Selasa, 21 Juni 2022

Apa yang kita bawa menuju ke Alam Kematian?

 



Jawab:
Dibawa ke Alam Kematian (Mrityun Loka) adalah:
▪️semua karma yang telah dilakukan selama hidup.
▪️ melaksanakan ajaran Dharma, ajaran Tantra- Yantra- Mantra, dan ajaran Siwa.
Penjelasan:
Karma yang dibawa menuju Alam Kematian adalah:
Karma dari ajaran Dharma, ajaran Tantra-Yantra-Mantra, dan karma dari ajaran Siwa.



1. Ajaran dharma
Dharma adalah:
▪️ ajaran yang dipakai untuk mencapai tujuan tertinggi (moksa)
▪️ jalan untuk mencapai Surga, ibarat perahu yang digunakan pedagang untuk mengarungi lautan.
▪️ ajaran kesusilaan dan rohani yang terdiri dari 7 cara:
1). Sila : melakukan kebiasaan baik/rahayu
2). Yadnya : persembahan satwika (suci).
3). Tapa : secara terus-menerus menahan diri dari hal-hal tidak baik.
4). Dana : membangun sifat suka memberi.
5). Wiku : harus punya guru penuntun.
6). Diksa : selalu melakukan pensucian- pensucian.
7). Yoga : melakukan meditasi sampai ke tingkat samadhi yaitu penyatuan Atman dengan Paramatman.

2. Menghidupkan ajaran Tantra, Yantra, dan Mantra di dalam diri (Bhuwana Alit) dan Bhuwana Agung.
1). Bhuwana Alit
Tantra ada di hati (guhatrini), Yantra ada di tubuh/fisik, dan Mantra ada di nafas. Kita bernafas 21.300 kali setiap hari. Isilah sebagian kecil dari jumlah nafas itu dengan mengucap nama suci Tuhan atau Dewa-Dewi sebagai Idola.
Begitu juga fisik/tubuh sebagai Yantra sangat penting disucikan dengan melakukan yoga, melukat dengan air kelapa
gading/air suci di pancuran, dan saucam di laut.
Bhudi yang letaknya di hati (guhatrini) sangat penting disucikan dengan ilmu pengetahuan suci, dengan selalu membaca Veda dan Susastra suci lainnya.
Bhudi yang suci akan mampu menyelamatkan Atman dan mampu mengendalikan pikiran yang liar, sehingga mampu mengendalikan sifat-sifat buruk.

2). Bhuwana Agung
Kekuatan (Tantra) di Bhuwana Agung sumbernya adalah kekuatan Tuhan (Narayana, Brahman, Hyang Widhi) dan kekuatan Dewa-Dewi.
Kekuatan ini dapat diturunkan dengan mengunakan Yantra (banten, arca, gambar, dll) dan menggunakan Mantra.
3. Melaksanakan Ajaran Siwa
Mengapa dalam ajaran Siwa ada Yantra berupa Lingga Yoni?
Saat awal mula Dewa Siwa diminta bhaktanya saat memuja agar menggunakan seni musik (menggunakan alat sitar dan tarian nataraja), tetapi umat lambat laun tidak banyak melakukannya.
Akhirnya, Dewa Siwa meminta para bhaktanya agar menggunakan Lingga Yoni (Linggam). Lingga Yoni (Yoni lambang Ibu Pertiwi dan Lingga lambang Akasa).
Barang siapa melakukan pemujaan dengan menstanakan Linggam dan melakukan persembahan yadnya, dan memanggilNya, maka mereka akan diselamatkan oleh Dewa Siwa saat mengalami kematian.

Pura Pangsong/Pengsong Desa Kuranji Lobar.

 


Tiap hari raya / hari besar agama Hindu, Pura Pangsong/Pengsong di puncak Gunung Pangsong, Desa Kuranji,Lombok Barat selalu ramai dikunjungi Umat Hindu. Mereka datang dari seluruh pelosok pulau Lombok untuk bersembahyang, termasuk ketika merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan. Umat Hindu dari Bali pun sering melakukan tirta yatra di Pura Pangsong. Pura Gunung Pangsoing disungsung 44 banjar, di wilayah pagesangan, Batu Dawa, Dusun Sengkongo, komplek perumahan BTN Telaga Waru dan BTN Gunung Pangsong Indah. Pada hari Raya Galungan  ratusan Umat Hindu melakukan patirtan diteduhi pohon beringin yang berdaun lebat di bagian selatan pelataran Gunung Pangsong.  Mereka lalu menuju Melanting, dan terakhir menuju tangga naik mengarah ke Pura Pangsong/Pengsong di puncak gunung. Saat malam hari ada juga yang mekemit di pura. Mereka yang datang silih berganti. Pura Gunung Pansong menjadi salah satu pura yang wajib dikunjungi Umat Hindu di pulau Lombok. Menurut sejarah, Pura Gunung Pangsong merupakan tempat Ida Ketut Subali mendarat pertama di Padang Rea, tepi pantai Kuranji Lombok Barat. Ida Ketut Subali dengan 200 pasukannya dari Karangasem Bali, ketika berjalan masuk pulau Lombok sampai di kawasan gunung. Mereka tersesat oleh lebatnya pepohonan. Diatas puncak gunung yang disebut “Mur”, ida mendapat petunjuk bahwa gunung tersebut merupakan tempat suci, yang dipuncaknya harus berdiri sebuah pura.  Pura Pangsong tersebut dibangun kakaknya  yang benama Ida Wayan Subali.

Gunung Pangsong/Pensong dengan ketinggian sekitar200 meter merupakan sebuah bukit (namun lebih dikenal dengan sebutan gunung) berada di wilayah Lombok Barat. Dipuncak gunung terdapat Pura Gunung Pangsong, dan ditengah pura tersebut terdapat sebuah batu ceper berukuran besar. Batu tersebut  menunjukkan posisi tertinggi Gunung Pangsong, yang dulunya tempat duduk Ida Ketut Subali. Naik ke puncak Gunung Pangsong pengunjung harus mendaki 275 anak tangga. Jalan kecil sempit dan menanjak diantara bebatuan sejauh 25 meter ditempuh, barulah tiba di puncak gunung, tempat Pura Gunung Pangsong berdiri. Disepanjang jalan menuju puncak, banyak terdapat satwa kera, merupakan penguhuni Gunung Pangsong sejak dahulu. Kera-kera ini dikeramatkan dengan sebutan “Jro Sedahan”. Dari puncak Gunung Pangsong tampak pemandangan kota Mataram, kawasan Lombok Barat dan sekitarnya. Di arah utara bagian timur nampak Gunung Rinjani di Lombok Timur yang juga menjadi tempat suci bagi Umat Hindu. Di pojok selatan bagian timur agak kebawah, terlihat goa raksasa yang diatasnya terdapat pelinggih Gunung Sari dan Betara Bagus Jawa (Majapahit). Hal ini diterangkan dalam buku Kupu-kupu Kuning. Dari puncak tampak pula Pura Gunung Kuripan, di Gunung Sasak Kuripan Lombok Barat. Di bagian selatan arah barat bawah, tampak pelinggih ukir kawah. Dari sini akan terlihat Pura Singaji yang ada di dusun Sengkongo, Kuranji, dan Pura Song Landak di wilayah Sekotong Barat, dusun Medang Lombok Barat. Di arah barat puncak gunung terlihat pelinggih Gunung Agung dan dikejauhan tampak pula Gunung Agung di pulau Bali.  Di Gunung Pansong inilah diyakini tempat pelinggih Gunung Pangsong, Gunung Agung, Meranggu, Gunung Rinjani, Gunung Sari, Betara Bagus Jawa (Majapahit). Keramaian di Pura Gunung Pansong juga terjadi saat pujawali, “Anggarakasih/Anggara keliwon wuku Prangbakat”.  Saat itu ada kegiatan pemotongan khewan yang akan dijadikan sesajen.  Pemotongan dan memasaknya langsung dilakukan di puncak Gunung Pangsong. Setelah memandikan kerbau sebagai ternak yang akan dijadikan sesajen di Pura Rambut Diwi, Punia Mataram pada hari H pujawali, umat Hindu berkumpul di pura Penataran Agung Mumbul untuk berangkat ke Gunung Pangsong. Kemudian sebelum ke Gunung Pangsong/Pensong kerbau itu dimandikan lagi di kali babak, di bagian selatan dusun Sengkongo Kuranji, barulah dinaikkan ke puncak gunung untuk dipotong.-    


Gunung Pengsong hanya sebuah bukit batu hitam dengan rindang pepohonan, dengan ketinggian puncak sekitar 200 meter diatas permukaan laut (mdpl). Tapi yang menarik, dari puncak Gunung Pengsong, kita bisa melihat dan menikmati panorama indah Kota Mataram dan Lombok Barat dari berbagai arah.


Di puncak ini pula, terdapat sebuah tempat peribadatan umat Hindu, Pura Gunung Pangsong, yang konon merupakan Pura pertama dan tertua di Pulau Lombok. 


Gunung Pengsong terletak di Desa Kuripan, Kecamatan Labuapi, Lombok Barat, berjarak sekitar 10 Km ke arah Selatan dari Bandara Selaparang, Mataram. Menggunakan taksi hanya sekitar 15 menit dari bandara, dengan biaya sekitar Rp50ribu.
Kawasan seluas lebih dari 11 hektare yang ditetapkan sebagai salah satu objek wisata sejak tahun 1996 ini, ibarat miniatur hutan. Banyak jenis pohon rindang, mulai albasiah hingga beringin berusia ratusan tahun. Kawanan kera coklat keabu-abuan, berhabitat di sini, dengan segala tingkah laku mereka yang menggoda pengunjung yang datang.
Teduh dan sejuk, adalah kesan pertama ketika masuk ke kawasan wisata Gunung Pengsong. Beragam jenis pohon tumbuh rindang, beberapa diantaranya beringin berusia ratusan tahun dengan akar-akar gantung yang tebal.
Ada mata air yang bisa dijumpai sebelum mulai mendaki. Lokasi mata air ”Tirta Mumbul Sari” biasanya digunakan umat Hindu tahapan pertama beribadah, sebelum ke tempat suci Melanting, dan Pura Gunung Pangsung yang letaknya lebih tinggi.
Meski sepanjang pendakian sudah tersedia undak-undak dari batu dan plesteran semen, untuk mencapai puncak Gunung Pengsong ternyata bukan hal mudah bagi yang tidak biasa mendaki.
Toh setelah mencapai puncak, rasa lelah pasti terobati dengan panorama indah yang bisa dinikmati. Bangunan Pura Gunung Pangsong/Pengsong nampak anggun dengan relief-relief uniknya. Pura nampak bersih terawat, meski pun sudah berusia ratusan tahun.
Dari puncak ini, pemandangan persawahan dan pemukiman hingga perairan teluk Lembar bisa terlihat di sisi Selatan. Ke arah Timur, puncak Rinjani bisa terlihat jika cuaca sedang cerah bersahabat, begitu pun ke arah Barat pesona Gunung Agung di Bali tak luput dari pandangan.
Gunung Pengsong sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya sejak 1996 silam. Sejak saat itu pula Pemerintah Lombok Barat menetapkannya menjadi salah satu objek wisata alam daerah.
Menurut Pemangku Pura Gunung Pangsung, Jero Mangku Semadiyatna, Pura ini berdiri sekitar tahun 1514 oleh Ida Betara Wayan Sebali, seorang pandita Hindu dari Geria Pendem, Karangasem, Bali.
”Kalau dari sisi sejarah, Pura ini merupakan yang paling tua di Lombok,” katanya.
Hingga kini, umat Hindu yang ngaturang atau beribadah di tempat suci ini bukan hanya datang dari Lombok, tetapi juga dari Bali, Yogyakarta, dan Jakarta.
Ada yang unik saat beribadah di Pura ini. Umat yang datang membawa banten (sesajian sembahyang) untuk ngaturang, harus jeli jika tak ingin isi banten direbut kawanan kera sebelum dipersembahkan.
Konon, nama Gunung Pengsong diambil dari akronim Kepeng Song atau uang bolong. Ini uang logam yang digunakan sebagai alat tukar di zaman penjajahan dulu.
”Dulu saat tentara Jepang pergi, uang bolongnya konon banyak ditanam di kawasan ini. Makanya namanya Gunung Pengsong dari kata Kepeng Song,” kata Jero Mangku.
Lokasi Gunung Pengsong yang dekat dengan kawasan wisata pantai Kuranji - salah satu objek wisata pantai di Lombok Barat - membuat banyak pengunjung pantai yang turut mampir ke Gunung Pengsong.
”Kalau dipikirkan berat juga tugas kami ini, membersihkan kawasan yang luasnya lebih dari 11 hektare ini. Sampai sekarang kami yang membersihkan, tidak ada petugas kebersihan khusus dari Pemda. Kami pun bekerja hanya berbekal bhakti saja, tidak ada perhatian Pemda, meskipun kami diberi tugas ini sejak 2002 silam,” katanya.
Seingat Jero Mangku, Bupati Lombok Barat H Zaini Arony pernah menjanjikan bantuan biaya untuk kawasan wisata ini, ketika Bupati Zaini syuting film ”Misteri Gunung Rinjani”, awal tahun 2010 lalu. Tapi, entah kenapa, sampai sekarang janji itu belum terwujud juga.
”Padahal kami hanya meminta empat buah tempat sampah besar saja, untuk menampung sampah-sampah pengunjung,” katanya.
Lombok memang pulau indah dengan beragam objek wisata yang bisa dinikmati. Mulai dari pantai Senggigi, gunung Rinjani, rangkaian Gili-Gili, bahkan banyak bangunan Pura indah seperti Pura Batu Bolong di Senggigi, Pura Lingsar di Lombok Barat, dan juga Pura Gunung Pengsong ini.

Sumber  >>http://wisata.kompasiana.com


Senin, 20 Juni 2022

Pernikahan Ideal Menurut Agama Hindu

 



BALI EXPRESS, DENPASAR – Dalam kitab suci Weda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda menjelaskan,makna perkawinan juga tertulis jelas dalam Manawa Dharmasastra IX. Yang berbunyi:

“Anyonyasyawaya bhicaro ghaweamarnantikah

Esa dharmah samasenajneyah Stripumsayoh parah”

Artinya:

“Hendaknya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, Hal itu harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”

Perkawinan dalam Agama Hindu dianggap suci dan sakral. Lantas perkawinan seperti apa yang dianggap ideal dalam ajaran Agama Hindu? Dalam Kitab Manawa Dharmasastra III disebutkan ada empat bentuk perkawinan yang dapat dikatagorikan ideal yaitu:

· Brahma Wiwaha : adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada laki – laki yang berkelakuan baik dan dapat mengerti ajaran Weda.


· Daiwa Wiwaha : adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan menikahkan anak perempuannya dengan seorang pendeta yang biasa memimpin upacara keagamaan.

· Prajapatya Wiwaha : adalah bentuk perkawinan yang menyerahkan seorang putri dengan didahului restu dari sang ayah. Sang ayah biasanya memberikan restu, doa dan wejangan kepada kedua mempelai dan mengucapkan “Semoga kalian berdua dapat melaksanakan dharma dalam menjalani hidup”.

· Gandharva Wiwaha : Adalah bentuk perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan cinta sama cinta. Dimana pihak orang tua hanya mengetahui dan merestui dan tidak ikut campur dalam pernikahan tersebut.

“Tentu pada kenyataannya yang saat ini sering terjadi adalah Perkawinan Gandharva. Perkawinan yang terjadi karena sama sama cinta. Sudah jarang orang tua mau melakukan perjodohan kepada anaknya. Bahkan anak muda sekarang relatif lebih berani. Buktinya banyak yang isi duluan saking sama sama cintanya,” sindirnya.

(bx/tya/adi/yes/JPR) –sumber


Minggu, 19 Juni 2022

Ngaben Shiva Sumedang “Sebuah Pilihan Bijak”

 



Dirangkum Moderator Lokakarya
Acharya Rishi Sadhu Giriramananda
SHIVA Sumedang - adalah salah satu dari 12 metode pengabenan tradisional yang mengadopsi “Lontar Local Genius Bali”. Pilihan pengabenan Shiva Sumedang ini di zaman now , sejatinya keputusan yang bijaksana, di tengah pengaruh kaum milineal , era 4.0 yang masif , dimana menuntut laku serba praktis, efektif dan efisien. Atas tuntutan itu mau tidak mau ada suatu motivasi melakukan suatu inovasi yang dikreasi berlandaskan plutuk basic dengan tanpa mengurangi esensi, hakekat mekanisme tatanan local genius Bali yang sudah diadopsi menjadi tradisi secara turun temurun itu. Menyimak jenis Pangabenan masih ada 11 jenis lainnya mengacu pada Kumpulan Weda Puja Pitra Shiva (Dinas Kebudayaan Bali 2001) yakni : 1. Sawa Prateka, 2. Sawa Wedhana, 3. Pranawa, 4. Swastha, 5. Pitra Puja, 6. Sawatandangmantri, 7. Utamaning atau Madyaning Mapranawa, 8. Supta Pranawa, 9. Swastya Bya, 10. Swasta Geni, 11. Pitra Tarpana. Lalu bagaimanakah hakekat Pengabenan Shiva Sumedang itu?
Shiva Sumedang khususnya meniti tatanan prosesi Pengabenan jalan (pemargi) Shiva yang gaib. Sumedang maknanya adalah gaib, niskala. Intinya, pola pengabenan Shiva Sumedang itu dilakukan secara ngelanus - artinya sehari selesai bahkan bisa dituntaskan (puput 5 jam). Dari persiapan ngeringkes di rumah, kemudian memprosesi badan wadah dengan ngaben di setra - menyucikan jiwa dari segala papa, klesa menjadi atma yang murni kembali ke Sangkan Paraning Dumadi dengan sebelumnya dilakukan ngeroras di Segara yang ada Gunung. Namun sengaja dipilih tempat suci yang ada segara dan gunung dalam posisi menyatu. Seperti di Pura Goa Lawah atau Pura Uluwatu. Setelah ritual Nyegara Gunung itu tuntas, selanjutnya balik ke rumah sang lampus, dilakukan ritual Ngelinggihang menjadi Dewa Pitara di Rong Tiga, Mrajan genah rumah sang lampus sebelumnya. Nah.. demikian dirangkum “Semiloka Nasional - Seminar dan Loka Karya Shiva Sumedang , Sebuah Pilihan Bagi Umat Hindu” Semiloka Nasional digelar Yayasan Veda Poshana Ashram Pusat dengan bekerjasama dengan Swargashanti dan juga Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI ) Provinsi Bali. Hadir pada seminar itu 285 peserta dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Jawa, 212 , Hotri, Pinandita dan termasuk 73 Sulinggih / Pandita Agni. Tampil sebagai Pembicaara Dharma Adyaksa PHDI Pusat , Ratu Pedanda Nabe Bang Buruan Manuaba, Ida Pandita Nabe Mpu Abra Baskara Mukti Biru Daksa, Ketua Sabha Walaka PHDI Bali Dr Made Suasti Puja, SE, M. Fil H, Hadir Juga memberikan wacana suci Ketua PHDI Bali Prof Dr . IGN Sudiana, M. Si, President World Hindu Parisad Dr Mangku Pastika dan Penangjawab Acara Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Agni Yogananda. Semiloka ini dimoderatori Ida Pandita Rsi Acharya Swi Rarendra Mahadharma (sesi pertama seminar) dan Ida Pandita Agni Acharya Rishi Sadhu Giriramananda (Sesi II Lokakarya)


Pilihan Bijak
Penanggungjawab acara Pandita Nabe Sri Bagawan Agni Yogananda, mengungkapkan perasaanya sangat bahagia, lebih lebih bertepatan dengan Hari Pawetuannya / otonannya. Dengan redah hati mengatakan kepada segenap hadirin yang dihormati sebagai jiwa jiwa mulia dan penuh cinta kasih. Menurutnya, Semiloka Pitra Yadnya dengan sub tema Shiva Sumedang ini, sebuah pilihan sangat bijak bagi umat Hindu di zaman now. Tema yang diangkat dalam semiloka ini bukan saja menantang bahkan sangat merangsang. Sehinga peserta dari berbagai daerah ikut berpartisipasi. Di antara jenis jenis yadnya, Pengebenan ini sebetulnya ritual yang dilakukan sejak zaman Purba. Namun dalam aplikasinya warga sering mengalami kebingungan menempuh pilihan jenis serta rujukan referensi petunjuk pegelarannya, sehingga pilihan terakhir minta petunjuk balian. Relatif banyak mengabaikan sastra secara murni sebagai pedoman dominan. Nah kemudian hasilnya lain balian lain pula bawos pewisiknya. Maka parahnya kemudian bukan tidak mungkin akhirnya ngaben itu bisa diulang. Agar tidak muncul kejadian seperti itu, kalau tidak punya sradha / keyakinan mau tidak mau dituntut lebih bijak mempelajari sastra atau tatwa dari Pengabenan itu.
Namun di sisi lain ada fenomena penyelenggaran pitra yadnya ngaben itu dengan stigma “ngabehin” . Karena itu tidak salah menjadi suatu beban pihak pihak yang tidak memiliki dana memadai.
Sedangkan dari segi kuantitas prosesi ngaben itu dikelompokan menjadi 9 macam yakni: nistaning kanista, nistaning madya, nistaning utama, madyaning kanista, madyaning madya, madyaning utama, utamaning kanista, utamaning madya lan utamaning utama.
“Sesungguhnya yang mana saja dipilih, tidak ada yang salah. Terpenting sesuai dengan sradawan labate jnana - srada dan melalui pengetahuan itu menjadi keyakinan yang teguh,” tambah Ketua Veda Poshana Ashram Pusat itu.
Akan halnya prosesi Shiva Sumedang itu efektif , teknis nya dilakukan di zaman now, substansi mekanismenya, ada prosesi pemisahan stula sariran dan suksma, sekaligus sambil menunggu pengabenan sesi prosesi atma/ ngeroras jalan terus. Kemudian Puspalingga dan Sange diprosesi di segara , dengan nyegara gunung , selanjutnya Ngelinggihang Dewa Pitara di Rong Telu Mrajan. Karena itu tidak aneh , jika durasi waktu yang diperlukan dari prosesi Shiva Sumedang itu jadi singkat.



Semoga Jadi Bhisama
Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si, selaku Ketua PHDI Bali, mendukung penuh semiloka nasional Shiva Sumedang ini. Bahkan, hasil semiloka itu diharapkan bisa dikumpulkan, kemudian dipakai bahan dalam pesamuan nasional PHDI Pusat nantinya. “Nanti bisa dibawa ke pesamuan agung. Semoga bisa menjadi bhisama terkait pitrayadnya yang efektif dan efisien,” harap Rektor Universitas Hindu Negeri IGB Sugriwa itu.
Prof Dr IGN Sudiana, juga menegaskan dirinya secara pribadi sering turun terlibat pengabenan massal. Seperti di Muncan, PHDI bekerjasama dengan Telkomsel. Di masyarakat masih ada masalah berbagai hal pada umat hingga ada 7 keturunan belum diprosesi ngaben. Menurut , Yama Tatwa jika kurang setahun tidak diaben, banyak menjadi bute cuil. Pengabenan Shiva sumedang yang dilakukan ngelanus alias selesai sehari ini sangat bagus. Karena itu Seminar Lokakarya Nasional ini sangat strategis dan bijak sebagai salah satu pilihan ngaben. “Jadi banyak ada pilihan, manut eka struti binacara” Upacara Ngaben di Jawa, Kalimantan, Sulawesi satu jenis saja ada yang disebut Tiwah, Turan turan, Nyewu. Memang pilihan model pengabenan di Bali banyak ragamnya. “Namun semua jenis pengebenan itu sah - sah saja” tegas Prof IGN. Yang terpenting substansi upacara itu dilakukan dengan hati tulus las carhya dengan penuh sradha . “Karena itu rumuskan yang baik prosesi Ngaben Shiva Sumedang ini,” pinta IGN Sudiana menekankan.
Solusi Bijaksana
President World Hindu Parisad (WHP) , Dr Mangku Pastika, menyambut baik metode pengabenan Shiva Sumedang ini. Apalagi disemangati dengan suasana hati suci dan tujuan mulia. “Saya menyambut baik, Pengabenan Shiva Sumedang ini adalah salah satu solusi yang baik melakukan swadharma bhakti kepada orang tua yang ada menganggap sebagai beban. Agar umat Hindu tetap eksis mau tidak mau harus diselamatkan dengan cara solusi bijaksana, dimana beban yang dirasakan umat harus diringankan dan dikurangi secara perlahan. Tetapi sudah pasti tanpa mengurangi esensi, “ pinta Mantan Gubernur Bali itu.
Hindu sangat adaptif terhadap perubahan, sesuai Desa Kala Patra. Intinya Sanathana itu adalah Nutana abadi tetap remaja atau chiranjiwi. Jadi, kalau kita kaku, hanya berpendoman masa lalu, sering kemudian diapresiasi sebagai suatu yang ribet, menyulitkan sehingga jadi beban. “Perubahan secara bijak dan ideal harus dilakukan, namun bukan berarti menghilangkan budaya yang merupakan hasil cipta rasa karsa yang luhur. Perubahan itu menyusuaikan agar kita tetap survive, dan juga tidak ada konversi - pindah agama, “ ujar mantan Kapolda Bali dan Kalahar BNN itu.
Gerakan Veda Poshana Ashram Pusat, yang melakukan perubahan perubahan cerdas dan bijak sangat bagus. “Gerakan VPA Pusat ini saya sambut baik dan dukung, “ tambah salah satu anggota DPD Bali itu
Ada juga kelompok comportable - sudah ada di zone nyaman - mereka cenderung tidak mau berubah. Dan kemudian memberi pengaruh bagi umat itu, sehingga memunculkan alasan “takut” kepongor. Ada pula tidak masalah melakukan karena dalih “gengsi” sebagai motifnya. “Mestinya beryadnya itu landasannya bakti yang murni full keilklasan”
Yadnya itu pada hakekatnya ada dalam frame dasar triguna - satwika, rajasik, tamasik. Beryadnya yang ideal itu harusnya dengan rasa bakti penuh penyerahan diri tanpa pamerih.
“Kenyataanya sengaja membuat yadnya besar , supaya dibilang tidak nista. Diliput dijadikan berita besar dengan biaya Rp 3 miliar. Hal seperti itu tergolonng upacara rajasik, mereka itu inggin dibilang hebat,” tambahnya
Celakanya masyarakat tidak mau kalah. Maka kemudian apa yang terjadi, melakukan upacara pitra dengan cara berutang. Ada carik , sawahnya diiklaskan dijual, SK digadaikan di bank. Di sisi lain ada sebagian pihak ngalih bati - mencari untung- , “ upacara model itu tergolong tamasik. Dosa yang ngalih untung itu besar sekali. Karena itu, mana yang kita pilih ?. “Mari kita pilih sesuai semiloka ini , sebab ada suatu proses transformasi dari ritual ke spiritual, “ tambah lulusan terbaik Akpol itu. Karena itu kemudian dengan nada kritis Dr Mangku Pastika bertanya apakah yadnya ngaben itu ukurannya bebangkit?. Atau yadnya Utamaning utama ?. Banyak masih belum paham esensi yadnya itu. “Masih bagus belum ada yang nanyak. Apa makna itu, untuk apa substansinya ini,” kata Pastika yang disambut gerr hadirin.
“Setuju Pengabenan Shiva Sumedang itu sebuah pilihan yang bagus” yakin tetap pada substansi makna prosesi pitra yadnya, dari jasad, tulang, atma menjadi Dewa Pitara. Lalu bagimana halnya kalau ada memotoh, judi,, minum, narkoba. “Apakah mereka layak jadi Bhetara,” tanya Dr Mangku Pastika dengan kritis . Dia sendiri yang sudah berusia 69 ini, bertekad bulat memanfaakan sisa hidupnya, agar layak jadi bhetara. Layaknya kita semua menjadi bethara?
Dirikan Koperasi Ngaben
Ketua DharmaAdyaksa PHDI Pusat, Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba yang berencana menggelar prosesi tingkat Diksa trijati di India, menyatakan pelaksanaan yadnya itu “roh” nya harus ada kesepakatan antara Sang Tapini, Pamuput, dan sane Medue Karya. Kesepakatan sarwa prani hitangkari. Kembali ke makanisme asal perlakuan, parikrama atau seremoni itu. Prosesi Ngaben , kalau umat percaya tidak masalah dilakukan dengan prosesi dibakar cara Homa Traya, Homa Yadnya, Agni Hotra dan lumrahnya dengan tradisi local genius Bali yang diwarisi secara turun temurun. Kata Ngaben itu seidentik sama tidak serupa dalam perlakuan vokal , p b m yang masih satu artikualasi dengan kata produksi Prapen, kemudian menjadi Ngaben bukan Paben. Terkait Ngaben itu, kita lihat utility - ketepat gunaan- Karena itu kita tidak perlu bertengkar. Misalnya ada yang memilih Ngaben dengan menggunakan Api Suci Homa Traya. Hal itu sesungguhnya tidak masalah. Sebab Pedanda, Sulinggih , Pandita menggunakan juga api yang disebut Pedamaran. Yadnya homa dilakukan diri kita atma kunda dalam proses Dagdi Karana. Biarkan kearifan lokal itu mengalir. Apa yang diaben/ apa yang dibakar, jenasah , tulang dgn atman - jiwa - perlakukan dengan ngaskara - satu jenasah dibakar kemudian Dewa Pitara dilinggihang di merajan.
“Dalam prosesi ritual itu semua jenis badan diprosesi suci. Baik itu stula sariranya dipreteka, suksma sariranya dengan ngewangun dan ngajum, atma dengan ngadegang sawa, Kita meyakini ada kehidupan di dimensi lain yakni rumah rong telu di Mrajan masing masing. Kalau ngaben dianggap wajib, maka kita manajemen dengan baik sejak dini sehingga pada saatnya tidak susah. Ayo kita nabung sedikit. “Mari kita buat Asuransi Ngaben, dalam wadah Koperasi. Mungkin dengan dana abadi Rp 5 juta. Kan sangat terjangkau. Dengan jaminan dikremasi tuntas di Mumbul dan kemudian Ngelinggihang. Ketika dimanejemen dengan bagus, jadi umat tidak ada masalah dengan dana , saat kelayusekaran dan pasti masuk sorga. “Hal itu penting diatensi, agar jangan hidup sudah susah, mati pun susah. Dengan ikut Koperasi, hidup bahagia swarga masuk ke Shivaloka . Mari bangun pola pikir yang bijaksana. Maka pastinya yang sulit akan jadi gampang. Yang gampang jadi terjangkau.
“Tidak ada yang salah. Harapan saya mari kita bersatu padu, untuk mewujudkan jagadhita dan moksartam. Dan membuat Koperasi Pengabenan, “ pinta Pedanda Nabe Bang Buruan Manuaba
Dari Kingkara Jadi Shankara
Sedangkan, Dr Made Suasti Puja, dengan rendah hati dirinnya mengatakan bahagia jadi pengayah. Ia mempercayai ada proses elevasi spiritual dari kesadaran Kinggarabala menjadi Shankara. Sebagai Mantan Ketua Swarga Shanti dan Mantan Ketua VPA, ia percaya pada saatnya menjadi Dewa Hyang / Dewa Pitara dan menyatu dengan Tuhan. Tujuan hidup kita adalah mewujudkan “Atmanah mosahrtam jagadhita ya ca. Karena itu,
Ketua Sabba Walaka PHDI Bali, itu mendorong kita harus terus menerus bershadana ekstra keras, berupaya mewujudkan atma saksatkara - realizasikan diri , jagadhita lahir dan bhatin. Fokus pada Kesadaran Atma widya / Brahma Widya , jnanaagni yang dapat membebaskan kita semua.
Jangan Ajum Amah Gengsi
Pembicara Utama Seminar itu tampil paling terakhir sebagai keynot specker, dan juga sekaligus pada Sesi II jadi Nara Sumber Loka Karya Siva Sumedang itu, adalah Ida Pandita Nabe Abra Bhaskara Mukti Biru Daksa. Suasana dibuat meriah , banyat tawa audensi mengapresiasi narasi narasi kocak dan guyonan segar sang orator top itu. Kepribadian Nabe Abra yang cerdas, kocak dengan juke juke menggitik, tidak pelak membuat audiens ketawa terpingkal pingkal. Namun juga Nabe Abra Bhaskara terkadang serius dengan pemaparan deskripsi Pangeban Siva Sumedang itu secara holistik, sistematis, terskruktur, karena Beliau telah memimpin upacara itu bukan lagi belasan tetapi puluhan kali. Menurutnya, dalam penyamaan visi Pengabenan ala Shiva Sumedang ini tetap harus menggunakan wiweka. Menentukan pilihan tentu berdasarkan Iksa, - pahami dulu, Sakti - ukur kesaktian dananya, kude isi kantonge, Desa — , tempat pelaksanaanya, dan Kala - waktu. Siapa berani dengan kala yang paling kejam itu. Kala tidak bisa diajak kompromi alias KKN. Karena itu idealnya begitu meninggal harus diupacarakan dengan baik walau simple tidak masalah. Hidup sebagai manawa ini punya utang pitra rnam. Utang itu menuntut dibayar, semaksimal mungkin harus diusahakan. Kita harus bayar pengorbanan orang tua yang sudah beryadnya kepada kita dengan tulus, bukan saja orang tua kita itu atulungurip, angupadyaya abelapati - demi sukses anak anaknya. Begitu besar pengorbanan orang tua. “Karena itu jangan pernah kita tidak membalas budi baik orang tua kita. Maka kalian wajib bayar utang itu, menghormati nya dengan cara memberi pengakuan dan yadnya yang pantas . Pitra yadnya sekala, menolong orang tua. Moksartham jagadhita — patru mitru wandanam “You must believe full” ujar Pembina VPA yang disambut terpingkal pingkal hadirin. Dan juga melakukan yadnya secara niskala. Lalu apa itu pitra yadnya niskala. Yadnya niskala itu merupakan satu paket prosesi dari tiga upacara sawa wedana - pengeringkesan , Asti wedana - nguyeh tulang ngayut ke pasih Atma wedana - memproses yang membungkus ngaskara penyekahan - apang tidak negul atma sarira budal ke sunya.
Sulinggih idelnya bukan saja sebagai konseptor yang baik. Sang Dwija juga wajib sebagai konselor dan juga Sang Pandita itu sekaligus sebagai motivator dan inovator. Dan terakhir serta terpenting sebagai eksekutor. Karena itu harus mampu mengeksekusi dengan baik.
Setelah prosesi Atma wedana - kemudian menjadi Dewa Pitara - sesuai tradisi kemudian ngelinggihang di Sanggah Rong Telu Kemulan. Sesungguhnya setelah prosesi atma sarira itu, sudah selesai karena sang Dwija dengan tantra, mantra, yantra dan mudranga mengantarkan pada jalan manjing ring Sangkan Paraning Dumadi. Lalu kenapa dilinggihkan di Sanggah Kemulan ?. Sudah tentu , agar pratisentanenya - keturunannya - ketika rindu inggin mengenang beliau cukup melalui Sanggah Kemulan.

Memang manarik salah satu metode Pengabenan itu yakni Shiva Sumedang ini diangkat dalam semiloka Nasional VPA , jika menilik etimologi nya memang serem / angker sekali . Shiva Sumedang itu terdiri dari Shiva dan Sumedang. Maknanya Dewa Shiva turun menggaibkan dengan bhisama puput/ selesai prosesinya hanya dilakukan di setra. Sebab, dalam prosesi Pengabenan itu sudah ada intervensi Shiva. Lalu kenapa harus ragu. Setelah Semiloka ini, jangan ragu ragu lagi. “Mari belajar memprosesi kematian dengan baik dari sekarang,” harap Srimpu Abra Baskara.
Tidak perlu menggunakan “bebangkit” dengan Shiva Sumedang ini.
Terkait pengabenan di Bali, dasar hukum sastranya memang banyak, jika dihitung lebih 50 lontar.
“Intinya prakerti itu kembali ke Bhuana Agung . Sedangkan Atma / Paramatma menyatu dengan Purusha ke Sangkan Paramaning Dumadi, “ tegasnya.
Lalu bagaimana ketika menghadapi kelayusekaran itu. Langkah pertama harus membentuk panitia kecil , kemudian menetapkan pilihan pada cara Pengabenan Shiva Sumedang. Jazad diringkes sesuai makanismenya, kemudian berangkat ke setra, yang belum natab penyambutan — mengetus - menghilangkah kedukaan, mapepegat - meperas jalan - bayar tol setiap perempatan. Selanjutnya saat iring iringan stana pitra dan yang paling belakang adalah sulinggih. Mungkin aneh, demikian lah model Siva Sumedang itu. Setelah di setra jenasah dibakar, pangadeg dibawa ke prajapati. Sulinggih munggah ngarga weda puja , kemudian ngaskara pengabenan, medyus kamaligi , melukat menjaga jaya menghadap ke surya dan mengundang dewa dewa terkait. Juga dilakukan penebusan ke prajapati, by pass margatiga. Setelah itu sembahyang mohon restu purwa daksina chantingkan om namah shiva , sulinggih di Bale Pawedan nguncarang mantra mantra Weda Pitra Puja. Selesai diproses itu ada peningkatan dari Pitra menjadi Pitara menggunakan mantra Saptaomkara Bhiseka, setelah itu Narpana , Semua dewa - dewa yang diundang pada saat mempersembahkan jemek dijemput Puspalingga Penyekahan. Selanjutnya Jemek dipralina ditaruh di atas jenasah yang dibakar. Saat itu prosesi nyekah tetap jalan sampai mapetik - puncak upacara penyucian - Dewa Pitara - kemudian Ngadegang Sangge , distanakan dan menjemput / ngundang Shiva Kailash agar puspalingga dan Sangge itu sungkem selanjutnya prosesi purwadaksina di sanggah cucuk - catur loka pala - lembu Nandini , kemudian munggah ke bale pyadnyan , Sangge, Puspalingga diayabang semua sentananya keluarga keturunanya “Ingat jangan tukang banten yang ngayabang. Wajib yang ngayabang itu yang punya yakni keluarganya. Para , sentanenya lah yang ngayab dan juga menyembahyangi,” tegas Mpu Abra Baskara. Setelah ngayab dan disembahyangi keluarganya. Puspalingga dan Sange diturunkan. Dewa Pitra dari Puspalingga dilinggihkan di Daksina linggih yang Baru dan Sangge juga baru. Sedangkan yang lama dibakar .. pembakaran di penyekahan nguleg tulang, Puspaasti pengabenan dan Puspaasti Penyekahan. Kemudian Dua Puspa Asti yang ditempatkan di Daksina Linggih yang baru mecaru di Pemuun mengucapkan terimakasih kemudian memargi ke Segara. Ketika berangkat ke Segara sedangkan di Mrajan saat itu juga dilakukan pecaruan. Kemudian segenap pecaruan itu sambehang ke pekarangan. Sedangkan di laut dilakukan prosesi dua Puspaasti, prosesi nganyut, nyegara Gunung dan meajar ajar dengan prosesi Pratista. Dasarnya tiga lontar, Purwa Bumi Kemulan,Lebur Sangsa dan Medang Kemulan.
Penyempurnaanya selalu kita wajib melakukan penghormatan sembah kepada laut dan darat karena itu dilakukan lah prosesi Nyegara Gunung itu sebelum Ngelingihan Dewa Pitara di Rong Telu Mrajan. Puja kepada Bethara Darat nya Sang Giripati dan Sang Hyang Baruna , adalah lautnya. Intinya beragama itu sejatinya sradha - kepercayaan. Karena itu sampunang bobong apalagi ajum amah gengsi. Demikianlah benang merah Pamilaku/ Tatanan / Mekanisme yang terkuak dalam Seminar dan Loka Karya - Semiloka - Nasional Siva Sumedang dengan Subtema , Sebuah Pilihan Bagi Umat Hindu, yang dilangsungkan di Gedung PHDI Bali Sabtu 7 Maret 2020 oleh Veda Poshana Ashram Pusat, bekerja sama dengan Swargishanti dan PHDI Provinsi Bali.Ngaben Shiva Sumedang
“Sebuah Pilihan Bijak”


Dirangkum Moderator Lokakarya
Acharya Rishi Sadhu Giriramananda
SHIVA Sumedang - adalah salah satu dari 12 metode pengabenan tradisional yang mengadopsi “Lontar Local Genius Bali”. Pilihan pengabenan Shiva Sumedang ini di zaman now , sejatinya keputusan yang bijaksana, di tengah pengaruh kaum milineal , era 4.0 yang masif , dimana menuntut laku serba praktis, efektif dan efisien. Atas tuntutan itu mau tidak mau ada suatu motivasi melakukan suatu inovasi yang dikreasi berlandaskan plutuk basic dengan tanpa mengurangi esensi, hakekat mekanisme tatanan local genius Bali yang sudah diadopsi menjadi tradisi secara turun temurun itu. Menyimak jenis Pangabenan masih ada 11 jenis lainnya mengacu pada Kumpulan Weda Puja Pitra Shiva (Dinas Kebudayaan Bali 2001) yakni : 1. Sawa Prateka, 2. Sawa Wedhana, 3. Pranawa, 4. Swastha, 5. Pitra Puja, 6. Sawatandangmantri, 7. Utamaning atau Madyaning Mapranawa, 8. Supta Pranawa, 9. Swastya Bya, 10. Swasta Geni, 11. Pitra Tarpana. Lalu bagaimanakah hakekat Pengabenan Shiva Sumedang itu?
Shiva Sumedang khususnya meniti tatanan prosesi Pengabenan jalan (pemargi) Shiva yang gaib. Sumedang maknanya adalah gaib, niskala. Intinya, pola pengabenan Shiva Sumedang itu dilakukan secara ngelanus - artinya sehari selesai bahkan bisa dituntaskan (puput 5 jam). Dari persiapan ngeringkes di rumah, kemudian memprosesi badan wadah dengan ngaben di setra - menyucikan jiwa dari segala papa, klesa menjadi atma yang murni kembali ke Sangkan Paraning Dumadi dengan sebelumnya dilakukan ngeroras di Segara yang ada Gunung. Namun sengaja dipilih tempat suci yang ada segara dan gunung dalam posisi menyatu. Seperti di Pura Goa Lawah atau Pura Uluwatu. Setelah ritual Nyegara Gunung itu tuntas, selanjutnya balik ke rumah sang lampus, dilakukan ritual Ngelinggihang menjadi Dewa Pitara di Rong Tiga, Mrajan genah rumah sang lampus sebelumnya. Nah.. demikian dirangkum “Semiloka Nasional - Seminar dan Loka Karya Shiva Sumedang , Sebuah Pilihan Bagi Umat Hindu” Semiloka Nasional digelar Yayasan Veda Poshana Ashram Pusat dengan bekerjasama dengan Swargashanti dan juga Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI ) Provinsi Bali. Hadir pada seminar itu 285 peserta dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Jawa, 212 , Hotri, Pinandita dan termasuk 73 Sulinggih / Pandita Agni. Tampil sebagai Pembicaara Dharma Adyaksa PHDI Pusat , Ratu Pedanda Nabe Bang Buruan Manuaba, Ida Pandita Nabe Mpu Abra Baskara Mukti Biru Daksa, Ketua Sabha Walaka PHDI Bali Dr Made Suasti Puja, SE, M. Fil H, Hadir Juga memberikan wacana suci Ketua PHDI Bali Prof Dr . IGN Sudiana, M. Si, President World Hindu Parisad Dr Mangku Pastika dan Penangjawab Acara Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Agni Yogananda. Semiloka ini dimoderatori Ida Pandita Rsi Acharya Swi Rarendra Mahadharma (sesi pertama seminar) dan Ida Pandita Agni Acharya Rishi Sadhu Giriramananda (Sesi II Lokakarya)



Pilihan Bijak
Penanggungjawab acara Pandita Nabe Sri Bagawan Agni Yogananda, mengungkapkan perasaanya sangat bahagia, lebih lebih bertepatan dengan Hari Pawetuannya / otonannya. Dengan redah hati mengatakan kepada segenap hadirin yang dihormati sebagai jiwa jiwa mulia dan penuh cinta kasih. Menurutnya, Semiloka Pitra Yadnya dengan sub tema Shiva Sumedang ini, sebuah pilihan sangat bijak bagi umat Hindu di zaman now. Tema yang diangkat dalam semiloka ini bukan saja menantang bahkan sangat merangsang. Sehinga peserta dari berbagai daerah ikut berpartisipasi. Di antara jenis jenis yadnya, Pengebenan ini sebetulnya ritual yang dilakukan sejak zaman Purba. Namun dalam aplikasinya warga sering mengalami kebingungan menempuh pilihan jenis serta rujukan referensi petunjuk pegelarannya, sehingga pilihan terakhir minta petunjuk balian. Relatif banyak mengabaikan sastra secara murni sebagai pedoman dominan. Nah kemudian hasilnya lain balian lain pula bawos pewisiknya. Maka parahnya kemudian bukan tidak mungkin akhirnya ngaben itu bisa diulang. Agar tidak muncul kejadian seperti itu, kalau tidak punya sradha / keyakinan mau tidak mau dituntut lebih bijak mempelajari sastra atau tatwa dari Pengabenan itu.
Namun di sisi lain ada fenomena penyelenggaran pitra yadnya ngaben itu dengan stigma “ngabehin” . Karena itu tidak salah menjadi suatu beban pihak pihak yang tidak memiliki dana memadai.
Sedangkan dari segi kuantitas prosesi ngaben itu dikelompokan menjadi 9 macam yakni: nistaning kanista, nistaning madya, nistaning utama, madyaning kanista, madyaning madya, madyaning utama, utamaning kanista, utamaning madya lan utamaning utama.
“Sesungguhnya yang mana saja dipilih, tidak ada yang salah. Terpenting sesuai dengan sradawan labate jnana - srada dan melalui pengetahuan itu menjadi keyakinan yang teguh,” tambah Ketua Veda Poshana Ashram Pusat itu.
Akan halnya prosesi Shiva Sumedang itu efektif , teknis nya dilakukan di zaman now, substansi mekanismenya, ada prosesi pemisahan stula sariran dan suksma, sekaligus sambil menunggu pengabenan sesi prosesi atma/ ngeroras jalan terus. Kemudian Puspalingga dan Sange diprosesi di segara , dengan nyegara gunung , selanjutnya Ngelinggihang Dewa Pitara di Rong Telu Mrajan. Karena itu tidak aneh , jika durasi waktu yang diperlukan dari prosesi Shiva Sumedang itu jadi singkat.
Semoga Jadi Bhisama
Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si, selaku Ketua PHDI Bali, mendukung penuh semiloka nasional Shiva Sumedang ini. Bahkan, hasil semiloka itu diharapkan bisa dikumpulkan, kemudian dipakai bahan dalam pesamuan nasional PHDI Pusat nantinya. “Nanti bisa dibawa ke pesamuan agung. Semoga bisa menjadi bhisama terkait pitrayadnya yang efektif dan efisien,” harap Rektor Universitas Hindu Negeri IGB Sugriwa itu.
Prof Dr IGN Sudiana, juga menegaskan dirinya secara pribadi sering turun terlibat pengabenan massal. Seperti di Muncan, PHDI bekerjasama dengan Telkomsel. Di masyarakat masih ada masalah berbagai hal pada umat hingga ada 7 keturunan belum diprosesi ngaben. Menurut , Yama Tatwa jika kurang setahun tidak diaben, banyak menjadi bute cuil. Pengabenan Shiva sumedang yang dilakukan ngelanus alias selesai sehari ini sangat bagus. Karena itu Seminar Lokakarya Nasional ini sangat strategis dan bijak sebagai salah satu pilihan ngaben. “Jadi banyak ada pilihan, manut eka struti binacara” Upacara Ngaben di Jawa, Kalimantan, Sulawesi satu jenis saja ada yang disebut Tiwah, Turan turan, Nyewu. Memang pilihan model pengabenan di Bali banyak ragamnya. “Namun semua jenis pengebenan itu sah - sah saja” tegas Prof IGN. Yang terpenting substansi upacara itu dilakukan dengan hati tulus las carhya dengan penuh sradha . “Karena itu rumuskan yang baik prosesi Ngaben Shiva Sumedang ini,” pinta IGN Sudiana menekankan.
Solusi Bijaksana
President World Hindu Parisad (WHP) , Dr Mangku Pastika, menyambut baik metode pengabenan Shiva Sumedang ini. Apalagi disemangati dengan suasana hati suci dan tujuan mulia. “Saya menyambut baik, Pengabenan Shiva Sumedang ini adalah salah satu solusi yang baik melakukan swadharma bhakti kepada orang tua yang ada menganggap sebagai beban. Agar umat Hindu tetap eksis mau tidak mau harus diselamatkan dengan cara solusi bijaksana, dimana beban yang dirasakan umat harus diringankan dan dikurangi secara perlahan. Tetapi sudah pasti tanpa mengurangi esensi, “ pinta Mantan Gubernur Bali itu.
Hindu sangat adaptif terhadap perubahan, sesuai Desa Kala Patra. Intinya Sanathana itu adalah Nutana abadi tetap remaja atau chiranjiwi. Jadi, kalau kita kaku, hanya berpendoman masa lalu, sering kemudian diapresiasi sebagai suatu yang ribet, menyulitkan sehingga jadi beban. “Perubahan secara bijak dan ideal harus dilakukan, namun bukan berarti menghilangkan budaya yang merupakan hasil cipta rasa karsa yang luhur. Perubahan itu menyusuaikan agar kita tetap survive, dan juga tidak ada konversi - pindah agama, “ ujar mantan Kapolda Bali dan Kalahar BNN itu.
Gerakan Veda Poshana Ashram Pusat, yang melakukan perubahan perubahan cerdas dan bijak sangat bagus. “Gerakan VPA Pusat ini saya sambut baik dan dukung, “ tambah salah satu anggota DPD Bali itu
Ada juga kelompok comportable - sudah ada di zone nyaman - mereka cenderung tidak mau berubah. Dan kemudian memberi pengaruh bagi umat itu, sehingga memunculkan alasan “takut” kepongor. Ada pula tidak masalah melakukan karena dalih “gengsi” sebagai motifnya. “Mestinya beryadnya itu landasannya bakti yang murni full keilklasan”
Yadnya itu pada hakekatnya ada dalam frame dasar triguna - satwika, rajasik, tamasik. Beryadnya yang ideal itu harusnya dengan rasa bakti penuh penyerahan diri tanpa pamerih.
“Kenyataanya sengaja membuat yadnya besar , supaya dibilang tidak nista. Diliput dijadikan berita besar dengan biaya Rp 3 miliar. Hal seperti itu tergolonng upacara rajasik, mereka itu inggin dibilang hebat,” tambahnya

Celakanya masyarakat tidak mau kalah. Maka kemudian apa yang terjadi, melakukan upacara pitra dengan cara berutang. Ada carik , sawahnya diiklaskan dijual, SK digadaikan di bank. Di sisi lain ada sebagian pihak ngalih bati - mencari untung- , “ upacara model itu tergolong tamasik. Dosa yang ngalih untung itu besar sekali. Karena itu, mana yang kita pilih ?. “Mari kita pilih sesuai semiloka ini , sebab ada suatu proses transformasi dari ritual ke spiritual, “ tambah lulusan terbaik Akpol itu. Karena itu kemudian dengan nada kritis Dr Mangku Pastika bertanya apakah yadnya ngaben itu ukurannya bebangkit?. Atau yadnya Utamaning utama ?. Banyak masih belum paham esensi yadnya itu. “Masih bagus belum ada yang nanyak. Apa makna itu, untuk apa substansinya ini,” kata Pastika yang disambut gerr hadirin.
“Setuju Pengabenan Shiva Sumedang itu sebuah pilihan yang bagus” yakin tetap pada substansi makna prosesi pitra yadnya, dari jasad, tulang, atma menjadi Dewa Pitara. Lalu bagimana halnya kalau ada memotoh, judi,, minum, narkoba. “Apakah mereka layak jadi Bhetara,” tanya Dr Mangku Pastika dengan kritis . Dia sendiri yang sudah berusia 69 ini, bertekad bulat memanfaakan sisa hidupnya, agar layak jadi bhetara. Layaknya kita semua menjadi bethara?
Dirikan Koperasi Ngaben
Ketua DharmaAdyaksa PHDI Pusat, Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba yang berencana menggelar prosesi tingkat Diksa trijati di India, menyatakan pelaksanaan yadnya itu “roh” nya harus ada kesepakatan antara Sang Tapini, Pamuput, dan sane Medue Karya. Kesepakatan sarwa prani hitangkari. Kembali ke makanisme asal perlakuan, parikrama atau seremoni itu. Prosesi Ngaben , kalau umat percaya tidak masalah dilakukan dengan prosesi dibakar cara Homa Traya, Homa Yadnya, Agni Hotra dan lumrahnya dengan tradisi local genius Bali yang diwarisi secara turun temurun. Kata Ngaben itu seidentik sama tidak serupa dalam perlakuan vokal , p b m yang masih satu artikualasi dengan kata produksi Prapen, kemudian menjadi Ngaben bukan Paben. Terkait Ngaben itu, kita lihat utility - ketepat gunaan- Karena itu kita tidak perlu bertengkar. Misalnya ada yang memilih Ngaben dengan menggunakan Api Suci Homa Traya. Hal itu sesungguhnya tidak masalah. Sebab Pedanda, Sulinggih , Pandita menggunakan juga api yang disebut Pedamaran. Yadnya homa dilakukan diri kita atma kunda dalam proses Dagdi Karana. Biarkan kearifan lokal itu mengalir. Apa yang diaben/ apa yang dibakar, jenasah , tulang dgn atman - jiwa - perlakukan dengan ngaskara - satu jenasah dibakar kemudian Dewa Pitara dilinggihang di merajan.
“Dalam prosesi ritual itu semua jenis badan diprosesi suci. Baik itu stula sariranya dipreteka, suksma sariranya dengan ngewangun dan ngajum, atma dengan ngadegang sawa, Kita meyakini ada kehidupan di dimensi lain yakni rumah rong telu di Mrajan masing masing. Kalau ngaben dianggap wajib, maka kita manajemen dengan baik sejak dini sehingga pada saatnya tidak susah. Ayo kita nabung sedikit. “Mari kita buat Asuransi Ngaben, dalam wadah Koperasi. Mungkin dengan dana abadi Rp 5 juta. Kan sangat terjangkau. Dengan jaminan dikremasi tuntas di Mumbul dan kemudian Ngelinggihang. Ketika dimanejemen dengan bagus, jadi umat tidak ada masalah dengan dana , saat kelayusekaran dan pasti masuk sorga. “Hal itu penting diatensi, agar jangan hidup sudah susah, mati pun susah. Dengan ikut Koperasi, hidup bahagia swarga masuk ke Shivaloka . Mari bangun pola pikir yang bijaksana. Maka pastinya yang sulit akan jadi gampang. Yang gampang jadi terjangkau.
“Tidak ada yang salah. Harapan saya mari kita bersatu padu, untuk mewujudkan jagadhita dan moksartam. Dan membuat Koperasi Pengabenan, “ pinta Pedanda Nabe Bang Buruan Manuaba
Dari Kingkara Jadi Shankara
Sedangkan, Dr Made Suasti Puja, dengan rendah hati dirinnya mengatakan bahagia jadi pengayah. Ia mempercayai ada proses elevasi spiritual dari kesadaran Kinggarabala menjadi Shankara. Sebagai Mantan Ketua Swarga Shanti dan Mantan Ketua VPA, ia percaya pada saatnya menjadi Dewa Hyang / Dewa Pitara dan menyatu dengan Tuhan. Tujuan hidup kita adalah mewujudkan “Atmanah mosahrtam jagadhita ya ca. Karena itu,
Ketua Sabba Walaka PHDI Bali, itu mendorong kita harus terus menerus bershadana ekstra keras, berupaya mewujudkan atma saksatkara - realizasikan diri , jagadhita lahir dan bhatin. Fokus pada Kesadaran Atma widya / Brahma Widya , jnanaagni yang dapat membebaskan kita semua.


Jangan Ajum Amah Gengsi
Pembicara Utama Seminar itu tampil paling terakhir sebagai keynot specker, dan juga sekaligus pada Sesi II jadi Nara Sumber Loka Karya Siva Sumedang itu, adalah Ida Pandita Nabe Abra Bhaskara Mukti Biru Daksa. Suasana dibuat meriah , banyat tawa audensi mengapresiasi narasi narasi kocak dan guyonan segar sang orator top itu. Kepribadian Nabe Abra yang cerdas, kocak dengan juke juke menggitik, tidak pelak membuat audiens ketawa terpingkal pingkal. Namun juga Nabe Abra Bhaskara terkadang serius dengan pemaparan deskripsi Pangeban Siva Sumedang itu secara holistik, sistematis, terskruktur, karena Beliau telah memimpin upacara itu bukan lagi belasan tetapi puluhan kali. Menurutnya, dalam penyamaan visi Pengabenan ala Shiva Sumedang ini tetap harus menggunakan wiweka. Menentukan pilihan tentu berdasarkan Iksa, - pahami dulu, Sakti - ukur kesaktian dananya, kude isi kantonge, Desa — , tempat pelaksanaanya, dan Kala - waktu. Siapa berani dengan kala yang paling kejam itu. Kala tidak bisa diajak kompromi alias KKN. Karena itu idealnya begitu meninggal harus diupacarakan dengan baik walau simple tidak masalah. Hidup sebagai manawa ini punya utang pitra rnam. Utang itu menuntut dibayar, semaksimal mungkin harus diusahakan. Kita harus bayar pengorbanan orang tua yang sudah beryadnya kepada kita dengan tulus, bukan saja orang tua kita itu atulungurip, angupadyaya abelapati - demi sukses anak anaknya. Begitu besar pengorbanan orang tua. “Karena itu jangan pernah kita tidak membalas budi baik orang tua kita. Maka kalian wajib bayar utang itu, menghormati nya dengan cara memberi pengakuan dan yadnya yang pantas . Pitra yadnya sekala, menolong orang tua. Moksartham jagadhita — patru mitru wandanam “You must believe full” ujar Pembina VPA yang disambut terpingkal pingkal hadirin. Dan juga melakukan yadnya secara niskala. Lalu apa itu pitra yadnya niskala. Yadnya niskala itu merupakan satu paket prosesi dari tiga upacara sawa wedana - pengeringkesan , Asti wedana - nguyeh tulang ngayut ke pasih Atma wedana - memproses yang membungkus ngaskara penyekahan - apang tidak negul atma sarira budal ke sunya.
Sulinggih idelnya bukan saja sebagai konseptor yang baik. Sang Dwija juga wajib sebagai konselor dan juga Sang Pandita itu sekaligus sebagai motivator dan inovator. Dan terakhir serta terpenting sebagai eksekutor. Karena itu harus mampu mengeksekusi dengan baik.
Setelah prosesi Atma wedana - kemudian menjadi Dewa Pitara - sesuai tradisi kemudian ngelinggihang di Sanggah Rong Telu Kemulan. Sesungguhnya setelah prosesi atma sarira itu, sudah selesai karena sang Dwija dengan tantra, mantra, yantra dan mudranga mengantarkan pada jalan manjing ring Sangkan Paraning Dumadi. Lalu kenapa dilinggihkan di Sanggah Kemulan ?. Sudah tentu , agar pratisentanenya - keturunannya - ketika rindu inggin mengenang beliau cukup melalui Sanggah Kemulan.



Memang manarik salah satu metode Pengabenan itu yakni Shiva Sumedang ini diangkat dalam semiloka Nasional VPA , jika menilik etimologi nya memang serem / angker sekali . Shiva Sumedang itu terdiri dari Shiva dan Sumedang. Maknanya Dewa Shiva turun menggaibkan dengan bhisama puput/ selesai prosesinya hanya dilakukan di setra. Sebab, dalam prosesi Pengabenan itu sudah ada intervensi Shiva. Lalu kenapa harus ragu. Setelah Semiloka ini, jangan ragu ragu lagi. “Mari belajar memprosesi kematian dengan baik dari sekarang,” harap Srimpu Abra Baskara.
Tidak perlu menggunakan “bebangkit” dengan Shiva Sumedang ini.
Terkait pengabenan di Bali, dasar hukum sastranya memang banyak, jika dihitung lebih 50 lontar.
“Intinya prakerti itu kembali ke Bhuana Agung . Sedangkan Atma / Paramatma menyatu dengan Purusha ke Sangkan Paramaning Dumadi, “ tegasnya.
Lalu bagaimana ketika menghadapi kelayusekaran itu. Langkah pertama harus membentuk panitia kecil , kemudian menetapkan pilihan pada cara Pengabenan Shiva Sumedang. Jazad diringkes sesuai makanismenya, kemudian berangkat ke setra, yang belum natab penyambutan — mengetus - menghilangkah kedukaan, mapepegat - meperas jalan - bayar tol setiap perempatan. Selanjutnya saat iring iringan stana pitra dan yang paling belakang adalah sulinggih. Mungkin aneh, demikian lah model Siva Sumedang itu. Setelah di setra jenasah dibakar, pangadeg dibawa ke prajapati. Sulinggih munggah ngarga weda puja , kemudian ngaskara pengabenan, medyus kamaligi , melukat menjaga jaya menghadap ke surya dan mengundang dewa dewa terkait. Juga dilakukan penebusan ke prajapati, by pass margatiga. Setelah itu sembahyang mohon restu purwa daksina chantingkan om namah shiva , sulinggih di Bale Pawedan nguncarang mantra mantra Weda Pitra Puja. Selesai diproses itu ada peningkatan dari Pitra menjadi Pitara menggunakan mantra Saptaomkara Bhiseka, setelah itu Narpana , Semua dewa - dewa yang diundang pada saat mempersembahkan jemek dijemput Puspalingga Penyekahan. Selanjutnya Jemek dipralina ditaruh di atas jenasah yang dibakar. Saat itu prosesi nyekah tetap jalan sampai mapetik - puncak upacara penyucian - Dewa Pitara - kemudian Ngadegang Sangge , distanakan dan menjemput / ngundang Shiva Kailash agar puspalingga dan Sangge itu sungkem selanjutnya prosesi purwadaksina di sanggah cucuk - catur loka pala - lembu Nandini , kemudian munggah ke bale pyadnyan , Sangge, Puspalingga diayabang semua sentananya keluarga keturunanya “Ingat jangan tukang banten yang ngayabang. Wajib yang ngayabang itu yang punya yakni keluarganya. Para , sentanenya lah yang ngayab dan juga menyembahyangi,” tegas Mpu Abra Baskara. Setelah ngayab dan disembahyangi keluarganya. Puspalingga dan Sange diturunkan. Dewa Pitra dari Puspalingga dilinggihkan di Daksina linggih yang Baru dan Sangge juga baru. Sedangkan yang lama dibakar .. pembakaran di penyekahan nguleg tulang, Puspaasti pengabenan dan Puspaasti Penyekahan. Kemudian Dua Puspa Asti yang ditempatkan di Daksina Linggih yang baru mecaru di Pemuun mengucapkan terimakasih kemudian memargi ke Segara. Ketika berangkat ke Segara sedangkan di Mrajan saat itu juga dilakukan pecaruan. Kemudian segenap pecaruan itu sambehang ke pekarangan. Sedangkan di laut dilakukan prosesi dua Puspaasti, prosesi nganyut, nyegara Gunung dan meajar ajar dengan prosesi Pratista. Dasarnya tiga lontar, Purwa Bumi Kemulan,Lebur Sangsa dan Medang Kemulan.
Penyempurnaanya selalu kita wajib melakukan penghormatan sembah kepada laut dan darat karena itu dilakukan lah prosesi Nyegara Gunung itu sebelum Ngelingihan Dewa Pitara di Rong Telu Mrajan. Puja kepada Bethara Darat nya Sang Giripati dan Sang Hyang Baruna , adalah lautnya. Intinya beragama itu sejatinya sradha - kepercayaan. Karena itu sampunang bobong apalagi ajum amah gengsi. Demikianlah benang merah Pamilaku/ Tatanan / Mekanisme yang terkuak dalam Seminar dan Loka Karya - Semiloka - Nasional Siva Sumedang dengan Subtema , Sebuah Pilihan Bagi Umat Hindu, yang dilangsungkan di Gedung PHDI Bali Sabtu 7 Maret 2020 oleh Veda Poshana Ashram Pusat, bekerja sama dengan Swargishanti dan PHDI Provinsi Bali.