— 𝐶𝑎𝑡𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐻𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑆𝑢𝑔𝑖 𝐿𝑎𝑛𝑢𝑠, 18 𝑂𝑘𝑡𝑜𝑏𝑒𝑟 2022.
Purnama sasih kapitu tahun śaka 1808 (1886 masehi), para pandita dan raja Bali dan Lombok telah memutuskan sebuah hasil kesepakatan yang tertuang dalam kesepakatan pandita dan raja Bali-Lombok dalam menentukan syarat kepanditaan di Bali dan Lombok.
Dalam kesepatan itu disebutkan bahwa persyaratan memasuki kepanditaan di Bali dan Lombok adalah melek aksara dan melek sastra kepanditaan.
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎ℎ𝑖𝑛𝑔 𝑘𝑒̆𝑟𝑡𝑜𝑝𝑒̆𝑑𝑒́𝑠𝑎 𝑗𝑎𝑛 𝑎𝑛𝑎 𝑎𝑚𝑖𝑛𝑡𝑎 𝑠𝑖𝑛𝑎𝑛𝑔𝑎𝑠𝑘𝑎𝑟𝑎𝑛, 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑡 𝑏𝑟𝑎ℎ𝑚𝑎 𝑤𝑎𝑛𝑔𝑠𝑎, 𝑎𝑡𝑎𝑤𝑎 𝑤𝑜𝑛𝑔 𝑙𝑖𝑗𝑎𝑛, 𝑠𝑎𝑛𝑒́ 𝑤𝑒̆𝑛𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑛𝑖𝑘𝑠𝑎𝑛, 𝑗𝑎𝑑𝑖𝑗𝑎𝑝𝑖𝑛 𝑙𝑎𝑛𝑎𝑛𝑔 𝑤𝑎𝑑𝑜𝑛 , 𝑗𝑎𝑛 𝑖𝑗𝑎 𝑘𝑎𝑏𝑜𝑒𝑤𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑎𝑛 𝑤𝑒̆𝑟𝑜𝑒ℎ 𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑠𝑡𝑟𝑎, 𝑎𝑗𝑜𝑒𝑤𝑎 𝑟𝑎𝑑𝑗𝑜𝑒 𝑑𝑖𝑛𝑖𝑘𝑠𝑎𝑛, 𝑝𝑎𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎𝑛𝑒̆𝑛 𝑟𝑜𝑒𝑚𝑜𝑒ℎ𝑜𝑒𝑛, 𝑗𝑎𝑛 𝑖𝑗𝑎 𝑤𝑜𝑒𝑠 𝑤𝑒̆𝑟𝑜𝑒ℎ 𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑟𝑜𝑒𝑝𝑎𝑛𝑖𝑛𝑔 𝑎𝑘𝑠𝑎𝑟𝑎, 𝑚𝑎𝑘𝑎𝑑𝑖 𝑠𝑖𝑙𝑎 𝑘𝑟𝑎𝑚𝑎 𝑗𝑜𝑒𝑘𝑡𝑖, 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎ℎ𝑒́ 𝑎𝑔𝑜𝑒𝑟𝑜𝑒𝑤𝑎 𝑔𝑜𝑒𝑟𝑜𝑒𝑤𝑎𝑛, 𝑤𝑒̆𝑛𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑛𝑖𝑘𝑠𝑎𝑛, 𝑘𝑎𝑟𝑎𝑛𝑖𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑖𝑘𝑎 𝑟𝑖𝑛𝑎𝑜𝑠, 𝑙𝑎𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛𝑒́ 𝑠𝑎𝑛𝑔 𝑔𝑜𝑒𝑟𝑜𝑒 𝑡𝑎𝑛 𝑘𝑎ℎ𝑎𝑤𝑎 𝑑𝑒́𝑛𝑖𝑛𝑔 𝑠𝑖𝑠𝑖𝑗𝑎, 𝑘𝑎𝑏𝑜𝑒𝑤𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑎𝑛 𝑤𝑒̆𝑟𝑜𝑒ℎ 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖ℎ 𝑤𝑒̀ℎ𝑒̆𝑛 𝑎𝑛𝑎𝑛𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑠𝑡𝑟𝑎 𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑠𝑎𝑘𝑠𝑎𝑡 𝑔𝑜𝑒𝑟𝑜𝑒 𝑡𝑎𝑛 𝑤𝑒̆𝑟𝑜𝑒ℎ 𝑖𝑛𝑔 𝑘𝑎𝑙𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑎𝑟𝑎𝑛𝑒́, 𝑡𝑎𝑛 𝑤𝑒̆𝑟𝑜𝑒ℎ 𝑖𝑛𝑔 𝑜𝑒𝑑𝑗𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑛𝑔 𝑖𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑠𝑡𝑟𝑎 𝑠𝑎𝑟𝑎𝑠𝑎 𝑚𝑜𝑒𝑠𝑡𝑗𝑎𝑗𝑎 𝑡𝑜𝑒𝑡𝑜𝑒𝑟, 𝑎𝑝𝑎𝑡𝑖 𝑎𝑡𝑎𝑘𝑜𝑒𝑡 𝑠𝑎𝑛𝑔 𝑖𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑤𝑒́𝑑𝑎 𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑤𝑜𝑛𝑔 𝑎𝑘𝑒̆𝑑𝑖𝑘 𝑎𝑑𝑗𝑖𝑛𝑗𝑎, 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑚𝑜𝑒𝑤𝑎ℎ 𝑟𝑖𝑝𝑖𝑡𝑒̆𝑘𝑒̆𝑡 𝑎𝑑𝑗𝑖 𝑠𝑎𝑛𝑔 𝑖𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑠𝑡𝑟𝑎 𝑠𝑖𝑤𝑎 𝑠𝑎𝑠𝑎𝑛𝑎, 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑏𝑎𝑛𝑔 𝑔𝑜𝑒𝑟𝑜𝑒 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑏𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑖𝑠𝑖𝑗𝑎 𝑎𝑟𝑎𝑛𝑒, 𝑗𝑎𝑛 𝑎𝑛𝑎 𝑎𝑚𝑜𝑒𝑟𝑜𝑒𝑔 𝑡𝑒̆𝑘𝑎 𝑤𝑒̆𝑛𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑛𝑔 𝑔𝑜𝑒𝑟𝑜𝑒 𝑙𝑜𝑒𝑛𝑔𝑎 𝑚𝑎𝑡𝑖𝑟𝑡𝑎 𝑔𝑎𝑚𝑎𝑛𝑎 100 𝑑𝑖𝑛𝑎, 𝑡𝑒̆ℎ𝑒̆𝑟 𝑖𝑛𝑎𝑑𝑛𝑗𝑎𝑛 𝑎𝑗𝑜𝑒𝑤𝑎 𝑚𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛𝑎 𝑚𝑜𝑒𝑤𝑎ℎ, 𝑗𝑎𝑛 𝑚𝑜𝑒𝑤𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑟𝑎 𝑚𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛𝑎, 𝑤𝑒̆𝑛𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑎𝑛𝑡𝑒̆𝑛, 𝑡𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑟𝑖 𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑑𝑜𝑒ℎ 𝑑𝑒́𝑤𝑎 𝑝𝑜𝑒𝑑𝑗𝑎, 𝑚𝑜𝑒𝑤𝑎ℎ 𝑜𝑙𝑖ℎ𝑖𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑎𝑠𝑖𝑠𝑖𝑗𝑎𝑛𝑖𝑛 𝑘𝑎𝑏𝑜𝑒𝑤𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑎𝑛 𝑤𝑒̆𝑟𝑜𝑒ℎ 𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑠𝑡𝑟𝑎, 𝑘𝑎𝑑𝑖 𝑛𝑒́ 𝑘𝑜𝑡𝑗𝑎𝑝 𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑎𝑟𝑒̆𝑝, 𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑖𝑑𝑎 𝑜𝑙𝑖ℎ 𝑛𝑖𝑗𝑎 𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑑𝑜𝑒ℎ 𝑑𝑖𝑘𝑠𝑎, 𝑤𝑒̆𝑛𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑛𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑛𝑑𝑖𝑘𝑠𝑎𝑛𝑖𝑛 𝑎𝑘𝑜𝑛 𝑎𝑛𝑑𝑗𝑎𝑏𝑜𝑒𝑡 𝑝𝑎𝑛𝑜𝑒𝑔𝑟𝑎ℎ𝑎𝑛𝑛𝑗𝑎, 𝑗𝑎𝑛 𝑡𝑎𝑛 𝑎𝑛𝑎 𝑎𝑑𝑒̆𝑟𝑤𝑒́ 𝑠𝑎𝑛𝑎𝑘, 𝑠𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑎𝑟𝑎𝑏𝑜𝑒𝑑𝑗𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑚𝑎𝑘𝑜𝑒𝑤𝑒̀ℎ 𝑤𝑒̆𝑛𝑎𝑛𝑔 𝑎𝑛𝑑𝑗𝑎𝑏𝑜𝑒𝑡, 𝑎𝑛𝑔𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎ℎ𝑒́ 𝑎𝑛𝑑𝑗𝑎𝑏𝑜𝑒𝑡𝑖𝑛, 𝑡𝑎𝑛 𝑎𝑛𝑎 𝑘𝑎𝑤𝑎𝑠𝑡𝑎𝑛𝑖𝑛 𝑘𝑎𝑝𝑜𝑒𝑡𝑗𝑎, 𝑏𝑒́𝑠𝑜𝑒𝑘 𝑗𝑎𝑛 𝑖𝑗𝑎 𝑤𝑜𝑒𝑠 𝑤𝑒̆𝑟𝑜𝑒ℎ 𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑟𝑜𝑒𝑝𝑎𝑛𝑖𝑛𝑔 𝑎𝑘𝑠𝑎𝑟𝑎 𝑠𝑎𝑖𝑛𝑑𝑖𝑘𝑎𝑛𝑛𝑗𝑎, 𝑗𝑎𝑛 𝑎𝑛𝑎 𝑘𝑎𝑟𝑒̆𝑝𝑛𝑗𝑎 𝑚𝑎𝑙𝑖ℎ 𝑚𝑎𝑘𝑟𝑒̆𝑡𝑜𝑝𝑒̆𝑑𝑒́𝑠𝑎, 𝑤𝑒̆𝑛𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑜𝑒𝑑𝑗𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑎𝑛𝑑𝑖𝑘𝑠𝑎𝑛𝑖𝑛.
Isi pokok kutipan di atas:
𝐊𝐞𝐭𝐞𝐧𝐭𝐮𝐚𝐧 𝐢𝐧𝐢 𝐝𝐢𝐧𝐲𝐚𝐭𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐊𝐞̆𝐫𝐭𝐨𝐩𝐞̆𝐝𝐞́𝐬𝐚. 𝐁𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐢𝐚𝐩𝐚 𝐩𝐮𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐦𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐤𝐞𝐥𝐨𝐦𝐩𝐨𝐤 𝐁𝐫𝐚𝐡𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐚𝐭𝐚𝐮 𝐧𝐨𝐧-𝐁𝐫𝐚𝐡𝐦𝐚𝐧𝐚, 𝐩𝐫𝐢𝐚 𝐚𝐭𝐚𝐮 𝐰𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚, 𝐦𝐞𝐦𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐬𝐚, 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬𝐧𝐲𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐝𝐢𝐩𝐞𝐫𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐣𝐢𝐤𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐚𝐧𝐠𝐤𝐮𝐭𝐚𝐧 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐞𝐧𝐚𝐥 𝐚𝐤𝐬𝐚𝐫𝐚, 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐩𝐚𝐡𝐚𝐦 𝐬𝐚𝐬𝐭𝐫𝐚 & 𝐤𝐢𝐭𝐚𝐛 𝐬𝐮𝐜𝐢.
[𝐀𝐤𝐬𝐚𝐫𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐦𝐚𝐤𝐬𝐮𝐝 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐚𝐤𝐬𝐚𝐫𝐚 𝐁𝐚𝐥𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐬𝐭𝐫𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐦𝐚𝐤𝐬𝐮𝐝 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐚𝐬𝐭𝐫𝐚 𝐊𝐚𝐰𝐢].
𝐇𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐬𝐞𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮𝐢 𝐮𝐣𝐢𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐥𝐚𝐲𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐦𝐞𝐫𝐢𝐤𝐬𝐚𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐮𝐤𝐭𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐡𝐰𝐚 𝐜𝐚𝐥𝐨𝐧 𝐝𝐢𝐤𝐬𝐢𝐭𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐞𝐭𝐚𝐡𝐮𝐢 𝐚𝐤𝐬𝐚𝐫𝐚-𝐚𝐤𝐬𝐚𝐫𝐚 𝐬𝐞𝐫𝐭𝐚 𝐦𝐞𝐦𝐚𝐡𝐚𝐦𝐢 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐒𝐢𝐥𝐚 𝐊𝐫𝐚𝐦𝐚 𝐘𝐮𝐤𝐭𝐢, 𝐬𝐞𝐫𝐭𝐚 𝐛𝐞𝐫𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐩𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐝𝐢𝐩𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫𝐢, 𝐬𝐞𝐬𝐞𝐫𝐨𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐩𝐚𝐭 𝐝𝐢𝐛𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐧𝐚𝐡𝐛𝐢𝐬𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐤𝐬𝐚.
𝐓𝐮𝐣𝐮𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐤𝐞𝐭𝐞𝐧𝐭𝐮𝐚𝐧 𝐝𝐢 𝐚𝐭𝐚𝐬 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐜𝐞𝐠𝐚𝐡 𝐠𝐮𝐫𝐮 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐭𝐞𝐫𝐬𝐚𝐧𝐝𝐮𝐧𝐠 𝐚𝐭𝐚𝐮 𝐭𝐞𝐫𝐬𝐚𝐧𝐠𝐤𝐮 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐛𝐞𝐫𝐛𝐚𝐠𝐢 𝐭𝐚𝐧𝐠𝐠𝐮𝐧𝐠 𝐣𝐚𝐰𝐚𝐛 𝐚𝐭𝐚𝐬 𝐤𝐞𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐮𝐧𝐠𝐤𝐢𝐧 𝐝𝐢𝐥𝐚𝐤𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐜𝐚𝐥𝐨𝐧 𝐝𝐢𝐤𝐬𝐢𝐭𝐚 𝐧𝐚𝐧𝐭𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐝𝐢𝐛𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐚𝐤𝐬𝐞𝐬 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐦𝐞𝐦𝐩𝐞𝐫𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫𝐢 𝐤𝐢𝐭𝐚𝐛-𝐤𝐢𝐭𝐚𝐛 𝐬𝐮𝐜𝐢; 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐛 𝐭𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐦𝐞𝐦𝐢𝐥𝐢𝐤𝐢 𝐩𝐞𝐧𝐠𝐞𝐭𝐚𝐡𝐮𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐞𝐧𝐚𝐢 𝐚𝐤𝐬𝐚𝐫𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐬𝐚𝐬𝐭𝐫𝐚𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐩𝐞𝐫𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐝𝐚𝐬𝐚𝐫 𝐦𝐞𝐦𝐩𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫𝐢 𝐛𝐞𝐫𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐩𝐮𝐬𝐭𝐚𝐤𝐚 𝐬𝐮𝐜𝐢 𝐤𝐞𝐩𝐚𝐧𝐝𝐢𝐭𝐚𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐜𝐚𝐥𝐨𝐧 𝐝𝐢𝐤𝐬𝐢𝐭𝐚 𝐫𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐥𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚𝐫 𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐩𝐚𝐧𝐝𝐢𝐭𝐚𝐚𝐧.
𝐇𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐜𝐚𝐥𝐨𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐦𝐚𝐡𝐚𝐦𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐚𝐤𝐬𝐚𝐫𝐚 𝐬𝐮𝐜𝐢, 𝐤𝐢𝐭𝐚𝐛 𝐬𝐮𝐜𝐢, 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐬𝐭𝐫𝐚 𝐤𝐞𝐩𝐚𝐧𝐝𝐢𝐭𝐚𝐚𝐧 𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐝𝐢𝐛𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐤𝐬𝐚.
Perlu dijelaskan di sini:
1. “Kertopĕdésa” adalah singkatan dari kerta-upa-desa, kitab yang mengatur apa yang harus diperhatikan oleh orang-orang sesuai warna .
2 Kitab Silakramayukti, salah satu yang disebut “sastra sasana”, menunjukkan apa yang harus dipatuhi oleh para sulinggih.
3 Kata 'Sastrotama' dalam teks ini merupakan singkatan dari kata 'sastra' dan 'utama'.
𝐖𝐀𝐉𝐈𝐁 𝐌𝐄𝐋𝐄𝐊 𝐀𝐊𝐒𝐀𝐑𝐀 & 𝐒𝐀𝐒𝐓𝐑𝐀
Apa yang disebutkan dalam kutipan hasil kajian dan keputusan tahun śaka 1808 tersebut di atas sesuai dengan tradisi tua di lingkungan Kaśiwan, dimana ada berbagai bacaan wajib bagi calon pandita yang harus dibaca dengan seksama.
Apa saja daftar bacaan wajib pendeta Hindu Bali bisa dilihat di link di bawah, dalam tulisan kecil berjudul “𝐁𝐀𝐂𝐀𝐀𝐍 𝐖𝐀𝐉𝐈𝐁 𝐏𝐄𝐍𝐃𝐄𝐓𝐀 𝐇𝐈𝐍𝐃𝐔 𝐁𝐀𝐋𝐈”:
Sangat jelas daftar lontar-lontar yang wajib dibaca dalam rangka mempersiapkan diri untuk menjadi calon diksita.
Barang siapa ingin memasuki jenjang ke panditaan di Bali wajib melek sastra suci yang diturunkan berabad-abad bisa dijejaki dari periode Mpu Kuturan sampai Dang Hyang Nirartha, dstnya.
“Weruh ring rupaning aksara” atau paham dengan mendalam berbagai aksara dan sastra kepanditaan adalah syarat mutlak alias WAJIB dimiliki oleh calon pandita di Bali di masa lalu.
Di sini akan diulas sekilas dua karya sastra yang wajib dibaca sebagai “pengetahuan dasar kesastraan” yang menjadi pondasi kesastraan dalam lingkungan kependetaan tradisional di masa lalu.
Dua karya sastra yang berisi “pengetahuan dasar kesastraan” bagi calon pandita yang dimaksud adalah:
𝟏. 𝐏𝐚𝐡𝐚𝐦 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐢𝐤 𝐢𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐬𝐚 𝐊𝐚𝐤𝐚𝐰𝐢𝐧 𝐑𝐚𝐦𝐚𝐲𝐚𝐧𝐚 (𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐤𝐚𝐰𝐢𝐧 𝐥𝐚𝐢𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭 𝐝𝐢𝐫𝐞𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐬𝐢𝐤𝐚𝐧, 𝐬𝐞𝐫𝐭𝐚 𝐭𝐚𝐭𝐰𝐚 𝐥𝐚𝐢𝐧𝐧𝐲𝐚),
𝟐. 𝐇𝐞𝐧𝐝𝐚𝐤𝐧𝐲𝐚 𝐣𝐢𝐤𝐚 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐢𝐚𝐩 𝐦𝐞𝐦𝐚𝐬𝐮𝐤𝐢 𝐝𝐢𝐤𝐬𝐚 𝐬𝐞𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐜𝐚𝐥𝐨𝐧 𝐝𝐢𝐤𝐬𝐢𝐭𝐚 𝐬𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭 𝐝𝐢𝐫𝐞𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐬𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬-𝐬𝐚𝐥𝐢𝐧 (𝐧𝐲𝐮𝐫𝐚𝐭 𝐥𝐨𝐧𝐭𝐚𝐫) 𝐊𝐚𝐤𝐚𝐰𝐢𝐧 𝐃𝐡𝐚𝐫𝐦𝐚𝐬𝐮𝐧𝐲𝐚.
Apa alasan dari seorang calon sulinggih Kaśiwan wajib memahami kedua kakawin tersebut?
Karya ini disebut ditulis oleh Mpu Yogiswara yang tidak lain disebut sebagai "Sesuhunan/Lelangit" para menganut ajaran Keśiwaaan. Beliau mengubah dan menyajikan secara baru Ramayana berbahasa Sanskerta yang ditulis oleh Bhati, Maha Kawi berpaham Śaiwa yang mumpuni. Tarikan nafas dan kandungan Kakawin Ramayana adalah pokok-pokok ajaran penganut Śiwāgama. Melalui proses menyelam ke dalam pokok dan saripati Kakawin Ramayana diharapkan seorang pembaca bisa mendapat dasar terdalam tradisi Kaśiwan di Nusantara yang sudah dituliskan dalam era pembuatan Candi Prambanan, sekitar abad 9, atau sekitar tahun 800-san Masehi, kemungkinan bersambung tanpa putus ke Kediri, Singasari, Majapahit dan Gelgel.
Karya ini luar biasa mendalam dan dinilai sebagai karya sastra yang secara teologis paling berhasil “secara singkat” membahas teologi Śiwaisme yang juga dikenali sebagai Śiwa Śiddhanta.
Setelah memahami-menjalani bimbingan guru tembang dan juga perguruan garis diksa, seorang calon diksita diharapkan “nyurat lontar” Kakawin Dharmasunia. Artinya, menyalin sendiri, sambil merasuk-tanam-akarkan isi dan kedalaman esensi teologis Śiwaisme dan pokok ajaran mantra puja di dalamnya ke dalam diri sebagai bagian dari tarikan nafas ketika proses penyalinannya.
Dua syarat ini memberikan gambaran bahwa, kalau keduanya dilewati dengan baik, jika ingin menjadi calon diksita yang berkualitas, diharapkan tuntas tatas membaca Kakawin Ramayana, dan tatas retas membaca Kakawin Dharmasuni, dan menyalin sendiri dengan pangrupak dan daun lontar untuk menjadi proses meditasi gerak, sebuah proses menyusupkan konsepsi dan taksu Sang Hyang Aksara.
Jelas, sangat jelas, 𝐛𝐚𝐡𝐰𝐚 𝐬𝐞𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐩𝐚𝐡𝐚𝐦 𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐭𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐚𝐤𝐬𝐚𝐫𝐚 𝐁𝐚𝐥𝐢 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐛𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐦𝐞𝐝𝐢𝐤𝐬𝐚 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 “𝐩𝐚𝐝𝐢𝐤𝐬𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐬𝐮𝐥𝐢𝐧𝐠𝐠𝐢𝐡𝐚𝐧 𝐁𝐚𝐥𝐢”.
Mewarisi demikian besarnya volume lontar-lontar kepanditaan di Bali, seorang pembelajar “jalan rohani” Bali diajak sadar bahwa sesungguhnya kepanditaan Bali berbasis seleksi jelas, yaitu seleksi berbasis kesastraan. Malangnya, belakangan persyaratan kesastraan ini bisa dikatakan paling tidak dihiraukan. Bahkan, ada keganjilan yang berkembang yang perlu dicermati, diksa dikemas sebagai “kursus paket kilat”. Persyaratan batas usia dilanggar, persyaratan kejelasan garis silsilah kepanditaan ditabrak, dan pada akhirnya, yang berkembang adalah sebuah diksa telah menjadi “seremonial jabatan publik” formalitas yang menjauhi kesakralan dan jauh dari kesan “pingit”.
Akibat PERSYARATAN KESASTRAAN PANDITA tidak mendapat perhatian, masyarakat umum pun melihat bahwa tradisi diksa dan kependetaan Bali bisa dipisahkan dari tradisi kesastraan di Bali.
Dari ribuan lontar yang masih terselamatkan di Bali, kitab isa melihat bahwa tradisi kesastraan di Bali adalah lautan khazanah referensi kepanditaan yang sangat tangguh dan tebal. Bisa dipastikan kalau seseorang menguasainya TIDAK MINDER DENGAN AJARAN LUAR. TIDAK KAGETAN jika bersebelahan dengan “lulusan paket diksa aliran-aliran baru” yang memang berideologi pendidikan kepanditaan instan.
Jika kita bandingkan dengan berbagai institusi kependetaan agama-agama besar di dunia, sangat jelas ketangguhan barisan para imamnya dalam pelayanan umat sangat ditentukan oleh kuatnya tidaknya kelembagaan kependetaan yang berbasis literasi keagamaan. Semua agama besar dunia memiliki semacam “dewan literasi kependetaan” yang secara khusus melakukan bimbingan studi teks dan kitab, baik secara kajian teks, teologi, riturgi dan sosio-teologis.
Dalam tradisi Katolik dan Kristen, ada sekolah teologi untuk persiapan dan pelatihan calon pendeta. Dalam tradisi Islam, ada ilmu fikih dan kajian serta garis rawi, sanad dan matan, dalam mempersiapkan calon ustadz dan ustadzah, untuk selanjutnya dipersiapkan menjadi pemimpin atau imam bagi umatnya.
Jika lingkaran kepanditaan di Bali sekarang terlihat “kewalahan dengan terjang ombak dan masuk angin”, ini disebabkan salah satunya karena perahu kesastraan lingkar kependetaan kita terbuat dari dinding yang tipis yang mudah roboh dihantam ombang. Bocor tidaknya dinding perahu ditentukan oleh ketebalan dan kesolidan pedoman sastra kepanditaan Bali.