Minggu, 10 Juli 2022

Tradisi Nyadegan untuk Mempererat Persaudaraan

 


BALI EXPRESS, NUSA PENIDA – Tradisi, adat dan budaya yang dimiliki Bali memang tak akan pernah habis untuk ditelusuri. Selalu ada keunikan disetiap sisinya. Seperti halnya tradisi Nyadegan di Desa Pekraman Batununggul, Nusa Penida, Klungkung.

Dari pantauan di lapangan, tradisi tersebut hampir sama dengan Magibung yang ada di Karangasem. Hanya saja ada sedikit perbedaan. Menurut Kelian Banjar Pakraman Batununggul I Dewa Ketut Anom Astika, tradisi Nyadegang ini dilaksanakan menjelang upacara Ida Bhatara Pelawatan Barong dan Randa nyejer selama 4 hari tepatnya pada rahina Purnama Sasih Kewulu.

“Krama dan sekaa teruna tumpah ruah menggelar tradisi ini. Menyiapkan dan menikmati bersama-sama sajian yang dihidangkan dalam tradisi ini,” paparnya Rabu (31/1).

Ditambahkan oleh tokoh masyarakat setempat, I Dewa Ketut Suarya, tradisi Nyadegang sejauh ini memang tidak seterkenal Magibung di Karangasem. Kendatipun tradisi ini memiliki banyak kesamaan, hanya saja yang membuatnya berbeda adalah dari cara menyajikan dan jumlah peserta.


“Kalau di Karangasem umumnya pesertanya berjumlah 8 orang, tempat makanan menggunakan dulang, dan lauk pauk disajikan tahap demi tahap,” lanjutnya.

Ia menambahkan, Nyadegang berarti duduk secara bersama-sama menikmati hidangan yang disajikan sebagai ungkapan terima kasih atas karunia Tuhan yang sudah berikan. Tradisi ini juga bisa digelar saat acara adat Pelebon, Pawiwahan, Ngotonin dan lainya.

“Dan untuk menggiring pemuda agar bangga dengan tradisinya, maka kita melibatkan mereka langsung dalam tradisi tersebut, memberi dia tanggung jawab mengerjakan step by step acara tersebut,” sambung Suarya.

Menurutnya, selain untuk tetap melestarikan tradisi yang ada, kegiatan ini juga dapat memupuk rasa kebersamaan di antara anggota krama dan pemuda karena kegiatan yang bersifat tradisi biasanya membutuhkan orang banyak untuk mengerjakannya.

(bx/ras/yes/JPR) –sumber

"Karma" hanya mungkin dalam tubuh manusia.




  Tubuh lain seperti babi, kambing, kerbau adalah buah karma dari kelahiran sebelumnya. Mereka tidak dapat melakukan karma baik atau buruk dalam tubuh ini, jadi satu-satunya cara mukti mereka adalah dengan mengorbankan mereka dalam kurban suci.

यज्ञार्थं पशवः सृष्टाः स्वयमेव स्वयम्भुवा।⁣
यज्ञोऽस्य भूत्यै सर्वस्य तस्माद् यज्ञे वधोऽवधः॥
Manu Smṛti (5.39).—'Hewan-hewan telah diciptakan oleh Prajāpati (Tuhan) untuk tujuan kurban suci demi kesejahteraan seluruh dunia. Membunuhnya pada upacara kurban bukanlah kegiatan kekerasan sama sekali.'
Manu Smṛti, atau di Nusantara dikenal dengan nama Mānava-Dharmaśāstra adalah kitab Hukum Tertinggi Sanātana-Dharma, seperti yang disebutkan dalam Veda Śruti (Yajurveda, Taittirīya Saṁhitā, 2.2.10.2): मानवी ऋचौ धाय्ये कुर्याद्यद्वै किं च मनुर्वदत्तद्भेषजम्.—'Dia harus mengutip śloka-śloka dari Manu; apa pun yang dikatakan Manu adalah kebenaran.'
• Lalu apa yang diharapkan umat manusia secara niṣkala?
1. Hewan yang dikurbankan akan dibebaskan, naik ke surga & akan terlahir kembali mendapatkan tubuh yang lebih tinggi (tubuh manusia).
ओषध्यः पशवो वृक्षास्तिर्यञ्चः पक्षिणस्तथा ।
यज्ञार्थं निधनं प्राप्ताः प्राप्नुवन्त्युत्सृतीः पुनः ॥ ४० ॥
Manu Smṛti (5.40).—'Tumbuh-tumbuhan dan hewan yang dipakai dalam upacara, akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada kelahirannya yang akan datang.'



2. Praṇā (energi) hewan yang disembelih akan menjadi āhāra (makanan) untuk Bhagavatī Parameśvarī Caṇḍikā Mahāmāyā, yang adalah Śakti Agung atau permaisuri Tuhan.
अर्चिष्यन्ति मनुष्यास्त्वां सर्वकामवरेश्वरीम् । धूपोपहारबलिभि: सर्वकामवरप्रदाम् ॥ १० ॥
Bhāgavata Purāṇa (10.2.10).—'O Durgā, dengan pengorbanan hewan, umat manusia akan menyembah-Mu dengan indah, dengan berbagai perlengkapan, karena Kau adalah yang tertinggi dalam memenuhi keinginan material semua umat.'
3. Darahnya akan dikonsumsi oleh para bhūta.
अध्यापनं ब्रह्मयज्ञः पितृयज्ञस्तु तर्पणम् ।
होमो दैवो बलिर्भौतो नृयज्ञोऽतिथिपूजनम् ॥ ७० ॥
Manu Smṛti (3.70).—'Upacara Bali (caru) adalah persembahan untuk bhūta (elemental).


4. Dagingnya akan menjadi makanan yang layak (yajña-śiṣṭa) untuk umat manusia.
क्रीत्वा स्वयं वाऽप्युत्पाद्य परोपकृतमेव वा ।
देवान् पितॄंश्चार्चयित्वा खादन् मांसं न दुष्यति ॥ ३२ ॥
Manu Smṛti (5.32).—'Setelah membelinya, atau menyembelihnya sendiri, atau di dapatnya karena menerima pemberian dari orang lain,—jika seseorang makan daging setelah atau pada waktu memuja Dewatā dan Pitṛ (leluhur), ia tidak terikat dosa pembunuhan.'
______________________________
Lontar Sundarigama (8c).—'Pada hari Penampahan, Sang Bhūta Galungan mencari makan. Maka sediakan suguhan kurban caru untuk para bhūta. Persembahan kepada bhūtakāla boleh sederhana, sedang atau besar.'

Kamis, 07 Juli 2022

LABUH GENTUH LEMBU IRENG

 

Berawal dari perjalanan Ida Danghyang Dwijendra menuju Uluwatu dalam persiapan moksah. Dalam perjalanan beliau bercengkrama dengan Ida Betara Masceti. Tak terasa sampailah di suatu tegalan di pesisir barat. Di tempat ini beliau beristirahat sambil berbincang berdua. Pembicaraan beliau didengar oleh sosok niskala penjaga tegalan itu yakni I BHUTA IJO. Danghyang Dwijendra kemudian memanggil lalu menitipkan pecanangan (tempat sirih) beliau yang berbentuk peti kepada I Bhuta Ijo, karena Sang Maha Muni akan ke Uluwatu. Untuk menjaga pecanangan tersebut, maka I Bhuta Ijo pun dianugrahkan kesaktian. Danghyang Dwijendra lalu berpisah dengan Betara Masceti. Danghyang Dwijendra menuju Uluwatu, sedangkan Betara Masceti kembali ke alam sunia.

Singkat cerita, Ida Danghyang Dwijendra telah sampai di Uluwatu, sedangkan I Bhuta Ijo setia mengemban amanat menjaga dan mengkramatkan pecanangan. Semenjak itu terjadi keanehan di masyarakat Kerobokan. Siapa saja yang ke tegalan itu selalu mengalami sakit. Para tetua masyarakat Kerobokan mendatangi Ida Danghyang Dwijendra di Uluwatu untuk memohon petunjuk.
Beliau memberitahukan bahwa di sana adalah tempat Beliau bercengkrama dengan Ida Betara Masceti. Tempat itu pula dihuni oleh I Bhuta Ijo yang menjaga pecanangan. Danghyang Dwijendra menyarankan agar dibuatkan pelinggih untuk memuja Betara Masceti. Agar I Bhuta Ijo tak ngrebeda (mengganggu), maka pada Tilem Keulu laksanakan LABUH GENTUH LEMBU IRENG (caru bersaranakan sapi warna hitam). Pada Purnama Kesanga lakukan upacara Nangluk Merana bersaranakan LEMBU BIYANG BELANG KEBANGSAPI (sapi yang sudah pernah beranak serta terdapat tompel / belang di balik kaki belakang atau depan). Pada setiap pujawali, sajikan I Bhuta Ijo berupa segehan dengan ulam jejeron bawi mentah dan segehan agung dilengkapi tetabuhan tuak arak berem.
Atas petunjuk dari Ida Danghyang Dwijendra, maka di bangunlah pura yang diberinama PURA PETI TENGET sebagai tempat memuja kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam prabhawa sebagai Ida Betara Masceti untuk memohon keselamatan dan kemakmuran. (Sumber: Dwijendra Tatwa, dan beberapa sumber lainnya)

Pura Tirta Kamandalu

 


Pura Tirta Kamandalu berada pada kawasan hutan yang masih sangat lestari dan terletak pada pinggiran jurang dengan jarak tempuh 600 m dari Pura Pasar Agung (jalur tengah) Banjar Dinas Batugunung, Desa Bukit, Kec. Karangasem, Kab. Karangasem. Dalam areal pura ini keberadaan pelinggih terpisah dengan keberadaan mata air yang dijadikan tirta. Letak mata air berada sekitar 50 meter sebelah barat areal pura . Tuhan yang distanakan dalam pura ini adalahsebagai berikut.
(!). Sanggar Agung sebagai stana penghayatan pada Bhatara yang berstana di Pura Luhur Lempuyang.
(2). Padma Sari sebagai Stana Ida Ayu Mas Manik Maketel
(3). Pelinggih Pengapit Lawang Kiwa sebagai stana Bhatara Hyang Kala
(4). Pelinggih pengapit lawang tengen sebagai stana Bhatara Nandhi Swara.
(5) Pelinggih padma capah linggih tirta

Di sisi samping pura ini tumbuh pohon cempaka emping, bunganya kecil-kecil berwarna putih, pohonnya besar dan umurnya sudah lebih dari satu abad, sayang pohon cempaka yang dimaksud sat ini sudah tidak ada, karena sudah mati dimakan usia. Konon tirtha Kamandhalu adalah ciptaan Bhatara Brahma yang mempunyai khasiat untuk membangkitkan tenaga kreatif dan dapat pula menciptakan hal-hal gaib, hal-hal yang belum nyata , bisa terwujud menjadi nyata. Hal ini tentunya tidak semata-mata karena mukjizat tirthanya saja, yang paling utama adalah menyelaraskan antara kesusian buana alit dan buana agung. Ibaratkan sumber air dan selangnya, kalau sumber air adalah ciptaan Tuhan dan selangnya adalah manusia itu sendiri. Sejernih apapun sumber airnya tetapi kalau selangnya kotor akan mengakibatkan air yang mengalir keluar pasti kotor. Kemurnian sejati hati dan prilaku manusia dapat ditingkatkan terus. Dengan cara menerapkan konsep prilaku Trikaya Parisudha, agar yang dipikirkan yang dikatakan dan yang dilaksanakan selalu hal-hal yang baik, akan dapat membuahkan kebajikan dan keharmonisan pikiran. Tidak ada lagi pertentangan antara pikiran dengan suara hati, karena suara hati sesungguhnya merupakan sinyal-sinyal kebajikan yang ada dalam diri setiap manusia.Tirtha Kamandhalu disebut Teja-mretha dalam lontar Sulayang Geni.


Sumber :
1. Image : https://www.google.com/maps & Google Earth Pro 2021
2. Unknown.2010. http://pendakianspiritual...
3. Santa Adnyana, I Wayan. 2007. Pura Lempuyang Suatu Analisis Pendidikan Religius Filosofis , Tesis Program Studi Magister (S2) Fakultas Dharma Acarya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.

Mendekatkan Diri Dengan KANDAPAT

 


Kanda Pat adalah Empat Teman: Kanda = teman, Pat = empat, yaitu kekuatan-kekuatan Hyang Widhi yang selalu menyertai roh (Atman) manusia sejak embrio sampai meninggal dunia mencapai Nirwana. Menurut Kitab Suci Lontar Tutur Panus Karma, nama-nama Kanda Pat berubah-ubah menurut keadaan/ usia manusia:

Usia Manusia Kanda 1 Kanda 2 Kanda 3 Kanda 4
Kandapat Rare:
Embrio Karen Bra Angdian Lembana
Kandungan 20 hari Anta Prata Kala Dengen
Kandungan 40 minggu Ari-ari Lamas Getih Yeh-nyom
Lahir, tali pusar putus Mekair Salabir Mokair Selair
Kandapat Bhuta:
Bayi bisa bersuara Anggapati Prajapati Banaspati Banaspatiraja
Kandapat Sari:
14 tahun Sidasakti Sidarasa Maskuina Ajiputrapetak
Bercucu Podgala Kroda Sari Yasren
Kandapat Atma:
Meninggal dunia Suratman Jogormanik Mahakala Dorakala
Kandapat Dewa:
Manunggal (Moksa) Siwa Sadasiwa Paramasiwa Suniasiwa

Bentuk-bentuk kandapat yang dapat dilihat dan diraba secara nyata adalah ari-ari, lamas, getih, dan yeh-nyom. Setelah mereka dikuburkan (segera setelah bayi lahir) maka perubahan selanjutnya adalah abstrak (tak berwujud) namun dapat dirasakan oleh manusia yang kekuatan bathinnya terpelihara.



Bagan di atas dapat juga dibaca terbalik dengan pengertian sebagai berikut:

Hyang Widhi mewujudkan diri menjadi empat manifestasi, kemudian keempatnya itu, yaitu:
1. Hyang Siwa selanjutnya mewujudkan dirinya menjadi ari-ari
2. Hyang Sadasiwa mewujudkan diri sebagai lamas
3. Hyang Paramasiwa mewujudkan diri menjadi getih, dan
4. Hyang Suniasiwa mewujudkan diri menjadi Yeh-nyom.

Keempat teman yang abstrak ini menyertai terus sampai manusia mati dan rohnya menghadap ke Hyang Widhi. Mereka juga menjaga dan melindungi roh, serta mencatat sejauh mana atman (roh) terpengaruh oleh indria keduniawian. Semua pengalaman hidup di record oleh Sang Suratman yang dahulu berbentuk ari-ari. Inilah catatan subha dan asubha karma yang menjadi penilaian dan pertimbangan kesucian roh untuk menentukan tercapainya moksa (bersatunya atman-brahman) ataukah samsara (menjelma kembali). Kandapat ada dalam diri/ tubuh manusia, namun ketika tidur, kandapat keluar dari tubuh. Maka mereka perlu dibuatkan pelinggih berupa “pelangkiran” di kamar tidur, tempat bersemayamnya kanda pat ketika kita tidur pulas.


Kandapat namanya selalu berubah sesuai dengan pertumbuhan manusia, karena pengaruh Panca Indria kepada Roh/ Atma juga berubah-ubah. Jadi nama yang berubah untuk memberi batasan pada masing-masing tingkat kekuatan pengaruh panca indria sejalan dengan pertumbuhan manusia. Panca Indria dapat menyebabkan keterikatan atman oleh karena itu atman perlu dilindungi. Yang bisa membantu manusia melindungi dirinya dari godaan panca indria adalah Kandapat.

Jika jalinan/ hubungan manusia dengan Kandapat terhambat atau bahkan tidak ada hubungan sama sekali (“tusing pati rungu”) maka perlindungan Kandapat-pun berkurang atau tidak ada. Seperti lagunya Bimbo saja: …”Engkau dekat, Aku dekat, engkau jauh, Aku jauh”… begitu kira-kira logikanya. Orang-orang kebathinan biasanya mulai dengan menguatkan Kandapatnya ini dengan cara selalu ingat dan membagi suka/ duka dengannya. Jika sudah dekat, Kandapat bisa jadi guru dan penuntun karena pada hakekatnya Kandapat itu juga Manifestasi Hyang Widhi.

Kandapat adalah manifestasi Brahman (Hyang Widhi) yang Esa; jadi ia akan selalu ada dan selalu sama pada penjelmaan-penjelmaan manusia berikutnya.

Beberapa cara mendekatkan diri (roh dalam diri) dengan Kandapat :

1. Membuat pelangkiran dari kayu di atas tempat tidur, sebagai stana Kandapat, sedangkan Kandapat diwujudkan dalam bentuk daksina lingga, yakni sebuah daksina yang dibungkus dengan kain putih/kuning. Kemudian dihaturi banten tegteg-daksina-peras-ajuman (pejati) dan setiap bulan purnama dibaharui/diganti, daksina lingganya tidak perlu diganti (biarkan selamanya di situ)

2. Setiap hari dihaturi banten saiban/jotan

3. Setiap mau meninggalkan rumah pamit ke Kandapat dan pulangnya membawa oleh-oleh makanan/kuwe, dll. sekedarnya saja, tanda ingat.

4. Setiap mau tidur sembahyang, seraya memohon Kandapat menjaga kita selama tidur.

5. Permohonan lain dapat juga diajukan di Kandapat itu.

6. Kalau gajian/mendapat hasil uang, dihaturkan dahulu di situ, biarkan semalam, keesokan harinya baru ‘dilungsur’ (tapi hati-hati pada pencuri, artinya pintu kamar dikunci)

Om Santih, Santih, Santih, Om –sumber

Rabu, 06 Juli 2022

Pesan para leluhur di hari Kuningan (Lontar Sundarigama).

 



1. Hendaknya sembahyang sebelum waktu pukul 12 siang.

.—'Janganlah menghaturkan bebanten setelah lewat tengah hari, melainkan seyogyanyalah pada hari masih pagi-pagi, sebab kalau pada tengah hari, para dewatā telah kembali ke kahyangan.'
2. Pada Hari Kuningan, para dewa dan leluhur turun ke bumi.
.—'Pada Hari Kuningan, para dewata diiringi oleh para leluhur turun ke dunia untuk melakukan penyucian dan kemudian menikmati hasil persembahan yadnya.'

3. Jenis-jenis perlengkapan upacara yang hendak dipersiapkan.
.—'Banten yang dipersembahkan untuk pelinggih-pelinggih adalah segehan dan setanggi, tebog serta raka-raka, lengkap dengan pasucian dan canang wangi selengkapnya. Di pelinggih-pelinggig agar dipasang gantungan-gantungan dengan tamiang, caniga pada treptepan, juga pada tempat ternak.'
4. Media nasi kuning.
.—'Untuk upacara manusia dipergunakan sesayut prayascita lewih, berupa punjung nasi kuning, dengan ikan itik putih (betutu), penyeneng dan tetabus. Tujuannya adalah untuk memperoleh pikiran yang suci. Dan untuk itu lakukanlah perenungan suci.'
______________________________
Bhagavad-gītā (5.29)
bhoktāraṁ yajña-tapasāṁ
sarva-loka-maheśvaram
suhṛdaṁ sarva-bhūtānāṁ
jñātvā māṁ śāntim ṛcchati
.—'Orang yang sadar kepada-Ku sepenuhnya, karena ia mengenal Aku sebagai penerima utama segala korban suci dan pertapaan, Tuhan Yang Maha Esa penguasa semua planet dan dewa, dan penolong yang mengharapkan kesejahteraan semua makhluk hidup, akan mencapai kedamaian dari penderitaan kesengsaraan material.'

Sejarah Pura Luhur Sri Rambut Sedana di Jatiluwih

 



BALI EXPRESS, TABANAN – Setiap hari kita berdoa memohon keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan kepada Ida Sang Hyang Widhi. Hal itu juga dilakukan pamedek bila nangkil di Pura Luhur Sri Rambut Sedana.

Pura yang terletak di Kabupaten Tabanan, ini juga dipercaya sebagai tempat untuk memohon kesejahteraan, kemakmuran dan kesuburan. Pura Luhur Sri Rambut Sedana berlokasi di lereng Gunung Batukaru, tepatnya di Desa Pekraman Jatiluwih, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan. Pura ini dipercaya termasuk dalam situs purbakala karena keberadaannya yang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Tak sulit untuk menemukan pura yang satu ini. Pamedek tinggal menuju Desa Jatiluwih kemudian mengikuti petunjuk arah menuju pura. Suasana di sekitar pura masih sangat asri karena dikelilingi perkebunan warga dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut.

Kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Jero Mangku Gede Pura Luhur Sri Rambut Sedana, I Nengah Sukra, menuturkan jika menurut cerita turun temurun dari para panglingsir, pura ini sudah ada sejak tahun 1400-an, di mana pada waktu itu pura diempon oleh warga dari Desa Buduk, Badung yang mengalami kekalahan ketika melawan Raja Mengwi sehingga warga Buduk melarikan diri ke kawasan Desa Jatiluwih, yang saat itu belum bernama Jatiluwih. “Sampai di kawasan Desa Jatiluwih mereka mencari nafkah penghidupan, termasuk dengan mengembangkan perkebunan di wilayah pura, sampai akhirnya mereka menemukan tumpukan batu-batu yang diyakini sebagai tempat untuk memohon keselamatan dan kemakmuran,” ujarnya.



Hal itu terbukti ketika warga menyembah tumpukan batu tersebut dan warga kemudian mendapatkan rezeki. Sejak saat itu, tempat tersebut disucikan oleh warga yang masuk dalam Pasek Badak, kemudian semakin banyak didatangi oleh warga untuk memohon kesejahteraan dari warga pasek lainnya sehingga warga satu Desa kemudian mensucikan tempat tersebut.

Pura ini memiliki konsep Nyegara Gunung. Seiring berjalannya waktu, masyarakat membangun satu buah palinggih untuk pangayatan Ida Betara Segara yang lebih dikenal dengan pasimpangan Ida Betara Batu Ngaus sebagai wujud penghormatan terhadap laut dan ikan yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Selain itu juga dibangun palinggih Gerombong Nakaloka sebagai wujud penghormatan kepada hutan dan gunung.

Keberadaan Pura Luhur Sri Rambut Sedana yang dikabarkan sudah ada sejak zaman dahulu, kembali dikuatkan dengan ditemukannya ribuan uang kepeng yang tertanam di bawah pohon kelapa pada tahun 2004, saat dilakukan Pemugaran. Dipercaya uang itu tertanam bersama kelapa yang pada tahun 1933 digunakan saat Karya Ngenteg Linggih di pura tersebut. “Akhirnya uang kepeng kuna itu dipindahkan dan diletakkan pada palinggih pokok di Palinggih Rambut Sedana,” imbuhnya.

Adapun pura ini terdiri dari Tri Mandala, di Utama Mandala terdapat Palinggih Utama atau Palinggih Rambut Sedana, dan di belakangnya terdapat Jemeng linggih Ida Betara Sri. Kemudian ada Palinggih Pasimpangan Betara Luhur Batu Ngaus, Pasimpangan Ida Betara Gerombong Naga Loka, Pasimpangan Ida Betara Suranadi, Gedong Simpen, Gedong Jemeng, Gedong Suranadi, Pungsing Panyimpangan, Bale Piasan Ageng, dan Bale Pelaspas.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



Kemudian di Madya Mandala terdapat Palinggih Ratu Nyoman dan Ratu Wayan yang berfungsi memberikan izin kepada pamedek yang datang untuk melanjutkan persembahyangan ke palinggih utama. Bale Pasayuban Pamebek dua buah dan Apit Lawang. Terakhir di Nista Mandala terdapat Bale Pasamuhan, Lumbung Agung, Bale Kulkul, Bale Gong, Dapur Suci, Bale Panegtegan, Palinggih Ida Betara Surya dan Ida Betara Candra.

Jero Mangku Gede menambahkan, selain sebagai tempat untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan, ada pula Palinggih Taksu tempat memohon kebijaksanaan. Di mana sekitar tahun 2007 silam, seekor burung hantu pernah bertengger pada Palinggih Taksu tersebut, kemudian tiba tiba mati, dan langsung dikubur di lokasi tersebut. Saat ditanyakan kepada orang pintar, ternyata burung hantu atau celepuk itu menyimbolkan kebijaksanaan, sehingga hingga saat ini Palinggih Taksu dipercaya sebagai tempat memohon kebijaksanaan. “Jadi, jika pamedek yang tangkil ke sini, pertama-tama bersembahyang di Palinggih Ratu Nyoman dan Ratu Wayan untuk memohon izin. Setelah itu, lanjut bersembahyang di Palinggih Taksu untuk memohon kebijaksanaan, baru kemudian bersembahyang di palinggih utama,” tegasnya.

Jika dilihat dari etimologi Sri Rambut Sedana, kata Sri artinya cantik, makmur dan subur serta kemuliaan, sedangkan Sedana berarti memberi sehingga Ida Betara Sri Sedana dapat diartikan sebagai beliau pemberi kemuliaan, kemamuran, kesuburan. Maka tak heran banyak pedagang atau pelaku usaha yang pedek tangkil ke pura ini untuk memohon kemakmuran. “Jadi, bisa dikatakan yang terkait keuangan banyak yang tangkil dan mapunia ke sini. Pedagang, pengusaha, instansi keuangan, bank. dan lainnya,” ujar Jero Mangku Gede.

Tak sedikit juga pengusaha yang tangkil ketika dm mendapatkan pawisik dan bercerita jika usahanya sedang carut marut, sehingga memohon petunjuk di pura ini.

(bx/ras/yes/JPR) –sumber