Senin, 11 Juli 2022

Sundarigama

 


BAB. II
PAWUKON
1. Uku Sinta :
Lain dari pada yang itu, ada juga menurut Pawukon, yakni pada Uku Sinta :
a. Coma Ribek :
Coma Pon disebut juga Coma Ribek, hari puja wali Sang Hyang Çri Amrta, tempat bersemayamannya adalah di Lumbung, Pulu, adapun upacara memujanya ialah :
Nyahnyah geti-geti, gringsing, raka pisang mas, disertai denga bunga serba harum.
Pada waktu itu, orang-orang tak diperkenankan menumbuk padi, demikian juga menjual beras, karena kalaupun dilakukan, maka dikutuklah oleh Bhatari Çri, sepatutnya orang memuja Sang Hyang Tri pramana ( bayu, sabda, idep ), serta membatinkan inti sari ajaran Agama ; karenanya pada hari itu, tidak diperkenankan tidur pada siang hari.
b. Sabuh Mas :
Pada Hari Anggara Wage, disebutlah sabuh mas, suatu hari yang disucikan untuk memuja Bhatara Mahadewa, dengan jalan melakukan upacara Agama, terhadap harta benda kakayaan, yaitu :
Manik dan segala manikam ; adapun upakara :
Suci, daksina, peras penyeneng, sesayut yang disebut Amrta sari, canang lenga wangi, burat wangi dan reresik.
Tempat melakukan upacara itu, ialah dibalai piyasan ( dan yang semacam itu). Bagi orang-orang , patutlah melakukan pembersihan diri dan janganlah takabur terhadap kesenangan yang bersifat kebendaan belaka, melainkan ratna mutu manikam yang ada dalam diri pun ( jiwa ), perlu dimuliakan. Demikianlah, setelah selesai menyuguhkan kepada Bhatara-Bhatari bebanten sesayut itu, patutlah diayap untuk diri kita.



c. Pager Wesi :
Pada hari Buda Kliwon ( Sinta ), disebutlah Pager Wesi, saat Sang Hyang Pramesti guru ( Çiwa ) dan diikuti oleh Dewata Nawasanga, yang bertujuan untuk menyelamatkan jiwa segala makhluk hidup yang ditakdirkanNya dialam ini semuanya ; karenanya patutlah para sulinggih memuja cipataan Bhatara Prameswara : Upakara nya, ialah :
Daksina, suci 1, peras panyeneng, sesayut, pancalingga, penek ajuman, serta raka-raka, wangi-wangi, dan perlengkapannya, yang dihaturkan (disuguhkan) di Sanggah kemulan. Adapun bebanten bagi orang-orang ialah :
Sesayut pageh hurip 1, serta prayascita, setelah tengah malam, dilakukan yoga samadi (renungan suci). Dan ada pula sesuguh kepada Panca mahabuta (lima unsur alam) yaitu :
Segehan berwarna, sesuai dengan neptu kelima arah, dan diselenggarakan di natar sanggah, dan disertai dengan segehan agung 1, (sebuah).
2. Tumpek Landep :
Juga pada wara Landep, yaitu hari Caniscara Kliwon, adalah puja wali Bhatara Çiwa, dan hari saat beryoganya Sang Hyang Pasupati Adapun untuk pujawali Bhatara Çiwa, ialah :
Tumpeng putih kuning satu pasang, ikannya ayam sebulu, grih terasi merah, pinang dan sirih, dan banten itu dihaturkan di Sanggah.
Adapun yoganya Sang Hyang Pasupati (Hyang Widhi dalam wujud Raja Alam semesta), ialah :
Sesayut jayeng perang, sesayut kusumayudha, suci, daksina peras, canang wangi-wangi, untuk memuja bertuahnya persenjataan.
Demikian juga menurut ajaran, dalam hubungannya dengan manusia ialah hal itu untuk menjadikan tajamnya pikiran ; karena hal yang demikian patut dilaksanakan dengan puja mantra sakti pasupati.
……………………..
3. Wuku Ukir :
Wuku Ukir, yakni pada Redite Umanis, adalah hari untuk melakukan pujaan kepada Bhatara Guru, adapun upakara bebantennya, ialah :
Pengambean, 1, sedah ingapon 25 ( sirih dikapuri ), kwangen 8 buah, bebanten mana semuanya itu dihaturkan si sanggar kemulan, namun dapat juga ditambahkan dengan pelaksanaan upakara sedemikian rupa menurut kemampuan ; demikianlah patutnya orang, dalam memuja Bhatara Guru, yang dipuja di sanggar kemulan.
4. Kulantir :
Uku Kulantir, yakni pada Anggara Keliwon adalah hari unuk memuja Bhatara mahadewa ; dengan Upakara serba berwarna kuning yakni :
Punjung kuning satu pangkon, ikannya ayam putih siungan di betutu, sedah woh (sirih dan pinag), yang berisi kapur, dan bebanten-bebanten itu dihaturkan disanggar.

5. Uku Wariga :
Uku wariga, yakni hari Saniscara keliwon, disebutlah hari Panguduh, suatu hari untuk memuja kepada Sang Hyang sangkara, sebab beliaulah yang menyebabkan menjadinya segala tumbuh-tumbuhan termasuk kayu-kayuan. Adapun upakaranya ialah :
Peras, tulung, sesayut, tumpeng bubur dan tumpeng Agung dengan ikan babi, atau itik diguling. Baik pula disertai dengan raka-raka, penyeneng, tetebus, dan sesayut cakragni. Adapun bebanten tersebut diatas, ialah mendoakan semoga atas rahmat Hyang Widhi maka segala tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur bersusun-susun dan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia dalam menentramkan hati, serta sejahteranya hubungan lahir bathin.
6. Warigadian :
Pada wuku warigadian, yakni pada hari coma pon, ialah hari untuk penghormatan kepada Bhatara Brahma, dengan mempergunakan bebanten sbb :
Sedah woh selengkapnya, dan menurut kemampuan, banten mana dihaturkan di Paibon, serta menghaturkan bunga harum, sebagai biasanya dilakukan.
7. Sungsang :
Uku Sungsang, yakni pada hari Wraspati wage, disebutlah hari Pararebon. Juga disebut hari Sugihan Jawa. Adapun hari tersebut, ialah untuk melaksanakan prayascita ( pensucian ), para Bhatara-Bhatara semuanya, yang disemayamkan di Prahyangan . Maka pada hari itu, dilakukanlah upacara pensucian Bhatara-Bhatara, kemudian dari pada itu dilanjutkan dengan upacara menghaturkan puspa harum. Lain dari pada itu, bagi orang yang membathinkan inti hakekat samadhi (meditasi), maka seyogyanyalah melaksanakan Yoga (renungan suci), sedangkan bagi para wiku (pedanda, Rsi, Empu, dsb), seyogyanya pula melakukan puja stuti, sebab pada hari itu para Bhatara turun kedunia disertai para Dewa pitara, untuk menikmati upacara pesucian, berlangsung sampai pada hari itu galungan. Oleh karena itu orang-ornag hendaknya melaksanakan upacara agama, dengan natab banten sesayut dan banten tutuan, yakni banten yang bersimbul penarik kebahagiaan lahir bathin, demikian patut dilaksanakan.
8. Dungulan :
a. Uku Dungulan, yakni pada hari Redite paing, disebutkan bahwa Sang Hyang Tiga Wisesa turun kedunia, dalam wujud kala, dan disebut Sang Bhuta Galungan, yang ingin memakan san minum didunia ini, oleh karena itu, orang-orang suci, demikian pula para sujana (bijaksana), hendaknya waspada serta mengekang / membatasi dirinya kemudian memusatkan pikirannya kearah kesucian, agar tiada kemasukan oleh sifat-sifat yang membahayakan dari pengaruh-pengaruh Sang Bhuta Galungan, dan hal yang demikian, disebutlah hari penyekeban.
b. Pada hari coma pon, adalah hari untuk melakukan yoga samadhi, dengan memusatkan pikiran untuk menunggalnya dengan para Bhatara-Bhatara. Itulah sebabnya, mengapa pada hari itu disebut :
Penyajaan oleh dunia ( Hindu ).
c. Pada hari Anggara Wage, disebutlah hari penampahan, Pada hari itulah waktunya Sang Bhuta Galungan memangan. Oleh karena itu, patutlah dilakukan penyelenggaraan hidangan oleh desa Adat, dengan korban caru kepada Bhuta –Bhuta, bertempat diperempatan Desa adat, adapun korban yang diberikan kepada Bhuta-Bhuta, bentuknya bermacam-macam, yakni dari bentuk yang sederhana, sedang, dan besar. Dan yang patut memuja, ialah para Sulinggih , unuk memohonkan kepada Hyang . Yang dimaksud Sulinggih, yakni : Pedanda Cwa Budha, karena beliaulah yang mempunyai wewenang dalam hal ini. (termasuk juga dalam golongan Sulinggih, yakni Pemangku).
Lain dari pada itu, segala senjata perang, patutlah semuanya itu diupacarai, dengan upacara pensucian oleh para Sulinggih. Tambahan pula bagi orang-orang kebanyakan ( Umat Hindu bersangkutan ), upacara-upacara tsb, bermanfaat untuk mendapat pahala kekuatan utama dalam perjuangan hidup yang patut disuguhkan di masing-masing pekarangan rumah ialah :
Segehan warna, 3. ditaburkan menurut neptu, yakni : putih, 5. hitam, 4. bang, 9. ikannya olahan babi, tetabuhan, disertai segehan Agung, 1. Adapun tempat melakukan caru, ialah di natah pekarangan rumah, di sanggah, dan dimuka pekarangan rumah, yang dihayat pada waktu menjalankan caru itu, ialah Sang Bhuta Galungan. Sedang yang patut dihayapkan oleh anggota keluarga, ialah banten pabyakala, prayascita, dan sesayut, untuk mendapat kesuksesan dalam perjuangan hidup, sekala niskala (lahir-batin).
d. Disebut Buda keliwon galungan, keterangannya, ialah, bahwa untuk memusatkan pikiran yang suci bersih, disertai dengan menghaturkan upacara persembahan kepada para Dewa-Dewa, di Sanggar parhyangan, tempat tidur, pekarangan, lumbung, dapur, dimuka karang perumahan, tugu, tumbal, pangulun Setra, pangulun Desa, pangulun sawah, hutan munduk, lautan, sampai pada perlengkapan rumah, semuanya itu diadakan persajian, dengan suguhan yang dilakukan di sanggar parhyangan, menurut besar kecilnya sbb :
Tumpeng payas, wangi-wangi, sesucen (pembersihan ), itulah yang disuguhkan di Sanggar. Adapun banten dibalai-balai, ialah : tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan, sodaan, dan perlengkapannya. Sedangkan ikannya, ilah jejatah babi, serta asap dupa harum. Setelah selesai itu semuanya diupacarakan, maka biarkanlah semalam, banten itu semuanya jejerang, sampai besoknya pagi-pagi.

9. Kuningna :
a. Pada redite wage, disebut pemaridan guru, pada hakekatnya ialah saat kembalinya para Dewata-Dewata semuanya, menuju kahyangan, jelasnya, bahwa para Dewata-Dewata pergi, dengan meninggalkan kesejahteraan panjang umur. Maka upacaranya :
ialah :
Menghaturkan ketipat banjotan, canang raka-raka, wangi-wangi, serta menikmati tirtha pebersihan.
b. Pada coma keliwon, disebutlah Pamacekan Agung. Pada sore harinya, patut melakukan segehan Agung dimuka halaman karang perumahan, dan memakai sambleh ayam semalulung yang disuguhkan kepada sang Bhuta Galungan dan para abdinya agar pergi.
c. Buda paing kuningan ialah hari pemujaan Bhatara Wisnu, maka upacaranya ialah:
Sirih dikapuri, putih, hijau, dan pinang, 26, disertai tumpeng hitam serta runtutannya. Menurut kemampuan, dan dihaturkan kepada Bhatara di paibon, dan disertai pula bunga-bunga harum sebagaimana mestinya.
d. Pada hari saniscara kliwon kuningan, turunlah lagi para Dewata sekalian, serta sang dewa pitara (leluhur) untuk melakukan pensucian, lalu menikmati upacara bebanten, yakni :
Sege dan selanggi, tebog, serta raka-raka selengkapnya, pebersihan, canang wangi-wangi dan runtutannya, dan menggantungkan sawen tamiang dan gegantungan caniga, sampai pada tempat / kandang segala binatang ternak. Janganlah menghaturkan bebanten setelah lewat tengah hari, melainkan seyogyanyalah pada hari masih pagi-pagi, sebab kalau pada tengah hari, Dewa-Dewa telah kembali ke sorga.
Lain dari pada itu, yang patut dipakai mendoakan manusia :
Sesayut prayascita luwih, yaitu segejenar, ikannya itik putih, panyeneng, tetebus, yang gunanya untuk mohon kesucian pikiran, yang suci bersih, dan tidak putus-putusnya melakukan semadhi, juga diletakkan pasegehan di natar, yakni segehan Agung, 1.
Don pepe

Pura Gedong, Pura Tanpa Palinggih di Tengah Goa

 


Pada umumnya sebuah pura memiliki palinggih tempat berstananya Ida Betara, namun tidak demikian dengan pura yang berada di Banjar Pangkung, Desa Pejaten, Kecamatan Kediri, Tabanan yang bernama Pura Gedong. Pura ini tidak memiliki palinggih, dan hanya menggunakan dulang sebagai pengganti palinggih tersebut.

Bagian Pura Gedong seperti pura biasanya, di mana memiliki tiga bagian pura, yakni jaba sisi atau nista mandala, kemudian jaba tengah atau madya mandala, dan utama mandala.

Di utama mandala inilah terdapat lima buah dulang yang diletakan secara berjejer lengkap dengan pajengnya di natar pura. Utama mandala pura tersebut juga terletak di dalam goa yang ada di bawah pohon beringin besar. Akar dari pohon beringin inilah yang menjadi pintu masuk ke dalam goa tersebut. Dari luar pintu masuk ke dalam goa nampak sangat sempit, hanya sekitar satu meter, setiap orang yang masuk harus menunduk, namun ketika sampai di dalam, ternyata ukuran goa lumayan besar, dengan tinggi sekitar tiga meter dan lebar lima meter.

Menurut Jero Mangku Pura Gedong, I Ketut Badra, 58, hingga saat ini belum ada yang tahu pasti sejak kapan Pura Gedong itu dibangun dan siapa yang membangunnya. “Dulu saya pernah tanyakan kepada kakek saja, tetapi beliau pun tidak tahu secara pasti,” ungkapnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Senin (1/5/2017).

Dijelaskannya, dari lima dulang yang difungsikan sebagai palinggih tersebut, masing-masing merupakan tempat berstananya Ida Betara Pura Gedong, Mekel, Ratu Mas Alit, dan dua lainnya merupakan pasimpangan Dukuh Sakti dan Dukuh Sari. “Menurut cerita kakek dan ayah saya dulu, pasimpangan Dukuh Sakti dan Dukuh Sari merupakan sameton (saudara) dari Pura Gedong. Pura Dukuh Sakti ada di Banjar Wanasara, Desa Bongan, Tabanan, sedangkan Pura Dukuh Sari ada di Banjar Kukuh, Desa Pejaten, Kediri, Tabanan,” imbuhnya.

Kemudian di Jaba tengah atau Madya Mandala hanya terdapat dua buah patung macan yang dipercaya menjadi penjaga pura. Sementara di jaba sisi atau nista mandala terdapat Padma, linggih Ida Betara Wisnu, Bale Gong, Puwaregan, serta Gedong Panyimpenan.

Jero Mangku Badra menceritakan, jika sebelum tahun 2013, pura tersebut tidak memiliki panyengker karena konon Ida Betara Pura Gedong yang berstana di Pura Gedong tidak menghendaki pura tersebut dibuatkan panyengker. Karena secara niskala Pura Gedong sudah memiliki panyengker berupa batas wilayah suci dan wilayah kotor. Namun, sejak mengalami bencana angin ngelinus pada 24 Februari 2013 silam, pura ini kemudian direnovasi dan dibuatkan panyengker dengan tujuan menahan tebing agar tidak longsor ketika hujan deras. “Saat itu cabang dari pohon beringin ada yang patah dan menimpa Bale Gong hingga hancur, dan akhirnya kita renovasi dan nunas baos untuk membangun panyengker,” lanjutnya.

Lokasi Pura Gedong terletak di dekat persawahan warga, dari pertigaan Banjar Pangkung, kita hanya perlu menyusuri jalan menuju arah Barat sampai menemui sebuah gang kecil dari beton menuju ke Selatan. Sekitar 700 meter dari jalan hotmix tersebut, kita akan menyusuri jalan turunan sampai menemukan sebuah pura dengan beji yang ada di sisi kanan dan kiri pura. Air nan jernih akan menyambut kedatangan setiap orang yang hendak bersembahyang. Tak sedikit pula warga yang datang untuk sekadar nunas toya di beji tersebut. “Toya beji ini bersumber dari klebutan yang pusatnya ada di jaba sisi Pura Gedong,” terangnya.

Sekitar 100 meter di sebelah Barat pura juga terdapat campuhan yang merupakan pertemuan antara Sungai Tukad Yeh Dati dan Sungai Tukad Yeh Paneng.

(bx/ras/yes/JPR) –sumber

Minggu, 10 Juli 2022

Tradisi Nyadegan untuk Mempererat Persaudaraan

 


BALI EXPRESS, NUSA PENIDA – Tradisi, adat dan budaya yang dimiliki Bali memang tak akan pernah habis untuk ditelusuri. Selalu ada keunikan disetiap sisinya. Seperti halnya tradisi Nyadegan di Desa Pekraman Batununggul, Nusa Penida, Klungkung.

Dari pantauan di lapangan, tradisi tersebut hampir sama dengan Magibung yang ada di Karangasem. Hanya saja ada sedikit perbedaan. Menurut Kelian Banjar Pakraman Batununggul I Dewa Ketut Anom Astika, tradisi Nyadegang ini dilaksanakan menjelang upacara Ida Bhatara Pelawatan Barong dan Randa nyejer selama 4 hari tepatnya pada rahina Purnama Sasih Kewulu.

“Krama dan sekaa teruna tumpah ruah menggelar tradisi ini. Menyiapkan dan menikmati bersama-sama sajian yang dihidangkan dalam tradisi ini,” paparnya Rabu (31/1).

Ditambahkan oleh tokoh masyarakat setempat, I Dewa Ketut Suarya, tradisi Nyadegang sejauh ini memang tidak seterkenal Magibung di Karangasem. Kendatipun tradisi ini memiliki banyak kesamaan, hanya saja yang membuatnya berbeda adalah dari cara menyajikan dan jumlah peserta.


“Kalau di Karangasem umumnya pesertanya berjumlah 8 orang, tempat makanan menggunakan dulang, dan lauk pauk disajikan tahap demi tahap,” lanjutnya.

Ia menambahkan, Nyadegang berarti duduk secara bersama-sama menikmati hidangan yang disajikan sebagai ungkapan terima kasih atas karunia Tuhan yang sudah berikan. Tradisi ini juga bisa digelar saat acara adat Pelebon, Pawiwahan, Ngotonin dan lainya.

“Dan untuk menggiring pemuda agar bangga dengan tradisinya, maka kita melibatkan mereka langsung dalam tradisi tersebut, memberi dia tanggung jawab mengerjakan step by step acara tersebut,” sambung Suarya.

Menurutnya, selain untuk tetap melestarikan tradisi yang ada, kegiatan ini juga dapat memupuk rasa kebersamaan di antara anggota krama dan pemuda karena kegiatan yang bersifat tradisi biasanya membutuhkan orang banyak untuk mengerjakannya.

(bx/ras/yes/JPR) –sumber

"Karma" hanya mungkin dalam tubuh manusia.




  Tubuh lain seperti babi, kambing, kerbau adalah buah karma dari kelahiran sebelumnya. Mereka tidak dapat melakukan karma baik atau buruk dalam tubuh ini, jadi satu-satunya cara mukti mereka adalah dengan mengorbankan mereka dalam kurban suci.

यज्ञार्थं पशवः सृष्टाः स्वयमेव स्वयम्भुवा।⁣
यज्ञोऽस्य भूत्यै सर्वस्य तस्माद् यज्ञे वधोऽवधः॥
Manu Smṛti (5.39).—'Hewan-hewan telah diciptakan oleh Prajāpati (Tuhan) untuk tujuan kurban suci demi kesejahteraan seluruh dunia. Membunuhnya pada upacara kurban bukanlah kegiatan kekerasan sama sekali.'
Manu Smṛti, atau di Nusantara dikenal dengan nama Mānava-Dharmaśāstra adalah kitab Hukum Tertinggi Sanātana-Dharma, seperti yang disebutkan dalam Veda Śruti (Yajurveda, Taittirīya Saṁhitā, 2.2.10.2): मानवी ऋचौ धाय्ये कुर्याद्यद्वै किं च मनुर्वदत्तद्भेषजम्.—'Dia harus mengutip śloka-śloka dari Manu; apa pun yang dikatakan Manu adalah kebenaran.'
• Lalu apa yang diharapkan umat manusia secara niṣkala?
1. Hewan yang dikurbankan akan dibebaskan, naik ke surga & akan terlahir kembali mendapatkan tubuh yang lebih tinggi (tubuh manusia).
ओषध्यः पशवो वृक्षास्तिर्यञ्चः पक्षिणस्तथा ।
यज्ञार्थं निधनं प्राप्ताः प्राप्नुवन्त्युत्सृतीः पुनः ॥ ४० ॥
Manu Smṛti (5.40).—'Tumbuh-tumbuhan dan hewan yang dipakai dalam upacara, akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada kelahirannya yang akan datang.'



2. Praṇā (energi) hewan yang disembelih akan menjadi āhāra (makanan) untuk Bhagavatī Parameśvarī Caṇḍikā Mahāmāyā, yang adalah Śakti Agung atau permaisuri Tuhan.
अर्चिष्यन्ति मनुष्यास्त्वां सर्वकामवरेश्वरीम् । धूपोपहारबलिभि: सर्वकामवरप्रदाम् ॥ १० ॥
Bhāgavata Purāṇa (10.2.10).—'O Durgā, dengan pengorbanan hewan, umat manusia akan menyembah-Mu dengan indah, dengan berbagai perlengkapan, karena Kau adalah yang tertinggi dalam memenuhi keinginan material semua umat.'
3. Darahnya akan dikonsumsi oleh para bhūta.
अध्यापनं ब्रह्मयज्ञः पितृयज्ञस्तु तर्पणम् ।
होमो दैवो बलिर्भौतो नृयज्ञोऽतिथिपूजनम् ॥ ७० ॥
Manu Smṛti (3.70).—'Upacara Bali (caru) adalah persembahan untuk bhūta (elemental).


4. Dagingnya akan menjadi makanan yang layak (yajña-śiṣṭa) untuk umat manusia.
क्रीत्वा स्वयं वाऽप्युत्पाद्य परोपकृतमेव वा ।
देवान् पितॄंश्चार्चयित्वा खादन् मांसं न दुष्यति ॥ ३२ ॥
Manu Smṛti (5.32).—'Setelah membelinya, atau menyembelihnya sendiri, atau di dapatnya karena menerima pemberian dari orang lain,—jika seseorang makan daging setelah atau pada waktu memuja Dewatā dan Pitṛ (leluhur), ia tidak terikat dosa pembunuhan.'
______________________________
Lontar Sundarigama (8c).—'Pada hari Penampahan, Sang Bhūta Galungan mencari makan. Maka sediakan suguhan kurban caru untuk para bhūta. Persembahan kepada bhūtakāla boleh sederhana, sedang atau besar.'

Kamis, 07 Juli 2022

LABUH GENTUH LEMBU IRENG

 

Berawal dari perjalanan Ida Danghyang Dwijendra menuju Uluwatu dalam persiapan moksah. Dalam perjalanan beliau bercengkrama dengan Ida Betara Masceti. Tak terasa sampailah di suatu tegalan di pesisir barat. Di tempat ini beliau beristirahat sambil berbincang berdua. Pembicaraan beliau didengar oleh sosok niskala penjaga tegalan itu yakni I BHUTA IJO. Danghyang Dwijendra kemudian memanggil lalu menitipkan pecanangan (tempat sirih) beliau yang berbentuk peti kepada I Bhuta Ijo, karena Sang Maha Muni akan ke Uluwatu. Untuk menjaga pecanangan tersebut, maka I Bhuta Ijo pun dianugrahkan kesaktian. Danghyang Dwijendra lalu berpisah dengan Betara Masceti. Danghyang Dwijendra menuju Uluwatu, sedangkan Betara Masceti kembali ke alam sunia.

Singkat cerita, Ida Danghyang Dwijendra telah sampai di Uluwatu, sedangkan I Bhuta Ijo setia mengemban amanat menjaga dan mengkramatkan pecanangan. Semenjak itu terjadi keanehan di masyarakat Kerobokan. Siapa saja yang ke tegalan itu selalu mengalami sakit. Para tetua masyarakat Kerobokan mendatangi Ida Danghyang Dwijendra di Uluwatu untuk memohon petunjuk.
Beliau memberitahukan bahwa di sana adalah tempat Beliau bercengkrama dengan Ida Betara Masceti. Tempat itu pula dihuni oleh I Bhuta Ijo yang menjaga pecanangan. Danghyang Dwijendra menyarankan agar dibuatkan pelinggih untuk memuja Betara Masceti. Agar I Bhuta Ijo tak ngrebeda (mengganggu), maka pada Tilem Keulu laksanakan LABUH GENTUH LEMBU IRENG (caru bersaranakan sapi warna hitam). Pada Purnama Kesanga lakukan upacara Nangluk Merana bersaranakan LEMBU BIYANG BELANG KEBANGSAPI (sapi yang sudah pernah beranak serta terdapat tompel / belang di balik kaki belakang atau depan). Pada setiap pujawali, sajikan I Bhuta Ijo berupa segehan dengan ulam jejeron bawi mentah dan segehan agung dilengkapi tetabuhan tuak arak berem.
Atas petunjuk dari Ida Danghyang Dwijendra, maka di bangunlah pura yang diberinama PURA PETI TENGET sebagai tempat memuja kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam prabhawa sebagai Ida Betara Masceti untuk memohon keselamatan dan kemakmuran. (Sumber: Dwijendra Tatwa, dan beberapa sumber lainnya)

Pura Tirta Kamandalu

 


Pura Tirta Kamandalu berada pada kawasan hutan yang masih sangat lestari dan terletak pada pinggiran jurang dengan jarak tempuh 600 m dari Pura Pasar Agung (jalur tengah) Banjar Dinas Batugunung, Desa Bukit, Kec. Karangasem, Kab. Karangasem. Dalam areal pura ini keberadaan pelinggih terpisah dengan keberadaan mata air yang dijadikan tirta. Letak mata air berada sekitar 50 meter sebelah barat areal pura . Tuhan yang distanakan dalam pura ini adalahsebagai berikut.
(!). Sanggar Agung sebagai stana penghayatan pada Bhatara yang berstana di Pura Luhur Lempuyang.
(2). Padma Sari sebagai Stana Ida Ayu Mas Manik Maketel
(3). Pelinggih Pengapit Lawang Kiwa sebagai stana Bhatara Hyang Kala
(4). Pelinggih pengapit lawang tengen sebagai stana Bhatara Nandhi Swara.
(5) Pelinggih padma capah linggih tirta

Di sisi samping pura ini tumbuh pohon cempaka emping, bunganya kecil-kecil berwarna putih, pohonnya besar dan umurnya sudah lebih dari satu abad, sayang pohon cempaka yang dimaksud sat ini sudah tidak ada, karena sudah mati dimakan usia. Konon tirtha Kamandhalu adalah ciptaan Bhatara Brahma yang mempunyai khasiat untuk membangkitkan tenaga kreatif dan dapat pula menciptakan hal-hal gaib, hal-hal yang belum nyata , bisa terwujud menjadi nyata. Hal ini tentunya tidak semata-mata karena mukjizat tirthanya saja, yang paling utama adalah menyelaraskan antara kesusian buana alit dan buana agung. Ibaratkan sumber air dan selangnya, kalau sumber air adalah ciptaan Tuhan dan selangnya adalah manusia itu sendiri. Sejernih apapun sumber airnya tetapi kalau selangnya kotor akan mengakibatkan air yang mengalir keluar pasti kotor. Kemurnian sejati hati dan prilaku manusia dapat ditingkatkan terus. Dengan cara menerapkan konsep prilaku Trikaya Parisudha, agar yang dipikirkan yang dikatakan dan yang dilaksanakan selalu hal-hal yang baik, akan dapat membuahkan kebajikan dan keharmonisan pikiran. Tidak ada lagi pertentangan antara pikiran dengan suara hati, karena suara hati sesungguhnya merupakan sinyal-sinyal kebajikan yang ada dalam diri setiap manusia.Tirtha Kamandhalu disebut Teja-mretha dalam lontar Sulayang Geni.


Sumber :
1. Image : https://www.google.com/maps & Google Earth Pro 2021
2. Unknown.2010. http://pendakianspiritual...
3. Santa Adnyana, I Wayan. 2007. Pura Lempuyang Suatu Analisis Pendidikan Religius Filosofis , Tesis Program Studi Magister (S2) Fakultas Dharma Acarya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.

Mendekatkan Diri Dengan KANDAPAT

 


Kanda Pat adalah Empat Teman: Kanda = teman, Pat = empat, yaitu kekuatan-kekuatan Hyang Widhi yang selalu menyertai roh (Atman) manusia sejak embrio sampai meninggal dunia mencapai Nirwana. Menurut Kitab Suci Lontar Tutur Panus Karma, nama-nama Kanda Pat berubah-ubah menurut keadaan/ usia manusia:

Usia Manusia Kanda 1 Kanda 2 Kanda 3 Kanda 4
Kandapat Rare:
Embrio Karen Bra Angdian Lembana
Kandungan 20 hari Anta Prata Kala Dengen
Kandungan 40 minggu Ari-ari Lamas Getih Yeh-nyom
Lahir, tali pusar putus Mekair Salabir Mokair Selair
Kandapat Bhuta:
Bayi bisa bersuara Anggapati Prajapati Banaspati Banaspatiraja
Kandapat Sari:
14 tahun Sidasakti Sidarasa Maskuina Ajiputrapetak
Bercucu Podgala Kroda Sari Yasren
Kandapat Atma:
Meninggal dunia Suratman Jogormanik Mahakala Dorakala
Kandapat Dewa:
Manunggal (Moksa) Siwa Sadasiwa Paramasiwa Suniasiwa

Bentuk-bentuk kandapat yang dapat dilihat dan diraba secara nyata adalah ari-ari, lamas, getih, dan yeh-nyom. Setelah mereka dikuburkan (segera setelah bayi lahir) maka perubahan selanjutnya adalah abstrak (tak berwujud) namun dapat dirasakan oleh manusia yang kekuatan bathinnya terpelihara.



Bagan di atas dapat juga dibaca terbalik dengan pengertian sebagai berikut:

Hyang Widhi mewujudkan diri menjadi empat manifestasi, kemudian keempatnya itu, yaitu:
1. Hyang Siwa selanjutnya mewujudkan dirinya menjadi ari-ari
2. Hyang Sadasiwa mewujudkan diri sebagai lamas
3. Hyang Paramasiwa mewujudkan diri menjadi getih, dan
4. Hyang Suniasiwa mewujudkan diri menjadi Yeh-nyom.

Keempat teman yang abstrak ini menyertai terus sampai manusia mati dan rohnya menghadap ke Hyang Widhi. Mereka juga menjaga dan melindungi roh, serta mencatat sejauh mana atman (roh) terpengaruh oleh indria keduniawian. Semua pengalaman hidup di record oleh Sang Suratman yang dahulu berbentuk ari-ari. Inilah catatan subha dan asubha karma yang menjadi penilaian dan pertimbangan kesucian roh untuk menentukan tercapainya moksa (bersatunya atman-brahman) ataukah samsara (menjelma kembali). Kandapat ada dalam diri/ tubuh manusia, namun ketika tidur, kandapat keluar dari tubuh. Maka mereka perlu dibuatkan pelinggih berupa “pelangkiran” di kamar tidur, tempat bersemayamnya kanda pat ketika kita tidur pulas.


Kandapat namanya selalu berubah sesuai dengan pertumbuhan manusia, karena pengaruh Panca Indria kepada Roh/ Atma juga berubah-ubah. Jadi nama yang berubah untuk memberi batasan pada masing-masing tingkat kekuatan pengaruh panca indria sejalan dengan pertumbuhan manusia. Panca Indria dapat menyebabkan keterikatan atman oleh karena itu atman perlu dilindungi. Yang bisa membantu manusia melindungi dirinya dari godaan panca indria adalah Kandapat.

Jika jalinan/ hubungan manusia dengan Kandapat terhambat atau bahkan tidak ada hubungan sama sekali (“tusing pati rungu”) maka perlindungan Kandapat-pun berkurang atau tidak ada. Seperti lagunya Bimbo saja: …”Engkau dekat, Aku dekat, engkau jauh, Aku jauh”… begitu kira-kira logikanya. Orang-orang kebathinan biasanya mulai dengan menguatkan Kandapatnya ini dengan cara selalu ingat dan membagi suka/ duka dengannya. Jika sudah dekat, Kandapat bisa jadi guru dan penuntun karena pada hakekatnya Kandapat itu juga Manifestasi Hyang Widhi.

Kandapat adalah manifestasi Brahman (Hyang Widhi) yang Esa; jadi ia akan selalu ada dan selalu sama pada penjelmaan-penjelmaan manusia berikutnya.

Beberapa cara mendekatkan diri (roh dalam diri) dengan Kandapat :

1. Membuat pelangkiran dari kayu di atas tempat tidur, sebagai stana Kandapat, sedangkan Kandapat diwujudkan dalam bentuk daksina lingga, yakni sebuah daksina yang dibungkus dengan kain putih/kuning. Kemudian dihaturi banten tegteg-daksina-peras-ajuman (pejati) dan setiap bulan purnama dibaharui/diganti, daksina lingganya tidak perlu diganti (biarkan selamanya di situ)

2. Setiap hari dihaturi banten saiban/jotan

3. Setiap mau meninggalkan rumah pamit ke Kandapat dan pulangnya membawa oleh-oleh makanan/kuwe, dll. sekedarnya saja, tanda ingat.

4. Setiap mau tidur sembahyang, seraya memohon Kandapat menjaga kita selama tidur.

5. Permohonan lain dapat juga diajukan di Kandapat itu.

6. Kalau gajian/mendapat hasil uang, dihaturkan dahulu di situ, biarkan semalam, keesokan harinya baru ‘dilungsur’ (tapi hati-hati pada pencuri, artinya pintu kamar dikunci)

Om Santih, Santih, Santih, Om –sumber