BALI EXPRESS, SINGARAJA – Bencana banjir dan tanah longsor belakangan ini membuat warga kelimpungan. Masalahnya, tak hanya soal keselamatan, kerugian materi, tapi ada urusan yang tak kalah penting yakni mengembalikan energi kebersihan sekala dan niskala rumah yang ditempati.
Bencana alam seperti tanah longsor dan banjir bandang yang terjadi di sejumlah lokasi turut merusak ratusan rumah milik warga. Selain merusak rumah, warga juga harus mengungsi karena halaman rumah terendam air setinggi dua meter.
Masalah tidak hanya berhenti di sana. Rumah yang sempat terendam banjir tentu memerlukan waktu berhari-hari agar pulih dan bisa ditempati kembali seperti semula. Rupanya, banjir yang sempat merendam rumah dan seisinya, selain menimbulkan kekotoran secara skala (nyata), juga menimbulkan kekotoran niskala.
Lalu, bagaimana menetralisasi secara niskala rumah yang sempat dihantam bencana? Menurut Ketut Agus Nova, S.Fil.H, M.Ag yang akrab disebut Jro Anom, bila rumah sempat diterjang bencana banjir ataupun tanah longsor, maka wajib hukumnya dibuatkan upacara ngulapin. Tujuannya untuk memarisudha (menyucikan) pekarangan rumah beserta isinya agar kembali bersih secara niskala.
“Itu wajib dibuatkan upacara pacaruan dan ngulapin. Nah, guna memarisudha pekarangan itu, dibuatkan banten caru eka sata,” kata Jro Anom kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Kamis (1/2) kemarin di Singaraja.
Beragam jenis kotoran sampah yang terbawa arus banjir, lanjut Jro Anom, akan menimbulkan cemer (kotor) bagi pekarangan. “Jika sudah kotor, maka Ida Bhatara Wiswakarma yang bersthana di bangunan rumah diyakini bisa saja meninggalkan rumah tersebut,” terangnya.
Ditegaskannya, jika rumah sudah tidak besrthana Bhagawan Wiswakarma, maka rumah akan rentan dihuni Bhutakala. Otomatis, si penghuni rumah akan merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut dan berdampak terhadap psikologis penghuninya.
“Kalau rumah sempat diterjang banjir, maka Ida Bhatara Bhagawan Wiswakarma akan enggan berstana di rumah itu. Makanya, melalui upacara ngulapin inilah harus dilakukan sehingga Bhatara Wiswakarma berkenan bersthana kembali. Kalau rumah tidak dinetralisasi pasca terkena bencana, rentan ditempati Bhutakala,” ungkapnya.
Disinggung terkait prosesinya, Jro Anom menyebut rentetan upacara ngulapin diawali dengan upacara Pacaruan Eka Sata. Ciri banten Caru Eka Sata ini menggunakan ayam brumbun. Selanjutnya pacaruan ayam brumbun diikuti dengan banten beakala, durmanggala prayascita, sesayut sapuh lara, sesayut kala meraradan, banten tadah kala dan banten segehan agung. “Banten itu khusus untuk caru Eka Sata saja atau marisudha karang,” jelasnya.
Penggunaan caru Eka Sata ini, sebut Jro Anom, disebabkan karena jangkauannya sempit hanya di lingkungan rumah saja. Berbeda jika melakukan pacaruan di pura atau di tingkat desa, maka wajib menggunakan caru Panca Sata.
Sedangkan untuk banten ngulapin adalah banten suci, banten peras pejati, banten pangulapan pangambean, banten pasupati, banten sesayut pangenteg sari, dan yang paling penting adalah banten tegteg atau daksina sebagai sthana Bhagawan Wiswakarma.“Setelah karang dinetralisasi, barulah Bhagawan Wiswakarma dipanggil melalui upacara ngulapin. Sehingga Bhagawan Wiswakarma kembali berstana,” bebernya.
Saat bencana menerjang, tentu tak hanya pekarangan dan rumah saja yang terdampak. Bagaimana dengan palinggih panunggun karang yang terkena banjir? Dosen STAHN Mpu Kuturan ini kembali menjelaskan, jika sanggah kemulan dan merajan alit terkena bencana harus dibuatkan banten Guru Piduka Alit (permohonan maaf). selain itu, ada juga banten Peras Pajati.
Upacara pacaruan dan ngulapin ini, sebut pria kelahiran Desa Kekeran, Kecamatan Busungbiu ini, tepat dilaksanakan saat Kajeng Kliwon atau bertepatan Tilem. Menurutnya, Kajeng Kliwon merupakan pertemuan tri wara kajeng dengan pancawara kliwon. Pertemuan antara Kajeng dengan Kliwon, diyakini sebagai saat energi alam semesta yang memiliki unsur dualitas bertemu satu sama lainnya.
“Rahina Kajeng Kliwon diperingati sebagai hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama, dan pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma. Maka, sangat tepat melaksanakan pacaruan sekaligus memarisudha pekarangan saat hari ini,” ujarnya.
Waktu ini dikatakan tepat, lanjutnya, karena merupakan perwujudan bhakti dan sradha kita kepada Hyang Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah mengembalikan (Somya) Sang Tiga Bhucari.
“Berarti kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar),” pungkasnya.
(bx/dik/yes/JPR) –sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar