Senin, 11 Juli 2022
Sundarigama
Pura Gedong, Pura Tanpa Palinggih di Tengah Goa
Pada umumnya sebuah pura memiliki palinggih tempat berstananya Ida Betara, namun tidak demikian dengan pura yang berada di Banjar Pangkung, Desa Pejaten, Kecamatan Kediri, Tabanan yang bernama Pura Gedong. Pura ini tidak memiliki palinggih, dan hanya menggunakan dulang sebagai pengganti palinggih tersebut.
Bagian Pura Gedong seperti pura biasanya, di mana memiliki tiga bagian pura, yakni jaba sisi atau nista mandala, kemudian jaba tengah atau madya mandala, dan utama mandala.
Di utama mandala inilah terdapat lima buah dulang yang diletakan secara berjejer lengkap dengan pajengnya di natar pura. Utama mandala pura tersebut juga terletak di dalam goa yang ada di bawah pohon beringin besar. Akar dari pohon beringin inilah yang menjadi pintu masuk ke dalam goa tersebut. Dari luar pintu masuk ke dalam goa nampak sangat sempit, hanya sekitar satu meter, setiap orang yang masuk harus menunduk, namun ketika sampai di dalam, ternyata ukuran goa lumayan besar, dengan tinggi sekitar tiga meter dan lebar lima meter.
Menurut Jero Mangku Pura Gedong, I Ketut Badra, 58, hingga saat ini belum ada yang tahu pasti sejak kapan Pura Gedong itu dibangun dan siapa yang membangunnya. “Dulu saya pernah tanyakan kepada kakek saja, tetapi beliau pun tidak tahu secara pasti,” ungkapnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Senin (1/5/2017).
Dijelaskannya, dari lima dulang yang difungsikan sebagai palinggih tersebut, masing-masing merupakan tempat berstananya Ida Betara Pura Gedong, Mekel, Ratu Mas Alit, dan dua lainnya merupakan pasimpangan Dukuh Sakti dan Dukuh Sari. “Menurut cerita kakek dan ayah saya dulu, pasimpangan Dukuh Sakti dan Dukuh Sari merupakan sameton (saudara) dari Pura Gedong. Pura Dukuh Sakti ada di Banjar Wanasara, Desa Bongan, Tabanan, sedangkan Pura Dukuh Sari ada di Banjar Kukuh, Desa Pejaten, Kediri, Tabanan,” imbuhnya.
Kemudian di Jaba tengah atau Madya Mandala hanya terdapat dua buah patung macan yang dipercaya menjadi penjaga pura. Sementara di jaba sisi atau nista mandala terdapat Padma, linggih Ida Betara Wisnu, Bale Gong, Puwaregan, serta Gedong Panyimpenan.
Lokasi Pura Gedong terletak di dekat persawahan warga, dari pertigaan Banjar Pangkung, kita hanya perlu menyusuri jalan menuju arah Barat sampai menemui sebuah gang kecil dari beton menuju ke Selatan. Sekitar 700 meter dari jalan hotmix tersebut, kita akan menyusuri jalan turunan sampai menemukan sebuah pura dengan beji yang ada di sisi kanan dan kiri pura. Air nan jernih akan menyambut kedatangan setiap orang yang hendak bersembahyang. Tak sedikit pula warga yang datang untuk sekadar nunas toya di beji tersebut. “Toya beji ini bersumber dari klebutan yang pusatnya ada di jaba sisi Pura Gedong,” terangnya.
Sekitar 100 meter di sebelah Barat pura juga terdapat campuhan yang merupakan pertemuan antara Sungai Tukad Yeh Dati dan Sungai Tukad Yeh Paneng.
(bx/ras/yes/JPR) –sumber
Minggu, 10 Juli 2022
Tradisi Nyadegan untuk Mempererat Persaudaraan
BALI EXPRESS, NUSA PENIDA – Tradisi, adat dan budaya yang dimiliki Bali memang tak akan pernah habis untuk ditelusuri. Selalu ada keunikan disetiap sisinya. Seperti halnya tradisi Nyadegan di Desa Pekraman Batununggul, Nusa Penida, Klungkung.
Dari pantauan di lapangan, tradisi tersebut hampir sama dengan Magibung yang ada di Karangasem. Hanya saja ada sedikit perbedaan. Menurut Kelian Banjar Pakraman Batununggul I Dewa Ketut Anom Astika, tradisi Nyadegang ini dilaksanakan menjelang upacara Ida Bhatara Pelawatan Barong dan Randa nyejer selama 4 hari tepatnya pada rahina Purnama Sasih Kewulu.
“Krama dan sekaa teruna tumpah ruah menggelar tradisi ini. Menyiapkan dan menikmati bersama-sama sajian yang dihidangkan dalam tradisi ini,” paparnya Rabu (31/1).
Ditambahkan oleh tokoh masyarakat setempat, I Dewa Ketut Suarya, tradisi Nyadegang sejauh ini memang tidak seterkenal Magibung di Karangasem. Kendatipun tradisi ini memiliki banyak kesamaan, hanya saja yang membuatnya berbeda adalah dari cara menyajikan dan jumlah peserta.
“Kalau di Karangasem umumnya pesertanya berjumlah 8 orang, tempat makanan menggunakan dulang, dan lauk pauk disajikan tahap demi tahap,” lanjutnya.
Ia menambahkan, Nyadegang berarti duduk secara bersama-sama menikmati hidangan yang disajikan sebagai ungkapan terima kasih atas karunia Tuhan yang sudah berikan. Tradisi ini juga bisa digelar saat acara adat Pelebon, Pawiwahan, Ngotonin dan lainya.
“Dan untuk menggiring pemuda agar bangga dengan tradisinya, maka kita melibatkan mereka langsung dalam tradisi tersebut, memberi dia tanggung jawab mengerjakan step by step acara tersebut,” sambung Suarya.
Menurutnya, selain untuk tetap melestarikan tradisi yang ada, kegiatan ini juga dapat memupuk rasa kebersamaan di antara anggota krama dan pemuda karena kegiatan yang bersifat tradisi biasanya membutuhkan orang banyak untuk mengerjakannya.
(bx/ras/yes/JPR) –sumber
"Karma" hanya mungkin dalam tubuh manusia.
Tubuh lain seperti babi, kambing, kerbau adalah buah karma dari kelahiran sebelumnya. Mereka tidak dapat melakukan karma baik atau buruk dalam tubuh ini, jadi satu-satunya cara mukti mereka adalah dengan mengorbankan mereka dalam kurban suci.
Kamis, 07 Juli 2022
LABUH GENTUH LEMBU IRENG
Pura Tirta Kamandalu
Mendekatkan Diri Dengan KANDAPAT
Kanda Pat adalah Empat Teman: Kanda = teman, Pat = empat, yaitu kekuatan-kekuatan Hyang Widhi yang selalu menyertai roh (Atman) manusia sejak embrio sampai meninggal dunia mencapai Nirwana. Menurut Kitab Suci Lontar Tutur Panus Karma, nama-nama Kanda Pat berubah-ubah menurut keadaan/ usia manusia:
Usia Manusia Kanda 1 Kanda 2 Kanda 3 Kanda 4
Kandapat Rare:
Embrio Karen Bra Angdian Lembana
Kandungan 20 hari Anta Prata Kala Dengen
Kandungan 40 minggu Ari-ari Lamas Getih Yeh-nyom
Lahir, tali pusar putus Mekair Salabir Mokair Selair
Kandapat Bhuta:
Bayi bisa bersuara Anggapati Prajapati Banaspati Banaspatiraja
Kandapat Sari:
14 tahun Sidasakti Sidarasa Maskuina Ajiputrapetak
Bercucu Podgala Kroda Sari Yasren
Kandapat Atma:
Meninggal dunia Suratman Jogormanik Mahakala Dorakala
Kandapat Dewa:
Manunggal (Moksa) Siwa Sadasiwa Paramasiwa Suniasiwa
Bentuk-bentuk kandapat yang dapat dilihat dan diraba secara nyata adalah ari-ari, lamas, getih, dan yeh-nyom. Setelah mereka dikuburkan (segera setelah bayi lahir) maka perubahan selanjutnya adalah abstrak (tak berwujud) namun dapat dirasakan oleh manusia yang kekuatan bathinnya terpelihara.
Bagan di atas dapat juga dibaca terbalik dengan pengertian sebagai berikut:
Hyang Widhi mewujudkan diri menjadi empat manifestasi, kemudian keempatnya itu, yaitu:
1. Hyang Siwa selanjutnya mewujudkan dirinya menjadi ari-ari
2. Hyang Sadasiwa mewujudkan diri sebagai lamas
3. Hyang Paramasiwa mewujudkan diri menjadi getih, dan
4. Hyang Suniasiwa mewujudkan diri menjadi Yeh-nyom.
Keempat teman yang abstrak ini menyertai terus sampai manusia mati dan rohnya menghadap ke Hyang Widhi. Mereka juga menjaga dan melindungi roh, serta mencatat sejauh mana atman (roh) terpengaruh oleh indria keduniawian. Semua pengalaman hidup di record oleh Sang Suratman yang dahulu berbentuk ari-ari. Inilah catatan subha dan asubha karma yang menjadi penilaian dan pertimbangan kesucian roh untuk menentukan tercapainya moksa (bersatunya atman-brahman) ataukah samsara (menjelma kembali). Kandapat ada dalam diri/ tubuh manusia, namun ketika tidur, kandapat keluar dari tubuh. Maka mereka perlu dibuatkan pelinggih berupa “pelangkiran” di kamar tidur, tempat bersemayamnya kanda pat ketika kita tidur pulas.
Kandapat namanya selalu berubah sesuai dengan pertumbuhan manusia, karena pengaruh Panca Indria kepada Roh/ Atma juga berubah-ubah. Jadi nama yang berubah untuk memberi batasan pada masing-masing tingkat kekuatan pengaruh panca indria sejalan dengan pertumbuhan manusia. Panca Indria dapat menyebabkan keterikatan atman oleh karena itu atman perlu dilindungi. Yang bisa membantu manusia melindungi dirinya dari godaan panca indria adalah Kandapat.
Jika jalinan/ hubungan manusia dengan Kandapat terhambat atau bahkan tidak ada hubungan sama sekali (“tusing pati rungu”) maka perlindungan Kandapat-pun berkurang atau tidak ada. Seperti lagunya Bimbo saja: …”Engkau dekat, Aku dekat, engkau jauh, Aku jauh”… begitu kira-kira logikanya. Orang-orang kebathinan biasanya mulai dengan menguatkan Kandapatnya ini dengan cara selalu ingat dan membagi suka/ duka dengannya. Jika sudah dekat, Kandapat bisa jadi guru dan penuntun karena pada hakekatnya Kandapat itu juga Manifestasi Hyang Widhi.
Kandapat adalah manifestasi Brahman (Hyang Widhi) yang Esa; jadi ia akan selalu ada dan selalu sama pada penjelmaan-penjelmaan manusia berikutnya.
Beberapa cara mendekatkan diri (roh dalam diri) dengan Kandapat :
1. Membuat pelangkiran dari kayu di atas tempat tidur, sebagai stana Kandapat, sedangkan Kandapat diwujudkan dalam bentuk daksina lingga, yakni sebuah daksina yang dibungkus dengan kain putih/kuning. Kemudian dihaturi banten tegteg-daksina-peras-ajuman (pejati) dan setiap bulan purnama dibaharui/diganti, daksina lingganya tidak perlu diganti (biarkan selamanya di situ)
2. Setiap hari dihaturi banten saiban/jotan
3. Setiap mau meninggalkan rumah pamit ke Kandapat dan pulangnya membawa oleh-oleh makanan/kuwe, dll. sekedarnya saja, tanda ingat.
4. Setiap mau tidur sembahyang, seraya memohon Kandapat menjaga kita selama tidur.
5. Permohonan lain dapat juga diajukan di Kandapat itu.
6. Kalau gajian/mendapat hasil uang, dihaturkan dahulu di situ, biarkan semalam, keesokan harinya baru ‘dilungsur’ (tapi hati-hati pada pencuri, artinya pintu kamar dikunci)
Om Santih, Santih, Santih, Om –sumber