Jumat, 05 Mei 2023

Makna Nama - Nama Orang Bali




Nama orang Bali ini merupakan salah satu keunikan yang ada di Bali dan hingga saat ini sebagian besar orang Bali masih menggunakannya.
Mungkin Anda yang bukan orang Bali bertanya-tanya; mengapa nama depan orang Bali ada kemiripan satu sama lainya.

Orang Bali umumnya memiliki nama depan seperti I Putu, I Wayan, I Gede, I Made, I Nyoman, I Ketut, dst. Ada juga yang memiliki nama depan seperti: Ida Bagus, Cokorda, I Gusti, Anak Agung, dst. Lalu apa sebenarnya makna dari nama depan tersebut?

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Nama Orang Bali pada umumnya relatif panjang. Sebagai contoh I Dewa Agung Made Mahendra. Cukup panjang bukan? Itu padahal nama intinya hanya satu kata yaitu “Mahendra”, bisa jadi lebih panjang lagi jika nama intinya lebih dari satu kata.


Lalu apa maksud dari “I Dewa Agung Made” pada nama saya?

Nama orang Bali umumnya diawali dengan sebutan yang mencirikan kasta (wangsa) dan urutan kelahiran. Sebelum saya melanjutkan, disini saya tidak ingin membahas masalah kasta yang sering menjadi pro dan kontra di masyarakat khususnya di Bali.

Jadi, nama orang Bali menjadi panjang karena di depannya ada embel-embel kasta atau nama keluarga (semacam marga) dan urutan kelahiran. Seperti saya, “I Dewa Agung” adalah mencirikan saya berasal dari kasta Ksatria. Selain itu ada juga I Gusti, I Gusti Ngurah, Anak Agung, Cokorda, I Dewa, Ida Bagus, Ida Ayu dan lainnya. Selain embel-embel kasta, ada juga kata "Made". Ini adalah ciri bahwa saya anak kedua. Jadi pada umumnya orang Bali bisa diketahui dia anak ke berapa dari nama depannya.

Menurut "sastra kanda pat sari", Nama-nama depan khas Bali itu sejatinya tidak lebih sebagai semacam penanda urutan kelahiran sang anak, dari pertama hingga keempat, adalah sebagai berikut:

Anak pertama biasanya diberi awalan “Wayan” diambil dari kata wayahan yang artinya tertua / lebih tua, yang paling matang. Selain Wayan, nama depan untuk anak pertama juga kerap kali digunakan Putu atau Gede. Dua nama ini biasanya digunakan oleh orang Bali di belahan utara dan barat, sedangkan di Bali Timur dan Selatan cenderung memilih nama Wayan. kata “Putu” artinya cucu. Sedangkan “Gede” artinya besar / lebih besar. Dan untuk anak perempuan kadang diberi tambahan kata “Luh” Contoh : I wayan budi mahendra, Ni Putu Erni Andiani, I Gede Suardika, Ni Luh Putu Santhi dll
"Made" diambil dari kata madya (tengah) sehingga digunakan sebagai nama depan anak kedua. Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga kerap diberi nama depan "Nengah" yang juga diambil dari kata tengah. Ada juga yang menggunakan kata “Kadek” merupakan serapan dari “adi” yang kemudian menjadi “adek” yang bermakna utama, atau adik. Contoh: I Kadek Mardika, Ni Made Suasti, Nengah Sukarmi dll
Anak ketiga biasanya diberikan nama depan "Nyoman" atau "Komang" yang konon diambil dari kata nyeman (lebih tawar) yang mengambil perbandingan kepada lapisan kulit pohon pisang, di mana ada bagian yang selapis sebelum kulit terluar yang rasanya cukup tawar. Nyoman ini konon berasal dari serapan “anom + an” yang bermakna muda. Kemudian dalam perkembangan menjadi komang yang secara etimologis berasal dari kata uman yang bermakna “sisa” atau “akhir”. Jadi menurut pandangan hidup kami, sebaiknya sebuah keluarga memiliki tiga anak saja. Setalah beranak tiga, kita disarankan untuk lebih “bijaksana”. Namun zaman dahulu, obat herbal tradisional kurang efektif untuk mencegah kehamilan, coitus interruptus tidak layak diandalkan, dan aborsi selalu dipandang jahat, sehingga sepasang suami istri mungkin saja memiliki lebih dari tiga anak. Contoh: I Nyoman Indrayudha, Ni Komang Ariyuni dll
Anak keempat : diawali dengan sebutan “Ketut”, yang merupakan serapan “ke + tuut” – ngetut yang bermakna mengikuti mengikuti atau mengekor. Ada juga yang mengkaitkan dengan kata kuno Kitut yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir pisang. Ia adalah anak bonus yang tersayang. Karena program KB yang dianjurkan pemerintah, semakin sedikit orang Bali yang bertitel Ketut. Itu sebabnya ada kekhawatiran dari sementara orang Bali akan punahnya sebutan kesayangan ini. Contoh: I Ketut Nugraha, Ni Ketut Sudiasih dllOrang Bali memiliki sebuah tabu bahwa petani tidak boleh menyebut kata tikus, di Bali disebut bikul, di sawah, karena hal ini bagai mantra yang bisa memanggil tikus. Untuk itu di sawah, orang memanggilnya dengan julukan spesial ” Jero Ketut”. Ia bermakna tuan kecil. Ini berangkat dari pandangan bahwa tikus bagimanapun juga adalah bagian dari keseimbangan alam.



Bila keluarga berancana gagal, dan sebuah keluarga memiliki lebih dari empat anak? Di sini ada 2 alternatif yang bisa dipakai orang tua untuk memberi nama depan pada anak kelima, keenam, dan seterusnya:

Nama depan untuk anak kelima dan seterusnya mengulang kembali nama-nama depan sebelumnya sesuai urutannya.
Ada orang tua yang sengaja menambahkan kata "Balik" setelah nama depan anaknya untuk memberi tanda bahwa anak tersebut lahir setelah anak yang keempat. Contohnya: I Wayan Balik Suandra. Jadi nama depannya adalah "I Wayan Balik" yang menandakan bahwa dia adalah anak kelima, atau anak yang lahir setelah putaran 1 sampai 4.Selama ini, kalau seseorang sudah menggunakan nama depan Made, Komang atau Ketut, bisa dipastikan sebagai orang Jaba-kecuali untuk kelompok Brahmana di desa Buda Keling, Karangasem yang masih mempertahankan tradisi pemakaian nama Ida Wayan, Ida Made dan seterusnya.


Tidak jelas benar, kapan tradisi pemberian nama depan ini mulai muncul di Bali. Yang pasti, menurut pakar linguistik dari Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. nama depan itu ditemukan muncul pada abad ke-14 yang dipakai oleh raja Gelgel saat itu bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang kemudian dilanjutkan putranya, Dalem Ketut Ngulesir. Dalem Ketut Kresna Kepakisan merupakan putra keempat dari Sri Kresna Kepakisan yang dinobatkan mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai penguasa perpanjangan tangan Majapahit di Bali.

Namun, Jendra belum berani memastikan apakah hal itu berarti tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Yang jelas, hal ini terpelihara sebagai tradisi yang cukup lama. Masyarakat Bali hingga akhir abad XX masih tunduk menggunakannya hingga akhirnya menjadi semacam ciri khas untuk membedakan orang Bali dengan orang luar Bali, sebelum akhirnya secara perlahan mulai bergeser, tidak lagi ditaati secara ketat oleh orang Bali. Pengingkaran ini sejatinya telah dimulai ketika nama-nama pokok yang mengikuti nama depan orang Bali juga mulai bergeser.

Selanjutnya, untuk membedakan jenis kelamin, orang bali mengawali setiap nama dengan menambah satu kata lagi, yaitu

Awalan “I” untuk anak lelaki
Awalan “Ni” untuk anak perempuanTapi tidak semua kasta (wangsa) orang Bali menggunakan kata I atau Ni. Misalnya dari golongan Anak Agung semuanya akan diawali dengan kata “Anak Agung”, "Cokorda" dll.

Selain menunjukkan urutan kelahiran, ada nama depan tertentu yang menunjukkan kasta di bali. Penamaan berdasarkan Kasta ini merupakan gelar warisan turun temurun yang melekat pada keturunan orang Bali yang dulunya memiliki kelas tersendiri berdasarka profesinya.

Nama depan seperti "Ida Bagus" untuk pria atau "Ida Ayu" untuk wanita, menunjukkan bahwa dia berasal dari keturunan kasta Brahmana di Bali. Brahmana adalah kasta dari penggolongan profesi sebagai pemuka agama; misalnya pendeta. Contohnya: Ida Bagus Dharmaputra, Ida Ayu Diah Tantri.
Nama depan seperti "Anak Agung", "I Gusti Agung", "Cokorda", "I Dewa", "Desak" (perempuan), "Dewa Ayu" (perempuan), "Ni Gusti Ayu" (perempuan), dan "I Gusti Ngurah", ini berasal dari kasta Ksatria yang merupakan golongan profesi dari pelaksana pemerintahan dan pembela negara. Contohnya: Anak Agung Komang Panji Tisna, Anak Agung Ayu Wulandari, Cokorda Rai Sudarta, I Dewa Putu Kardana, I Gusti Ngurah Adiana, dll.Namun sering kali nama depan dari kasta-kasta (wangsa) di atas juga diikuti dengan urutan kelahiran. Seperti misalnya: Ida Bagus Putu Puja, Ida Ayu Komang Rasmini, I Gusti Agung Made Jayandara, Ni Gusti Ayu Putu Anggraeni, dll.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Sehingga bila ada yang bernama “I Dewa Agung Made Mahendra” itu artinya

“I” menunjukan jenis kelamin Pria
“Dewa Agung” menunjukan gelar Wangsa bukanlah kasta di bali
“Made” menujukan urutan kelahiran, dalam hal ini anak ke 2
“Mahendra” menunjukan nama.Disamping itu ada sapaan yang biasa diberikan oleh orang yang lebih kecil kepada yang lebih tua dan sebaliknya. Diantaranya:

Sapaan “Bli” atau "Wi" untuk setiap pria yang ditemui. Terlepas itu benar atau salah, orang Bali tidak pernah mempermasalahkan. Mereka lebih cenderung untuk menghargai pengunjung yang berusaha “menghormati” dengan sebutan yang lebih akrab seperti “Bli”.
Sebutan “Mbok” diberikan untuk wanita Bali.
Sapaan “Adi / adik” atau menyebut nama langsung diberikan kepada wanita ataupun pria yang lebih muda.Selain itu ada panggilan akrab yang sering didengar untuk memanggil orang bali yang masih kecil, anak remaja atau lebih muda (kira – kira belum menikah) diantaranya

Panggilan "Gus" untuk laki-laki. Gus ini bersumber pada kata “bagus” yang artinya tampan, ganteng
Panggilan "Gek" merupakan singkatan dari “Jegeg” yang artinya cantik, ayu.
Bila kita melihat maksud dan tujuan dari penyampaian yang tersirat dalam budaya masyarakat asli Bali, ada pelajaran yang dapat kita ambil didalamnya, yaitu kita harus selalu dapat menghormati kepada yang lebih tua. Dengan kata lain budaya merupakan pembelajaran norma-norma kehidupan yang tidak terlepas dari pada apa yang diajarkan oleh Tuhan kepada kita dalam hidup di alam semesta ini.

Demikian penjelasan saya tentang arti di balik nama-nama orang Bali. Semoga bermanfaat buat rekan yang membacanya. Mohon maaf bila ada nama saudara-saudara di Bali yang kebetulan saya sebutkan sebagai contoh dalam tulisan saya ini. Apabila ada kekurangan dalam penjelasan ini, saya menerima kritik dan saran dari rekan sekalian. Terima kasih

Sumber : cakepane.blogspot.com



Aura yang Muncul dari Tanaman Pekarangan Berdasarkan Penempatannya







BALI EXPRESS, GIANYAR - Keyakinan akan apa yang baik dan buruk ditanam di pekarangan rumah, sampai saat ini memang masih dianut masyarakat Bali. Karena di satu sisi ada tanaman yang bisa membawa aura positif, di sisi lain ada juga yang malah membawa aura negatif.


Sampai saat ini kerap terucap dari para orang tua, ketika melihat ada tanaman Ketapang atau Saba yang tumbuh di pekarangan rumah. “Kenapa menanam ketapang di pekarangan rumah. Nanti dihuni mahluk halus loh.” Nada protes seperti itu pun biasanya tak hanya untuk jenis tanaman Ketapang, namun juga untuk jenis tanaman lainnya. Menilik kata-kata para orang tua dulu, sebenarnya tak hanya jenis tanaman tertentu yang 'dilarang', karena sebaliknya juga menganjurkan untuk menanam jenis tanaman lainnya di pekarangan rumah.
Alasannya tentu beda, tanaman tersebut akan membawa damuh atau rezeki dan bisa juga menjadi pelindung bagi penghuni rumah.


- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI


Ida Bagus Putu Adi Suparta, pemilik Pasraman Upacara, Pasraman Taman Prakerti Buana di Beng, Gianyar, yang dihubungi Bali Express (Jawa Pos Group), akhir pekan kemarin, mengakui, memang ada jenis-jenis tanaman yang cocok ditanam di pekarangan rumah, dan ada pula yang tidak. Bahkan, menurut dia, tidak hanya ditentukan mana jenis tanaman yang cocok ditanam di pekarangan rumah semata, tapi juga jenis tanaman yang cocok ditanam di areal merajan, hingga di depan pekarangan rumah, diwangan (di luar) atau di samping angkul-angkul.



“Betul, secara keyakinan umat Hindu, khususnya di Bali, keyakinan seperti itu memang ada. Itu jelas tertuang dalam lontar Taru Premana. Bahkan di dalam lontar tersebut dengan jelas tertulis, mana jenis tanaman atau kayu jenis pohon tertentu yang cocok digunakan untuk bahan sanggah, atau untuk tapakan sasuhunan, semisal barong. Jadi, di lontar itu lengkap memuatnya,” ucapnya.



Dia pun membeber beberapa jenis tanaman yang menurut keyakinan hanya cocok ditanam di tempat tertentu.



Dijelaskannya, khusus untuk jenis tanaman yang paling cocok ditanam di areal merajan atau sanggah, ada beberapa jenis. Mulai dari jenis pohon Naga Sari, yang disebutkan dapat membawa aura sangat positif bagi pekarangan rumah, dan tentunya bagi keluarga yang menghuninya, seperti bisa membawa keselamatan, keamanan hingga kerukunan. Kemudian ada juga segala jenis tanaman Tunjung, yang juga disebut mengandung aura positif.

“Intinya segala jenis tanaman yang bunganya bisa digunakan untuk sembahyang, secara keyakinan sangat cocok untuk ditanam di merajan, termasuk Jepun. Karena secara aura, jenis tanaman ini membawa aura positif bagi rumah dan keluarga yang menghuninya,” paparnya.


Namun, khusus untuk jenis tanaman Jepun, lanjutnya, disarankan untuk tidak ditanam di halaman rumah, apalagi di depan bale daja. Larangan yang sama juga berlaku untuk jenis tanaman Kembang Kertas, sebab bisa membawa aura negatif. Berbeda jika Jepun dan Kembang Kertas ini ditanam di halaman merajan, yang malah akan membawa aura positif.


Nah, jika tanaman Jepun maupun Kembang Kertas menurut pria ini tak baik ditanam di depan bale daja di pakarangan rumah. Khusus untuk jenis Anggrek, dia sarankan untuk lebih banyak ditanam di halaman rumah. Lantaran Anggrek memiliki aura kesejukan, yang akan membawa kerukunan dan kesejukan dalam rumah tangga.


Selain Jepun (Kamboja) dan Kembang Kertas, Kaktus pun dia ingatkan juga tidak baik untuk ditanam berlebihan di pekarangan rumah. Lantaran Kaktus bisa membawa efek negatif, seperti sering menimbulkan gejolak dan ribut dalam rumah tangga.

“Terus untuk jenis tanaman berbuku juga tidak baik ditanam di halaman rumah, karena dapat menghambat rezeki. Apalagi kalau ditanam dalam jumlah yang berlebihan. Kalau untuk satu dua tanaman sih masih tidak terlalu masalah, asalkan tetap harus diimbangi dengan tanaman yang cocok, seperti tanaman bunga-bunga tadi,” bebernya.



Menurut pria yang juga pegawai di Dinas Pariwisata Gianyar ini, untuk jenis tanaman Kaktus ini malah akan membawa aura positif jika ditanam di depan rumah atau di sekitar depan angkul-angkul rumah. "Apalagi untuk jenis Kaktus Blatung Gada karena memiliki fungsi melindungi jika ada sesuatu, termasuk melindungi dari serangan negatif. Termasuk semua tanaman yang berduri, semisal Mawar, Kem, itu juga bagus untuk di luar rumah sebagai penjaga,” bebernya.


Diakui olehnya, bahwa aura sebuah pekarangan akan sangat positif, jika tanaman ditanam di lokasi yang sesuai. Misalnya ada tanaman Nagasari dan Tunjung di halaman merajan. Lalu di pekarangan rumah dilengkapi dengan Anggrek dan tanaman Semar Manjangan. Auranya pun semakin positif jika di depan rumah ditanami dengan tanaman berduri.

“Maka dengan kelengkapan itu, secara keyakinan akan sangat membawa atau merukunkan dalam sebuah rumah tangga yang hidup di dalam rumah dan pekarangan itu,” ungkapnya.



“Cuma saya ingatkan, kalau jenis Tunjung masih boleh di dua sisi. Artinya ditanam di merajan dan halaman rumah bisa. Kalau Nagasari memang khusus harus di merajan. Begitu juga jenis Kaktus itu juga harus diwangan (depan rumah),” tegasnya lagi.


Ida Bagus Putu Adi Suparta tak menyanggah mengenai beberapa jenis tanaman yang di masyarakat 'pantang' ditanam di halaman rumah, di antaranya Saba, Pule, Bingin, Keluh, lantaran diyakini bisa menjadi tempat untuk dihuni mahluk 'lain', seperti wong samar, jin, dan lainnya.

Dia mengatakan, untuk jenis pohon besar seperti Saba, Pule, Bingin, Kepuh, termasuk Ketapang memang menurut keyakinan tak baik ditanam di pekarangan rumah. Karena selain bisa menjadi hunian mahluk halus, dapat mengganggu penghuni rumah. Pohon-pohon jenis tersebut auranya lebih cocok ditanam di tempat umum, semisal pura, hingga kuburan. Lalu, bagaimana kalau ditanam di atas pot?

"Kalau ditanam di pot, aura negatifnya memang berkurang, karena tidak menyentuh langsung ibu pertiwi. Tapi, tetap saja aura negatifnya masih ada. Makanya, lebih baik memang ditanam di tempat umum,” bebernya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Pada dasarnya, lanjutnya, semua pohon mengandung aura negatif dan positif. "Cuma aura positifnya akan besar jika ditanam di tempat yang tepat. Begitu juga sebaliknya aura negatifnya akan semakin besar, jika ditanam di tempat yang tidak tepat,” pungkasnya.

(bx/wid/ima/rin/yes/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2018/02/05/46345/ini-aura-yang-muncul-dari-tanaman-pekarangan-berdasarkan-penempatannya


Rabu, 03 Mei 2023

Bhagavadgita Yoga Berhubungan dengan Kepribadian Yang Paling Utama





Bhagavadgita Bab XV - Yoga Berhubungan dengan Kepribadian Yang Paling Utama

Bhagavad-gita 15.1
15.1 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Dikatakan bahwa ada pohon beringin yang tidak dapat dimusnahkan yang akarnya ke atas dan cabangnya ke bawah, dan daun-daunnya adalah mantra-mantra veda. Orang yang mengetahui tentang pohon ini mengetahui veda.

Bhagavad-gita 15.2
15.2 Cabang-cabang pohon tersebut menjulur ke bawah dan ke atas, dipelihara oleh tiga sifat alam material. Ranting-ranting adalah obyek-obyek indria. Pohon tersebut juga mempunyai akar yang turun ke bawah , dan akar-akar tersebut terikat pada perbuatan masyarakat manusia yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil atau pahala.

Bhagavad-gita 15.3
Bhagavad-gita 15.4
15.3-4 Bentuk sejati pohon tersebut tidak dapat dipahami di dunia ini. Tidak ada orang yang dapat mengerti di mana pohon itu berakhir, di mana pohon itu mulai, atau di mana dasar pohon itu. Tetapi dengan ketabahan hati orang harus menebang pohon itu yang mempunyai akar yang kuat dengan memakai senjata ketidakterikatan. Kemudian, ia harus mencari suatu tempat sehingga setelah mencapai tempat itu, ia tidak akan pernah kembali lagi. Di tempat itu, ia harus menyerahkan diri kepada kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, asal mula segala sesuatu dan sumber perwujudan segala sesuatu sejak sebelum awal sejarah.

Bhagavad-gita 15.5
15. 5 Orang yang bebas dari kemasyuran palsu, khayalan dan pergaulan palsu, dan mengerti hal-hal yang kekal, sudah tidak mempunyai hubungan lagi dengan nafsu material, bebas dari hal-hal relatif berupa suka dan duka, tidak dibingungkan dan mengetahui bagaimana cara menyerahkan diri kepada kepribadian yang paling utama akan mencapai kerajaan yang kekal itu.


Bhagavad-gita 15.6
15.6 Tempat tinggal-Ku yang paling utama itu tidak diterangi oleh matahari, bulan, api maupun listrik. Orang yang mencapai tempat tinggal itu tidak pernah kembali lagi ke dunia material ini.

Bhagavad-gita 15.7
15.7 Para makhluk hidup di dunia yang terikat ini adalah bagian-bagian percikan yang kekal dari Diri-Ku. Oleh karena kehidupan yang terikat, mereka berjuang dengan keras sekali melawan enam indria, termasuk pikiran.

Bhagavad-gita 15.8
15.8 Makhluk hidup di dunia material membawa berbagai paham hidupnya dari satu badan ke badan yang lain seperti udara membawa berbagai bau. Dengan cara demikian ia menerima jenis badan tertentu, lalu sekali lagi meninggalkan badan itu untuk menerima badan lain.

Bhagavad-gita 15.9
15.9 Makhluk hidup, yang menerima badan kasar lain dengan cara seperti itu, memperoleh jenis telinga, mata, lidah, hidung, dan peraba tertentu tersusun di sekitar pikiran. Dengan demikian, ia menikmati pasangan obyek-obyek indria tetentu.

Bhagavad-gita 15.10
15.10 Orang bodoh tidak dapat mengerti bagaimana makhluk hidup dapat meninggalkan badannya, dan mereka tidak dapat mengerti jenis badan mana yang dinikmatinya di bawah pesona sifat-sifat alam. Tetapi orang yang matanya sudah terlatih dalam pengetahuan dapat melihat segala hal tersebut.

Bhagavad-gita 15.11
15.11 Para rohaniwan yang sedang berusaha, yang mantap dalam keinsafan diri, dapat melihat segala hal tersebut dengan jelas. Tetapi orang yang pikirannya belum berkembang dan belum mantap dalam keinsafan diri tidak dapat melihat apa yang sedang terjadi, meskipun mereka berusaha melihat.

Bhagavad-gita 15.12
15.12 Kemuliaan matahari, yang menghilangkan kegelapan seluruh dunia ini, berasal dari-Ku. Kemudian bulan dan kemuliaan api juga berasal dari-Ku.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Bhagavad-gita 15.13
15.13 Aku masuk ke dalam setiap planet, dan planet-planet itu tetap melintasi garis edarnya atas tenaga-Ku. Aku menjadi bulan dan dengan demikian menyediakan sari hidup kepada semua sayur.

Bhagavad-gita 15.14
15.14 Aku adalah api pencerna di dalam badan-badan semua makhluk hidup, dan Aku bergabung dengan udara kehidupan, yang keluar dan masuk, untuk mencernakan empat jenis makanan.

Bhagavad-gita 15.15
15.15 Aku bersemayam di dalam hati setiap makhluk, ingatan, pengetahuan, dan pelupaan berasal dari-Ku. Akulah yang harus diketahui dari segala veda; memang Akulah yang menyusun Vedanta, dan Akulah yang mengetahui veda.

Bhagavad-gita 15.16
15.16 Ada dua golongan makhluk hidup, yaitu yang dapat gagal dan yang tidak. Di dunia material semua makhluk hidup dapat gagal, dan di dunia rohani setiap makhluk hidup tidak pernah gagal.

Bhagavad-gita 15.17
15.17 Di samping dua golongan tersebut, ada kepribadian yang paling utama yang hidup, yaitu Roh Yang Paling Utama, Tuhan Yang Maha Esa sendiri yang tidak dapat dimusnahkan, yang sudah memasuki tiga dunia dan sedang memeliharanya.

Bhagavad-gita 15.18
15.18 Oleh karena Aku bersifat rohani, di luar yang dapat gagal dan yang tidak pernah gagal, dan oleh karena Aku adalah Yang Mahabesar, Aku dimuliakan, baik di dunia maupun dalam veda, sebagai kepribadian yang paling utama itu.

Bhagavad-gita 15.19
15.19 Siapa pun yang mengenal Aku sebagai kepribadian Tuhan Yang Maha Esa tanpa ragu-ragu, mengetahui segala sesuatu. Karena itu, ia sepenuhnya menekuni pengabdian suci bhakti kepada-Ku, wahai putera Bharata.

Bhagavad-gita 15.20
15.20 Inilah bagian yang paling rahasia dari kitab-kitab veda, wahai yang tidak berdosa, dan sekarang bagian itu kuungkapkan. Siapapun yang mengerti ini akan menjadi bijaksana, dan usaha-usahanya akan mencapai kesempurnaan.

Sumber : cakepane.blogspot.com



Cara Mempraktikkan Ajaran Tantra, Yantra, dan Mantra dalam Agama Hindu



Adapaun cara mempraktikan ajaran Tantra, Yantra, dan Mantra menurut ajaran agama Hindu dapat dijelaskan sebagai berikut:


A. Tantra


Tantra atau yang sering disebut tantrisme adalah ajaran dalam Agama Hindu yang mengandung unsur mistik dan kekuatan gaib. “Tantra adalah bagian dari Saktisme, yaitu pemujaan kepada Ibu Semesta. Dalam proses pemujaannya, para pemuja Sakta tersebut menggunakan mantra, yantra, dan tantra, yoga, dan puja serta melibatkan kekuatan alam semesta dan membangkitkan kekuatan kundalini. Bagaimana praktik ajaran tantra, berikut ini dapat dipaparkan, antara lain;



photo; vajrabuddha

1. Memuja Shakti


Tantra disebut Saktiisme, karena yang dijadikan obyek persembahannya adalah shakti. Shakti dilukiskan sebagai Devi, sumber kekuatan atau tenaga. Shakti adalah simbol dari bala atau kekuatan ‘Shakti is the symbol of bala or strength’ Pada sisi lain shakti juga disamakan dengan energi atau kala ‘This sakti or energi is also regarded as “Kala” or time’ (Das Gupta, 1955 : 100).


Tantra merupakan ajaran filosofis yang pada umumnya mengajarkan pemujaan kepada shakti sebagai obyek utama pemujaan, dan memandang alam semesta sebagai permainan atau kegiatan rohani dari Shakti dan Siwa. Tantra juga mengacu kepada kitab-kitab yang pada umumnya berhubungan dengan pemujaan kepada Shakti (Ibu Semesta, misalnya Devi Durga, Devi Kali, Parwati, Laksmi, dan sebagainya), sebagai aspek Tuhan Yang Tertinggi dan sangat erat kaitannya dengan praktek spiritual dan bentuk-bentuk ritual pemujaan, yang bertujuan membebaskan seseorang dari kebodohan, dan mencapai pembebasan. Dengan demikian Tantrisme lebih sering didefinisikan sebagai suatu paham kepercayaan yang memusatkan pemujaan pada bentuk shakti yang berisi tentang tata cara upacara keagamaan, filsafat, dan cabang ilmu pengetahuan lainnya, yang ditemukan dalam percakapan antara Deva Siwa dan Devi Parwati, maupun antara Buddha dan Devi Tara.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

2. Meyakini Pengalaman Mistis


Tantra bukan merupakan sebuah sistem filsafat yang bersifat padu (koheren), tetapi tantra merupakan akumulasi dari berbagai praktek dan gagasan yang memiliki ciri utama penggunaan ritual, yang ditandai dengan pemanfaatan sesuatu yang bersifat duniawi (mundane). Untuk menggapai dan mencapai sesuatu yang rohani (supra-mundane), serta penyamaan atau pengidentikan antara unsur mikrokosmos dengan unsur makrokosmos perlu diupayakan. Praktisi tantra memanfaatkan prana (energi semesta) yang mengalir di seluruh alam semesta (termasuk dalam badan manusia) untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan itu bisa berupa tujuan material, bisa pula tujuan spiritual, atau gabungan keduanya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 201).


Para penganut tantra meyakini bahwa pengalaman mistis adalah merupakan suatu keharusan yang menjamin keberhasilan seseorang dalam menekuni tantra. Beberapa jenis tantra membutuhkan kehadiran seorang guru yang mahir untuk membimbing kemajuan siswa tantra.


3. Simbol-Simbol Erotis


Dalam perkembangannya dimana tantra sering menggunakan simbol- simbol material termasuk simbol-simbol erotis. Tantra sering kali diidentikkan dengan ajaran kiri yang mengajarkan pemenuhan nafsu seksual, pembunuhan dan kepuasan makan daging. Padahal beberapa perguruan tantra yang saat ini mempopulerkan diri sebagai tantra putih menjadikan pantangan mabuk-mabukan, makan daging dan hubungan seksual sebagai sadhana dasar dalam meniti jalan tantra.


Beberapa orang Indolog beranggapan bahwa ada hubungan antara Konsep-Devi (Mother- Goddes) yang bukti-buktinya terdapat dalam suatu zeal di Lembah Sindhu (sekarang ada di Pakistan), dengan Konsep Mahanirwana Tantra. Konsep ini berpangkal pada percakapan Devi Parwati dengan Deva Siva yang menguraikan turunnya Devi Durga ke Bumi pada zaman Kali untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan perilaku.


4. Penyelamat Dunia Dari Kehancuran


Dalam beberapa sumber Devi Durga juga disebut “Candi”. Dari sinilah pada mulanya muncul istilah “candi” (candikaghra) untuk menamai bangunan suci sebagai tempat memuja Deva dan arwah yang telah suci. Peran Devi Durga dalam menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan perilaku disebut kalimosada. Kalimosada (Kali-maha-usada), yang artinya Devi Durga adalah obat yang paling mujarab dalam zaman kekacauan moral, pikiran dan perilaku; sedangkan misi Beliau turun ke bumi disebut Kalika-Dharma. Seiring pendistorsian ajaran Hindu di Indonesia. Apakah kalimosada ‘Kalimat Syahadat’?


5. Mewarnai kKbudayaan dan Keagamaan


Prinsip-prinsip Tantra terdapat dalam buku bernama Nigama, sedangkan praktek-prakteknya dalam buku Agama. Sebagian buku-buku kono itu telah hilang dan sebagian lagi tak dapat dimengerti karena tertulis dalam tulisan rahasia untuk menjaga kerahasiaan Tantra terhadap mereka yang tak memperoleh inisiasi. Ada beberapa jenis kitab yang memuat ajaran Tantrayana, yaitu antara lain : Maha Nirwana Tantra, Kularnawa Tantra, Tantra Bidhana, Yoginirdaya Tantra, Tantra sara, dsb (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 202).


Dalam perkembangannya, praktik tantra ini juga selalu mewarnai kebudayaan dan keagamaan yang berkembang di nusantara. Hal ini dapat dilihat dari berbagai jenis peninggalan prasasti, candi dan arca- arca bercorak tantrik. Karakteristik tantrisme di India secara alami ajaran-ajarannya yang berpedoman pada Veda, mengalir ke Indonesia. Konsekuensinya, bahwa ajaran-ajaran Tantra yang bersumber pada Veda, di Indonesia berkembang sebagaimana yang diharapkan oleh para pengikutnya.


B. Yantra


Yantra adalah sarana dan tempat memusatkan pikiran. Adapun unsur-unsur sebuah yantra adalah: Titik (bindu), garis lurus, segi tiga, lingkaran, heksagon (persegi enam), bujur sangkar, bintang (pentagon), garis melintang, svastika, bintang segi enam (star heksagon), dan padma yang untuk lebih jelasnya dapat diterangkan sebagai berikut:


1. Bindu (titik)


Titik adalah yang meresapi semua konsep ruang, setiap gerakan, setiap bentuk, dapat dipahami sebagai terbuat dari titik-titik. Ruang alam, ether, merupakan tempat, yaitu kemungkinan penegasan tempat-tempat tertentu atau titik-titik. Yang meresapi segala, yang terbentang merupakan titik secara matematik merupakan ekspresi dari sifat ether. Titik dapat juga menggambarkan keterbatasan perbedaan yang satu eksistensi atau asal manifestasi yang satu dengan yang lainnya.


Ketika sesuatu eksistensi dalam tingkat tidak termanifestasi menjadi bermanifestasi, maka manifestasi mulai di berbagai tempat, dalam beberapa titik di ruang angkasa, dalam beberapa titik waktu. Dan hal itu mesti terjadi secara spontan yang pada mulanya sesuatu tidak muncul dan selanjutnya menampakkan diri dalam suatu lokasi. Spontanitas pertama ketika sesuatu belum menampakkan diri dan kemudian muncul dengan cukup digambarkan melalui titik, yang bisa dijelaskan sebagai “suatu manifestasi yang terbatas”.


2. Garis Lurus



Ketika sebuah titik bergerak secara bebas dalam aktrasinya yang abadi, gerakannya itu berbentuk garis lurus. Garis lurus dipakai untuk menggambarkan gerakan yang tiada merintangi, demikianlah prinsip dari semua perkembangan (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 203).


3. Segi Tiga


Perkembangan dipadukan untuk bangkit atau sebuah gerakan ke arah atas dapat digambarkan dengan sebuah anak panah atau lidah api. Segi tiga dengan pucaknya ke atas melambangkan api, diidentifikasikan dengan prinsip laki-laki, lingga atau phallus, simbol Siva, leluhur atau manusia kosmos (purusa). Segala gerakan ke atas adalah sifat dari unsur api, aktivitas mental dalam bentuknya yang halus. Simbol bilangannya adalah nomor 3.


Segi tiga dengan puncaknya ke bawah menggambarkan kekuatan kelembaman yang di tarik ke bawah, dan tendesi aktivitas menekan. Hal ini disosiasikan dengan unsur air, yang tendensinya selalu ke bawah, merata pada levelkanya. Hal ini merupakan aspek pasif dari ciptaan dan bila dilambangkan dengan ‘yoni’ atau prinsip wanita, yang merupakan lambang dari Energi (sakti) atau sifat Kosmik (prakrti). Simbol lainnya diasiosasikan dengan unsur air adalah lengkung dari sebuah lingkaran, bulan sabit dan gelombang. Angka bilangan yang menjadi simbolnya adalah angka 2.


4. Lingkaran


Gerak dari lingkaran muncul melalui revolusi planet-planet. Hal ini merupakan simbol dari semuanya kembali lagi, semua siklus, semua irama, yang membuat kemungkinan adanyaeksistensi. Gerakan melingkar adalah kecenderungan sifat rajas (berputar) yang merupakan sifat dari manifestasi yang dapat dimengerti. Pusat lingkaran, bagaimanapun, dapat melambangkan ciptaan yang dapat ditarik ke dalam, energi yang bergelung, yang ketika dibangkitkan, mengantarkan semua mahluk dapat menyeberangi ruang dan bentuk manifestasi dan mencapai tingkat kebebasan.


5. Persegi Enam (Hexagon)


Lingkaran kadang-kadang dijadikan sebuah unsur dari sebuah udara, meskipun secara konvensional simbol untuk udara adalah persegi enam (hexagon). Gerakan merupakan sifat dari udara, namun gerakannya tidak teratur (kacau), gerakannya yang banyak di gambarkan melalui perkalian dari angka primer 2 dan 3, yang merupakan bilangan alami yang tidak bernyawa (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 204).


6. Bujur Sangkar


“Gerakan perpanjangan yang dihubungkan dengan banyak sisi. Di antara figur banyak sisi satu dengan unsur yang sangat sedikit (bagian dari segi tiga) adalah bujur sangkar. Bujur sangkar dijadikan lambang bumi. Bujur sangkar ini melambangkan unsur bunyi” (Devaraja Vidya Vacaspati, “Mantra-Yantra-Tantra, seperti dikutip Danielou, 1964: 353). Angka bilangan yang merupakan simbol bumi adalah 4.


7. Bintang (Pentagon)


Segala kehidupan yang tidak bernyawa dipercaya diatur dengan angka bilangan 3 dan dikalikan 2 dan 3. Kehidupan, sensasi, permunculan hanyalah ketika nomor 5 menjadi sebuah komponen di dalam struktur segala sesuatu. Nomor 5 diasosiasikan dengan Siva, Leluhur umat segalanya, sumber kehidupan. Bintang diasosiasikan dengan cinta dan nafsu seperti halnya kekuatan untuk memisahkan. Hal ini merupakan unsur yang sangat penting dari yantra-yantra yang bersifat magis.

8. Tanda Tambah


Ketika titik berkembang dalam ruang mengarah ke 4 jurusan, terjadilah tanda tambah. Tanda ini merupakan simbol dari perkembangan titik di dalam ruang seperti halnya juga pengkerutan (reduksi) ruang menjadi satu (ke titik tengah). Hal ini menunjukkan bahwa satu kekuatan bisa berkembang berlipat ganda. Di Bali tanda tambah ini disebut “tapak dara”, tanda bekas diinjak burung merpati, digunakan untuk mengembalikan keseimbangan kekuatan gaib.


9. Svastika


Pengetahuan yang Transcendent dikatakan “berliku-liku” karena pengetahuannya tidak langsung dapat dipahami, di luar lingkup logika umat manusia. Tanda tambah yang sederhana tidak hanya menggambarkan reduksi ruang menuju satu kesatuan, tetapi juga lapangan manifestasi yang dari titik pusat, bindu, simbol ether, mengembang ke 4 arah mata angin dan 4 unsur yang nampak.


Hal ini, tidak benar dilihat dari pandangan ke-Devataan yang luhur, yang tidak dapat diambil sedemikian rupa dalam satu kesatuan. Hal ini diperlihatkan dengan cabang berliku dari kemurahan svastika, yang bagaimanapun dihubungkan dengan titik pusat material, saat ini titik tidak dapat ditentukan luas ruang angkasa (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 205).


10. Bintang Segi Enam (Hexagon)


Bintang segi enam (hexagon) atau kenyataannya dalam bentuk dodecagon adalah salah satu unsur yantra yang sangat umum. Dibuat dari dua segi tiga yang saling tembus (penetrasi). Kita dapat melihat segi tiga yang puncaknya menghadap ke atas menggambarkan Manusia Kosmos (purusa) dan segi tiga yang ujungnya ke bawah merupakan Sifat Kosmos (prakrti).


Ketika bersatu dan dalam keadaan seimbang, keduanya berbentuk bintang “segi enam” (hexagon), merupakan basis dari roda (cakra) simbol tedensi ketiga atau tedensi rajas dari padanya alam semesta menampakkan diri. Lingkaran yang mengelilingi bintang segi enam menggambarkan lapangan bersatunya kedua segi tiga itu, dan hal itu merupakan ruang dari waktu. Ketika kedua segi tiga itu dipisahkan, alam semesta hancur, waktu melenyapkan segala yang ada. Hal ini ditunjukan dengan bertemunya dua ujung segi tiga atas dan segi tiga bawah pada satu titik (bentuk hourglass), kendang (damaru) Sang Hyang Siva.


11. Bunga Padma


Segala simbol-simbol bilangan menggambarkan kesatuan tertentu yang ditunjukkan di dalam yantra sebagai bunga yang bentuknya bundar yang disebut bunga padma.


Ada beberapa jenis Yantra yang utama, yang dapat kita kenal dalam praktiknya dimasyarakat, antara lain sebagai berikut:


1. Yantra-raja (raja Yantra)


Raja dari yantra digambarkan di dalam Mahanirvana Tantra. “Gambar segi tiga dengan di tengah-tengahnya ditulis bija mantra Hrim (wujud ilusi). Di luarnya digambarkan dua lingkaran, yang pertama mengelilingi segi tiga, dan yang ke dua melingkari lingkatan yang pertama. Antara lingkaran yang pertama dengan yang kedua dibagi enam belas dengan tanda kawat pijar, dan delapan daun bunga padma (masing-masing) selembar diantara gambar dua kawat pijar tersebut. Di luar lingkaran yang paling luar adalah kota yang sifatnya Kebumian, yang akan langsung membuat garis lurus dengan empat pintu masuk dan penampilannya akan menyenangkan. Di dalam acara yang menyenangkan para devata, penyembah akan menggambar yantra, apakah terbuat dari jarum emas atau duri kayu bell (bila) atau dengan potongan emas, atau perak, atau tembaga yang telah diurapi dengan svayambhu, kunda atau bunga gola, atau tepung cendana, harumnya daun gaharu, kumkuma atau tepung cendana merah yang dibuat seperti paste (Mahanirvana Tantra 5.172-76) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 206).


Tujuan dari yantra ini untuk menciptakan hubungan dengan dunia supranatural. Dengan bantuan-Nya, penyembah mendapatkan semua pahala kedunawian dan kekuatan supranatural. Di dalamnya adalah yantra dengan karakter Hrim, sebagai lambang dari Devi keberuntungan Laksmi. Di luarnya terdapat segi tiga yang berapi-api yang menuju gerakan ke atas dari energi yang bergelung (Kundalini). Enam belas kawat pijar menggambarkan pencapaian kesempurnaan (16 adalah angka yang sempurna), delapan kelopak bunga teratai menggambarkan yang meresapi segala menuju ke atas, yang tidak lain adalah Visnu.

Lingkaran luar adalah penciptaan, bundaran yang bergerak dari padanya segala sesuatu lahir. Kekuatan mengatasi dunia yang nampak diperlihatkan dengan persegi empat bujur sangkar, simbol bumi. Di empat sisi adalah 4 pintu yang mengantarkan seseorang dari alam duniawi ke alam atas (spiritual). Ke utara (yakni sebelah kiri) adalah pintu menuju Deva-Deva (devayana). Keselatan (yakni sebelah kanan) menuju kealam leluhur (pitrayana), ke Timur (sisi atas) jalan menuju ke Surya (kepanditaan), dan ke Barat (sisi bawah) adalah jalan keagungan, jalan menuju penguasa air (Varuna). Empat pintu tersebut mengantar ke empat penjuru angin, membentuk tanda tambah, simbol keuniversalan. Tanda tambah berkembang menjadi dua buah svastika yang menunjukan bahwa ada dua jalan utama, yaitu kiri dan kanan.


2. Yantra-Sarvatobhadra (Yantra Penjaga Seluruh Penjuru)


Yantra ini dijelaskan di dalam kitab Gautamiya Tantra (30.102-108). Yantra ini dikatakan saran untuk dapat memenuhi semua keinginan, sekarang dan yang akan datang, di dunia nyata dan di dunia yang gaib. “Namanya, berarti bujur sangkar yang rata”, dan juga berarti kendaraan Deva Visnu. Menunjukkan keadaan yang seimbang antara aktivitas dan istirahat, keterikatan dan penyangkalan. Ia yang dari segala sisi seimbang dengan dirinya, di dalam atau di luar, kesuburan dan buah yang dihasilkan. Ia yang dengan teguh duduk dalam kereta hidupnya, dijaga dari segala sisi, sempurna dari seluruh sisi, bebas dari bencana (Danielou 1964:356). Yantra ini terdiri dari 8 bujur sangkar setiap sisinya, oleh karenanya adalah Visnu Yantra, berhubungan dengan sikap sattvam, jalan kanan.


3. Yantra-Smarahara (Pengusir Keinginan)


Uraian tentang Yantra ini dijelakan dalam kitab Syamastava Tantra, sloka 18, dibentuk dari 5 buah segi tiga, merupakan Siva yantra, angka 5 berhubungan dengan sebagai bapak dan dasar pemusnah. Segi tiga yang melambangkan lingga yang tajam, phallus api (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 207).


“Melalui kekuatan yantra ini, seseorang dapat menundukkan nafsu (Kama). Seorang sadhaka yang menggapai pelajaran ini senantiasa dijaga dengan baik, tidak ada musuh yang mendekatinya, musuh yang menggunakan senjata nafsu (seksual), kemarahan, ketamakan, khayalan, penderitaan dan kekuatan. (hal ini merupakan instrumen untuk menyelesaikan kekuatan magis) dan para penyembah dapat pergi kemana saja dengan menyenangkan dan juga ke dunia yang lain tanpa menemukan halangan. Sesungguhnya yantra ini menolong seseorang untuk memadamkan kekuatan nafsu (seksual) dan khayalan hidup” (Danielou, loc.cit).


Mengusir keinginan digunakan untuk menghancurkan musuh abadi seperti juga halnya seseorang menaklukkan dirinya sendiri. Digunakan juga sebagai alat ilmu hitam dijelaskan di dalam kitab Yantracintamani (7.5).


4. Yantra-Smarahara (Bentuk Yang Ke-2)



Yantra ini adalah yantra smarahara dalam bentuknya yang lain (bentuk ke 2), dijelaskan di kitab Kali Tantra. “Ini juga yantra 5 segi tiga, tetapi berada di dalam yang satu dan yang lain. Dua segi tiga adalah lambang wanita (satu ujungnya menghadap ke atas) berair, tiga buah segi tiga lainnya adalah lambang laki-laki (satu ujungnya menhadap ke bawah) berapi. Setiap tindakan manifestasi-Nya adalah sebagai pengganti api dan upacara persembahan, melalap dan dilalap, laki-laki dan wanita. Yantra ini adalah benar-benar lampiran kulit berturut-turut yang menutupi roh individu yang menjadikan mahluk hidup. Lingkaran dalam adalah energi yang bergelung (kundalini) yang bila dibangunkan, akan naik melintasi 5 angkasa manifestasi ke dalam maupun ke luar. Lingkaran luar menunjukkan kekuatan kreatif dari api yang membangkitkan untuk bermanifestasi di tengah-tengah air di samudra purba.


Delapan kelopak daun bunga teratai adalah prinsip pemeliharaan alam semesta, Juga adalah Visnu yang secara stabil memanifest di bumi. Di luar itu bujur sangkar, bumi, dengan 4 buah pintu dan dua buah svastika.


5. Yantra-Mukti (Yantra untuk Mencapai Kebebasan)


Yantra ini dijelaskan dalam kitab Kumarikalpatantra. Dibuat dari bujur sangkar, dan sebuah segi tiga yang tajam, sebuah segi tiga yang berair, sebuah segi enam dan sebuah lingkaran, di dalamnya terdapat satu yang lain. seluruhnya dikelilingi persegi delapan dan sebuah bujur sangkar dengan 4 pintu. Di tengah-tengah adalah Bija Maya (Hrim menunjukkan prinsip yang lain yang mana setiap makhluk hidup dapat menguasainya untuk mencapai tujuannya yakni mencapai kebebasan (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 208).


6. Yantra Sri Cakra (Yantra untuk Memperoleh Keberuntungan)


Sri Cakra atau Roda Keberuntungan, yang melambangkan Devi Ibu Alam Semesta, salah satu yantra yang utama digunakan untuk menghadirkan para devata.


7. Yantra Ganapati (Yantra Untuk Memperoleh Perlidungan)


Ganapati yantra merupakan titk-titik untuk identitas dari makro dan mikro kosmos.


8. Yantra Visnu (Yantra Untuk Memperoleh Kemakmuran)


Visnu yantra diekspresikan dengan meresapi segalanya dan sifat sattva, sifat menuju kearah atas.


Berdasarkan jenisnya yantra tersebut memiliki fungsi masing-masing. Adapun fungsi dari masing-masing yantra tersebut, antara lain:

Yantra-raja berfungsi sebagai yantra yang tertinggi, memenuhi segala permohonan.
Yantra Sarvatobhadra berfungsi untuk mengamankan lingkungan atau tempat tinggal.
Yantra Smarahara berfungsi untuk melenyapkan keinginan, terutama ketika melakukan meditasi.
Yantra Mukti berfungsi sebagai penuntun bagi seseorang untuk mencapai moksa (kelepasan).
Yantra Sri Cakra berfungsi utuk memperoleh keberuntungan.
Yantra Ganapati berfungsi untuk memperoleh perlindungan dan keselamatan.
Yantra Visnu berfungsi untuk memperoleh kemakmuran.
Langkah-langkah pendahuluan ditetapkan sebelum melakukan pemujaan melalui yantra, atau pratima. Pertama, pemuja harus memusatkan pikiran kepada devata, lalu di-nyasa-kan di dalam diri sendiri. Selanjutnya devata itu di-nyasa-kan ke dalam yantra. Ketika devata sudah bersthana di dalam yantra, prana devata itu telah merasuk ke dalamnya dengan prana pratistha, mantra dan mudra. Devata saat itu telah bersthana di dalam yantra, yang menjadikan yantra itu tidak lagi sekedar benda mati, tetapi setelah upacara ritual, diyakini oleh sadhaka dan buat pertama kaliya Ia disambut dan dipuja. Mantra itu sendiri adalah devata dan yantra adalah jasad dari devata yang adalah (tidak lain) mantra (Avalon, 1997: 95) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 209).


C. Mantra


Tidak terhitung jumlahnya mantra. Semua sabda Tuhan Yang Maha Esa di dalam kitab suci Veda adalah mantra. Walaupun demikin banyak jumlahnya, mantra-mantra itu dapat dibedakan menjadi 4 jenis sesuai dengan dampak atau pahala dari pengucapan mantra, antara lain ;

Siddha, yang pasti (berhasil).
Sadhya, (yang penuh pertolongan).
Susiddha, (yang dapat menyelesaikan).
Ari, musuh (Visvasara).

“Siddhamantra memberikan pahala langsung tidak tertutupi dengan waktu tertentu. Sadhyamantra berpahala bila digunakan dengan sarana tasbih dan persembahan (ritual). Susidhamantra, mantra tersebut pahalanya segera diperoleh, dan Arimantra, menghancurkan siapa saja yang mengucapkan mantra tersebut (Mantra Mahodadhi, 24, 23).


Mantra-mantra tersebut akan berhasil (siddhi) sangat tergantung pada kualitas (kesucian) dari pemuja, dalam hal ini orang yang megucapkan mantra tersebut (Danielou, 1964: 338-349). Membaca mantra bermanfaat dalam proses pembinaan spiritual, dan sekaligus menerima berkah dari para mahluk suci. Seperti halnya pembinaan spiritual lainnya, membaca mantra mempunyai berbagai macam tingkatan tergantung dari tingkat kehidupan spiritual masing- masing para pembacanya. Berikut dapat diuraikan “tata cara singkat membaca Mantra Suci” sebagai berikut;


Kedua tangan harus dibersihkan dengan air bersih; Mulut harus dikumur bersih dengan air bersih; sebaiknya meminum segelas air putih bersih; Jika memungkinkan ambil posisi lotus (meditasi); Ambil nafas dalam-dalam hingga keperut, lalu hembuskan perlahan-lahan hingga habis. Ulangi 3x; Katupkan kedua ibujari dengan posisi menempel dekat dengan hulu hati, atau bila mempergunakan ‘mala’ letakan mala ditangan kiri, pegang dengan 4 jari (kecuali ibu jari); Bayangkan kehadiran mahluk suci dihadapan kita memancarkan sinar hingga menyinari seluruh tubuh kita; Ibu jari lalu menarik satu butir mala kedalam sambil mengucapkan mantra dalam hati, dan seterusnya hingga beberapa putaran mala.


Dalam membaca mantra suci yang perlu diketahui dan diperhatikan adalah:
a. Bagi para pemula, jangan membaca mantra terlalu cepat.
b. Jaga irama tempo yang seirama, sehingga dapat dihayati maknanya satu persatu.
c. Usahakan jangan berhenti di tengah putaran mala, selesaikan dahulu putaran mala hingga tuntas.


Semoga berhasil dengan baik (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 210).


Berikut ini adalah beberapa mantra yang sering dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh umat sedharma, antara lain;


1. Puja Trisandhya


“Oý Oý Oý bhùr bhuwaá swaá, tat sawitur warenyaý,
bhargo Devasya dhimahi, dhiyo yo naá pracodayàt.


“Oý nàràyana evedaý sarwaý yad bhutaý yacco bhàwyaý niskalanko niranjano nirwikalpo niràkhyàtaá
cuddho dewo eko
nàràyano na dwitiyo asti kaccit. “Oý twaý ciwas twaý mahàdevaá Icwaraá paramecwaraá
Brahmà wisnucca rudracca Purusah parikirtitàá.


“Oý pàpo ‘haý pàpakarmàhaý Pàpàtma pàpasambhawaá
Tràhi màý pundarikàksa Sabàhyàbhyantarah suciá.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


“Oý ksamaswa màý Mahàdeva Sarwapràni hitangkara
Màý moca sarwa pàpehbyaá Pàlayaswa sadà Úiva.


“Oý Kûàntawyaá kayiko doûàá Kûantawyo vàciko mama, Ksàntawyo mànaso dosàh
Tat pramàdàt ksamaswa màm “Oý úantiá úantiá úantiá oý” (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 211).


Terjemahan:


Om, marilah kita sembahyang pada kecemerlangan dan ke Maha Muliaan Sang Hyang widhi, yang ada di dunia, di langit, di surga, semoga Ia berikan semangat pikiran kita;


Om, semua yang ada ini berasal dari Sang Hyang Widhi, baik yang telah ada maupun yang akan ada, ia bersifat niskala, sunyi, mengatasi kegelapan, tidak dapat musnah, suci Ia hanya tunggal, tidak ada yang kedua;


Om, engkau dipanggil Siwa, Maha Deva, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, Rudra, an Purusa;
Om, hamba ini papa, hamba berbuat papa, diri hamba papa, kelahiran hamba pun papa. Lindungilah hamba ya Sang Hyang Widhi, sucikanlah jiwa dan raga hamba;


Om, ampunilah hamba, oh Hyang Widhi, yang memberikan keselamatan kepada semua makhluk, bebaskan hamba dari segala dosa, lindungilah, oh Sang Hyang Widhi;


Om, hendaknya diampuni dosa-dosa yang dikerjakan oleh badan hamba, hendaknya diampuni dosa-dosa yang dikerjakan oleh kata-kata hamba, hendaknya diampuni dosa-dosa yang dikerjakan oleh pikiran hamba, ampunilah hamba dari segala kelalaian. Om, damai, damai, damai, om.


2. Brahmabija atau Omkara (Pranava)


AUM


Terjemahan:


“saya berbakti”, “Saya setuju”, “Saya menerima”, dalam bahasa yang mendasar. “sesungguhnya suku kata ini adalah persetujuan, sebagai wujud persetujuan apa yang telah disetujui, ia ucapkan secara sederhana, AUM. Sungguh mantra ini adalah realisasi, tentang sesuatu, persetujuan” (Chandogya Upanisad I.1.8).


Mantra ini ditujukan untuk membimbing seseorang untuk mencapai realisasi tertinggi, mencapai kebebasan dari keterikatan, untuk mencapai Realitas Tertinggi (Brahman).
Penggunaannya setiap mulai acara ritual, mulai dan mengakhiri mantra (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 212).


3. Brahma Mantra


"Aum Sat-cit-ekam Brahma"


Terjemahan:


Tuhan yang Maha Agung adalah Kesatuan, Keberadaan, dan kesadaran.


Mantra ini digunakan untuk mencapai tujuan terpenuhinya catur purusa artha, kebenaran, kemakmuran, kesenangan dan kebebasan.

Di samping vijamantra seperti dikutipkan di atas, di Bali kita warisi pula mantra-mantra yang oleh C.Hooykas telah dihimpun dan dikaji dalam bukunya Stuti and Stava of Balinese Brahman Priests, Saiva, Buddha and Vaisnava (1971). Beberapa mantra tersebut senantiasa digunakan oleh para pandita Hindu dalam melaksanakan pemujaan dan persembahyangannya, di antaranya sebagai berikut:


4. Surya Stava


Om Adityasya param jyoti, rakta-teja namo’ stu te Sveta-pankaja-madhyastha, Bhaskaraya namo ‘stu te


Terjemahan:


Om Hyang Widhi, Yang berwujud kemegahan yang agung putra Aditi, Dengan kilauan yang merah, sembah kehadapan-Mu, Dikau yang bersthana di tengah sekuntum teratai putih, Sembah kehadapan-Mu, Penyebar kemegahan/ kesemarakan!


Mantra Surya Stava ini digunakan setiap mulai atau awal persembahyangan untuk memohon persaksian kehadapan Sang Hyang Widhi.


Demikian arti, makna atau tujuan pengucapan mantra. Seperti telah dijelaskan di atas, sejalan dengan karakter seseorang, maka mantram dapat bersifat Sattvam (Sattvikamantra) bila digunakan untuk kebaikan mahluk, menjadi Rajasikamantra dan Tamasikamantra bila digunakan untuk kepentingan menghancurkan orang-orang budiman, kebajikan, seseorang atau masyarakat. Di Bali bijaksara mantra dan mantra-mantra tertentu di atas hampir setiap hari dirapalkan oleh para pandita Hindu, diharapkan segala gejolak emosional masyarakat dikendalikan (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 213).


Renungan Atharvaveda X. 2.25


“Brahmaóà bhùmir vihità brahma dyaur uttarà hità, brahma-idam urdhvaý tiryak ca antarikûaý vyaco hitam.


Terjemahan:


‘Brahma menciptakan bumi ini, brahma menempatkan langit ini diatasnya, brahma menempatkan wilayah tengah yang luas ini di atas dan di jarak lintas’".


Referensi


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015