1. Hendaknya sembahyang sebelum waktu pukul 12 siang.
1. Hendaknya sembahyang sebelum waktu pukul 12 siang.
BALI EXPRESS, TABANAN – Setiap hari kita berdoa memohon keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan kepada Ida Sang Hyang Widhi. Hal itu juga dilakukan pamedek bila nangkil di Pura Luhur Sri Rambut Sedana.
Pura yang terletak di Kabupaten Tabanan, ini juga dipercaya sebagai tempat untuk memohon kesejahteraan, kemakmuran dan kesuburan. Pura Luhur Sri Rambut Sedana berlokasi di lereng Gunung Batukaru, tepatnya di Desa Pekraman Jatiluwih, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan. Pura ini dipercaya termasuk dalam situs purbakala karena keberadaannya yang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Tak sulit untuk menemukan pura yang satu ini. Pamedek tinggal menuju Desa Jatiluwih kemudian mengikuti petunjuk arah menuju pura. Suasana di sekitar pura masih sangat asri karena dikelilingi perkebunan warga dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut.
Kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Jero Mangku Gede Pura Luhur Sri Rambut Sedana, I Nengah Sukra, menuturkan jika menurut cerita turun temurun dari para panglingsir, pura ini sudah ada sejak tahun 1400-an, di mana pada waktu itu pura diempon oleh warga dari Desa Buduk, Badung yang mengalami kekalahan ketika melawan Raja Mengwi sehingga warga Buduk melarikan diri ke kawasan Desa Jatiluwih, yang saat itu belum bernama Jatiluwih. “Sampai di kawasan Desa Jatiluwih mereka mencari nafkah penghidupan, termasuk dengan mengembangkan perkebunan di wilayah pura, sampai akhirnya mereka menemukan tumpukan batu-batu yang diyakini sebagai tempat untuk memohon keselamatan dan kemakmuran,” ujarnya.
Hal itu terbukti ketika warga menyembah tumpukan batu tersebut dan warga kemudian mendapatkan rezeki. Sejak saat itu, tempat tersebut disucikan oleh warga yang masuk dalam Pasek Badak, kemudian semakin banyak didatangi oleh warga untuk memohon kesejahteraan dari warga pasek lainnya sehingga warga satu Desa kemudian mensucikan tempat tersebut.
Pura ini memiliki konsep Nyegara Gunung. Seiring berjalannya waktu, masyarakat membangun satu buah palinggih untuk pangayatan Ida Betara Segara yang lebih dikenal dengan pasimpangan Ida Betara Batu Ngaus sebagai wujud penghormatan terhadap laut dan ikan yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Selain itu juga dibangun palinggih Gerombong Nakaloka sebagai wujud penghormatan kepada hutan dan gunung.
Keberadaan Pura Luhur Sri Rambut Sedana yang dikabarkan sudah ada sejak zaman dahulu, kembali dikuatkan dengan ditemukannya ribuan uang kepeng yang tertanam di bawah pohon kelapa pada tahun 2004, saat dilakukan Pemugaran. Dipercaya uang itu tertanam bersama kelapa yang pada tahun 1933 digunakan saat Karya Ngenteg Linggih di pura tersebut. “Akhirnya uang kepeng kuna itu dipindahkan dan diletakkan pada palinggih pokok di Palinggih Rambut Sedana,” imbuhnya.
Adapun pura ini terdiri dari Tri Mandala, di Utama Mandala terdapat Palinggih Utama atau Palinggih Rambut Sedana, dan di belakangnya terdapat Jemeng linggih Ida Betara Sri. Kemudian ada Palinggih Pasimpangan Betara Luhur Batu Ngaus, Pasimpangan Ida Betara Gerombong Naga Loka, Pasimpangan Ida Betara Suranadi, Gedong Simpen, Gedong Jemeng, Gedong Suranadi, Pungsing Panyimpangan, Bale Piasan Ageng, dan Bale Pelaspas.
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI |
Jero Mangku Gede menambahkan, selain sebagai tempat untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan, ada pula Palinggih Taksu tempat memohon kebijaksanaan. Di mana sekitar tahun 2007 silam, seekor burung hantu pernah bertengger pada Palinggih Taksu tersebut, kemudian tiba tiba mati, dan langsung dikubur di lokasi tersebut. Saat ditanyakan kepada orang pintar, ternyata burung hantu atau celepuk itu menyimbolkan kebijaksanaan, sehingga hingga saat ini Palinggih Taksu dipercaya sebagai tempat memohon kebijaksanaan. “Jadi, jika pamedek yang tangkil ke sini, pertama-tama bersembahyang di Palinggih Ratu Nyoman dan Ratu Wayan untuk memohon izin. Setelah itu, lanjut bersembahyang di Palinggih Taksu untuk memohon kebijaksanaan, baru kemudian bersembahyang di palinggih utama,” tegasnya.
Jika dilihat dari etimologi Sri Rambut Sedana, kata Sri artinya cantik, makmur dan subur serta kemuliaan, sedangkan Sedana berarti memberi sehingga Ida Betara Sri Sedana dapat diartikan sebagai beliau pemberi kemuliaan, kemamuran, kesuburan. Maka tak heran banyak pedagang atau pelaku usaha yang pedek tangkil ke pura ini untuk memohon kemakmuran. “Jadi, bisa dikatakan yang terkait keuangan banyak yang tangkil dan mapunia ke sini. Pedagang, pengusaha, instansi keuangan, bank. dan lainnya,” ujar Jero Mangku Gede.
Tak sedikit juga pengusaha yang tangkil ketika dm mendapatkan pawisik dan bercerita jika usahanya sedang carut marut, sehingga memohon petunjuk di pura ini.
(bx/ras/yes/JPR) –sumber
Pemahaman masyarakat mengenai tata cara pembuatan sarana upacara sangatlah penting. Hal ini bertujuan untuk memberikan dampak yang maksimal dari pelaksanaan upacara. Sate Renteng yang kita jumpai di masa kini memiliki pengurangan terhadap nilai-nilai tattwa. Hal ini dilihat dari banyaknya Sate Renteng yang digunakan oleh masyarakat, khususnya Kota Denpasar yang belum lengkap.
Hal prinsip justru tidak terdapat di dalamnya. Bagi orang yang tidak mengerti hal itu tentu tidak terlihat. “Karena pemahaman masyarakat tentang Sate Renteng hanya sebatas rangkaian sate yang berisi kulit babi,” ujar Budayawan, I Gede Anom Ranuara, S.pd, S.Sn yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) , Kamis (30/3).
Lebih lanjut dijelaskannya, beberapa hal prinsip seperti senjata Dewata Nawa Sanga, penggunaan hati, paru-paru, ginjal, dan empedu adalah wajib. Hal itu wajib diutamakan untuk memenuhi nilai tattwa dari Sate Renteng. Namun, pada kenyataannya masyarakat masa kini lebih senang berpikir praktis dan ekonomis, sehingga pemahaman terhadap tattwa sangat minim. “Intinya banyak masyarakat yang berpura-pura tidak tau dan tidak mau tau tentang tattwa,” jelasnya.
Pihaknya juga sangat menyayangkan pada masa kini banyak masyarakat yang tak lagi menggunakan tulang babi yang dirangkai di bawah Sate Renteng. Padahal, itulah sejatinya unsur penting penyusun Sate Renteng yang disebut Gayah dan termuat dalam lontar agama.
(bx/gus /yes/JPR) –sumber
BALI EXPRESS, SINGARAJA – Bencana banjir dan tanah longsor belakangan ini membuat warga kelimpungan. Masalahnya, tak hanya soal keselamatan, kerugian materi, tapi ada urusan yang tak kalah penting yakni mengembalikan energi kebersihan sekala dan niskala rumah yang ditempati.
Bencana alam seperti tanah longsor dan banjir bandang yang terjadi di sejumlah lokasi turut merusak ratusan rumah milik warga. Selain merusak rumah, warga juga harus mengungsi karena halaman rumah terendam air setinggi dua meter.
Masalah tidak hanya berhenti di sana. Rumah yang sempat terendam banjir tentu memerlukan waktu berhari-hari agar pulih dan bisa ditempati kembali seperti semula. Rupanya, banjir yang sempat merendam rumah dan seisinya, selain menimbulkan kekotoran secara skala (nyata), juga menimbulkan kekotoran niskala.
Lalu, bagaimana menetralisasi secara niskala rumah yang sempat dihantam bencana? Menurut Ketut Agus Nova, S.Fil.H, M.Ag yang akrab disebut Jro Anom, bila rumah sempat diterjang bencana banjir ataupun tanah longsor, maka wajib hukumnya dibuatkan upacara ngulapin. Tujuannya untuk memarisudha (menyucikan) pekarangan rumah beserta isinya agar kembali bersih secara niskala.
“Itu wajib dibuatkan upacara pacaruan dan ngulapin. Nah, guna memarisudha pekarangan itu, dibuatkan banten caru eka sata,” kata Jro Anom kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Kamis (1/2) kemarin di Singaraja.
Beragam jenis kotoran sampah yang terbawa arus banjir, lanjut Jro Anom, akan menimbulkan cemer (kotor) bagi pekarangan. “Jika sudah kotor, maka Ida Bhatara Wiswakarma yang bersthana di bangunan rumah diyakini bisa saja meninggalkan rumah tersebut,” terangnya.
Ditegaskannya, jika rumah sudah tidak besrthana Bhagawan Wiswakarma, maka rumah akan rentan dihuni Bhutakala. Otomatis, si penghuni rumah akan merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut dan berdampak terhadap psikologis penghuninya.
“Kalau rumah sempat diterjang banjir, maka Ida Bhatara Bhagawan Wiswakarma akan enggan berstana di rumah itu. Makanya, melalui upacara ngulapin inilah harus dilakukan sehingga Bhatara Wiswakarma berkenan bersthana kembali. Kalau rumah tidak dinetralisasi pasca terkena bencana, rentan ditempati Bhutakala,” ungkapnya.
Disinggung terkait prosesinya, Jro Anom menyebut rentetan upacara ngulapin diawali dengan upacara Pacaruan Eka Sata. Ciri banten Caru Eka Sata ini menggunakan ayam brumbun. Selanjutnya pacaruan ayam brumbun diikuti dengan banten beakala, durmanggala prayascita, sesayut sapuh lara, sesayut kala meraradan, banten tadah kala dan banten segehan agung. “Banten itu khusus untuk caru Eka Sata saja atau marisudha karang,” jelasnya.
Penggunaan caru Eka Sata ini, sebut Jro Anom, disebabkan karena jangkauannya sempit hanya di lingkungan rumah saja. Berbeda jika melakukan pacaruan di pura atau di tingkat desa, maka wajib menggunakan caru Panca Sata.
Sedangkan untuk banten ngulapin adalah banten suci, banten peras pejati, banten pangulapan pangambean, banten pasupati, banten sesayut pangenteg sari, dan yang paling penting adalah banten tegteg atau daksina sebagai sthana Bhagawan Wiswakarma.“Setelah karang dinetralisasi, barulah Bhagawan Wiswakarma dipanggil melalui upacara ngulapin. Sehingga Bhagawan Wiswakarma kembali berstana,” bebernya.
Saat bencana menerjang, tentu tak hanya pekarangan dan rumah saja yang terdampak. Bagaimana dengan palinggih panunggun karang yang terkena banjir? Dosen STAHN Mpu Kuturan ini kembali menjelaskan, jika sanggah kemulan dan merajan alit terkena bencana harus dibuatkan banten Guru Piduka Alit (permohonan maaf). selain itu, ada juga banten Peras Pajati.
Upacara pacaruan dan ngulapin ini, sebut pria kelahiran Desa Kekeran, Kecamatan Busungbiu ini, tepat dilaksanakan saat Kajeng Kliwon atau bertepatan Tilem. Menurutnya, Kajeng Kliwon merupakan pertemuan tri wara kajeng dengan pancawara kliwon. Pertemuan antara Kajeng dengan Kliwon, diyakini sebagai saat energi alam semesta yang memiliki unsur dualitas bertemu satu sama lainnya.
“Rahina Kajeng Kliwon diperingati sebagai hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama, dan pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma. Maka, sangat tepat melaksanakan pacaruan sekaligus memarisudha pekarangan saat hari ini,” ujarnya.
Waktu ini dikatakan tepat, lanjutnya, karena merupakan perwujudan bhakti dan sradha kita kepada Hyang Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah mengembalikan (Somya) Sang Tiga Bhucari.
“Berarti kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar),” pungkasnya.
(bx/dik/yes/JPR) –sumber
BALI EXPRESS, DENPASAR – Ornamen berupa kepala raksasa yang dinamai Karang Bhoma, kerap ditemui pada ukiran tempat suci umat Hindu di Bali, terutama di bagian atas gelung kori. Siapakah sesungguhnya sosok raksasa bertaring tajam, mata melotot, dan dua tangan di kanan kirinya, seolah siap mencengkeram ini?
Berdasarkan mitologi, Bhoma konon adalah putra dari Dewa Wisnu dan Dewi Pertiwi. Ia lahir dari pertemuan Sang Dewa dan Sang Dewi dalam sebuah misi pemutaran Gunung Mandara atau Mandara Giri untuk mendapat Tirtha Amrita. Saat itu, Dewa Wisnu mendapat tugas untuk mencari pangkal dari lingga milik Dewa Siwa.
Guna memudahkan misinya, Dewa Wisnu mengubah wujud menjadi seekor babi hutan dan mulai melakukan penggalian di tanah. Nah, saat itulah ia bertemu dengan Dewi Pertiwi yang merupakan penguasa tanah. Dari pertemuan itu lahir Bhoma yang memiliki wujud menyeramkan. Sang Bhoma kemudian dikenal sebagai penguasa hutan belantara.
Dari mitologi tersebut, Bhoma tak lain adalah tumbuhan itu sendiri. Ia tumbuh dengan subur pada tanah (Pertiwi) yang mendapatkan air (Wisnu) yang cukup. Mitologi tersebut juga berpengaruh pada misi pelestarian hutan. Pasalnya,masyarakat tradisional percaya hutan rimba adalah salah satu tempat yang angker karena ada penguasanya. Di Bali sendiri, sosok penjaga hutan belantara disebut dengan Banaspati.
Bhoma kerap disandingkan dengan kata Bhauma dalam Bahasa Sansekerta, dengan arti sesuatu yang tumbuh dari bumi atau pertiwi. Dengan demikian, konotasinya mengarah pada tumbuh-tumbuhan.
Kisah tentang Bhoma juga diutarakan dalam Kakawin Bhomântaka atau Kakawin Bhomakawya yang berbahasa Jawa Kuno. Kakawin ini merupakan salah satu yang terpanjang dalam Sastra Jawa Kuno, yakni mencapai 1.492 bait.
Terkait dengan ukiran Karang Bhoma yang terdapat di gelung kori atau beberapa bagian tempat suci di Bali, tidak terlepas dari kepercayaan perlindungan dari Sang Hyang Bhoma. Oleh karena itu, ukiran tumbuhan pada pusatnya kerap berisi ukiran Karang Bhoma. “Ini tidak terlepas dari konsep Tri Hita Karana, khususnya harmonisasi hubungan manusia dengan alam,” ungkap Dr. Drs. Ketut Sumadi, M.Par kepada Bali Express (Jawa Pos Group), belum lama ini.
Dosen IHDN Denpasar tersebut mengatakan, ukiran Karang Bhoma bukan sebatas dekorasi pada tempat suci, namun memiliki makna di baliknya. Hal ini sejalan dengan konsep bangunan yang tertera pada Asta Kosala Kosali dan Asta Bhumi. “Apapun yang ada di Bali tidak hanya sebatas dekorasi. Demikian pula Bhoma ini, yang dipercaya sebagai sosok pelindung di tempat suci dan penolak hal-hal negatif yang hendak masuk ke dalamnya,” terangnya.
Apalagi, lanjut mantan jurnalis ini, bangunan yang dibuat oleh masyarakat Bali melewati prosesi ritual, baik penyucian dan ‘penghidupan’ atau yang biasa disebut pasupati. Dengan demikian, ukiran Karang Bhoma dipercaya memiliki kekuatan magis yang ada di dalamnya.
Meski begitu, kata Sumadi, ukiran Karang Bhoma tak bisa diaplikasikan di sembarang bangunan. Biasanya, ukiran Karang Bhoma hanya diaplikasikan di tempat suci. “Mengingat Bhoma adalah salah satu sosok yang disakralkan, secara umum ukiran Karang Bhoma diaplikasikan di tempat suci, seperti pura,” ujarnya.
Bagimana jika diaplikasikan di rumah? Pria ramah dan murah senyum ini mengatakan tidak sepatutnya. Pasalnya, kekuatan Bhoma yang telah dipasupati cukup besar dan efeknya tak hanya bagi sesuatu di luar tempat suci, namun juga di dalamnya. Oleh karena itu, jika diaplikasikan di rumah, maka kesalahan perlakukan penghuni rumah bisa berakibat fatal. “Kalau untuk di rumah, orang menghindari menggunakan Bhoma, karena dia bisa ‘makan’ diri kita sendiri. Kalau bisa, hindari itu. Bahkan ‘just decoration’ atau hanya hiasan juga keliru,” tegasnya.
Dengan demikian, Sumadi kembali menegaskan, ukiran Karang Bhoma hendaknya sebatas diaplikasikan di tempat suci, khususnya pura. “Hanya dipakai di tempat suci, khususnya di pura. Biasanya diletakkan di gelung kori. Kalau orang yang berpikiran negatif, bisa dilindas,” tegasnya.
Dikatakannya, belakangan ini dekorasi yang dibuat untuk acara seremonial juga tak sepatutnya berisi ukiran kepala Bhoma. Hal itu terkait dengan Bhoma sebagai salah satu simbol suci, selaku sosok penjaga dan penindak tegas orang-orang yang memiliki pikiran, perkataan, atau perbuatan negatif di tempat suci. “Itu sesuai dengan totem. Totem adalah kepercayaan tradisional terhadap binatang yang memberikan perlindungan dan juga membahayakan jika kita salah menempatkan,” terangnya.
Namun, jika ukirannya hanya sebatas tumbuhan, tanpa kepala Bhoma, kata dia tak masalah. “Lebih baik cukup ukiran bun (tumbuhan menjalar). Jangan sampai ada kepala Bhoma,” tandasnya.
(bx/adi/yes/JPR) –sumber
BALI EXPRESS, DENPASAR – Dalam rangkaian upacara Pawiwahan (Pernikahan) adat Hindu, ada tiga buah bambu yang dibakar hingga meletup yang disebut Tetimpugan. Sejatinya, apa makna dan fungsi Tetimpugan?
Pernikahan merupakan saat – saat yang paling dinanti. Fase Grahasta dalam ajaran Catur Asrama ini haruslah dilaksanakan sesuai tata cara yang benar. Itulah sebabnya, upacara Madengen-dengen atau Makala-kalaan yang memiliki makna dan tujuan ‘membersihkan dan menyucikan’ merupakan bagian terpenting dalam rangkaian upacara pernikahan adat Bali. Dalam rangkaian upacara Pawiwahan terdapat tiga buah bambu yang dibakar dan meletup yang disebut Tetimpugan.
Tetimpug merupakan sarana yang juga dipergunakan dalam upacara Makala-kalaan.
Pemangku asal Desa Keramas, Jero Mangku Made Puspa, mengatakan, Tetimpugan erat kaitannya dengan Bhatara Brahma yang disimbolkan sebagai api. “Sarana yang digunakan untuk memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma dalam upacara yadnya umumnya disimbolkan dengan bambu tiga batang yang dibakar dengan api danyuh kelapa,” ujar Mangku Made Puspa.
Dikatakannya, Tetimpug umumnya berupa tiga buah bumbu mentah yang masih ada kedua ruasnya. Lalu diberi minyak kelapa kemudian diberi sasap yang terbuat dari janur. Biasanya bambu ini, akan dibakar sebelum memulai upacara, sehingga terdengar bunyi letusan tiga kali.
“Di Gianyar, dalam rangkaian upacara Pawiwahan, membunyikan Tetimpugan justru merupakan saat yang ditunggu – tunggu. Konon, katanya jika Tetimpugan itu berbunyi lebih dari tiga kali, maka pasangan tersebut akan dikaruniai banyak anak. Jika kurang dari tiga kali letupan, kami khawatir mungkin ada kekurangan dalam bantennya,” ujar Jero Mangku Made Puspa.
Dalam upacara Bykala (wiwaha), lanjutnya, sudah terkandung tiga macam saksi yang dikenal dengan istilah Tri Upasaksi (tiga saksi), yaitu Dewa Saksi, Manusa Saksi, dan Bhuta Saksi. Dewa Saksi adalah saksi Dewa ( Ida Hyang Widhi Wasa) yang dimohonkan untuk menyaksikan Pawiwahan tersebut. Manusa Saksi adalah semua orang yang datang menghadiri Pawiwahan tersebut dapat dikatakan sebagai saksi, utamanya Bendesa, Kelian Dinas, pemangku yang muput upacara tersebut dan lainnya. Saksi dari para Bhutakala disebut dengan Bhuta Saksi.
Tetimpugan dikatakan sebagai rangkaian dari Bhuta Saksi. “Kita membakar Tetimpug, sehingga menimbulkan suara letupan. Suara letupan tersebut merupakan simbol untuk memanggil Bhutakala agar hadir pada upacara tersebut. Kemudian diberikan suguhan supaya tidak menggangu jalannya upacara,” ungkap Jero Mangku Made Puspa.
Ditegaskannya, perkawinan di Bali dianggap belum sah, jika tidak disaksikan oleh Tri Upasaksi.
Dalam Wiwaha Samsara, Tri Upasaksi adalah tiga saksi yang dihadirkan untuk menyaksikan rangkaian upacara Pawiwahan, yaitu Dewa Saksi, Manusia Saksi, dan Bhuta Saksi.
Dewa saksi biasanya dalam bentuk upakara dan bebantenan. “Dewa saksi, meliputi upakara dan upacara perkawinan kedua mempelai, yang dipuput oleh pedanda,” ujarnya. Sedangkan Manusia Saksi umumnya diwakilkan oleh bendesa adat serta prajuru desa. “Bhuta Saksi biasanya disimbolkan dengan upacara yang dibuatkan untuk kedua mempelai, sebagai wujud menetralisasi Sapta Timira,” tandasnya.
Ditambahkannya, dalam Wiwaha Samskara disebutkan, Tetimpug berfungsi sebagai alat komunikasi, baik niskala maupun sakala. Secara niskala, Tetimpug berfungsi untuk memberitahukan Bhutakala yang akan mendapat persembahan, bahwa upacara Makala-kalaan segera dimulai. Secara sekala, Tetimpug juga mempunyai fungsi untuk memberitahukan kepada warga sekitar bahwa upacara Makala-kalaan segera dimulai.
Tetimpug tidak hanya digunakan dalam upacara pernikahan, tetapi juga digunakan dalam rangkaian upacara lain, seperti Padudusan, Pacaruan Rsi Gana, Labuh Gentuh, dan pacaruan lainnya. “Tetimpugan itu fungsinya sangat vital. Bahkan, dalam berbagai kegiatan upakara, Tetimpugan sering digunakan. Ngodalin, Macaru pasti ada Tetimpug,” ungkapnya.
Pemangku Pura Masceti ini mengungkapkan, baiknya menggunakan bambu dengan jumlah ganjil. “Seharusnya berjumlah ganjil, di mana ruas bambu yang berjumlah ganjil juga. Tiga buah bambu Tetimpug melambangkan Tri Kona, yaitu utpeti, stiti, dan pralina,” terangnya. Jika yang menggunakan lima buah Tetimpug, upacara caru tersebut sudah berada dalam tingkatan yang lebih besar, seperti karya agung. Hal tersebut melambangkan Panca Mahabhuta, yaitu pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa.
Diakuinya, penjelasan Tetimpug seringkali berbeda – beda, sesuai desa kala patranya. “Jika di daerah Ubud, Tetimpug dikatakan sebagai sarana untuk mengundang kekuatan sebagai pelaksana sebuah upacara yadnya,” paparnya.
Konon, tetimpug menjadi sarana pengundang tenaga dan waktu agar harmonis. “Jika Tetimpug tidak bersuara, maka kala itu tidak datang. Begitu juga sebaliknya, jika bersuara, kala itu datang dan merasa terpanggil,” tandasnya.
(bx/tya/yes/JPR) –sumber