Minggu, 12 Maret 2023

Makna, Tujuan dan Cara Penggunaan Benang Tri Datu

 



Agama Hindu di Bali memiliki banyak simbul dalam menjalankan agamanya. misalnya ada ritual yang membuat orang Hindu Bali menggunakan gelang benang Tri Datu. Namun benang merah, hitam dan putih ini bak menjadi trend fashion. Karena tak hanya orang Bali, atau orang hindu. Namun non hindu juga “nyaman” menggunakan gelang Tri Datu.

Menurut pandangan Ketua PHDI Provinsi Bali, Prof I Gusti Ngurah Sudiana, bagi umat Hindu Bali, benang Tri Datu atau juga sering disebut Sri Datu, secara etimologi, berasal dari dua kata yakni kata tri yang berarti tiga, dan datu yang berarti kekuatan, jadi Tri Datu berarti tiga kekuatan. Tiga kekuatan ddi sini adalah kekuatan dari tiga Dewa utama dalam agama Hindu. “Yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa,” jelasnya.

Tri Datu yang memiliki tiga wrna yakni merah, putih dan hitam ini menjadi lambang tiga kekuatan. Yakni Dewa Brahma dengan aksara suci Ang, memiliki urip 9 dengan sakti Dewi Saraswati, disimbolkan dengan warna merah. Dewa Wisnu dengan aksara suci Ung, memiliki urip 4 dengan sakti Dewi Sri, dengan simbol warna hitam.



Dan Dewa Siwa dengan aksara suci Mang, memiliki urip 8 dengan sakti Dewi Durga, disimbolkan dengan warna putih. “Ketiga aksara ini yaitu Ang, Ung, Mang bila disatukan akan menjadi aksara AUM yang bila diucapkan menjadi OM. Aksara pranawa OM merupakan aksara suci umat Hindu serta memiliki nilai magis yang luar biasa sebagai simbol dari Ida Sanghyang Widi Wasa,” lanjut dosen IHDN ini.

Sehingga pada hakikatnya, dikatakan Sudiana, benang Tri Datu merupakan salah satu aktualisasi diri dalam konteks Tri Murti. Dalam ajaran agama Hindu Tri Murti adalah tiga kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa dalam menciptakan, memelihara, dan mengembalikan pada asalnya alam beserta isinya.

Salah satu sastra yang membahas tentang penggunaan benang Tri Datu dalam ritual keagamaan Hindu adalah Lontar Agastya Parwa. Dimana dalam lontar Agastya Parwa disebutkan Sudiana, benang Tri Datu untuk manusia yakni Umat Hindu Bali digunakan sebagai sarana perlindungan dari kekuatan negatif. Sehingga manusia bisa terhindar dari hal-hal negatif dan bisa berfikir lebih bijaksana.



Dijelaskan Sudiana untuk jalinan benang ini bisa dikatakan benar bila ukuran benangnya, besar benangnya sama dijalin saling ikat bukan terlepas begitu saja, atau bukan dijalin seperti jalinan rambut. “Benang Tri Datu bagi masyarakat Hindu juga difungsikan sebagai sarana dan prasarana upacara keagamaan,” tambahnya.

Jika dilihat dilihat dari sejarah penggunaan benang Tri Datu, sebelum menjadi tren seperti saat ini, dikatakan Sudiana, hampir semua kegiatan keagamaan yang terangkum dalam Panca Maha Yajna dalam pelaksanaannya memakai benang Tri Datu. Mulai dari upacara Dewa Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai sarana nuntun Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya.

Selain itu, benang sebagai alat atau media penghubung antara pemuja dan yang dipuja, sehingga benang Tri Datu pada awalnya adalah sebuah pica (Anugrah) dari beberapa pura seperti Pura dalem Ped yang berlokasi di Nusa Penida. “Bisa dikatakan Pura Dalem Ped inilah yang pertama kali menganugrahkan gelang Tri datu kepada pemedek yang tangkil ke Pura, selanjutnya seiring dengan perkembangan, akhirnya hampir seluruh Pura di Bali saat ini menganugrahkan benang Tri datu kepada umatnya,” urainya.

Dalam upacara Butha Yajna, benang Tri Datu dipakai pamogpog (pelengkap) atas kekurangan persembahan yang dilaksanakan. Untuk pelaksanaan upacara Rsi Yajna juga memakai benang Tri Datu yang digunakan sebagai slempang pada tubuh yang di diksa atau winten sebagai pawitra dari nabe kepada sisya.

Sedangkan pada upacara Manusa Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai lambang panugrahan. Memakai benang pawitra berwarna Tri Datu bermakna pengikatan diri terhadap norma-norma agama. “Sedangkan pada upacara Pitra Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai panuntun atma yang telah meninggal,” paparnya.

Lantas bagaimana dengan benang Sanga Datu dan benang Panca Datu yang bisa didapat di Pura watu Klotok untuk Panca Datu dan Pura Besakih untuk Sanga Datu?

Hingga saat ini Sudiana mengaku jika belum ada literature yang menjabarkan tentang penggunaan Sanga Datu dan Benang Panca datu untuk digunakan sebagai gelang atau kalung oleh umat. “Untuk Sanga Datu dan panca Datu ini, belum ada literature yang menyebutkan tentang penggunaan kedua benang ini untuk gelang bagi manusia,” tambahnya.

Dengan latarbelakang ini, Prof Sudiana mengatakan tidak ada masalah jika umat non hindu menggunakan gelang benang Tri Datu tidak salah. “Selain itu memang tidak ada larangan bagi umat non Hindu untuk menggunakan benang Tri datu ini, sepanjang penggunaannya pada tempat yang tepat,” jelasnya.

Adapun masud tempat yang tepat ini seperti digunakan untuk gelang tangan dan kalung dan bukan gelang kaki. Karena jika digunakan di kaki tanpa adanya tujuan dan ritual yang jelas, maka penggunaan tersebut bisa dianggap sebagai pelecehan, karena mengunakan simbul Tri Murti bukan pada tempatnya. “Posisinya tepat, sehingga tidak menjadi pelecahan terhadap simbol Hindu. Tidak masalah jika digunakan umat lain,” urainya.

(bx/gek/bay/yes/JPR) –sumber


Sabtu, 11 Maret 2023

Tri Rna

 



Dalam melaksanakan Yadnya ada tiga kewajiban utama yang harus dilunasi manusia atas keberadaannya di dunia ini yang disebut Tri Rna (tiga hutang hidup). Tri Rna ini dibayar dengan pelaksanaan Panca Yadnya. Perlu diingat bahwa Yadnya tidak semata-mata dilaksanakan dengan upakara/ritual. 

Dalam Artikel Mutiarahindu.com dijelaskan bahwa Tri Rna berasal dari bahasa sansekerta dari kata Tri dan Rna, Tri artinya tiga, dan Rna artinya hutang atau kewajiban. Jadi Tri Rna artinya tiga hutang atau kewajiban yang dimiliki manusia yang dibawa sejak lahir. Hutang atau kewajiban manusia meliputi hutang jiwa kepada Sang Hyang Widhi, hutang hidup pada orang tua, dan hutang pengetahuan kepada para guru dan orang suci. Ajaran Tri Rna mengajarkan kita untuk mengetahui hak dan kewajiban kita dalam kehidupan, sehingga menuntun kita untuk menyadari bahwa hidup kita ini memiliki hutang atau kewajiban yang wajib kita bayar dan laksanakan, (Sumarni dan Raharjo, 2015:2).



Tri Rna terdiri dari:
  1. Dewa Rna, yaitu hutang hidup kepada Hyang Widhi yang telah menciptakan alam semesta termasuk diri kita. Untuk semua ini wajib kita bayar dengan Dewa Yanya dan Bhuta Yadnya. Dewa Yadnya dalam bentuk pemujaan kepada Hyang Widhi serta melaksanakan Dharma. Butha Yadnya dilakukan untuk memelihara alam lingkungan sebagai tempat kehidupan semua mahluk.
  2. Rsi Rna, yaitu hutang kepada para Rsi yang mengorbankan kehidupannya sehingga dapat memberikan pencerahan kepada manusia melalui ajaranajarannya sehingga manusia dapat menjalani hidup dengan lebih baik. RsiRna dilunasi dengan melaksanakan Rsi Yadnya.
  3. Pitra Rna, yaitu hutang kepada orang tua dan leluhur. Leluhur dan orang tua sangat memiliki peranan besar atas kehidupan kita saat ini. Karma leluhur dan orang tua berpengaruh terhadap keberadaan setiap orang. Paling tidak kelahiran kita di dunia karena adanya leluhur dan orang tua. Oleh karena itu maka sudah menjadi kewajiban untuk membalas hutang tersebut. Membayar hutang kepada orang tua dan leluhur dilakukan dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.
Untuk lebih jelasnya Silakan Baca Artikel Mutiarahindu.com yang berjudul "Pengertian, Contoh dan Bagian-Bagian Tri RnaArtikel ini membahas tentang tri rna beserta contonya lengkap.


Bhakti dalam Agama Hindu

 


Pengertian dan Makna Bhakti dalam Agama Hindu. Bagi umat Hindu kata “bhakti” sudah menjadi kata kunci dalam hubungannya dengan pelaksanaa ajaran agama. Apalagi yang berkaitan dengan aktivitas ritual, istilah “bhakti” selalu menjadi “roh/jiwa” yang menghidupkan sekaligus menggairahkan pelaksanaan yadnya. Tidak salah dikatakan bahwa apapun yang dilakukan umat Hindu terkait ketaatannya melaksanakan ajaran agama, merupakan ekspresi dari bentuk bhakti. Lebih-lebih jika aktivitas ritual itu berupa upacara, lengkap dengan upakara dan uparengga (sesaji/bebanten) yang kaya simbol dan sarat makna itu, semuanya akan dikatakan sebagai bentuk pelaksanaan bhakti. Sampai kemudian muncul ungkapan bahwa ketika umat Hindu melakukan relasi dengan Ida Sanghyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, beserta manifestasi-Nya, dicetuskan dengan kata-kata “titiyang ngaturang bhakti” (saya mempersembahkan sujud bhakti). Kata bhakti benar-benar telah menjadi titik kulminasi pengabdian dan atau pelayanan umat Hindu kehadapan Ida Sanghyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, termasuk kepada sesama manusia dan seisi alam lainnya. 


Lalu, apakah sebenarnya pengertian kata “bhakti”. Mengutip "Monier-Williams Sanskrit-English Dictionary" (University of Cologne), kata “Bhakti” (dibaca [bʱəkt̪i], berarti 'pengabdian' atau'bagian', yang dalam praktik Hinduisme menandakan adanya suatu keterlibatan aktif oleh seseorang dalam memuja Yang Mahakuasa. Istilah ini sering diterjemahkan sebagai "pengabdian", meskipun kata "partisipasi" semakin sering digunakan sebagai istilah yang lebih akurat, karena menyampaikan suatu hubungan dekat dengan Tuhan (Karen, 1999: 24). Menempuh jalan bhakti disebut bhakti marga, sementgara orang yang menjalankan ajaran bhakti disebut bhakta. Bhakti merupakan komponen penting dalam banyak cabang Hindu, yang didefinisikan berbeda-beda oleh berbagai sekte dan aliran (Jones,ed, 2005: 856–857). 

Bhakti sebenarnya menekankan pengabdian dan pelayanan daripada ritual. Namun bagi umat Hindu pada umumnya, apalagi di Bali, yang namanya bhakti pengertiannya lebih berkonotasi pada aktivitas ritual yang disebut dengan istilah ngaturang bhakti atau mabhakti. Jadi, asal sudah ngaturang bhakti, artinya adalah melaksanakan upacara yadnya, dengan mempersembahkan sarana upakaraning bebanten (sesaji/sesajen) yang biasanya diakhiri mabhakti atau muspa (kramaning sembah). Padahal makna dasariah bhakti tidaklah sebatas ritual, melainkan berkaitan dengan luapan cinta kasih dalam suatu relasi atau interaksi, seperti dengan kekasih, dengan teman, orang tua-anak, guru, pemerintah, alam beserta segenap isinya, dan sebagainya. Itulah arti luas dan makna mendalam dari ajaran bhakti, yang dalam praktiknya dipersempit cakupannya seakan-akan hanya sebatas dan terbatas pada urusan aktivitas ritual yadnya. Namun apapun bentuknya, aktivitas ritual umat Hindu tetap diyakini, dipahami dan dilaksanakan sebagai wujud bhakti. 

Referensi

KETUT WIDANA, I GUSTI. 2020. ETIKA SEMBAHYANG UMAT HINDU. Denpasar: UNHI Press




Dasa Yama Brata











Kata Dasa Yama Brata berasal dari Bahasa Sanskerta yang terdiri dari tiga kata yaitu: Dasa, Yama dan Brata. Dasa berarti sepuluh,
Yama berarti Pengendalian,
Brata sama artinya dengan Wrata berarti keinginan atau kemauan.
Jadi arti dari Dasa Yama Brata merupakan sepuluh macam pengendalian diri tingkat dasar untuk mencapai kesempurnaan hidup. Pembagian dari Dasa Yama Brata, diantaranya:

1. Anrsamsa
Anresamsa atau anrisamsa berasal dari kata “A” yang berarti tidak, dan Nrisamsa berarti orang kejam atau orang yang suka menyiksa sesamanya. Anremsasa dengan demikian berarti tidak kejam atau tidak keji. Umat hindu hendaknya selalu bersikap baik terhadap siapa saja dan dapat mengendalikan dirinya dengan baik. Umat hindu yang tidak dapat mengendalikan dirinya akan dicap sebagai orang yang tidak baik dan bisa jadi dipandang sebagai orang yang kejam.

Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Anresangsya:
a. Membatalkan janji pribadi untuk melaksanakan kepentingan warga masyarakat
b. Mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi
c. Memberi kesempatan kepada penyebrang jalan dengan memperlambat kecepatan sepeda motor/mobil,
d. Memberikan tempat duduk kita di dalam bus/angkutan kepada orang tua atau orang hamil,
e. Membiasakan antre atau menunggu giliran di SPBU, Puskesmas, rumah sakit atau kantor.



2. Ksama
Ksama artinya pemaaf atau sifat yang mudah memaafkan. Umat hindu hendaknya merupakan sosok yang pemaaf dan tidak bersifat pendendam. Bersedia memaafkan kesalahan orang lain merupakan sikap yang sangat terpuji. Umat hindu hendaknya sadar bahwa berbuat kesalahan adalah manusiawi, artinya kesalahan itu dapat dilakukan oleh siapa saja. Tidak seorangpun dapat melepaskan diri dari kekeliruan. Oleh karena itu bersifat pemaaf hendaknya selalu menjadi pola pikir umat hindu.

Contoh-contoh pelaksanaa ajaran Ksama, seperti:
a. Memaafkan kesalahan teman
b. Tidak marah atau tersinggung bila dijelek-jelekkan teman
c. Tetap melanjutkan sekolah walaupun tidak naik kelas
d.Tidak merasa minder/berkecil hati walaupun merasa diri ada kekurangan,dll.

3. Satya
Satya artinya jujur, bena atau bersifat baik. Orang yang melaksanakan satya brata berarti bahwa orang itu tidak pernah menyimpang dari ajaran kebenaran, selalu jujur, dan selalu berterus terang. Umat hindu hendaknya selalu menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran dan kesetiaan. Karena itu mereka hendaknya selalu jujur terhadap diri sendiri maupun orang lain, selalu melaksanakan ajaran kebenaran dan kesetiaan.

Dalam agama hindu dikenal dengan lima macam kejujuran yang disebut panca satya, diantaranya:


a. Satya wacana yaitu harus setia dan jujur dalam berkata, tidak sombong, selalu menjaga sopan santun dalam berbicara, tidak boleh berucap yang dapat menyakiti hati atau perasaan orang lain.
b. Satya hrdaya, artinya setia terhadap hati nuraninya, selalu konsisten dan berpendirian yang teguh dalam melaksanakan ajaran kebenaran.
c. Satya laksana, artinya harus jujur dan bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuatnya.
d. Satya mitra, artinya setia kepada teman atau sahabat dan tidak boleh berkhianat.
e. Satya semaya, artinya selalu menepati janji dan tidak boleh ingkar janji.

4. Ahimsa
Ahimsa terdiri dari kata “A” yang berarti tidak, dan “Himsa” yang berarti membunuh atau menyakiti. Sehingga ahimsa berarti tidak membunuh atau menyakiti. Umat hindu tidak dibenarkan untuk menyakiti apalagi membunuh orang atau mahluk lain. Membunuh adalah perbuatan dosa. Sebaliknya mereka hendaknya selalu menanamkan rasa kasih sayang. Jangan membunuh dan jangan berbuat dosa. Pengecualian hanya diberikan dalam hal membunuh binatang dengan maksud untuk dipergunakan sebagai pengorbanan suci atau yadnya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Contoh pelaksanaan ajaran Ahimsa, seperti:
a. Tidak membunuh binatang sembarangan
b Tidak meracuni hewan
c. Tidak mengganggu hewan yang sedang tidur
d. Tidak memfitnah
e. Tidak menghina teman yang memiliki kekurangan.

Agama Hindu juga membenarkan melakukan pembunuhan/Himsa Karma tetapi hendaknya dilandasi cinta kasih dan dharma, seperti:

1. untuk Dewa Puja yaitu untuk persembahan kepada para Dewa dan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi,
2. Pitra Puja yaitu membunuh untuk persembahan kepada leluhur,
3. Athiti Puja yaitu membunuh untuk dipersembahkan atau dihaturkan kepada tamu.
4. Dharma Wigata yaitu membunuh di dalam peperangan/pertempuran.


5. Dama
Dama berarti mengendalikan nafsu atau mengalahkan nafsu. Dama juga berarti mengendalikan diri atau mengendalikan nafsu. Umat hindu hendaknya dapat mengendalikan atau menundukkan hawa napsunya. Mereka seharusnya tidak mengumbar hawa napsunya sekedar hanya karena hendak memenuhi keinginan sesaat. Karena umat hindu harus dapat memilah yang baik-baik saja agar dapat menimbulkan ketenangan dan ketentraman batiniah. Hanya dengan ketenangan dan ketentraman pikiran itulah umat hindu akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Dama, seperti:
a. Menyadari perbuatan, perkataan dan perbuatan kita yang keliru
b. Memikirkan terlebih dahulu akan perkataan yang akan diucapkan
c. Sebelum tidur renungkanlah perbuatan yang telah kita lakukan sebagai evaluasi harian untuk meningkatkan kwalitas diri
d. Biasakan tidak terlalu repot membicarakan kelemahan orang, masih lebih baik jika rajin melihat kelemahan diri sendiri
e. Untuk menghindari adanya penyesalan yang datangnya selalu di belakang, sebelum berkata dan berbuat pikirkan secara matang akibatnya.

6. Arjawa
Arjawa berasal dari kata “Arja” yang berarti teguh pendirian, arjawa juga berarti mempertahankan kebenaran. Orang yang selalu melaksanakan Arjawa Brata berarti selalu berusaha untuk berbuat benar. Orang ini adalah orang yang taat, disiplin, jujur dan tidak pernah berbohong. Ia selalu berpegang pada kepada kebenaran. Umat hindu haruslah teguh dalam menjunjung tinggi kebenaran sejati. Hanya dengan berpegang teguh pada pendirian, seseorang akan tidak mudah terombang-ambing oleh pikiran-pikiran yang tidak baik dan tidak suci.



Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Arjawa, seperti:
a. Jangan mengaku dan merasa diri selalu paling benar


b. Katakan yang benar adalah benar yang salah adalah salah
c. Berpijaklah pada kebenaran walaupun banyak godaan
d. Orang yang mempertahankan kebenaran akhirnya akan menang
e. Jadilah ksatria pembela kebenaran seperti peribahasa Berani karena benar Takut karena Salah.

7. Priti
Priti berarti kasih sayang kepada semua mahluk. Sebab semua mahluk adalah ciptaan Tuhan, oleh karena itu kita wajib saling menyayangi. Umat hindu haruslah juga bersikap welas asih atau penuh rasa kasih sayang terhadap sesama. Sikap kasih dan sayang terhadap sesama akan menimbulkan rasa simpati. Sikap welas asih seperti ini akan menjadi sangat bernilai manakala ditujukan terhadap orang yang sedang i kesulitan.

Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Priti, seperti:
a. Hiduplah rukun saling mengasihi sesama teman di sekolah, bersama keluarga, begitu juga dengan tetangga sekitar
b. Memelihara hewan peliharaan dengan baik
c. Rajin merawat dan memupuk tanaman dan sebagainya.


8. Prasada
Prasada artinya berpikir tenang, bersih dan suci. Tenang artinya tidak mudah berubah pikiran, tidak goyah, tetapi juga tidak takut, sehingga tidak mudah kena pengaruh yang tidak baik. Dalam pergaulan hidup sehari-hari umat hindu hendaknya selalu berpikir positif, berpikir jernih dan suic serta tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Mereka hendaknya tidak memelihara sikap yang serba curiga terhadap orang lain. Dengan bersikap seperti itu, maka kesucian pikirannya akan menjadi terganggu dan ini menyebabkan sirnanya ketenangan dan ketentraman sehingga akan sulit baginya untuk menuju kejalan Tuhan.

Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Prasada, misalnya:
a. Jujur dan tulus pada setiap tindakan untuk memupuk dan menumbuhkan kesucian hati,
b. Berpikir jernih, cermat dan masuk akal jangan mengembangkan pikiran buruk atau berburuk sangka (negatif thinking) kepada orang lain
c. Rajin sembahyang
d. Jujur dan setia terhadap setiap tindakan Berbuat yang iklas tanpa pamerih
f. Jagalah pikiran kita agar tetap jernih dan suci. Hindarikan pikiran dari hal-kal kotor dan bodoh, karena pikiran yang diliputi oleh niat yang kotor dan bodoh menyebabkan manusia lebih rendah dari binatang, dan lain-lain.

9. Madhurya
Madhurya berasal dari kata “Madhu” yang berarti manis. Manis disini berarti lemah lembut, tidak berkata keras apalagi kasar. Berbicara dengan siapa saja hendaknya selalu lemah lembut dan dengan tutur kata yang halus serta tidak sampai menyinggung apalagi menyakiti hati. Bersikap manis, ramah dan santun adalah sangat baik bagi umat hindu. Mereka hendaknya dapat mengendalikan diri untuk tidak bersikap kasar terhadap siapapun juga.

Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Madurya, seperti:
a. Bersikap ramah tamah terhadap semua orang, menghindari sikap judes dan cuek
b. Bersikap lemah lembut terhadap semua orang, menghindari sikap kasar, emosional dan mudah tersinggung
c. Bersikap sopan santun terhadap siapa saja dan di manapun berada
d. Selalu menjaga sikap santun ketika berhadapan dengan orang lain baik dengan teman sejawat, orang yang lebih tua, guru ataupun siapa saja
e. Selalu berbicara yang sopan kepada lawan bicara,
f. Menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai terhadap orang lain
g. Tidak memperlihatkan wajah masam, cemberut dan kusam.

10. Mardawa
Mardawa berarti rendah hati, tidak suka menonjolkan diri dan tidak suka bersikap sombong. Rendah hati tidak berarti rendah diri, tetapi selalu bersikap merendah atau tidak mau menunjukan kemampuannya. Umat hindu memang harus berprilaku rendah hati, dan bersikap manis terhadap siapapun juga. Mereka yang bersikap kasar apalagi bertindak semaunya sendiri, tentunya akan dijauhi oleh warganya.

Contoh-contoh pelaksanaan ajaran Mardawa, misalnya:
a. Selalu ringan tangan suka membantu orang yang membutuhkan pertolongan
b. Menghargai orang lain
c. Menghormati orang lain
d. Tidak mementingkan diri sendiri
e. Peduli terhadap orang lain
f. Bersikap empati terhadap penderitaan orang lain sehingga memiliki keinginan untuk memberi pertolongan
g. Menyadari diri memiliki kelebihan dan kekurangan
h. Menghindarkan diri dari perbuatan merendahkan harga diri orang lain
i. Selalu bersikap sabar dan tidak membalas dendam
j. Dapat menerima kelebihan dan kekurangan orang lain.

"SÊSAJI ~ SÊSAJÈN" (Jawa)

(BSW05092020SKG) 

Terbentuk dari kata SÊwiji Sing AJI. Menyajikan (menghaturkan) semua rangkaian hasil bumi yang Aji (berharga/bernilai tinggi dan indah) untuk para Leluhur dan Semesta Raya.

Sesaji adalah bentuk persembahan (haturan) suci yang diperuntukkan bagi YANG DILUHURKAN dan DIHARGAI.
Maka orang Jawa mengungkapkannya sebagai SAJÈN (menghaturkan bagi yang di-AJÈN-i/dihargai/dihormati). 

Dalam memberikan sesaji, si pemberi sesaji memberikan hasil bumi yang terindah, baik berupa tumbuhan, ataupun binatang peliharaan seperti ayam, sapi, kerbau dan lain sebagainya.

Semua ada arti filosofi dan tujuannya, sesaji dihaturkan sebagai bentuk penghargaan ke semesta raya, apa yang diberikan oleh semesta perlu kembalikan lagi sebagai bentuk penyadaran akan pelestarian terindah.


Ada ungkapan JAWA berbunyi:
"YÈN TAN MÅWÅ SARÅNÅ, PARAN KATÊKANING KAPTI, LIR MBÊBÊDHAG TANPÅ WISÅYÅ"
(Jika tanpa SARANA, bagaimana akan tercapai pada apa yang di kehendaki, bagaikan orang berburu yang tanpa menggunakan perlengkapan)

Sesaji dalam budaya Jawa pun masih dibagi menjadi beberapa macam tergantung peruntukannya dan Tujuan Upacara, seperti : 
Sesaji untuk ungkapan terimakasih dan kesukacitaan, pernikahan, mitoni, kelahiran, selapanan, nêtonan, punya gawé, sedekah Bhumi dll.

Dalam penyajiannya ditata sedemikian rupa dan seindah mungkin dengan menyertakan RAsa, CIpta dan Karsa (RACIKan) DIRI.

Semua yang disajikan begitu sarat mengandung pengertian dan filosofi.

Berikut SESAJI dalam budaya JAWA:

1. NASI TUMPÊNG. 
(mêTU né mêMPÊNG, TU muju Marang PÊNGèran)

Pengertiannya "Ketika Keluar harus dengan penuh keSUNGUHan dan Semangat terarah kepada Sang Pemberi Hidup."


Tumpeng dibuat dari nasi putih atau kuning yang dibuat kerucut seperti Gunung, yang merupakan representasi konsep Ke TUHAN an. 

Puncak Spiritual tertinggi, melalui jalan manapun dari arah manapun semua nya menuju pada satu titik puncak yg sama.

2. INGKUNG AYAM 
(INGkang ManêKUNG)
"Yang merundukkan diri/manekung dihadapan semesta dengan keungguhan hati"

Disimbolkan dari ayam jantan kampung utuh, karena ayam tidak serakah melahap semua makanan yang diberikan, tapi memilih hanya makanan yang tersesuai, juga sebagai simbol orisinalitas/kemurnian.

Dan ayam adalah binatang yang peka energi, hari baru ditandai dengan suara kokok ayam sebelum matahari terbit.

3. LAUK PAUK 7 MACAM (PITU)
Makna angka 7 (Pithu) mengacu pada PITULUNGAN/pertolongan, PITUTUR (ajaran), PITUDUH (petunjuk), PITUJU (tujuan), PITUWAS (ubarampe), PITUKON (harga yang harus dibayar), PITUNGKAS (pengorbanan). 

Lauk pauk dan sayuran yang masing-masing berjumlah 7 macam. 

4. BUBUR MERAH PUTIH
Merupakan ejawantah dari Ibu Bhumi yaitu sel darah/telur Ibu dan sperma Bapak Angkasa. 

5. MINUMAN. 
Kopi, Teh tubruk, toya wening
- Kopi: Kokoh Pikir (ngolah pikiran)
- Teh tubruk: sari seduhan daun dan batang teh pilihan yg banyak mengandung khasiat utk manusia dan memberi rasa menenangkan.
- Air (Toya) wening: 
Simbol dari kejernihan hati dan kebeningan nalar yang diperoleh dari ketenangan buaj pengelolaan penyadaran. 

6. JAJAN PASAR 7 MACAM
Segala macam jajanan/makanan tradisional yang biasanya terbuat dari tepung beras/ketan, gula Jawa dan Kelapa atau santannya.

7. BUAH-BUAHAN 7 MACAM
Terdiri dari: Pisang raja setangkep (2 sisir),
Pisang mas setangkep dan buah-buahan lainnya.
Mengapa selalu pisang Raja dan pisang emas yang dipakai dalam Sajen Jawa?
Filosofinya adalah Keluhuran dan Kemakmuran seperti kehidupan para Raja/Ratu. 
Simbol dari kemakmuran dan keluhuran adalah Emas. 
Dan pisang emas itu sendiri memiliki kandungan energi dan guna luar biasa 

8. UMBI-UMBIAN 7 MACAM
Pengertiannya adalah pohon Kehidupan kita dimulai dengan menanam Umbi (bakal pohon) dari bibit terbaik dan menanam Pohon Jiwa yang Baru.


9. PERLENGKAPAN NYIRIH/NGINANG. 
Terdiri dari daun sirih, pinang, gambir tembakau terbaik, ditata dalam satu tempat yang disertakan juga sisir, cermin dan benang lawe dan telur ayam kampung serta beras.
Telur ayam kampung sebagai simbol WIJI DADI (permulaan kehidupan). 

10. KELAPA/CÊNGKIR GADING
Kelapa filosofinya adalah setiap bagian nya mengandung guna dan manfaat untuk kehidupan mulai dari batang smp tulang daun, daun dan buah serta bunganya. Semakin tua kelapa semakin berisi santannya(sarinya)
CÊNGKIR : kênCÊNG ing taKIR (kuat penyadarannya dalam ketepatan takaran diri) kemudian di RASA dan didorong dengan kehendak (KARSA) dan dilakukan dengan KARYA. Untuk menggatrakan kemulian (GADING) kehidupan. 

HOOONGNGNGNGNGNGNGNGNGNG 
HURIP HANGLÊLURI YASAN LÊLUHUR

Pura Luhur Pucak Rsi Bukit Sangkur

 


Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur terletak Desa Pakraman Kembang Merta, Kecamatan Baturiti, Tabanan di salah satu bukitnya terdapat pura yang disebut Pura Luhur Puncak Sangkur yang juga disebut Pura Puncak Resi. Mengapa disebut Pura Pucak Sangkur karena pura itu berdiri di Bukit Sangkur. Yang dipuja di Pura Pucak Sangkur ini adalah Ida Batara Hyang Pasupati atau Batara Siwa. Dengan tanpa banyak mengubah kondisi alas (hutan) disana, menambah keheningan dan keangkeran Pura Puncak Sangkur.
Sejarah Pura Luhur Puncak Bukit Sangkur
Pura ini sendiri di Bukit Sangkur yang merupakan kawasan hutan yang kental dengan aura magis, yang digunakan oleh Rsi Segening, melakukan yoga, tapa dan samadhi sehingga dikenal dengan hutan Tapa Wana. Konon di sinilah beliau mencapai kesempurnaan dan moksa ke jalan Tuhan.
Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur merupakan kawasan tapa wana, dilestarikan sehingga tidak ada bangunan lain di lokasi ini kecuali terkait dengan pemujaan. Lokasi pura ini dulunya dikenal dengan tempat pertapaan Resi Segening. Seringkali orang datang memohon jabatan ataupun taksu sebagai pemimpin. Seorang spiritual yang betul-betul mendambakan suasana sunyi dan damai, Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur bisa menjadi salah satu tempat pilihan untuk melaksanakan tapa yoga semedhi. Keunikan dari pura ini adalah keberadaan Juuk Linglang (sejenis jeruk). Jeruk ini konon sudah tumbuh ratusan tahun dan diyakini memiliki khasiat tertentu yang ajaib, jarang sekali orang yang bisa mendapatkan buahnya.
Pura Pucak Bukit Sangkur ini ada kaitannya dengan berbagai Pura Kahyangan Jagat di Bali. Dalam Lontar Tantu Pagelaran diceritakan secara mitologis Gunung Maha Meru di India, puncaknya menjulang sangat tinggi hampir menyentuh langit. Kalau langit sampai tersentuh oleh puncak Gunung Maha Meru itu maka alam ini pun akan hancur lebur. Saat itu Jawa dan Bali dalam keadaan guncang atau disebut enggang enggung.
Hyang Pasupati memotong puncak Maha Meru tersebut terus dibawa ke Jawa. Pecahan puncak tersebut ditaburkan dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Pecahan Maha Meru itulah yang menjadi gunung-gunung yang berderet dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Di Jawa Timur puncak Maha Meru itulah menjadi Gunung Semeru. Setelah itu Pulau Jawa menjadi tenang. Tetapi Bali masih enggang-enggung atau guncang. Karena itu, Hyang Pasupati terbang ke Bali membawa puncak Gunung Maha Meru tersebut.


Puncaknya sekali menjadi Gunung Agung, bagian tengahnya menjadi Gunung Batur dan dasarnya menjadi Gunung Rinjani di Lombok. Serpihan-serpihannya menjadi gunung-gunung kecil dan bukit-bukit yang mengelilingi Pulau Bali. Setelah itu Bali menjadi tenang. Gunung-gunung kecil itu antara lain menjadi puncak Mangu, Teratai Bang, Gunung Tampud, Lempuhyang, termasuk Bukit Pucak Sangkur tempat didirikannya Pura Pucak Resi itu.
Dalam Lontar Purana Pura Pucak Resi diceritakan di zaman dahulu ada seorang suci bernama Ida Sang Resi Madura berasal dari Gunung Raung, Jawa Timur. Beliau Sang Resi juga disebut sebagai Acarya Kering. Ida Sang Resi Madura ini sering mengadakan perjalanan bolak-balik Jawa-Bali. Suatu hari dalam Yoga Semadinya Sang Resi mendapatkan suara niskala yang menugaskan Sang Resi agar menuju Danau Beratan. Sang Resi pun mengikuti suara gaib tersebut. Sang Resi diiringi oleh pembantunya bernama I Patiga. Sampai di Bali, Sang Resi menuju puncak bukit.
Di puncak bukit itulah Ida Sang Resi Madura membangun pura dengan nama Parhyangan Pucak Resi sebagai pemujaan Batara Hyang Siwa Pasupati. Setelah itu Sang Resi Madura ini mengadakan perjalanan menuju ke puncak Teratai Bang, Bukit Watusesa sampai ke Bukit Asah.


Diceritakan I Ratu Ayu Mas Maketel di Nusa Penida saat mengadakan upacara Ngeraja Sewala mendatangkan seorang pandita dari Maja Langu untuk memimpin upacara tersebut. Pandita ini bernama Ida Resi Sagening ke daratan Bali dan bermukim di Munduk Guling Klungkung. Di tempat ini beliau banyak punya pengikut. Sang Resi kena fitnah dan dikatakan akan merebut kekuasaan raja di Linggarsapura. Sang Resi pun mau dihukum mati.
Untuk menghindari hukuman itu, Ida Resi Sagening pindah ke Bukit Asah diiringi oleh sisya-sisya (murid-murid-red)-nya. Di Bukit Asah inilah beliau membangun pasraman. Atas petunjuk niskala yang diterima oleh Ida Ratu Ngurah Wayan Sakti agar Pura Puncak Asah di-pralina. Karena demikian halnya Ida Resi Sagening mohon dibuatkan Siwapakarana dan disimpan di Pasraman Taman Sari. Di pura inilah juga Ida Resi Sagening mencapai moksha.


Di sini ada bentang persekutuan gugusan kelompok Gunung Sanghyang-Gunung Lesong-Gunung Pucuk serta gugusan kelompok Gunung Adeng-Gunung Pohen – Gunung Tapak yang berada di sisi selatan Danau Tamblingan dan Danau Buyan. Lalu ada lagi persekutuan gugusan kelompok Gunung (Pucak) Bon-Gunung (Pucak) Mangu/Pangelengan – Gunung (Pucak) Sangkur berada di sebelah barat Danau Buyan.
Pucak Mangu sendiri memiliki pasanakan (berkerabat) dengan Pucak Sangkur dan Terate Bang. Uniknya, masing-masing gugusan kelompok gunung itu memiliki satu palinggih pangayatan (semacam perwakilan) di Pura Pucak Mangu di ujung ketinggian puncak Gunung Mangu.
Hal yang unik dan menarik dari kawasan ini adalah keberadaan juuk linglang (sejenis jeruk) yang terletak di utama mandala. Jeruk yang konon keberadaannya telah ratusan tahun ini memiliki cerita tersendiri. Untuk saat ini juuk linglang hanya menjadi legenda yang sering diceritakan dalam drama gong. Namun, legenda itu dianggap nyata oleh masyarakat setempat.
Sebelum dilakukan rehab pura sekitar tahun 2004-2005 lalu, jeruk dengan ukuran batang besar ini berada peResis di tebing pada bagian samping lokasi pura yang saat itu masih sempit. Namun, ketika dilakukan penimbunan timbul pawisik agar jeruk ini tidak dimatikan. Akhirnya dibuatkan lubang yang bertrali agar jeruk ini dapat terus tumbuh. Uniknya batang kecil yang muncul sering hilang dan timbul kembali pada waktu tertentu.
Masyarakat sangat meyakini juuk linglang memiliki khasiat tertentu yang sifatnya ajaib. Dari buah, daun hingga kulit batang diyakini ampuh menyembuhkan berbagai penyakit, baik medis maupun nonmedis. Penanganan penyakit nonmedis paling banyak. Namun buah dari jeruk ini sukar untuk didapatkan dan konon tidak semua orang bisa mendapatkan sebagaimana halnya memetik buah jeruk biasa. Diyakini orang yang bisa memiliki buah jeruk ini merupakan orang pilihan.
Para pemedek biasanya merasa sangat beruntung ketika melihat batang kecil dengan beberapa helai daun menyembul ke permukaan. Sebab, tidak semua pemedek beruntung melihat keberadaannya yang sering hilang tersebut. Masyarakat setempat yang sering mengamati keberadaannya pada mulanya merasa heran ketika jeruk itu hilang. Saat tertentu jeruk ini menghilang dan dalam waktu yang sulit diketahui muncul kembali dengan posisi dan kondisi yang sama ketika menghilang.
Pangider Penataran Beratan Penataan bangunan pura sudah terlihat bagus. Dari wantilan, berjalan menaiki tangga yang cukup panjang barulah memasuki jaba tengah pura. Dari sini terlihat pohon besar dalam (di jeroan) pura, tak lain adalah pohon bunut dengan bentuk unik, seolah-olah menyerupai goa pada bagian batangnya.
Sesekali terlihat sekelompok kecil kera bergelantungan di diantara ranting pohon yang kokoh. Di bawah pohon ini terdapat pelinggih merupakan pelinggih pertama yang ditemukan di pura ini. Sementara pada palinggih utama di areal pura ini terdapat patung Siwa Pasupati dengan menggunakan busana kuning.
Semoga berkenan, kurang lebihnya mohon dimaklumi…Ampura Suksma Rahayu… 
Reference
1. Image : https://www.google.com/maps/
2. Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur @ https://yanartha.wordpress.com/

Jumat, 10 Maret 2023

Makna dan Fungsi Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu



Berbicara tentang yajna, maka tentu tidak lepas dari sarana atau peralatan yang diperlukan dalam upacara yajna (korban suci). Sarana dapat dikatakan sebagai penentu utama berhasil tidaknya suatu upacara yang dilaksanakan oleh umat Hindu. Sebab Sarana adalah media konsentrasi untuk dapat mendekatkan diri dengan Brahman (Sang Hyang Widhi) serta manisfestasinya yang dipuja.


Selain digunakan sebagai media untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, penggunggunaan sarana juga dapat menciptakan hubungan harmonis antara lingkungan, sesame manusia, tumbuh-tumbuhan, para pitara (roh suci leluhur) serta keharmonisan lainya dalam kehidupan di dunia ini.





Foto: Mutiarahindu.com
Setiap sarana yang digunakan dalam upacara yajna tentunya memiliki arti, fungsi, dan makna masing-masing. Baik dari segi nilai kesucian, kemulian, dan nilai spiritual. Dari setiap sarana yang dipergunakan, tuntunya kita memiliki suatu harapan suci. Untuk itu, sangat penting untuk mengetahui setiap arti, fungsi dan makna dari setiap sarana yang dipergunakan dalam upacara yajna. Sebab tampa mengetahui, arti, fungsi dan makna dari setiap sarana yang digunakan, maka mustahil harapan kita dapat tercapai seperti disebutkan dalam Manawa Dharmasastra 3.97:

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Nasyanti hawwyah kawyani naranamawijajanatam, bhasmi bhutesu wipresu mohad dattani datrbhid”


Terjemahan:


“Persembahan kepada Dewa dan Leluhur yang dilakukan oleh orang yang tidak tahu peratunyanya adalah sia-sia, kalau memberi karena kebodohanya memberikan bagianya kepada Brahmana, persembahannya tidak ada bedanya dengan abu.”


Dari sloka yang diambil dari Manawa Dharmasastra 3.97 diatas, dapat disimpulkan bahwa wajib hukumnya untuk mengetahui tujuan dan makna upacara yajna yang dilaksanakan agar tidak sia-sia. Untuk itu melalui artikel ini, mutiara hindu akan membahas arti, fungsi dan makna Air dalam upacara yajna.


Makna Dan Fungsi Air Dalam Upacara Yajna


Air dalam kehidupan sehari-hari merupakan sumber kehidupan bagi manusia dan makhluk lainya seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dengan adanya air, maka manusia dapat hidup dengan bersih, sehat dan dapat mencapai ketentraman. Penggunaan air dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari yang fungsinya air biasa disebut dengan odaka atau odakam.



Selain berfungsi sebagai sumber kehidupan, air juga memiliki fungsi yang sangat penting dalam upacara yajna. Air dalam upacara yajna memiliki fungsi yang sangat sacral, sehingga sering disebut air suci atau Tirta. Air suci dalam kitab Bhagavad Gita disebut Toyam atau toya. Toya/tirta adalah air suci yang secara khusus dipergunakan dalam kaitanya dengan upacara keagaman yang memiliki kekuatan magis dan kekuatan eligius yang bersumber dari kekuatan Ida sang Hyang Widhi Wasa.


Menurut Drs. I Kt. Wiana: 91, dalam bukunya Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan, tirta dapat juga diartikan permandian atau sungai, kesucian atau setitik air, toya atau air suci, sungai yang suci, permandian/ sungai/ air suci, tempat perziarahan, mengunjungi tempat-tempat suci, bersuci dengan air, air suci, permandian, tempat mandi atau tempat yang dapat disebrangi. Demikianlah ienjelasan singkat makna dan fungsi air sebagai tirta dalam upacara yajna.


Selain berfungsi sebagai sarana dalam upacara yajna yang dipersembahkan kepada Tuhan, disisi lain air juga adalah anugra yang diberikan Tuhan ketika kita melaksanakan yajna (karma). Hal ini ditegaskan dalam Bhagavad Gita III.14 yang berbunyi demikian:


“Annad bhawanii bhutani, parjanyad annasamhawah, yajnad bhawanii parjanjo, yajnan karma samudhhawan”.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Terjemahan:


“Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yajna, adanya yajna karena karma”


Dari sloka Bhagavad Gita III.14 diatas, dapat kita pahami bahwa air merupakan sarana yang diperlukan dalam ber-Yajna dan dengan yajna manusia memohon anugra berupa air kehidupan berwujud air hujan sehingga manusia menjadi sehat dan selamat.


Makna Tirta, dalam kaitannya dengan persembayangan dan sehabis menghanturkan sembah dilanjutkan dengan memohon, nunas tirta dengan ketentuan dipercikkan keseluruh tubuh masing-masing tiga kali, diminum tiga kali, dan diraupkan sebanyak tiga kali, adalah sebagai penyucian sabda, bayu dan idep.


Pemercikan tirta pada anggota badan bermakna untuk penyucian badan atau sthula sarira dengan tirta Kundalini. Tirta yang diminum bermakna penyucian kotoran dan perkataan atau suksma sarira (Tirta Kamandalu). Dan tirta pada saat diraup bermakna kesucian dalam kekuatan hidup (Tirta Pawitra Jati).
Ketiga sasaran pemercikan tirta tersebut di atas pada diri manusia, tentunya bermakna agar manusia memperoleh kesucian diri. Ada pun mantra yang digunakan adalah sebagai berikut:


Pada Saat Pemercikan Ke Badan


“Om Budha Pawitra ya namah, Om Budha Maha Tirta ya namah, Om Sanggya Maha Toya ya namah”



Pada Saat Diminum


“Om Brahma Pawaka, Om Wisnu Amerta, Om Iswara Jenyana”


Pada Saat Diraup


“Om Ciwa Sampuma ya namah, Om Sadha Ciwa na namah, Om Parama Ciwa ya namah”


Fungsi Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu


Memperhatikan tentang makna dan jenis-jenis air suci (baca postingan sebelumnya jenis-jenis air tirta dalam upacara yajna), sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka dalam penjelasan berikutnya akan dijelaskann mengenai fungsi air suci atau Tirta adalah sebagai berikut:

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

1. Tirta Berfungsi sebagai Lambang Penyucian atau Pembersihan


Dalam yajna setiap sarana yang digunakan untuk persembahan terlebih dahulu disucikan agar dapat diterimah dengan penuh kesucian. Maka dalam hal ini yang menjadi sarana untuk menyucikanya bisanya digunakan sarana berupa air suci tirta, oleh karena itu tirta sebagai langbang penyucian atau pembersihan.



2. Tirta Berfungsi sebagai Pengurip Alam Penciptaan


Dikatakan sebagai pengurip karena dengan memercikan tirta sebuah yajna menjadi persembahan yang memiliki nilai spiritual dan menjadi suci adanya. Tirta juga dapat memberikan kehidupan pada Yajna yang kita persembahkan serta dapat memiliki nilai magis. Yajna yang suci dapat mendatangkan dan menyatuhkan kehidupan manusia dengan alam Tuhan atau dengan Hyang Pencipta. Dengan senyuguhkan persembahan seolah-olah Tuhan terasa hadir di hadapan yang menyembah-Nya. (Baca: Reg Weda Mandala I Sukta 3, sloka 10, 11 dan 12, Reg Weda Mandala I Sukta 5, sloka 6). Dalam Reg Weda ini menegaskan tentang fungsi tirta yang sekaligus menjadi sarana yang dapat memberikan daya cipta yang tinggi untuk mengundang kedatangan atau kehadiran Tuhan pada umatnya, dapat menciptakan suasana, perilaku, perkataan dan pikiran yang serba suci menuju kepada keteranga yang abadi. (Susila. 2009:89)


3. Tirta Berfungsi sebagai Pemelihara


Semua orang tentunya mendambaka kenyamanan, ketenangan, kesejahteraan lahir dan batin. Termaksuk juga ciptaan tuhan yang lainya membutuhan kesinambungan dan kelestarian. Antara satu kehidupan dengan kehidupan lainnya ada yang memelihara da nada yang dipelihara. Dengan demikian bahwa dalam dunia ini senantiasa ada kebersamaan antara yang satu dengan yang lainya. Misalnya manusia dapat hilang hausnya karena air, pohon-pohan tidak layu karena disiram dengan air, binatang-binatang hidup dengan nyaman karena adanya air. Begitulah manfaat dan fungsi air bagi kehidupan ini. Dalam yajna bahwa air terutama tirta juga berfungsi sebagai pemelihara. Dalam Tri Murti, Dewa Wisnu sebagai penguasa air guna memelihara (stithi) semua ciptaan Tuhan, dan Dewa Indara sebagai penguasa hujan yang dapat memberikan air kehidupan dan air kesumburan pada semua makhluk hidup. (Baca: Reg Weda 1 bagian kedua, 5,2, Reg Weda 1, 2, 5, 5, Reg Weda. XIII, 65,2)



Dalam mantra Reg Weda diatas dijelaskan bahwa Dewa Indra menganugrahkan air suci untuk memelihara kehidupan dan untuk menemukan kebahagiannya. Kemudian disebutkan juga tentang fungsi air sebagai pemelihara kehidupan.


Kalau diperhatikan secara umum , air sebagai sarana upacara agama dipergunakan sebagai berikut:

Sebagai alat penyuci sarana upacara (tirta pembersih)
Sebagai Tirta Amerta atau sumber kehidupan
Sebagai wasuh pada yang disebut ancamannya dan padyargha
Sebagai air penyuci roh orang meninggal dalam fungsinya sebagai tirta pengentas
Sebagai air minum untuk tarpana dan juga keperluan minum sehari-hari.

Syarat Memohon Air Tirta


Dalam memperoleh air suci atau tirta, tentunya memiliki ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Ada pun syarat-syarat memohon tirta air suci adalah sebagai berikut:

Harus orang yang sudah bersih lahir batin.
Memakai pakaian yang khusus yang berhubungan dengan hal-hal yang suci.
Pemohon harus menghadap ke arah terbit matahari atau gunung setempat.
Kedua tangan diangkat sampai ke atas kepala dengan memegang suatu tempat khusus untuk tirta berisi bunga dalam air dan dupa sudah dinyatakan dipegang; (Upadesa:82)

Demikianlah beberapa uraian tentang makna dan fungsi air suci tirta sebagai sarana upacara umat hindu.


Reff: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/makna-dan-fungsi-air-suci-tirta-dalam.html
Susila, I Nyoman, dkk. 2009. Materi Pokok Acara Agama Hindu. Jakarta: Depag RI Dirjen Bimas Hindu
Wijaya, I Gde._.Upacara Yajna Agama Hindu. _:_
Wiana, I Ketut. 1994. Air Dan Fungsi Sarana Persembahyangan. _:_
Bhagavad Gita III.14