Ngulapin berasal dari kata ulap. Ulap adalah bahasa Jawa kuna dan juga bahasa Bali, yang artinya silau. Silau yang dimaksudkan di sini adalah seperti keadaan mata ketika menatap atau memandang sinar matahari. Kalau dijadikan kata majemuk menjadi ulap-ulap. “Ulap-ulap dalam bahasa Bali berarti suatu alat yang berbentuk empat persegi panjang atau bujur sangkar, terbuat dari secarik kain putih yang berisi tulisan hurup-hurup keramat yang mempunyai kekuatan magis,” ujar Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Selasa (7/2).

Lebih lanjut dijelaskan Satra, ulap-ulap biasanya itu diletakan pada halaman depan dari sebuah bangunan, di bawah atap pada kolong rumah, pada waktu upacara ngulap ngambe bangunan tersebut. “Maksudnya, untuk memohon kehadapan Tuhan yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi, agar jika ada unsur-unsur yang ingin mengganggu, menjadi silau atau ulap. Karena silau, maka unsur-unsur tersebut sulit untuk mengganggu manusia,” terangnya.

Upacara Ngulapin merupakan bagian dari upacara Manusa Yadnya yang dilakukan untuk menormalisasi kehidupan seseorang, setelah mengalami kejadian yang mengejutkan, seperti halnya kecelakaan atau masalah lainnya. “Jika dibiarkan tanpa dilakukan suatu upacara, dapat membuat kehidupan seseorang menjadi tidak normal, seperti halnya bingung atau bisa mengakibatkan kegilaan,” imbuhnya.

Biasanya upacara Ngulapin ini lebih sering dijumpai ketika ada seseorang yang mengalami kecelakaan. Ketika kecelakaan yang mengakibatkan benturan, lanjutnya, bayu yang ada pada diri manusia akan terlepas. Ini tentu akan berdampak negatif, karena bayu menjadi penggerak kehidupan manusia. “Upacara pangulapan inilah yang akan mengembalikan bayu, sehingga hidup orang yang bersangkutan bisa kembali normal seperti sedia kala,” terangnya. Upacara pangulapan bisa dilakukan di perempatan terdekat, yang tujuannya untuk memanggil bagian diri yang tertinggal di tempat kejadian. Namun, tak jarang masyarakat melaksanakan upacara Ngulapin di tempat kejadian.

Selain itu, upacara Ngulapin juga dilakukan untuk menyeimbangkan empat saudara yang ada dalam diri manusia yang dikenal dengan sebutan catur sanak, yakni Anggapati, Prajapati, Banaspati, dan Banaspati Raja. Jika manusia terkejut, lanjutnya, maka keempat saudara yang ada pada diri seseorang akan menjadi tidak seimbang. Keseimbangan inilah yang akan dikembalikan melalui berbagai sarana yang digunakan dalam upacara pangulapan. Selain itu, dengan upacara Ngulapin, dapat mengurangi atau menghilangkan trauma pada seseorang yang mengalami kecelakaan atau kejadian yang mengejutkan, sehingga yang bersangkutan dapat kembali beraktivitas sebagaimana biasa.

Selain untuk upacara orang yang kecelakaan, di Bali dikenal beberapa macam upacara Ngulapin yang mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda. Pertama adalah Ngulapin Pitra. Upacara ini dilakukan sebelum pengabenan, yakni upacara ngangkid atau ngulapin di setra. Tujuan dilaksanakannya upacara ini adalah untuk mencari galih atau tulang yang akan diaben. Upacara ini khusus dilaksanakan jika mayat seseorang dikubur terlebih dahulu sebelum diaben.

 - JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

Selain akan melaksanakan Ngaben, Ngulapin Pitra juga dilaksanakan ketika hendak melaksanakan upacara Atma Wedana atau Mamukur, dan dilaksanakan di tepi pantai.. “Setelah pelaksanaan ini selesai maka terjadilah macam-macam versi, ada yang diajak pulang untuk sembahyang pada sanggah kemulan khususnya Ring Bhatara Hyang Guru. Selain itu, ada juga yang langsung diaben,” jelas Satra.

Selanjutnya adalah Ngulapin Pretima. Yang dimaksud dengan upacara Ngulapin ini, apabila pretima itu pernah jatuh. Entah itu disebabkan karena disenggol oleh binatang, seperti kucing ketika dilaksanakan upacara di sekitar pratima itu. Selain itu, bisa juga jatuh karena tempatnya tidak baik atau dibawa oleh manusia. Pratima yang pernah dicuri juga harus dilaksanakan pangulapan, karena pratima itu sudah leteh (sial) yang mengakibatkan aura magisnya telah meninggalkan pratima tersebut. Khusus untuk Pratima, setelah Ngulapin biasanya dilaksanakan kembali upacara Guru Piduka, atau permohonan maaf atas kesalahan atau keteledoran. Selain kedua jenis pangulapan yang disebutkan, ada beberapa pangulapan lagi yang biasa dilaksanakan masyarakat Bali. Beberapa di antaranya adalah ketika seseorang baru sembuh dari sakit keras dan untuk orang meninggal dunia. Kedua Ngulapin ini biasanya dilaksanakan di rumah sakit.

Diakuinya, di Bali banyak versi yang menjelaskan tentang bagaimana tetandingan banten pangulapan. Hal ini sangat erat kaitanya dengan Sima, Dresta atau kebiasaaan masyarakat dalam suatu daerah, Namun, upacara Pangulapan biasanya dipuput oleh pemangku. Bahkan di beberapa daerah cukup dilaksanakan oleh tetua keluarga saja. Banten Pangulapan yang umum digunkan, yaitu menggunakan dasar tempeh, di atasnya diletakkan taledan gede menggunakan buah-buahan, tumpeng kecil sebanyak 11 biji yang diletakkan di atas ceper, untek (tumpeng tetapi ujungnya tidak tajam) 22 biji diletakkan di atas ceper, kojong rangkadan, daksina 1, ketipat kelanan, ajuman atau sodaan alit, tulung sesayut, peras alit, panyeneng alit, wewakulan masampyan nagasari, sasedep tepung tawar, lis peselan, padma 1, sangga urip,tegteg, canang pahyasan, coblong 1, payuk pere 1.

 - JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

Dan yang tak kalah penting adalah panimpug yang menggunakan tiga ruas bambu, untuk selanjutnya dibakar dan menghasilkan bunyi ledakan. Bunyi inilah yang digunakan untuk memangil bayu atau tenaga manusia yang terlepas akibat kecelakaan. “Selain itu, panimpug ini merupakan sarana untuk memanggil Bhuta Kala agar berkenan menjadi saksi upacara dan tidak mengganggu jalannya upacara.” tutup Satra.

(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber






Selasa, 17 Mei 2022

Kisah Mistis Pantai Petitenget

 

Pantai Petitenget, yang berada di Desa Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Pantai ini berada di garis pantai yang sama dengan Pantai Legian dan Kuta.

 

Tidak hanya sepi, Pantai Petitenget juga masih memiliki aura mistis yang kental. Di tepi pantai ini terdapat pura yang dikeramatkan oleh penduduk setempat, yaitu Pura Petitenget.

 

Pantai ini dinamakan Petitenget karena berhubungan dengan mitos Pura Petitenget tersebut. Konon, dulunya kawasan ini merupakan daerah yang angker sebelum dibangun pura.

Menurut cerita, pada zaman dahulu ada seorang Resi bernama Dang Hyang Nirarta. Sebelum melanjutkan perjalanaan menuju Pura Uluwatu, Dang Hyang Nirarta singgah dan bertemu dengan Batara Masceti.

 - JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

Di sela pembicaraan, terlihat bayangan hitam yang bersembunyi di balik semak-semak. Ketika dipanggil, bayangan hitam tersebut ternyata Bhuta Ijo. Akhirnya, Bhuta Ijo diberi mandat dan kesaktian untuk menjaga peti pecanangan (tempat sirih).

 

Saking setianya Bhuta Ijo, setiap penduduk yang datang kekawasan ini untuk mencari kayu bakar dibuat sakit oleh Bhuta Ijo karena dianggap ingin mengambil peti pecanangan. Akhirnya, agar makhluk gaib tersebut tidak lagi mengganggu atau mengusik ketenangan masyarakat, dibuatkan bangunan suci untuk tempat pemujaan dan diberi nama Pura Petitenget (peti artinya peti dan tenget artinya angker, kalau dijabarkan Petitenget berarti ”peti yang angker”).

 

Sejak saat itu, karena berada dalam satu kawasan maka pantainya juga dinamakan Pantai Petitenget. Namun, jangan khawatir, pantai ini tidak lagi angker, bahkan menjadi kawasan wisata kelas atas karena begitu banyak vila dan hotel bertarif mahal.

 

Pantai Petitengget berjarak sekira 15 km dari Kota Denpasar atau 30 menit perjalanan berkendara dari Bandara Ngurah Rai. Kecantikan pantai terutama terlihat saat matahari terbenam.






Senin, 16 Mei 2022

RONG TIGA ADALAH LINGGIH LELUHUR BUKAN LINGGIH TRI MURTI

 


MARI KITA BAHAS SUMBER SASTRA LONTAR HINDU BALI YG MENYATAKAN BAHWA RONG TIGA ADALAH LINGGIH LELUHUR BUKAN LINGGIH TRI MURTI
Ada beberapa LONTAR HINDU BALI yg memberi tuntunan bahwa yg melinggih di KEMULAN RONG TELU adalah ATMA LELUHUR KITA. Adapun lontar2 yg dimaksud adalah....
1. LONTAR TATWA KAPATIAN
Isinya menyatakan bahwa SANG HYANG ATMA ( ROH) setelah mengalami proses upacara akan berstana di sanggah kamulan.
2. LONTAR PURWA BHUMI KAMULAN
Isinya menyatakan bahwa ATMA yg telah disucikan yg disebut DEWA PITARA juga distanakan di Sanggah Kemulan.
3. LONTAR GONG WESI
Isinya menyatakan bahwa NAMA BELIAU SANG ATMA , pada ruang kamulan kanan BAPANTA yg disebut PARAATMA , pada ruang kamulan kiri IBUNTA yg disebut SIWAATMA, ditengah menyatukan wujud mnjadi SANG HYANG TUNGGAL.
4 LONTAR USANA DEWA
Isinya menyatakan bahwa pada sanggah Kamulan BELIAU bergelar SANG HYANG ATMA, pada ruang kamulan kanan BAPA disebut SANG HYANG PARAATMA, pada ruang Kamulan kiri IBU disebut SIWAATMA , pada kamulan tengah diriNYA ITU BRAHMA , yg berwujud SANG HYANG TUDUH (TUHAN YG MENAKDIR).

JADI berdasarkan sumber2 sastra rujukan hindu bali di atas sudah jelas bahwa yg kita puja di KEMULAN RONG TIGA secara umum adalah SANG ATMA LELUHUR KITA yg sudah disucikan melalui proses upacara dari...
A. NGABEN ( ASTI WEDANA) yaitu prosesi upakara mmpercepat kembalinya jazad badan kasar manusa kpd unsur2 PANCA MAHABHUTA yaitu kembali ke unsur2 ( TEJA saat dibakar menyatu dng api ; PERTIWI setelah jadi abu menyatu dng tanah ; APAH abu dibuang ke sumber air suci menyatu dng air ; AKASA setelah di air menguap menyatu dng udara ; BAYU setelah jadi udara menyatu dng angin).
B. MEMUKUR/BALIGIA ( ATMA WEDANA) yaitu prosesi upakara tuk menyucikan SANG ATMA tuk mnjadi DEWA PITARA/DEWA HYANG.
C. MEAJAR2/NYEGARA GUNUNG yaitu prosesi mapakeling ngider bumi mulai dari kahyangan tiga , sad kahyangan dan dang kahyangan jagat or nyegara gunung sbg upasaksi bahwa LELUHUR KITA SUDAH MERAGA DEWA HYANG.
D. NGELINGGIHANG DEWA HYANG DEWATA DEWATI yaitu prosesi ngelinggihang DAKSINA LINGGIH sbg linggih dewa hyang dewata dewati saat prosesi MEAJAR2/NYEGARA GUNUNG dilinggihkan di KAMULAN RONG TIGA yaitu berupa DAKSINA LINGGIH BAPANTA (PURUSHA/LAKI) di kanan, DAKSINA LINGGIH IBUNTA (PREDANA/WANITA) dikiri.
JADI DENGAN ADANYA SUMBER SASTRA ini mnjadi sangat jelaslah yg melinggih di KAMULAN RONG TIGA ADALAH DEWA HYANG DEWATA DEWATI yg disebut sdh menyatu dng TRI ATMA yaitu PARAATMA sbg atma BAPANTA di kanan, SIWAATMA sbg atma IBUNTA dikiri dan ditengah sbg SANG HYANG TUNGGAL/TUDUH purusha lan predana yg melahirkan LELUHUR kita.
JADI SUDAH TIDAK ADA LAGI PENDAPAT YG MENYATAKAN KAMULAN SBG LINGGIH TRI MURTI karena semua sdh ditunjukkan dng sumber SASTRA LONTAR dan prosesi upakara yg dilalui sampai dilinggihkan di KAMULAN RONG TIGA.
Demikian penjelasan SUMBER SASTRA HINDU BALI yg menyatakan KEMULAN RONG TIGA SEBAGAI LINGGIH DEWA HYANG DEWATA DEWATI.



sudarsana 3 tamas

  


Tamas 1:
Raka (biu, tape bantal lambang keteguhan, tebu lambang isap yi meresap, pelas lascarya, begina lambang surya, uli lambang chandra), 4 nasi sodan 5 clemik isi rasmen, timun tuung, uyah, telor bebek lebeng, gerang, sampyan plaus
Tamas 2
Raka, ceper panca pala (5 celemik tempel don bingin isi 5 macam buah bergantung), ceper palabungkah (5 clemik don bingin isi 5 umbi2an), ceper samuan putih, ceper 5 samuan kuning
Putih
Bungan temu simbul bajra aksara sucix sang
Klongkang simbul gada aksara sucix bang
Kekulub simbul nagapasa aksara sucix tang
Kebeber simbul cakra aksara sucix ang
Dedalas simbul padma aksara sucix ing

Kuning
Canigara simbul trisula aksara sucix wang
Kerang simbul dupa aksara sucix nang
Panji simbul aksara sucix
Dedalas kuning simbul aksara sucix
Clekontong isi 2 biu n samuan yoni lambang rwa bhineda
Tamas 3
Raka, 2 ceper pala bungkah palagantung, 2 ceper isi 2 samuan putih n kuning isi masing2 2, ceper 5 celemik isi masing2 samuan putih n kuning, clekontong isi 2 biu tetukon n samuan saraswati.


Minggu, 15 Mei 2022

lis bale gading / kereb akasa

  


Kereb akasa sebagai simbol permohonan kehadapan sang pencipta...agar dianugerahkan kekuatan BAYU, Untuk.menghembuskan ( ngampehang ) segala bentuk keletuhan spiritual
Taledannya sebagai simbol luasnya akasa ( Antareksa )
keben" nya sebagai simbol sumber bayu
Tipat kukurnya sebagai simbol kekuatan angin
Bentuk kubusnya sebagai simbol kekuatan akasa dr keempat belahan langit.
Lis ini biasanya dipakai saat padudusan alit nuwur Sulinggih/Ratu Peranda....bersamaan dg lis agung/lis nawa sanga


Minggu, 08 Mei 2022

CARU

 


Pengetahuan ini bersifat rahasia, sangat pingit. Jika ada pihak yang menghina kegiatan CARU, diam saja. Maafkan mereka yang belum mengerti.
Caru artinya (kemBali) 'harmonis'. Leluhur punya beberapa teknik merubah sifat energi bhuta menjadi dewa (nyomia), ini salah satunya.
Sarana nyomia ada juga yang tanpa membunuh binatang. Tentu teknikal beda, mantra beda, sarana Banten beda, juga kemampuan, kompetensi, sertifikasi profesional pemuput/sulinggihnya harus mumpuni. Agar ritual caru tanpa membunuh binatang berjalan sesuai harapan sang yajamana.
----------++++++-----------
JEJAK TANTRA PADA RITUAL MASYARAKAT BALI KUNO
MA Kresna Dwaja
# Sanggar bhudaireng #
Tantra bagi kami adalah sebuah perubahan sifat energi dari bergejolak dan reaktif menjadi tenang, damai dan harmoni.
Bisa juga dimaknai sebagai pencapaian spiritual yang tinggi, kecerdasan genius, kesadaran yang sangat dalam, serta kemampuan pengelolaan energi yang mumpuni (Rajayoga).
Jejak tantra dalam ritual masyarakat Bali kuno adalah pengejahwantahan filsafat ajaran yang supralinguistik melalui sadhana massal yang praktis untuk mencapai tujuan daripada filosofi yang tinggi-tinggi tsb.
Salah satunya adalah proses 'somya' pada ritual bhuta yajnya yakni merubah sifat energi dari yang ganas, kasar dan rajas ( bhuta ) menjadi sifat yang halus, tenang dan satwika ( dewa ).
Ritual ini adalah wujud kontemplasi bathin para manggala (terutama pemuput upacara) didalam tubuhnya, yang mampu memproses dan memancarkan cahaya energi tantranya pada saat mentransformasikan energi bhuta menjadi dewa ( soma ya ).



Pada saat proses penyebrangan roh binatang (pengaskara-an) terjadi pengelolaan tubuh hewan caru, yang rohnya sudah tidak ada ini digunakan sebagai tubuh baru bagi para roh gentayangan yang bersifat ganas, kasar dan rajas tersebut.
Memahami dan peka terhadap kehidupan setelah kematian juga sangat diperlukan pada proses ini.
Sebagian masyarakat mengatakan ritual caru hanyalah sebuah ritual biasa yang hanya berdasarkan pada keyakinan/srada semata. Kemampuan kontemplasi bathin tidak ditemukan, dan bahkan akan menganggap ritual ini melenceng dari ajaran Weda.
Fenomena caru ini membuat sebagian masyarakat kebingungan mencarikan dasar sastra, tatwa pelaksanaan nya. Apalagi dengan kebiasaan ber-ritual hanya sekedar melaksanakan tanpa pernah 'mengalami', maka tidak akan pernah memahami ajaran tantra itu sendiri.
Memperlihatkan kebodohan yang berkedok advokasi tafsir Weda yang kurang pas, yang menyatakan bhuta yajnya sbg ritual himsa karma. Mereka tidak pernah memahami bahwasanya bhutayajnya di Bali adalah warisan ajaran tantra yang berlandasakan pada aspek transformasi roh binatang, bukan pembunuhan standar dagang sate atau babi guling.
Demikianlah penggalian kami tentang jejak tantra pada pelaksanaan ritual bhuta yajnya di Bali pada khususnya dan nusantara pada umumnya.
Semoga pemaparan ini bisa dijadikan komparasi kepada penggalian ajaran sahabat saat ini yang hanya memahami sebuah ritual sebagai dasar srada - bhakti, bukan pada proses transformasi energi yang sangat dikuasai oleh para praktisi tantra sebagai sulinggih, pemuput upakara.


penyakit panes (panas), nyem (dingin), dan sebaa(panas-dingin)

 


Om swastyastu
Dalam usadha, penyakit ada tiga jenis, yakni penyakit panes (panas), nyem (dingin), dan sebaa(panas-dingin.
sistem pembagian penyakit dalam usadha juga dikelompokkan berdasarkan Ayur Weda yang didasarkan atas penyebabnya, meliputi:
1.Adhyatmika, adalah penyakit yang penyebabnya berasal dari dirinya sendiri seperti penyakit keturunan, penyakit kongenital/dalam kandungan, dan ketidakseimbangan pada unsur tri dosha.
2.Adhidaiwika, penyakit yang penyebabnya berasal dari pengaruh lingkungan luar, seperti pengaruh musim, gangguan niskala/supranatural (bebai, gering agung) dan pengaruh sekala.
3.Adhibautika, yaitu penyakit yang disebabkan oleh benda tajam, gigitan binatang, kecelakaan sehingga menimbulkan luka.