Sabtu, 12 November 2022
Anggar Kasih Tambir dan Kajeng Kliwon
Kamis, 10 November 2022
Pengertian, Makna Dan Tujuan Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan
Pura Aditya Jaya Rawamangun: (foto; Mutiarahindu.com)
Pengertian Hari Raya Suci Galungan
Secara etimologi Galungan artinya “Peperangan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Daring), Galungan adalah hari raya umat Hindu Dharma setiap 210 hari sekali, jatuh pada hari Rabu Kliwon, dua kali dalam satu Tahun (KBBI Daring. 2018. Diakses 26 April, jam 22:11). Kemudian dalam Website PHDI.or.id, Galungan adalah hari raya besar bagi umat Hindu yang diperingati setiap 210 hari. Peringatan hari raya galungan menggunakan perhitungan Pawukon yang jatuh pada Rabu Pancawara Kliwon, Wuku Dungulan.
CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
Dikatakan juga bahwa “Galungan” dalam bahasa Jawa Kuno berarti “Menang / Bertarung”. Galungan juga sama penjelasannya dengan Dungulan yaitu Menang. Untuk itu wuku kesebelas di Jawa disebut Wuku Galunga dan di Bali disebut Wuku Dungulan.
Runtutan Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan
Galungan sudah diperingati sejak abad ke-XI, hal ini di dasarkan atas kidung panji Malat Rasmi dan Pararaton kerajaan Majapahit (Tim Penyusun, 1995:137). Kemudian di dalam Lontar Purana Bali Dvipa disebutkan bahwa Galungan pertama kali dirayakan pada hari rabu Kliwon, wuku dungulan sasih kapat tanggal 15 (purnama Tahun 804 saka, saat itu pulau bali bagaikan Indra Loka, (Punang Aci Galungan Ika Ngawit Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur Tanggal 25, isaka 804, bangun indra bhuwana ikang bali rajya). Pada saat itulah hari raya galungan terus dilaksanakan. Perayaan hari raya galungan memiliki Sembilan tahapan, adapun ke-9 runtutan tersebut yakni sebagai berikut:
Tumpek Warige
Hari Sugihan Jawa
Hari Raya Sugihan Bali
Hari Raya Penyekeban
Hari Penyajaan Galungan
Hari Penampahan Galungan
Hari Raya Galungan
Hari Pemaridan Guru, Ulihan dan Pemacekan Agung
Rabu Kliwon Pahang atau Upacara Akhir Galungan
GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI
Dari ke Sembilan (9) rangkaian Hari Raya Suci Galungan diatas mengandung makna yang luhur dalam upaya meningkatkan pembinaan mental spiritual umat Hindu guna terwujudnya umat yang tangguh dan tahan uji serta penuh tanggung jawab dalam menunaikan dharama agama dan dharma negara (Susila. Dkk. 2009:238).
Makna Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan
Secara umum makna pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan adalah kemenangan dharama melawan adharma. Kemenanga dharma dapat berarti telah terlaksananya kewajiban dan pekerjaan-pekerjaan yang baik dalam upaya turut mensukseskann pembangunan Nasional (Susila. Dkk. 2009:236). Kemudian dalam lontar Sundarigama dijelaskan bahwa Hari Raya Suci Galungan umumnya dikaitkan kemenangan dharma (Kebaikan) melawan adharma (Ketidak Baikan), pandangan ini di kemungkinan didasarkan pada sarana upakara yang dipakai persembahan, terutama pada saat hari Panampahan, yakni adanya anjuran merapalkan japa mantra kekebalan (pragolan) dan mengenakan busana perang (saha bhusana ning paperangan) agar berhasil dalam peperangan (phalanya jaya prakoseng perang).
Ada kemungkinan peperangan yang dimaksud itu adalah peperangan kita melawan musuh-musuh di dalam diri kita, yang lasim disebut Sad Ripu yaitu enam musuh yang ada dalam diri manusia yakni Kama, Kroda, lobha, moha, mada dan matsarya sebagi wujud adharma. Dijelaskan juga bahwa:
“Galungan ngaran pabantenan, patitis ikang jnana galang apadang, muryakna sarwa byapara ning idep”
Artinya:
GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI
“Galungan adalah persembahan sesajen, pemusatan bathin menuju titik pusat yang terang benderang, melenyapkan segala kegalauan pikiran atau batin”
Dengan demikian, Makna pelaksanaan hari Raya Suci Galungan adalah melawan dan melenyapkan segala bentuk nafsu, kemarahan, kerakusan, kebingungan, kemabukan, irihari atau pun segala titah atau hendak (sakatuduh), cita-cita (saha citta), dan tindakan (saparikrama) dengan mengarahkan batin pada kebenaran tertinggi atau dharma (Suarka. 2014: 67-68).
Makna lain dari pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan adalah untuk mawas diri, kita harus terus merenungkan siapa diri kita sebenarnya karena rwa Bhineda akan selalu ada di dalam diri kita. Manusia akan selalu dilingkupi oleh sifat Deva ya, Manusa ya dan Bhuta ya. Untuk itu jiwa setiap manusia perlu di seimbangkan guna mencapai kehidupan anandam dan santi. Pada intinya, perayaan galungan merupakan bentuk keteguhan manusia untuk terus menegakkan kebenaran (dharma) dalam diri maupun di luar diri manusia.
Tujuan Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan
Ada pun tujuan dari pelaksanaan Hari Suci Galungan adalah mengucapkan rasa syukur karena kita telah mampu melewati rangkain pelaksanaan hari raya galungan dan terbebas dari godaan Sanghyang Kala Tiga. Selain itu, perayaan hari raya galungan juga bertujuan untuk memuja para dewa dan leluhur, karena diyakini bahwa pada saat Galungan para Dewa dan Roh Leluhur turun ke dunia Beryoga di berbagai tempat, seperti sanggar, Pura, di halaman rumah, di lumbung, di dapur, di jalan masuk rumah, tugu, penghulu kuburan, penghulu desa, penghulu sawah, di hutan, di gunung, di laut dan lain sebagainya. Pada saat ini umat Hindu akan melakukan persembahyangan dan membuat sesajen persembahan (Suarka. 2014: 67).
Perayaan Hari Raya Galungan juga bertujuan menghanturkan rasa syukur dan terimah kasih kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa atas segala karunia-Nya kepada Umat. Baik itu berupa kehidupan, tempat tinggal, alam semesta, kebahagian dan lain sebagainya. Pada saat galungan juga sangat baik untuk memohon sesuatu terhadap para dewa dan leluhur serta mendoakan keluarga, saling mengunjungi satu sama lain, saling maaf memaafkan.
Kesimpulan
Inti dari pelaksanaan hari Raya Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani (dharma) agar terbebas dari pikiran tidak baik (adharma). Untuk itu pada saat galungan kita perlu mengarahkan pikiran ke hal-hal positif. Menjaga toleransi, dan mengendalikan enam musuh dalam diri manusia (Sad Ripu).
Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/04/pengertian-makna-dan-tujuan-pelaksanaan.html
Ngurah Nala, I Gusti. Sudharta, Tjokorda Rai. 2009. Sanatana Hindu Dharma Ida Pedanda Gde Nyoman Jelantik Oka. Denpasar: Widya Dharma.
Tim Penyusun. 1995. Buku Pedoman Dosen Agama Hindu. Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha.
Suarka, I Nyoman. 2014. Sundarigama. Denpasar: ESBE
Susila, I Nyoman. Dkk. 2009. Materi Pokok Acara Agama Hindu. Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu
GAYAH simbolik penciptaan semesta dan perlindungan dari energy Bhuta
Rabu, 09 November 2022
Lontar BHUWANA KOSA
Macam-Macam Jenis Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Foto: Mutiarahindu.com
Jenis-Jenis Air Suci Tirta
Dilihat dari cara memperolehnya, tirta dapat dibedakan menjadi dua macam. Ada pun kedua macam tirta tersebut adalah sebagai berikut:
Tirta atau air suci yang dibuat sendiri oleh Pandita atau Sulinggih
Tirta atau air suci yang diperoleh melalui memohon oleh pemangku/ dalang/ balian atau Sang Yajmana.
CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
Jika kita perhatikan dalam kaitanya dengan Panca Yajna, maka jenis-jenis tirta dapat dibedakan menjadi enam macam yaitu:
Tirta pembersihan yaitu air suci yang digunakan untuk mensucikan atau membersikan sarana (bebanten) upakara dan diri manusia sebelum melakukan persembahyangan. Pada umumnya di pura-pura tirtah pembersihan diletakkan di depan pintu masuk atau di dekat tempat dupa dan sentang.
Tirta pengelukatan yaitu air suci yang fungsinya digunakan pada penglukatan atau pensucian alat upacara, bangunan atau diri manusia. Selain itu tirtha ini, biasanya dipergunakan untuk mensucikan canang dan banten dengan cara percikan tiga kali. Tirta ini pada umumnya di dapat dari para pandita dan telah di pasupati.
Tirta Wangsuhpada juga disebut dengan banyun cokor atau kekuluh yaitu jenis tirta yang digunakan pada akhir persembahyangan. Tirta ini sebagai simbol sembah dan bhakti kita kepada Tuhan agar diberikan anugra berupa air suci kebahagian.
Tirta Pemanah yaitu yaitu jenis tirta yang digunakan pada saat memandikan jenazah. Tirta ini diperoleh dari air suci pada saat upakara Ngening.
Tirta Penembak yaitu jenis tirta air suci yang digunakan saat memandikan jenazah yang maknanya mensucikan badan jenazah secara lahir dan batin.
Tirta Pengentas yaitu tirta yang fungsinya untuk memutuskan hubungan roh orang yang meninggal dengan badannya agar cepat melupakan keduniawian. Tirta ini merupakan penentu utama berhasilnya suatu upacara ngaben. Tirta Pengentas pada umumnya dibuat oleh sulinggih.
Kalau dilihat dari penggunaannya pada persembahyangan agama Hindu sehari-hari, tirta dapat dibedakan menjadi tiga jenis diantanya:
Tirtha Kundalini yaitu tirta yang dipercikan ke badan sebanyak tiga kali ketika persembahyangan.
Tirtha Kamandalu yaitu tirta yang diminum.
Tirtha Pawitra Jati yaitu tirta yang diraup ke muka atau kepala sebanyak tiga kali.
Kemudian dalam pustaka Purwa Bhumi, ada disebutkan lima jenis Tirtha yang terdapat di lima gunung atau Panca Giri, sebagai berikut:
Tirtha Sveta Kamandalu di Gunung Indrakila, dijaga oleh Indra dan Sang Hyang Iswara atau Sadyijata
Tirtha Ganga Hutasena di Gunung Gandharnadana, dijaga oleh Barna Dewa
Tirtha Ganga Sudha-Mala di Gunung di Gunung Pgat atau Udaya, dijaga oleh Tatpurusa
Tirtha Ganga Amrta-Sanjivani di Gunung Rsymukka di jaga oleh Aghora
Tirtha Ganga Amrta-Jiva di Gunung Kailasa dijaga bersama Ardhanareswari.
Panca Tirtha tirta diatas dapat diperoleh di lereng Panca Giri. Ada pun fungsinya adalah digunakan untuk menyucikan Bhuta dan Kala, terutama pada hari Raya Nyepi, dan juga dilakukan menjelang upacara-upacara penting lainya dalam rangkaian pelaksanaan Yajna umat Hindu.
Reff: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/macam-macam-jenis-air-suci-tirta-dalam.html
Tim Penyusun dan Peneliti Naskah. _.Weda Kuning 100-101.
Susila, I Nyoman, dkk. 2009. Materi Acara Agama Hindu. Jakarta: Depag RI Dirjen Bimas Hindu
RELATED:
Jenis-Jenis Uang Kepeng dan Fungsinya
Pengertian dan Makna Matur Piuning
Makna dan Fungsi Bunga Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Tradisi Ngerebeg, Hindari Gangguan Wong Samar
Tradisi ngerebeg, diselenggarakan sehari sebelum piodalan di Pura Duur Bingin, Desa Tegallalang. Tradisi itu dilaksanakan oleh anak-anak, sampai sekaa teruna. Sebagai pertanda rencangan (penjaga) yang ada di sana sangat senang dengan anak-anak.
Hal itu diungkapkan oleh Bendesa Parakaman Tegallalang, I Made Jaya Kesuma saat pelaksanaan ngrebeg, Rabu kemarin (6/12). Menurutnya, jika anak yang berkeinginan ngayah harus diizinkan. Jika tidak, maka akan menjadikan sebuah mala petaka.
Tradisi itu bersamaan dengan rentetan pujawali di Pura Duur Bingin. Jaya Kesuma mengatakan pengamong pujawali dilakukan secara bergilir. Tetapi dalam tradisi ngerebeg tersebut, bisa seluruh warga desa. Bahkan luar desa juga diperbolehkan.
“Pelaksanaan piodalan di sini diselenggarakan secara berputar. Ketika satu banjar melaksanakan piodalan di Pura Dalem Kangin, maka piodalan di Pura Duur Bingin banjar tersebut juga yang ngamong,” terang Kesuma ketika diwawancarai Rabu kemarin (7/12).
Dalam kesempatan itu, dirinya juga menjelaskan bahwa di Desa Pakraman Tegallalang sendiri memiliki dua pura dalem. Terdapat Pura Dalem Kangin, dan Pura Dalem Kauh. Maka dalam prosesi pelaksanaan di Pura Duur Bingin diamong secara bergantian. Meskipun secara bergantian, Kesuma menerangkan yang ikut ngerebeg tidak pernah dengan pengayah yang sedikit.
Diakarenakan setiap pelaksanaan ngerebeg, ia mengatakan bahwa harus dijalankan dengan keinginan sendiri. Terlebih memang dari keinginan anak-anak yang mau ngayah.
“Sebab dulu pernah ada yang melarang untuk ikut ngerebeg, karena dianggap masih kecil. Sehingga beberapa hari setelah piodalan di sini, orang tersebut masuk ke dalam jerami yang dibakar. Karena tempatnya yang seperti lubang di areal persawahan. Bahkan mengakibatkan kulitnya melepuh mengalami luka bakar,” papar pensiunan guru tersebut.
Maka sampai saat ini, Jaya Kesuma mengakui tidak ada yang berani lagi untuk menghalangi kemauan anaknya untuk ngayah ngerebeg.
Sebelum pelaksanaan negerebeg dimulai, prosesi pecaruan dilakukan terlebih dulu. Yang ia katakan sebagai pembersih secara niskala di areal pura. Setelah itu baru sasuhunan yang ada di sana dilinggihkan pada gedong. Bahkan pujawali di sana nyejer salama tiga hari.
Setelah pecaruan selesai, dilanjutkan untuk nunas pica alit. Yang berisi nasi dan lawar saja, di mana dibungkus menggunakan daun pisang. Kesuma juga menerangkan, selesai nunas pica alit ada yang disebut dengan nunas pica ageng. Yang berisi adonan lawar saja, namun dengan porsi yang lebih banyak. Alasnya digunakan sebauh klakat (bambu yang dirangkai) dan daun pisang. Baru saat itu dilakukan magibung dengan serentak pada penataran pura.
Selesai magibung, Jaya Kesuma juga menjelaskan ada pelaksanaan malukat terlebih dahulu. Sambil mempersiapkan pelaksanaan tradisi ngerebeg tersebut. Yang ia katakan berawal dari jaba pura, menuju ujung desa pakraman Tegallalang. Melewati Obyek Wisata Ceking, kemudian ke barat menuju Pura Dalem Kauh. Di sana akan melewati sebuah persawahan, yang akan sampai Pura Duur Bingin kembali.
Disinggung Sasuhunan yang malinggih di sana, Jaya Kesuma mengaku hanya terdapat tiga Sasuhunan saja. Yang pertama ada Sasuhunan berupa rangda, dan Sasuhunan berupa barong landung lanang – istri. Bahkan ia juga mengaku, kalau pecaruan yang diselenggarakan saat ini menggunakan seekor anak sapi (godel). Di mana yang dilaksanakan setiap tiga tahun sekali.
“Pecaruan yang menggunakan sarana anak sapi ini, bertujuan untuk menyelenggarakan sebuah taur. Yaitu suatu upakara terkait status Gunung Agung saat ini. Semoga dari pecaruan yang diselenggarakan di sini, sebagai salah satu langkah untuk membuat situasi tetap kondusip. Agar bencana ini tidak sampai memakan korban satu pun,” tandas Jaya Kesuma.
Ditemui di jaba pura, salah satu pemangku, Jero Mangku I Made Muda menerangkan rentetan upakara yang akan berlangsung. Setelah ngerebeg dilaksanakan, maka ada yang disebut dengan malasti. Yaitu Sasuhunan lunga ke beji yang ada di wilayah desa setempat. Sedangkan keesokan harinya, dilaksanakan prosesi pujawali di Pura Duur Bingin. Yang bertepatan pada Umanis Buda Kliwon Pegat Uwakan.
“Saat piodalan berlangsung, dilakukan upacara ngingsah dan nyangling. Yang merupakan suatu prosesi menggunakan sebuah beras untuk dibersihkan. Pertanda bahwa pujawali akan segera dilaksanakan,” terang pria 40 tahun tersebut.
Ditanya apa saja yang dibawa saat ngerebeg, Jero Mangku Muda menjelaskan hanya membuat hiasan pada diri nampak seperti wong samar. Dan membawa sebuah penjor dari pohon enau dihiasi juga dengan bunga dan janur. Penjor tersebut ia terangkan sebagai senjata rencangan tersebut ketika malancaran (bepergian). Dan itu diselenggarakan agar rencangan di sana tidak ngera bedha (mengganggu) masyarakat.
Salah satu peserta yang ikut ngerebeg, I Gede Pasek Manik Pradana mengaku sudah ikut tradisi itu sejak dirinya TK. Bahkan setiap enam bulan sekali ia selalu mengikuti tradisi tersebut. Pasek juga mengatakan, makna dari nunas pica alit itu merupakan persembahan kepada anak-anak yang ikut ngerebeg. Dikarenakan wong samar sangat menyukai sosok anak-anak.
“Maka saat anak-anak sudah berkumpul di pura, terlebih itu akan mengikuti ngerebeg. Semua pasti akan merasakan sebuah kegembiraan. Saat macaru juga sambil bersorak-sorak menunjukkan kebahagiaan,” urai pemuda 25 tahun tersebut.
Selesai melakukan teradisi ngerebeg, Pasek juga mengaku akan kembali ke pura untuk melakukan persembahyangan lagi. Sebab selama ikut ngerebeg dianggap masih sebagai tapakan wong samar. Sehingga ke pura lagi untuk mengembalikan tapakan tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan membersihkan diri ke sungai, yaitu di beji Pura Taman desa setempat.
Ditanya dengan pewarna yang digunakan pada tubuhnya, Pasek mengaku menggunakan cat air yang sangat gampang dibersihkan dengan air. Bahkan Pasek juga mengaku tidak merasakan gatal pada kulitnya. Sebab sudah terbiasa menggunakan cat tersebut, terlebih yang ia gunakan pada tubuhnya setiap ngerebeg berlangsung.
Jika penasaran dengan berlangsung dengan tradisi tersebut, bisa datang langsung ke Desa Tegallalang, Gianyar. Yang ditempuh dari Kota Denpasar memerlukan waktu sekitar 45 menit saja. Menuju arah Pasar Sukawati ke utara, maka akan sampai di Patung Arjuna Ubud. Dari sana hanya lurus ke utara lagi tiga kilometer, maka akan sampai di Desa Tegallalang.
Sampai di sana, hanya belok kiri di utara Balai Banjar Penusuan, Tegallalang. Maka akan sampai di Jaba Pura Duur Bingin Desa Adat Tegallalang. Sedangkan tradisi tersebut berlangsung pada pukul 12.00 sampai sore hari. Kalau memang berminat, siapa saja boleh ngayah berhias seram tersebut.
(bx/ade/bay/yes/JPR) –sumber