Rabu, 01 Juni 2022

Mahakali : Menyeramkan Namun Penuh Kasih

 


Dewi yang paling ditakuti adalah Mahakali, yang merupakan perwujudan kemarahan Dewi Parvati atau Dewi Uma. Kali merupakan shakti Dewa Shiwa yang diyakini sebagai penghuni tempat kremasi atau setra.

Dewi Kali adalah penguasa waktu, berasal dari bahasa sansekerta Kaal yang berarti waktu. Kehadiran Dewi Kali tidak bisa dihindari karena merupakan bagian dari perjalanan waktu.

Kali digambarkan sebagai sosok dewi yang menggunakan kalung tengkorak manusia dengan aksesorisnya, sementara senjatanya adalah tri sula dengan menghunus pedang untuk siap menebas segala kejahatan dunia.

Mahakali dalam sastra Hindu diwujudkan sebagai kemarahan Dewi Parvati. Munculnya kekuatan Kali yang setara dengan Dewa Siwa tidak ada yang bisa mengalahkan. Mahakali dengan kemarahannya menumpas kejahatan para asura atau kaum raksasa.


Disisi lain, Mahakali dengan wujud bengis menyeramkan merupakan sosok yang mahakasih. Memuja Mahakali diharapkan manusia mampu menumpas segala macam kejahatan dalam diri.

Mahakali penganugerah keselamatan  bagi pemuja-Nya. Wujud Mahakali dikisahkan kembali dari kemarahannya ketika Dewa Siwa yang tiada lain adalah suaminya berserah diri dengan penuh pengorbanan untuk diinjak oleh Mahakali.

Setelah tahu bahwa yang diijak adalah suaminya, Mahakali menjadi sangat bersedih dan merasa bersalah sehingga kembali berwujud Parvati. Pengorbanan Dewa Siwa sebagai simbol pengorbanan kasih mengembalikan kemarahan menjadi kasih dan juga simbol pengorbanan suami melayani istri. (SB-Skb)  –sumber


Senin, 30 Mei 2022

Bhagavadgita Sifat Rohani Dan Sifat Jahat





Bhagavadgita Bab XVI - Sifat Rohani Dan Sifat Jahat

Bhagavad-gita 16.1-3
16.1-3 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; kebebasan dari rasa takut; penyucian kehidupan; pengembangan pengetahuan rohani; kedermawanan; mengendalikan diri; pelaksanaan korban suci; mempelajari veda; pertapan; kesederhanaan; tidak melakukan kekerasan; kejujuran; kebasan dari amarah; pelepasan ikatan; ketenangan; tidak mencari-cari kesalahan; kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup; pembebasan dari loba; sifat lembut; sifat malu; ketabahan hati yang mantap; kekuatan; mudah mengampuni; sifat ulet; kebersihan; kebebasan dari rasa iri dan gila hormat- sifat-sifat rohani tersebut dimiliki oleh orang suci yang diberkati dengan sifat rohani, wahai putera Bharata.

Bhagavad-gita 16.4
16.4 Sikap bangga, sikap sombong, sikap tak peduli, amarah, sikap kasar, dan kebodohan-sifat-sifat ini dimiliki oleh orang yang bersifat jahat, wahai putera prtha.

Bhagavad-gita 16.5
16.5 Sifat rohani menguntungkan untuk pembebasan, sedangkan sifat jahat mengakibatkan ikatan. Wahai putera pandu, jangan khawatir, sebab engkau dilahirkan dengan sifat-sifat suci.

Bhagavad-gita 16.6
16.6 Wahai putera prtha, di dunia ini ada dua jenis makhluk yang diciptakan. Yang satu disebut suci dan yang lain jahat. Aku sudah menerangkan sifat-sifat suci kepadamu secara panjang lebar. Sekarang dengarlah dari-Ku tentang sifat-sifat jahat.




Bhagavad-gita 16.7
16.7 Orang jahat tidak mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak seharusnya. Kebersihan, tingkah laku yang pantas dan kebenaran tidak dapat ditemukan dalam diri mereka.

Bhagavad-gita 16.8
16.8 Mereka mengatakan bahwa dunia ini tidak nyata, tidak ada dasarnya dan tidak ada Tuhan yang mengendalikan. Mereka mengatakan bahwa dunia ini dihasilkan dari keinginan untuk hubungan kelamin, dan tidak ada sebabnya selain nafsu birahi.

Bhagavad-gita 16.9
16.9 Dengan mengikuti kesimpulan-kesimpulan seperti itu, orang-orang jahat, yang sudah kehilangan dirinya dan tidak memiliki kecerdasan sama sekali, menekuni pekerjaan yang tidak menguntungkan dan mengerikan dimaksudkan untuk menghancurkan dunia.

Bhagavad-gita 16.10
16.10 Dengan berlindung kepada hawa nafsu yang tidak dapat dipuaskan, terlena dalam rasa sombong dan kemasyuran yang palsu, orang jahat yang berkhayal seperti itu selalu bertekad melakukan pekerjaan yang tidak bersih, sebab mereka tertarik kepada hal-hal yang tidak kekal.

Bhagavad-gita 16.11
Bhagavad-gita 16.12
16.11-12 Mereka percaya bahwa memuaskan indria-indria adalah kebutuhan utama peradaban manusia. Karena itu, sampai akhir hidupnya, kecemasan mereka tidak dapat diukur. Mereka diikat oleh jaringan beratus-ratus ribu keinginan dan terikat dalam hawa nafsu dan amarah. Mereka mendapat uang untuk kepuasan indria-indria dengan cara-cara yang melanggar hukum.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Bhagavad-gita 16.13
Bhagavad-gita 16.14

Bhagavad-gita 16.15
16.13-15 Orang jahat berpikir; “Sekian banyak kekayaan kumiliki hari ini, dan aku akan memperoleh kekayaan lebih banyak lagi menurut rencana-Ku. Sekian banyak kumiliki sekarang, dan jumlah itu bertambah semakin banyak pada masa yang akan datang. Dia musuhku, dan dia sudah kubunuh, dan musuh-musuhku yang lain juga akan terbunuh. Akulah penguasa segala sesuatu. Akulah yang menikmati. Aku sempurna, perkasa dan bahagia. Aku manusia yang paling kaya, diiringi oleh keluarga yang bersifat bangsawan. Tiada seorang pun yang seperkasa dan sebahagian diriku. Aku akan melakukan korban suci, dan memberi sumbangan, dan dengan demikian aku akan menikmati” Dengan cara seperti inilah, mereka dikhayalkan oleh kebodohan.

Bhagavad-gita 16.16
16-16 Dibingungkan oleh berbagai kecemasan seperti itu dan diikat oleh jala khayalan, ikatan mereka terhadap kenikmatan indria-indria menjadi terlalu keras dan mereka jatuh ke dalam neraka.

Bhagavad-gita 16.17
16.17 Malas dalam diri sendiri dan selalu kurang sopan, berkhayal karena kekayaan dan penghormatan palsu, kadang-kadang mereka melakukan korban suci secara bangga hanya dalam nama saja, tanpa mengikuti aturan dan peraturan sama sekali.

Bhagavad-gita 16.18
16. 18 Orang jahat dibingungkan oleh keakuan palsu, kekuatan, rasa bangga, hawa nafsu dan amarah sehingga mereka menjadi iri terhadap kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, yang bersemayam di dalam badan mereka sendiri dan juga di dalam badan orang lain, dan mereka menghina dharma yang sejati.

Bhagavad-gita 16.19
16.19 Orang yang iri dan nakal, manusia yang paling rendah, untuk selamanya kubuang ke dalam lautan kehidupan material, di dalam berbagai jenis kehidupan yang jahat.

Bhagavad-gita 16.20
16.20 Setelah dilahirkan berulang kali di tengah-tengah jenis-jenis kehidupan yang jahat, orang seperti itu tidak pernah dapat mendekatiku, wahai putera Kunti. Berangsur-angsur mereka merosot hingga mencapai jenis kehidupan yang paling menjijikan.

Bhagavad-gita 16.21
16.21 Ada tiga pintu gerbang menuju neraka tersebut-hawa nafsu, amarah, dan loba. Setiap orang waras harus meninggalkan tiga sifat ini, sebab tiga sifat ini menyebabkan sang roh merosot.

Bhagavad-gita 16.22
..16.22 Orang yang sudah bebas dari tiga gerbang neraka tersebut melakukan perbuatan yang menguntungkan untuk keinsafan diri dan dengan demikian berangsur-angsur ia mencapai tujuan yang paling utama, wahai putera Kunti.

Bhagavad-gita 16.23
16.23 Orang yang meninggalkan aturan kitab suci dan bertindak menurut kehendak sendiri tidak mencapai kesempurnaan, kebahagiaan maupun tujuan tertinggi.

Bhagavad-gita 16.24
16.24 Karena itu, seharusnya seseorang mengerti apa itu kewajiban dan apa yang bukan kewajiban menurut peraturan kitab suci. Dengan mengetahui aturan dan peraturan tersebut, hendaknya ia bertindak dengan cara supaya berangsu-angsur dirinya maju ke tingkat yang lebih tinggi.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Minggu, 29 Mei 2022

Makna dan Ritual Saat Hari Pemacekan Agung

 



BALI EXPRESS, DENPASAR – Pemacekan Agung adalah hari raya umat Hindu sebagai pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Prameswara, yang dirayakan setiap Soma Kliwon Wuku kuningan. Hal itu dilaksanakan dengan menghaturkan yadnya untuk memohon keselamatan.

“Sore hari (sandikala) menghaturkan segehan di halaman rumah dan di muka pintu pekarangan rumah yang ditujukan kepada Sang Kala Tiga Galungan beserta pengiringnya agar kembali dan memberi keselamatan,” ujar Dekan Fakultas Pendidikan Agama dan Seni UNHI, Dr. I Made Yudabakti, S.sp, M.Si yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group).

Lebih lanjut dijelaskan, kata Pemacekan Agung berasal dari kata Pacek yang dapat diberikan arti Tapa. Sedangkan kata Agung berarti kuat atau teguh. Dengan demikian, makna pelaksanaan hari suci Peemacekan Agung yakni karena telah kuat tapanya para umat Hindu terhadap godaan Sang Kala Tiga, sehingga Sang kala Tiga dapat di-somya dan kembali ke sumbernya.


Pemacekan Agung jatuh pada hari kelima setelah perayaan Hari Suci Galungan Pemacekan berarti ‘saat menancapkan sesuatu’ dan kata Agung berarti ‘besar, mulia, utama’. Secara filosofis Pemacekan Agung mengandung makna, bahwasanya hari ini manusia diingatkan agar ‘kemenangan’ yang telah ia peroleh melalui pertempuran melawan adharma dijadikan sebagai ‘tonggak’ kebangkitan kesadaran diri, sebagai ‘pengukuhan’ komitmen untuk selalu menjaga martabat kemanusiaan, dan menghindarkan diri dari ‘momo angkara’.

Di lain pihak, Ida Pedanda Gde Menara Putra Kekeran yang saat walaka bernama Drs Ida Bagus Sudarsana, menjelaskan, pada hari Suci Pemacekan Agung umat Hindu melaksanakan upacara kecil, berupa menghaturkan banten soda pada masing-masing palinggih dan melaksanakan persembahyangan sampai selesai metirtha. Sesudah selesai metirtha sebagian tirtha tadi diperciki ke seluruh pekarangan pemerajan dan perumahan.

Hal itu tiada lain adalah untuk menetralisir pengaruh Sang Kala Tiga. Etika dalam melaksanakan Pemacekan Agung adalah dengan memerciki tirtha ke arah Ngider Kiwa. Kemudian menghaturkan segehan agung di lebuh yang disertakan dengan api takep, tetabuhan arak berem. Dengan demikian selesailah pelaksanaan Hari pemacekan Agung.

Dalam lontar Dharma Kahuripan disebutkan: “Pamacekan Agung nga, panincepan ikang angga sarira maka sadhanang tapasya ring Sanghyang Dharma” (Pemacekan Agung, namanya demikian adalah pemusatan diri dengan sarana tapa kepada Sanghyang Dharma). Pemacekan Agung adalah sebuah ‘tapasya’ atau janji diri untuk selalu mengedepankan dharma dalam setiap tindak-tanduk kita mengisi hidup-sehingga kemenangan yang telah kita raih tidak tersapu oleh godaan ahamkara.

Pemacekan Agung adalah saat dimana panji-panji dharma ditancapkan dan ditegakkan. “Sehingga semua bentuk musuh baik yang berasal dari luar diri, pun yang bersumber dari dalam diri tidak memiliki kesempatan dan kekuatan melemahkan jati diri kita sebagai manusia (manusa sane masesana),” katanya.

(bx/gus /ima/yes/JPR) –sumber


Jumat, 27 Mei 2022

Sistem Ulu Apad

 

adalah pembagian tugas adat yang terdiri dari 6 tingkatan yang terbagi menjadi dua sisi yaitu sisi kanan dan sisi kiri atau Kebot Tengawan. Sistem ini dipimpin oleh Jero Kubayan .
Jero Kubayan yang bertugas sebagai pemimpin segala upacara Jero Kebawu tugasnya sama seperti Jero Kubayan menghaturkan persembahyangan hanya sifatnya sebagai pengganti apabila Jero Kubayan berhalangan,
Jero Singgukan sebagai asisten Jero Kubayan dalam jalannya upacara,
Juru Saih Nem (Ke-6 juru).
Selanjutnya 3 di bawahnya ini ada
Jero Penyarikan mengurus ternak-ternak peliharaan,
Juru Pemalungan sebagai juru balungan,
Juru Penguan bertugas membuat sarana upakara di Pura,
Hal yang menarik dari Sistem Ulu Apad ini adalah sistem pergantian jabatan yang ditentukan apabila salah satu pewaris ke-6 Ulu Apad tersebut menikah,


Contohnya :apabila putra dari Jero Kubayan menikah maka Jero Kebawu naik tingat menjadi Jero Kubayan, dan putra dari Jero Kubayan sebelumnya yang mengisi posisi paling bawah, begitu juga berlaku untuk putra-putra dari ke-6 Ulu Apad tersebut, jadi dapat dikatakan tugas seorang Jero Kubayan berakhir apabila anaknya sudah menikah.
pada sistem Ulu Apad jika anaknya sudah menikah maka yang orang tua anak tersebut akan pensiun, jika sudah menikah jero yang dibawah naik menjadi Jero Kubayan begitu seterusnya diikuti dengan kedudukan – kedudukan dibawahnya, bisa juga berganti jika salah satunya meninggal,

JENIS PAMANGKU




 Menurut Lontar Raja Purana Gama. Ekajati yang tergolong pamangku dibedakan jenisnya, sesuai dengan tempat dan kedudukannya, dimana beliau ini melaksanakan tugasnya, yaitu:

1. Pamangku Kahyangan (Pemangku Kusuma Dewa) Pamangku Kahyangan adalah Pamangku yang bertugas pada Kahyangan yang meliputi Kahyangan Tiga, Kahyangan Jagat maupun Sad Kahyangan. Masing-¬masing pura ini memiliki seorang atau lebih Pamangku pemucuk dan mengemban tugas dan bertanggung jawab terhadap segala kegiatan pada pura yang, diemongnya. Selain itu memahami tentang keberadaan pura serta upacara dan upakara yang semestinya dilaksanakan. Pemangku tersebut sering juga disebut Mangku Gde/Mangku Pemucuk. Seperti Pemangku Desa, Dalem, Puseh serta sesungsungan desa lainnya, Kahyangan Jagat serta. Dangkahyangan.

2. Pamangku Pamongomong (Pembantu Pemangku Kusuma Dewa) Pamangku Pamongmomg juga disebut dengan sebutan Jro Bayan, atau dengan sebutan Mangku alit, yang memiliki tugas sebagai pebantu dari Pemangku Gde di suatu pura, yang sering juga disebut Pamangku alit, dengan tugas pokok mengatur tata pelaksanaan dan jalannya upacara, dan hal-hal lainnya sesuai dengan perintah Pemangku Gde.

3. Pamangku Jan Banggul Pamangku Jan Banggul juga disebut dengan sebutan Jro Bahu, disebut juga Pamangku alit, yang bertugas sebagai pembantu Pemangku Gde, dalarn menghaturkan atau ngunggahang bebanten, menurunkan arca pratima, memasang bhusana pada pelingih, nyiratan wangsuh pada dan memberikan bija kepada umat yang sembahyang, serta hal-hal lainnya sesuai dengan perintah / waranuggraha Pemangku Gde pada pura tersebut.


4. Pamangku Cungkub Pamangku Cungkub yaitu: Pamangku yang bertugas di Mrajan Gde yang memiliki jumlah Palinggih sebanyak sepuluh buah atau lebih.

5. Pamangku Nilarta Pamangku Nilarta adalah Pamangku yang bertugas pada pura yang berstatus sebagai pura Kawitan atau pura Kawitan dari keluarga tertentu.

6. Pamangku Pandita Pamangku Pandita memiliki tugas muput yadnva seperti Pandita. Adanya Pemangku jenis ini didasarkan atas adanya tradisi atau purana pada daerah tertentu yang tidak diperkenankan menggunakan pemuput Pandita. Sehingga segala tugas, menyangkut pelaksanaan Panca Yadnya diselesaikan oleh pemangku tersebut, dengan mohon tirtha pamuput dengan jalan nyelumbung.

7. Pamangku Bhujangga Pamangku Bhujangga adalah pamangku yang bertugas pada pura yang berstatus sebagai paibon.

8. Pamangku Balian Pamangku ini hanya bertugas melaksanakan swadharma Balian, dapat nganteb upacara atau upakara hanya yang berhubungan pengobatan terhadap pasiennya.

9. Pamangku Dalang Pamangku yang melaksanakan swadharma sebagai Dalang, dapat nganteb upacara atau upakara yang hanya berhubungan dengan swadharma Pedalangannya saja, seperti mabayuh pawetonan atau Nyapuh Leger.

10. Pamangku Tapakan / lancuban Pamangku ini hanya bertugas apabila pada suatu pura melaksanakan kegiatan nyanjan atau nedunan Bhatara nunas bawos, untuk kepentingan pura tersebut untuk, memohon petunjuk, dari dunia niskala.

11. Pamangku Tukang Pamangku ini juga disebut Pamangku Undagi, pamangku yang paham akan ajaran Wiswakarma serta segala pekerjaan tukang, seperti Undagi, Sangging, Pande dan sejenisnya, dapat nganteb upacara atau upakara hanya sebatas yang berhubungan dengan tugas beliau sebagai tukang.

12. Pamangku Sang Kulputih Pamangku Sang Kulputih swadharmanya sebagai pemangku yang memakai gagelaran Sang Kulputih dalam pemujaannya.

13. Pamangku Sang Kulpine Pamangku yang memakai gagelaran Sang Kulputih dan Kusuma Dewa dalam swadharmanya sebagai pembantu Pamangku Sang Kulputih.

14. Pamangku Kortenu, Pamangku Kortenu adalah Pemangku yang bertugas di Pura Prajapati, selain nganteb di Pura yang di emongnya, juga dapat nganteb upacara yang berhubungan dengan Pitra Yadnya, seperti Ngulapin Pitra pada saat akan melaksanakan upacara Atiwa-tiwa dan lain sebagainya.

Kamis, 26 Mei 2022

DEVI UMA




 DEVI UMA adalah dari Sakti Deva Siva diberi nama sesuai dengan perwujudannya yang ganda, yaitu berwujud “santa” atau tenang, dan bersifat “raudra” atau “krodha”.

Ketika dalam wujud santa, sakti Deva Siva ini disebut dengan Parvati, yaitu seorang devi dengan penuh kecantikan dan kasih sayang. Selain disebut dengan Parvati, juga disebut dengan Devi Uma atau dewi Kedamaian.

Didalam kitab Purana disebutkan Devi Parvati pada penjelmaan pertamanya adalah Daksayani, yaitu putri dari Daksa dan Prasuti dan menikah dengan Siva. Karena tidak mampu memahami keagungan Siva, Daksa memakinya dan mulai membencinya. Ketika Daksa melakukan suatu upacara Yajna Agung, salah satu tamu yang tak diundang adalah Siva. Sangat bertentangan dengan saran pasangannya, Daksayani pergi ke tempat upacara tanpa diundang dan mengakhiri hidupnya dengan membakar diri dalam api yoga. Oleh sebab itu, kemudian ia dikenal dengan sebutan Sati yang tak berdosa.


Berikutnya dia terlahir kembali menjadi Parvati, putri dari Himawan dan Mena. Setelah melakukan tapa yang mendalam, dia mampu menyenangkan Siva dan membuat Siva dapat menerimanya kembali sebagai pendampingnya.
Selama Parvati melakukan pertapaan, dia menolak untuk makan dan minum, walau daun kering sekalipun. Sehingga dia memperoleh penampakan Aparna Ibunya Mena yang tidak tega menyaksikan putri kesayangannya menderita dalam melakukan tapa, dan berusaha mencegahnya dengan kata-kata “Uma, sayangku janganlah berbuat seperti ini” yang kemudian nama Uma menjadi nama lainnya.

Seperti pendamping Siva, Parvati juga memiliki dua aspek yang berbeda, yaitu aspek lemah lembut, penyayang, dan berparas cantik, serta satu aspek lain adalah aspek menakutkan dan mengerikan.

Sebagai Parvati atau Uma dia dinyatakan dengan aspek yang lemah lembut, penyayang, penuh cinta kasih. Dimana dalam aspek ini, dia selalu bersama dengan Siva. Kemudian dalam aspek ini dia memiliki dua tangan, yang kanan memegang teratai biru, dan yang kiri menggantung bebas disebelahnya. Bila dinyatakan secara mandiri (Parvati Tunggal/tanpa Siva), dia tampak dengan empat tangan, dua tangan memegang taratai merah dan biru, sedangkan dua tangan yang lain memegang Varada dan Abhaya Mudra.

Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat bagi pemahaman dan Sraddha Bhakti kita semua. Manggalam astu.

Om Santih Santih Santih Om
Kontributor: I Wayan Sudarma –sumber



Sebelum Bharata Yuda, Arjuna Meminta Restu Dewi Durga

 


Sebelum maju ke medan pertempuran, atas saran Krisna Arjuna terlebih dahulu memuja Dewi Durga. Ini dikisahkan pada bagian Bisma Parwa agar pada saat peperangan Dewi Durga menganugerahkan kemenangan bagi pihak pandawa.

Berkat Dewi Durga Arjuna dapat mengalahkan pihak-pihak yang membela korawa sehingga Pandawa mampu memenangkan pertempuran selama delapan belas hari di hamparan medan perang Kuru Ksetra.

Dewi Durga merupakan Dewi Shakti yang merupakan istri dari Siwa. Dewi Durga diwujudkan dalam bentuk Dewi yang cantik dengan memiliki delapan belas lengan yang masing-masing membawa senjata. Dewi Durga digambarkan dengan menunggangi harimau.

 - JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Wujud Durga adalah kemarahan, dimana Durga Dewi juga merupakan Parvati Dewi atau Uma. Kemarahan dari Durga merupakan kemarahan ilahi yang bertujuan untuk menghancurkan kejahatan dan pertentangan terhadap kebenaran.

Pada perang Bharata Yuda yang merupakan perang besar wangsa Kuru merupakan bentuk pertentangan dua kubu besar, antara Pandawa dan Korawa atau perang antara kebenaran melawan ketidakbenaran. Hal ini kemudian menyebabkan Krisna memberikan saran kepada Arjuna untuk memuja Durga untuk memberikan anugrah menghancurkan kejahatan Korawa.

Durga dalam wujud menyeramkan dan kekuatan dikenal sebagai Dewi kematian yang merupakan pedamping Dewa Siwa yang juga sebagai Dewa pelebur. Segala tatanan kehidupan yang telah melewati batas kebenaran maka Durga akan menghancurkan ketidakbenaran sehingga kembali pada jalan kebenaran. (SB-Skb) –sumber