Sabtu, 24 Juni 2023

Etika Makan Cara Hindu; Hindari Ngeleklek, Nidik, hingga Nyilapin






Ilustrasi (ISTIMEWA)


DENPASAR, BALI EXPRESS - Makan tidak hanya diatur berdasarkan etika formal. Namun, di Hindu ada aturan khusus tata cara makan yang mengacu berdasarkan sejumlah kitab suci. Seperti apa aturannya?


Cara Simple mendapatkan penghasilan harian dari trading forex klik disini

Sikap makan dalam ajaran agama Hindu dapat ditemui dalam Kitab Manawa Dharma Sastra dan Lontar Tutur Lebur Gangsa. Dikatakan Pinandita Drs I Ketut Pasek Swastika, posisi ke arah mana makan pun juga mempunyai makna tersendiri, seperti dituangkan dalam Manawa Dharma Sastra II. 52.

"Seseorang yang menyantap makanan menghadap ke timur akan panjang umur. Jika menghadap ke selatan akan menjadi terkenal. Kalau seorang makan menghadap ke barat, maka akan makmur, dan jika menghadap ke utara, ia akan mendapat kebenaran," papar Pinandita Drs I Ketut Pasek Swastika, yang juga Wakil Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali ini kepada Bali Express ( Jawa Pos Group ) akhir pekan kemarin di Denpasar.



Tata cara makan, lanjutnya, hendaknya dimulai dengan doa sebelum mulai makan.
Selanjutnya seorang harus melihat makanannya dengan rasa suka cita. "Jangan merasa muak bila makanan yang sedang kita hadapi tiada berkenan. Jangan pula mencela makanan yang dihidangkan, bilamana makanan tersebut bukan menjadi kesukaan," paparnya.


Dikatakan Pinandita Ketut Pasek Swastika, penghormatan makanan walau tidak disukai ini, termuat dalam Manawa Dharma Sastra II.54 yang isinya 'Ia harus selalu menghormati makanan dan menyantapnya tanpa rasa muak, baik ketika ia melihat makanan itu hendaknya merasa bahagia dan menunjukkan rasa suka cita dan mendoakan akan selalu memerolehnya'.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

"Usai menyantap makanan, maka seseorang disarankan untuk membersihkan tangannya. Lalu memercikkan air ke ubun-ubun dengan harapan nantinya beliau memberi waranugraha atas apa yang telah dimakan. Terakhir barulah ditutup kembali dengan doa, agar kelak selalu diberikan hal yang sama berupa makanan," ujarnya.


Sebagai manusia hendaknya tidak menyantap makanan secara berlebihan. Hal ini tertuang dalam Manawa Dharma Sastra II.56, yang menyebutkan, janganlah menyantap makanan yang ditinggalkan seseorang dan jangan makan diantara dua waktu makan, hendaknya jangan makan berlebihan atau pergi kemanapun sesaat dan setelah makan sebelum membersihkan mulut.
Ditambahkannya, pada Lontar Tutur Lebur Gangsa perilaku cara menikmati makanan (nasi) juga dibahas. Hal ini pun mungkin sering didengar seseorang dalam nasihat orang tua pada anaknya ketika sedang makan.


Pinandita Ketut Pasek Swastika menjelaskan bahwa dalam Lontar Tutur Lebur Gangsa ada beberapa istilah cara makan yang sebaiknya tidak dilakukan. Mulai dari Nyeret yang artinya sikap seseorang makan nasi sambil berjalan, sehingga kurang pantas dilakukan karena tidak elok dilihat orang lain.


Tidak hanya itu, ada juga makan sambil melakukan pekerjaan atau kegiatan lain yang disebut dengan Ngeleklek, tidak pantas dilakukan karena menjadi tidak fokus. Kemudian ada istilah Nugtih, yaitu ketika makan sambil duduk kaki membujur terlilit ke depan. Berikutnya ada Ngeloklok, yakni makan dengan cara berjongkok, yang memang secara etika kurang enak dilihat orang lain.


Selain itu, ada juga disebut Leler, yakni gaya makan dengan berdiri. Hal ini tentu sering juga didengar secara umum bahwa makan berdiri sebaiknya dihindari karena secara kesehatan tidak baik. Selanjutnya ada Mamantet, yakni sikap makan dengan berdiri sambil menghadap ke barat. Kemudian ada Nidik, hampir sama dengan Mamantet, makan berdiri bedanya dilakukan sambil menghadap ke selatan.


Lebih lanjut lagi ada Ngamah. Ini adalah posisi makan sambil tiduran. Sebuah sikap yang tentu kurang sopan jika dilihat dan bisa juga menimbulkan asam lambung naik. Namun, tentu bagi orang yang sakit ini tidak menjadi larangan.


Lalu ada Mlokpok, yakni posisi makan dengan cara seperti binatang langsung memakai mulut. Terakhir ada yang dinamai Nyilapin. Gaya makan ini dengan cara duduk, tetapi lutut diberdirikan (bukan bersila).


Pinandita Ketut Pasek Swastika menjelaskan bahwa semua etika maupun larangan makanan itu ada maksudnya. Seperti nasihat dilarang makan di depan pintu, karena nantinya menghalangi orang yang mau keluar masuk lewat pintu tersebut.


Di tempat terpisah, tokoh spiritual kelahiran Padangtegal, Ubud, Gianyar, Rasa Acharya Praburaja Darmayasa mengatakan, tradisi leluhur Bali menyisihkan sedikit makanan di sisi piring sebelum makan, merupakan tradisi yang indah yang perlu diabadikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya sebagai orang yang menghormati dan mengerti ajaran leluhur. Selain ingin melestarikannya demi kesejahteraan hidup lahir batin. Ditambahkan murid tunggal maestro kundalini India, Acharya Kamal Kishore Goswami ini, terdapat pula tradisi tidak boleh berbicara jika sedang menghadapi makanan.

"Makanan dihormati sebagai amerta oleh leluhur dengan istilah nunas amerta,”'papar penulis buku spiritual berbahasa Hindi dan Inggris ini.

Dalam Padma Puraṇa disebutkan bahwa orang hendaknya mencuci kelima anggota badannya terlebih dahulu sebelum makan. Dengan melakukan hal itu, orang akan bisa menikmati usia hidup yang panjang. Kelima anggota badan dimaksud adalah kedua kaki, kedua tangan, dan muka. Hal ini didukung pula oleh kitab Mahabharata, Santi Parwa 193.6; pañcardro bhojanaṁ bhunjyat. Tidak dianjurkan juga makan di tempat gelap atau sambil tidur.



Dikatakan pria yang tengah menjalankan misi memberikan sejuta buku Bhagawadgita kepada umat ini, leluhur menyebutkan makan dengan cara sangat indah yaitu Nunas Ajengan. "Istilah Nunas Ajengan mempunyai pengertian bahwa kita tidak memiliki makan, tetapi memohon makanan dari pemiliknya, yaitu Hyang Parama Iswhara. Kesadaran seperti ini sangat indah untuk diajegkan di dalam hati, mengingat memang sebenar-benarnya kita ini tidak mempunya apa-apa di dunia ini," ujar pemilik Ashram Meditasi Angka di Padanggalak, Sanur ini, akhir pekan kemarin.


Lahir ke dunia ini, lanjut Darmayasa, tidak membawa apa-apa, selain hanya tangisan yang keras dan nanti juga akan meninggalkan dunia ini tanpa membawa apa-apa. "Kesadaran yang diwujudkan dalam istilah Nunas Ajengan sangatlah bermakna. Ia sangat pantas untuk diajegkan, mulai dari dalam keseharian diri sendiri dan kemudia ditularkan kepada anak cucu " ujarnya. Paling tidak, lanjutnya, ajeg tradisi leluhur sesederhana itu dapat dilakukan oleh semua. Tidak ada alasan tidak mematuhinya.


"Bagi diri sendiri, tata cara ini sangatlah mulia. Kita memohon makanan karena makanan tersebut sudah bukan makanan lagi," bebernya. Ditegaskan Darmayasa, dalam ajaran Veda, orang memasak makanan bukanlah untuk diri sendiri, melainkan untuk persembahan kepada Tuhan. Makanan yang dimasak itu diyadnyakan kepada-Nya, dipersembahkan terlebih dahulu kepada-Nya. Oleh karena itu, makanan tersebut sudah bukan milik pemiliknya. Makanan yang dimasak dan dipersembahkan kepada Tuhan, tidak lagi berupa makanan, melainkan ia sudah berubah menjadi amerta (yajña-Å›iṣṭāmá¹›ta bhujo), karunia Tuhan yang dinamakan lungsuran atau Prasadam. "Istilah ngejot, masaiban, dan yadnya seá¹£a merupakan tradisi indah mulia yang patut diajegkan," katanya.


Ditegaskannya, untuk memohon makanan atau Nunas Ajengan lungsuran Tuhan Yang Maha Esa itulah kita perlu mempersipakan diri dalam keaadan bersih. Panca Anga kita harus dibersihkan dengan air terlebih dahulu.


Menurut para orang tua, ketika orang mencuci Panca Anga sebelum Nunas Ajengan, kebiasaan indah itu dapat memperpanjang usia seseorang. Lantas, Apa hubungannya antara mencuci Panca Anga itu sebelum makan? Dijelaskannya, para saintis bisa menjelaskannya secara saintifik. Tangan yang bersih bebas dari kotoran akan memastikan makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak tercemar kotoran atau kuman penyakit.


Selain itu, ujung-ujung jari tangan mengandung titik saraf yang berhubungan dengan enzim yang berhubungan dengan pencernaan. Jari yang bersih menyebabkan saraf-saraf lebih peka merasakan tekstur dan suhu makanan. Informasi ini dikirim ke kelenjar untuk mempersiapkan jenis enzim yang diperlukan. Ini juga alasan mengapa makanan dengan jemari tangan lebih baik daripada dengan alat seperti sendok atau sumpit. "Kalau jari tangan bisa memegang makanan (suhunya tidak panas) artinya lidah juga bisa menerima, tidak akan melepuh. Pesan tersebut tidak bisa disampaikan oleh sendok, garpu atau sumpit," urainya.


Leluhur juga memberikan wanti-wanti tidak boleh mencela makanan. Apa pun dan bagaimanapun makanan di hadapan kita, itulah karunia Tuhan. Mengingat makanan merupakan amerta penghidup.


Mereka yang hendak memasak makanan, lanjutnya, hendaknya mandi terlebih dahulu agar badan dan pikiran menjadi lebih bersih serta damai. Badan dan pikiran yang bersih akan memudahkan mereka yang memasak makanan untuk memasukkan rasa kasih sayang ke dalam makanan. Dengan demikian, setiap anggota keluarga yang memakan makanan tersebut pasti akan terbantu kesadarannya terjaga menjadi lebih bersih dan damai.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Diuraikannya, Bhgawadgita mengajarkan bahwa orang saleh yang memakan makanan yang sudah dipersembahkan terlebih dahulu sebagai persembahan suci, terbebaskan dari segala dosa. Sedangkan mereka yang memasak makanan untuk kenikmatan diri sendiri, sesungguhnya mereka hanya memakan dosa.


Ditambahkannya, dalam Manawa Dharma Sastra disebutkan, dengan mempersembahkan kepada Tuhan (pūjita) maka makanan itu memberikan tenaga (bala) dan kekuatan (ūrja). Tetapi, bila tidak dipersembahkan (apūjita) pastilah akan menghancurkan keduanya (tenaga dan kekuatan). "Jika orang berhasil melaksanakan kebiasaan tersebut dalam keseharaiannya, maka ia mendapatkan hasil dari pelaksanaan puasa," pungkas Darmayasa.

(bx/sue/yes/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2020/01/06/173435/etika-makan-cara-hindu-hindari-ngeleklek-nidik-hingga-nyilapin

Rabu, 21 Juni 2023

Pura Pingit Melamba


Pura Pingit Melamba terletak di desa Bunutin, kecamatan Kintamani, kabupaten Bangli, pura ini di tempuh kurang lebih satu setangah jam dari kota bangli, Pura Pingit Melamba jika ditinjau dari namanya yaitu “MELAMBA” berasal dari kata “METAMBA” yg artinya mengobati. Banyak orang yang berdatangan untuk melukat dan memohon kesembuhan di Pura Pingit Melamba ini. Pura Pingit Melamba terletak di sebelah selatan desa Bunutin tepat pada hulu sungai ayung yang merupakan batas antara kabupaten Bangli dan kabupaten Gianyar.

Pura Pingit Melamba merupakan pura yang sangat tua  terbukti dengan adanya tiga arca besar yang sangat tua di perkirakan sudah ada sejak abad ke IV,  ketiga arca tersebut di buat oleh Rsi terdahulu bertujuan untuk mempermudah mengajarkan orang orang bali mula tentang ajaran ketuhanan, yang sebelumnya menyembah batu yang besar atau pohon yang besar. meski pura ini belum begitu di kenal namun perlu diketahui pura ini memiliki tiga arca besar yang bersejarah yaitu Arca Gunamutri, Arca Siwa, dan Arca Ganesha. Arca-arca tersebut sudah ada sejak jaman dahulu, yang ditemukan oleh penglingsir jaman dahulu pada saat mencangkul dan membabat hutan untuk lahan perkebunan menurut dari cerita yang saya dengar.
Arca-arca di Pura Pingit Melamba
Arca Gunamutri yaitu merupakan arca ganesa berdiri bertangan delapan belas yang masing-masing tangannya memegang senjata dan memiliki makna dan arti masing-masing, saat ini kondisin acra tersebut bisa dikatakan sedikit usang namun dalam tahap renofasi.


Arca Siwa yaitu melambangkan kebesaran dewa Siwa yang mealambangkan kebesarnya sebagai Pelebur. dan Arca Ganesa yang melambangkan kesuburan dan pemberi jalan ke arah kebaikan dan simbolik dari pengetahuan. Arca Ganesha bertangan 18 yang memiliki atribut menggunakan gelang lengan (keyura), gelang tangan (kankana) berupa genitri polos, berkalung tengkorak manusia dengan bentuk yang tidak proposional dan melambangkan demonis. Arca Ganesha bertangan 18 menyiratkan pemujaan tantrayana yang mengedepankan upcara keduniawian.

Arca ganesha ini memiliki tinggi 119 cm, tebal 49 cm, lebar 57 cm. diperkirakan dibuat pada zaman bali kuna XIII-XIV Masehi dimana Bali dikuasai oleh seorang Raja Patih bernama Kebo Parud dibawah pemerintahan Singosari dengan rajanya yang berkuasa saat itu adalah Raja Kertanegara yang menganut aliran tantrayana. 
Selain itu di pura ini juga terdapat tempat pelukatan panca tirta dan kolam pemandian (gangga, sindhu, saraswati, yamuna, gando wari ) terdapat makna-makna tersendiri dari panca tirta tersebut

Makna dari kelima panca tirta tersebut yakini:
Gangga: disini untuk memohon kesucian bagi para penangkil yang hendak melukat atau penyucian diri dengan air suci. di bagian pancoran gangga ini para pemedek atau penangkil memohon pasa Ida Sang Hyang Widhi agar diberikan kesucian diri
Shindu: disini memiliki makna kesehatan, agar siapa yang melukat disini agar diberikan kesehatan dan keselamatan
Yamuna : disini memiliki makna agar diberikan keharmonisan antar manusia dengan tuhan sebagai pencipta, manusia dengan manusia lainya, dan manusi dengan alam sekitar sebagai bagian konsep dari Tri Hita Karana
Gandawarai: disini memiliki makna agar mendapat kemasyuran atau ketenaran, jadi biasanya dilakukan oleh para pejabat agar mendapatkan kewibawaan saat mengemban tugasnya.
Pura Pingit Melamba, Pura yang sangat tua, merupakan simbol peradaban di zaman dahulu dan merupakan Puranya leluhur orang Bali yang terletak di hulu sungai ayung yang menjadi perbatasan dari kota bangli dan gianyar.


Dipura Pingit Melamba ini terdapat dua upacara besar yang dilakukan satu tahun sekali dan enam bulan sekali, yaitu : Upacara ngusaba desa yang dilakukan satu tahun sekali biasanya dilakukan setelah panen padi yang bertujuan untuk mengucapkan rasa terimakasih atas hasil panen yang telah diberikan pada warga desa.  Upacara ngusaba desa ini biasanya masyarakat desa Bunutin menyebutnya dengan sebutan Pujawali Neduh, dimana upacara neduh ini hanya dilakukan satu hari penuh dari pagi sampai sore. Uniknya dalam tradisi neduh ini yaitu pada sehabis sembahyang masyarakat melakukan tradisi makan bersama di pura atau megibung pada setiap keluarga dengan memakan lungsuran atau prasadam, biasanya berapa jumlah keluarga sebanyak jumlah keluarga itulah memotong ayam yang dipakai untuk sesajen atau banten. Pada setiap upaca ngusaba desa ini semua masyarakat desa tidak diperkenankan membawa kendaraan, semua masyarakat desa berjalan kaki dengan menempuh jarak yang lumayan jauh kira-kira 10 km. Selain itu ada upacara piodalan ring pura yang dilakukan enam bulan sekali yang jatuh pada buda keliwon ugu yang jatuh pertengahan sebelum datangnya galungan.

Ritual Neduhin
Masyarakat Desa Bunutin masih menggelar upacara keagamaannya, seperti dilaksanakannya upacara pertanian yaitu ritual Neduhin, dalam sejarahnya para tokoh adat Desa Bunutin terdahulu telah melaksanakan ritual neduhin secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Ritual neduhin tersebut sebagai simbol meminta anugerah kepada Ida Betara sebelum dimulainya aktivitas pertanian. Ritual neduhin ini terdiri atas beberapa rangkaian tradisi di dalamnya, yang memiliki keunikan tersendiri dan tentunya berbeda dari ritual neduh yang biasanya bersifat insidental dikarenakan suatu musibah yang datang terusmenerus. Pada hari pertama di sore hari masyarakat melakukan tradisi neratas atau bersih-bersih, dilanjutkan dengan ritual ngusaba toya, kemudian pada keesokan paginya melaksanakan meiring-iringan atau mearak-arakan menuju ritual neduhin yang dilaksanakan di Pura Pingit Malambe. Di dalam ritual neduhin terdapat tradisi nunas tirtha oleh para teruna menggunakan sampian teteg, keesokan harinya harus bertepatan dengan rainan purnama sasih kepitu.


- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Saat bulan purnama masyarakat Desa Bunutin melaksanakan rerainan purnama seperti biasanya, kemudian keesokan malam harinya melanjutkan rangkaian acara ritual neduhin di Pura Desa/Pura Bale Agung. Saat itu, para teruna memiliki tugas duduk disekeliling penjor besar dan tinggi untuk membuat daha menjadi panik ketika tradisi ngodog lidi berlangsung.

Reference
1. Image : Ni Made Swanendri, April 2018 @ https://www.google.com/maps/ dan @ 2020 Google Earth Pro
2.Makhrofsi Zarah Afandi1*, Ni Luh Arjani2, I Ketut Kaler3 “Ritual Neduhin dalam Sistem Pertanian Masyarakat Desa Bunutin, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali”. Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 21.1 Nopember 2017: 37-45; Pura Pingit Melamba @ https://youtube.com dan https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali

Selasa, 20 Juni 2023

Kiamat dan Pralaya





Kiamat dan Pralaya

Kiamat merupakan istilah agama-agama rumpun Yahudi (Abrahamic religions) dari setiap agama tersebut berkembang makna hari kiamat yang cukup banyak baik menurut Islam, Kristen maupun Yahudi. Secara umum kiamat dapat diartikan hari kehancuran alam semesta.

”..matahari akan menjadi gelap, dan bulan tidak lagi bercahaya. Bintang-bintang akan jatuh dari langit, kuasa-kuasa langit akan goncang, dan para penguasa angkasa raya akan menjadi kacau-balau. [Matius 24:29, Markus 13:24-25]


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


”..pada matahari, bulan, dan bintang-bintang akan kelihatan tanda-tanda. Di bumi, bangsa-bangsa akan takut dan bingung menghadapi deru dan ge-lora laut. Manusia akan takut setengah mati menghadapi apa yang akan terjadi di seluruh dunia ini, sebab para pengu-asa angkasa raya akan menjadi kacau-balau. [Lukas:21:25-26]

Kiamat menurut Islam
Hari kebangkitan dari kubur dalam Al-Qur’an kadang-kadang disebut sebagai Yaumul Qiyamah (hari kebangkitan besar,Qs. 75:1), Yaumul Fashl (hari keputusan, Qs. 77:13), Yaumul Hisab (hari perhitungan, Qs. 38: 26), dan masih banyak lagi makna-makna kiamat tersebut dalam Al-Qur’an.Kedatangan hari kiamat hanya Allahlah yang tahu. Tidak ada yang dapat menjelaskan kapan kedatangannya melainkan hanya Allah SWT. Dan kiamat itu tidak akan datang melainkan dengan tiba-tiba. (Qs. 7: 187). Mengenai kedahsyatan hari kiamat ini dijelaskan dalam (Qs. 23: 101-114).Dan tanda-tanda kedatangan hari kiamat dan huru hara di saat datangnya kiamat itu tersebut dalam (Qs. 27: 82-93).

Hal-hal yang terjadi pada hari kiamat:

Pada hari ini akan ditimbang amalan-amalan yang baik dan perbuatan-perbuatan jahat. Mengenai hal ini disebut dalam Al-Qur’an surat 21 ayat 47 : “Dan Kami pada hari kiamat akan mengadakan timbangan yang adil sehingga seseorang tidak akan dirugikan barang sedikitpun, dan kalau ada (perbuatan) sebesar biji sawipun, niscaya akan Kami kemukakan kepadanya dan cukuplah Kami sebagai Penimbang.” Juga disebut dalam Qs. 21: 47.
Hari itu akan diperlihatkan pula kitab catatan perbuatan manusia. Hal ini tersebut dalam Qs. 13: 11, Qs. 43: 80, Qs. 45: 29, dan masih banyak yang lainnya.Demikianlah mengenai hari kiamat.

Terhadap mereka yang berbuat baik, pahalanya adalah sepuluh kali daripada yang dikerjakannya, malah diibaratkan, bahwa perbuatan baik itu sebagai sebutir biji gandum yang tumbuh sampai 7 bulir, sedang tiap-tiap bulir memuat 100 butir biji. Tetapi apabila manusia berbuat jahat, maka ia hanya mendapat siksaan setimpal dengan kejahatannya. (Qs. 6: 160, QS. 2: 261, Qs. 28: 84.)

Dalam keterangan lain yang ditulis Ibnu Katsir lewat kitab An-Nihayah, Muhammad menjelaskan kepada umatnya bagaimana orang-orang sholeh bisa hilang di akhir zaman. Imam Bukhari meriwayatkannya dengan sanad dari Mardas Al-Islami bahwa Muhammad berkata; “Orang-orang sholeh akan hilang satu per satu, sehingga tinggallah orang-orang sampah seperti gandum dan kurma serta Allah SWT sama sekali tidak mempedulikan keberadaan mereka.” Maksudnya yang tersisa hanyalah manusia yang tidak berguna.

Kiamat menurut Kristen.
Di sisi lain umat Kristen memandang hari kiamat (akhir Zaman) se-bagai rangkaian peristiwa yang dimulai dari pengangkatan (rapture), masa kesukaran (tribulation), munculnya anti-kristus (pendusta), kehadiran Jesus Kristus untuk kedua kalinya dan perang Armagedon serta sampai pada munculnya dunia baru.

Umat Kristiani meyakini bahwa Yesus akan menjadi hakim yang adil pada hari kiamat (kisah para rasul17:31), akan dihancurkannya salib, dibunuhnya babi serta dihapuskannya pajak.


Hari kiamat memiliki gambaran yang sangat mengerikan seperti gempa bumi yang dahsyat dan matahari menjadi hitam bagaikan karung rambut dan bulan menjadi merah seluruhnya bagaikan darah. Dan bintang-bintang di langit berjatuhan ke atas bumi.. Maka menyusutlah langit bagaikan gulungan kitab yang digulung dan tergeserlah gunung-gunung dan pulau-pulau dari tempatnya…[Wahyu 6:12-14].

Dari peta zaman tersebut dapat disimpulkan bahwa : zaman itu hanya berumur 7000 tahun (karena Tuhan menciptakan bumi ini hanya dalam waktu 6 hari dan hari ketujuh adalah hari pengkudusan (kej. 2: 1-3) sedangkan 1 tahun sama dengan 1 hari bagi Tuhan (petrus 3:8-12). Tahun 1998 adalah tahun munculnya banyak pendusta dan huru-hara sebagai tanda-tanda kemunculan hari kiamat.

Sejak tahun 500 sampai 1992 kiamat telah diramalkan segera tiba sebanyak 14 kali. Tidak, syukurlah, tidak pernah terjadi.

Pralaya dalam pandangan Hindu
BACA JUGA
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Dalam agama Hindu tak dikenal istilah hari kiamat seperti yang dikenal oleh rumpun agama-agama Abrahamistik. Tetapi setiap penciptaan selalu ada awal dan juga akhir (stiti, utpeti, pralina).
Agama Hindu mengenal istilah Mahapralaya.
Dalam Upanisad dianalogikan Tuhan mencipta dan mengakhiri ciptaannya seperti laba-laba yang menebar dan menarik jaring-jaring dari dan ke badannya. Semuanya berjalan sesuai hukum alam. Ini berarti kelahiran dan kematian (musnah) bisa terjadi kapanpun sesuai dengan hukum alam. Dan ini terjadi berulang-ulang.



Pralaya merupakan sinonim dari Samhara, satu dari 5 fungsi Siwa.
Pralaya (Sanskrit) artinya adalah berakhir, menyerap kembali alam di akhir jaman/kalpa; penghancuran dan Mati. Pralaya di terminologi Hindu:

Nitya pralaya berarti tidur, arti yang lebih luasnya adalah mati, terjadinya kematian tubuh.
Laya atau Yuga Pralaya, di akhir Maha Yuga (4 yuga), terjadinya banyak sekali kematian (misalnya perang, gempa dll).
Mavantara Pralaya, terjadi di setiap mavantara, jadi sebanyak 14 mavantara, berupa banjir besar yang mendahului adanya Manu ‘manusia’.
Dina (hari) Pralaya atau Naimittik Pralaya atau pralaya, terjadi di akhir kalpa (1 hari penuh Brahma = 1000 Maha yuga), hancurnya semesta, sorga dan neraka (3 dunia: bhur, bhuwah, swaha).
Mahapralaya, terjadi di akhir Maha Kalpa (100 Kalpa), atau di akhir usia Brahma, di mana 14 Dunia, 5 elemen (tatwa) 3 sifat (triguna) musnah. Jadi seluruh Brahmanda (telur yang mengembang, semesta dan segala isinya termasuk para deva) diserap kembali oleh Brahman.
Aatyantika Pralaya, ‘tercapainya perjalanan jiwa lepas dari roda samsara’, khusus arti yang ini, maka waktu terjadinya adalah relatif.
Filosofi Samkya menyatakan bahwa pralaya berarti ‘kosong, tiada apapun, keadaan yang dicapai ketiga triguna (satwam, rajas, tamas) berada pada kondisi yang seimbang, arti no 6 ini merupakan sinonim dari no 5. Waktu terjadinya adalah relatif.Jadi sejarah bumi saat ini berada di jaman Kaliyuga ke-28 pada tahun Brahma ke 51. Jaman Kaliyuga ini di mulai pada Februari 3102 SM (Manusmrithi 1:64-80; Surya Sidhantha 1:11-23) dan berakhir di 432.000 tahun kemudian.

Dalam ilmu fisika modern Letak matahari diperkirakan 150.000.000 kilometer jauhnya dari bumi.
Sinar matahari akan sampai ke bumi dalam waktu 8 menit 20 detik.
Para fisikawan telah menghitung energi matahari yang dipancarkan sama dengan 5,7×1000.000.000.000.000.000.000.000.000 kalori per menit dan mampu menyala selama 50 miliar tahun.

Dengan demikian, waktu menyala bagi matahari juga terbatas dan pada suatu hari nanti, matahari tidak akan bersinar lagi.

TRI NETRI KAITANYA DENGAN PENGHANCURAN ( KIAMAT )

Manusia telah mencari Tuhan hampir 2500 tahun setelah sorga dimana pada waktu berakhirnya sorga pada jaman dinasti chandra berkuasa dengan Rajanya "Rama" bertahta di Bharata ketika fase dunia memasuki 2500 tahun setelah sorga dan manusia perlahan mengalami penurunan dari sifatnya yang mulia seperti dewa dewi mulai mengambil racun kehidupan yang dikenal dengan Panca wikara (5 kejelekan); napsu, ego, marah, serakah dan keterikatan pada dunia material sebagai akibat hidup hanya memuaskan mata, hidung, mulut, kulit, sentuhan dll sehingga kita mulai terperosok pada kepalsuan hidup dan penuh dengan duka.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Seiring pertambahan manusia dengan kelahiran kembali/reinkarnasi mulai memadati planet bumi ini duhuluanya peradaban sorga adalah satu benua satu bangsa dan satu bahasa dewa dewi sehingga sampai sekarang kita sangat senang menyimpan dan memajang gambar gambar dewi dewi karena mereka adalah sosok manusia sempurna yang telah mengalahkan musuh dalam dirinya dan sosok panutan.

Agama mulai turun pada jamannya yang dibawa masing masing pendirinya yang diikuti ledakan popolasi masing masing pengikutnya sampai semua agama berkembang dengan irama dunia dan masanya hingga akhirnya kita berada pada puncak jaman besi penghujung jaman kali kita disuguhkan berbagai adegan bercampur dengan segala racun dan nestapa tangisan dunia dengan berbagai arena penghancuran bagaimanapun juga semua kitab suci tercipta untuk mengayomi semua penganut agama namun semuanya adalah karangan manusia yang masih belum sempurna dibandingkan pengetahuan Tuhan yang Maha Agung sebagai sutradara yang agung sang pencipta dan permainan drama dunia tak terbatas ini. seperti janji Beliau Tuhan Ciwa turun pada jaman puncak kegelapan manusia kini Beliu telah berada hampir 73 tahun di akhir jaman ini.

Tuhan memberikan semuanya berupa sari dan madu ilmu pengetahuan tentang diri Beliau dan ciptaan terkait dengan 3 aspek waktu masa lalu masa kini dan masa yang akan datang. saat inilah Tuhan Ciwa memberitahu kita segalanya tentang masa yang akan datang dimana sebentar lagi sorga akan muncul sebagai siklus abadi dari Jaman emas ( Satya yuga ) - Perak ( Treta Yuga ) - Perunggu ( Dwapara Yuga ) - Besi ( kali yuga ) inilah siklus waktu yang mengatur dunia ini selama 5000 tahun yang terus berputar abadi hal ini tak ada dalam kitab suci manapun saat ini adalah jaman transisi dimana apapun bisa terjadi kapanpun setiap detik. detik ini adalah waktu penanggalan pada keterikatan dunia karena manusia lahir tak membawa dan memiliki apapun termasuk badan kita sendiri bukanlah identitas sebenarnya dia hanya fana sementara kita adalah Atman /jiwa/roh yang berasal dari Shiwa Loka alam Tuhan dan para atma dalam keheningan serta melampui planet dan bintang. saudaraku ini adalah detik detik terakhir, berita akhir jaman adalah kebenaran sejati maka siap siagalah pada sang waktu, Tuhan Bapak Ciwa telah memnggil kita pada akhir jaman ini. kita semua telah lelah dan membangun berbagai tempat ibadah 2500 tahun belakangan ini, sang waktu telah memanggil kenalilah Tuhan yang sebenarnya dan segala keagungan serta belas kasihnya.

Tuhan tak pernah meminta apapun, semua kemuliaan akan kembali pada kredit karma kita sebagai konskwensi Hukum karma. barang siapa yang mengenal Tuhan dan mengagungkan kemuliannya dalam praktek nyata akan pulang dengan senyum dan kemenangan di akhir jaman ini.

Sumber: mediahindu.net

Riwayat Kasta di Bali






Bhagawan Dwija dari Geria Tamansari Lingga, Singaraja

Om Swastyastu.
Kasta, dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group resulting from the division of society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or job. Uraian lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775; asal katanya adalah “Casta” bahasa Portugis yang berarti kelas, ras keturunan, golongan.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Bangsa Portugis yang dikenal sebagai penjelajah lautan adalah pemerhati dan penemu pertama corak tatanan masyarakat di India yang berjenjang dan berkelompok; mereka menamakan tatanan itu sebagai Casta. Tatanan itu kemudian berkembang di Eropa terutama di Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, dan Portugis. Sosialisasi casta di Eropa tumbuh subur karena didukung oleh bentuk pemerintahan monarki (kerajaan) dan kehidupan agraris.

Para elit ketika itu adalah the king (raja), the prince (kaum bangsawan), dan the land lord (tuan/ pemilik tanah pertanian); rakyat jelata kebanyakan buruh tani misalnya di Rusia disebut sebagai kaum proletar adalah kelompok mayoritas yang hina, hidup susah, dan senantiasa menjadi korban pemerasan kaum elit.

Lama kelamaan tatanan ini berubah karena tiga hal utama, yaitu:

Revolusi Perancis dan Bholshevik (Rusia) yang menghapuskan monarki dan the land lord
Industrialisasi yang mengurangi peran sektor agraris
Pengembangan Agama Kristen yang menonjolkan segi kasih sayang diantara umat manusiaWalaupun demikian casta tidak hilang sama sekali; ia berubah wujud sebagai “Class System” yang didefinisikan sebagai: a differentiation among men according to such categories as wealth, position, and power.

Class System ini dianalisis secara ilmiah oleh berbagai tokoh masyarakat; yang terkemuka adalah Karl Marx dengan teorinya: The relations of production; inilah embrio pemahaman sosialis komunis yang ingin meniadakan perbedaan kelas masyarakat, di mana pemerintah menguasai sumber-sumber kehidupan dan mengupayakan perimbangan income yang wajar diantara rakyatnya.

Peredaran zaman menuju ke abad 20 membawa Class Theory yang klasik seperti pemikiran Karl Marx berubah menuju era baru seperti apa yang disebut sebagai Class Mobility, yaitu pengelompokan sosial karena kepentingan profesi. Kini kita biasa mendengar kelompok-kelompok: usahawan, birokrat, intelektual, militer, dan rohaniawan; mereka kemudian mengikat diri lebih khusus kedalam organisasi-organisasi seperti: IKADIN, IDI, ICMI, ICHI, MUI, PHDI, dll.

India yang disebut dalam berbagai sumber sebagai asal Kasta Stelsel, sebenarnya mempunyai sekitar 3000 kelompok sosial masyarakat, namun pada umumnya dapat dibedakan menjadi empat. Pengelompokan ini di India tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang beragama Hindu saja, tetapi juga pada masyarakat yang beragama lain misalnya penganut Islam berkelompok pada: Sayid, Sheikh, Pathan, dan Momin; penganut Kristen berkelompok pada: Chaldean Syrians, Yacobite Syrians, Latin Catholics, dan Marthomite Syrians; penganut Budha berkelompok pada: Mahayana, Hinayana, dan Theravadi.

Istilah pertama yang digunakan di India bukan kasta tetapi “varnas” Bahasa Sanskerta yang artinya warna (colour); ditemukan dalam Rig Veda sekitar 3000 tahun sebelum Masehi yaitu Brahman (pendeta), Kshatriya (prajurit dan pemerintah), Vaishya (pedagang/ pengusaha), dan Sudra (pelayan).

Tiga kelompok pertama disebut “dwij” karena kelahirannya diupacarai dengan prosesi pensucian.



Dalam Bhagavadgita percakapan ke-IV sloka ke-13 ditulis:
CHATUR VARNYAM MAYA SRISHTAM,
GUNA KARMA VIBHAGASAH,
TASYA KARTARAM API MAM,
VIDDHY AKARTARAM AVYAYAM
artinya:
catur warna adalah ciptaan-Ku,
menurut pembagian kualitas dan kerja,
tetapi ketahuilah walaupun penciptanya,
Aku tidak berbuat dan mengubah diri-Ku.

Warna adalah profesi atau bidang kerja yang dilaksanakan seseorang menurut bakat dan keahliannya; tidak ada perbedaan derajat diantaranya karena masing-masing menjalankan karma dengan saling melengkapi.

Mantram-mantram dari Yajurveda sloka ke-18, 48 antara lain berbunyi:
RUCAM NO DHEHI BRAHMANESU,
RUCAM RAJASU NAS KRDHI,
RUCAM VISYESU SUDRESU,
MAYI DHEHI RUCA RUCAM
artinya:
Ya Tuhan Yang Maha Esa bersedialah memberikan kemuliaan pada para Brahmana, para Ksatriya, para Vaisya, dan para Sudra. Semoga Engkau melimpahkan kecemerlangan yang tidak habis-habisnya kepada kami.

Yajurveda Sloka ke 30, 5 berbunyi:
BRAHMANE BRAHMANAM,
KSATRAYA, RAJANYAM,
MARUDBHYO VAISYAM,
TAPASE SUDRAM
artinya:
Ya Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan Brahmana untuk pengetahuan, para Ksatriya untuk perlindungan, para Vaisya untuk perdagangan, dan para Sudra untuk pekerjaan jasmaniah.

Profesi yang empat jenis itu adalah bagian-bagian (berasal) dari Tuhan Yang Maha Esa yang suci, diibaratkan sebagai anatomi tubuh manusia dalam tatanan masyarakat, sebagaimana Yajurveda sloka 31, 11 menyatakan:

BRAHMANO ASYA MUKHAM ASID,
BAHU RAJANYAH KRTAH,
BACA JUGA
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Sistem Kasta di Provinsi Bali
Riwayat Kasta Di Bali

URU TADASYA YAD VAISYAH,
PADBHYAM SUDRO AJAYATA
artinya:
Brahmana adalah mulut-Nya Tuhan Yang Maha Esa,
Ksatriya lengan-lengan-Nya,
Vaisya paha-Nya,
dan Sudra kaki-kaki-Nya.

Selanjutnya doa yang mengandung harapan agar masing-masing profesi/ warna melaksanakan swadharma yang baik terdapat pada Yajurveda sloka 33,81:

PRAVAKAVARNAH SUCAYO VIPASCITAH
artinya: para Brahmana seharusnya bersinar seperti api, bijak, dan terpelajar;

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Yajurveda sloka 20,25:
YATRA BRAHMA CA KSATRAM CA,
SAMYANCAU CARATAH SAHA,
TAM LOKAM PUNYAM PRAJNESAM,
YATRA DEVAH SAHAGNINA
artinya:
di negara itu seharusnya diperlakukan warga negaranya sebaik mungkin, di sana para Brahmana dan para Kesatriya hidup di dalam keserasian dan orang-orang yang terpelajar melaksanakan persembahan (pengorbanan).

Kesimpulannya adalah Warna itu realistis dan idealnya semua profesional berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama dan kesejahteraan umat manusia.


Warna seseorang tidak selamanya tetap apalagi turun temurun; misalnya seorang petani (berwarna sudra) karena ketekunannya berhasil menyekolahkan anaknya kemudian hari menjadi bupati maka anaknya sudah menjadi warna Ksatriya; demikian sebaliknya seorang keturunan Brahmana yang tidak lagi berprofesi sebagai Wiku tidak dapat disebut sebagai warna Brahmana.

Perubahan status pada seseorang bahkan dapat terjadi setiap saat menurut bidang tugasnya, misalnya seorang pesuruh di suatu Kantor yang merangkap menjadi Pemangku di Pura/ Sanggah Pamerajan; ketika bertugas sebagai pesuruh dia berwarna Sudra, tetapi jika bertugas nganteb piodalan di Pura dia berwarna Brahmana.

Warna yang diabadikan bahkan diwariskan turun temurun terjadi di India, sebagai usaha kelompok elit mempertahankan status quo, yang sebenarnya sudah sangat menyimpang dari ajaran suci Weda.

Gejala mengabadikan warna inilah yang dilihat oleh orang-orang Portugis sehingga timbullah istilah “casta” seperti yang diuraikan di atas.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Penerapan kasta stelsel di India menimbulkan pengkotak-kotakan masyarakat sehingga mereka saling bertikai. Dalam kondisi seperti ini jiwa nasionalisme pudar sehingga India mudah dipecah belah dan akhirnya dijajah Inggris.

Perjuangan Mahatma Gandhi membangkitkan nasionalisme India dibayar sangat mahal yaitu dengan jiwanya sendiri ketika dia ditembak oleh seorang fanatikus kasta.

Agama Hindu kemudian menyebar ke Indonesia lengkap dengan tatanan masyarakat menurut “warna” masing-masing. Mula-mula di Jawa tatanan masyarakat masih murni menurut Weda yaitu tatanan menurut profesi atau “Warna”.

Ketika Majapahit hendak meluaskan kerajaan dengan cita-cita menyatukan Nusantara yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya Gajahmada, maka Majapahit menundukkan Kerajaan Bali Dwipa pada abad ke-13.

Para “penjajah Majapahit” membawa serta kaum elit yang memimpin kerajaan Samprangan. Kaum elit itu dinamakan Triwangsa, yaitu Brahmana, Kesatria, dan Wesya. Semua penduduk Bali-asli yang dijajah, dikelompokkan sebagai Wangsa Sudra.

Tujuan politik Gajahmada adalah agar kaum Bali-asli tidak bisa eksis, sehingga kelanggengan pemerintahan Samprangan dapat berlanjut terus.

Sejak masa itulah “Warna” di Bali berubah menjadi “Wangsa” atau “Kasta” karena hak-hak kebangsawanan diturunkan kepada generasi seterusnya.

Setelah kerajaan-kerajaan di Bali runtuh, kemudian Indonesia menjadi negara Republik, hak-hak kebangsawanan mereka dengan sendirinya hilang. Namun demikian titel-titel nama depannya masih digunakan, sekedar untuk mengenang kejayaan masa lalu dan mungkin dengan alasan lain yaitu menghormati leluhur.

Sekarang tinggal masyarakat saja yang menilai kedudukan seseorang.

Tinggi rendahnya status sosial seseorang di masyarakat ditentukan pada peranan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat, bukan pada embel-embel predikat nama itu.

Mereka yang bijaksana akan senantiasa menjauhkan perilaku feodalisme, karena feodalisme itu membodohi diri sendiri.

Sumber : cakepane.blogspot.com


Sejarah Singkat Pura Khayangan Jagat di Bali




Setelah mengungkap sekelumit asal usul Pura-pura Khayangan Jagat di Bali, berdasarkan sumber - sumber menuskrip tua, yang kini masih tersimpan di Bali. Hubungan Pura-pura Khayangan Jagat di Bali dengan Gunung Semeru, pengungkapannya mirip dengan kejadian pemindahan puncak gunung Mahameru (Himalaya) di India ke Tanah Jawa.

Dalam naskah sejarah Bali oleh Gora Sirikan, diceritakan bahwa “ Gunung – gunung dan Danau menjadi tempat pemujaan Dewa – Dewi. sebagai Gunung Mahameru yang dipindahkan dari Jambudwipa ke Bali oleh Dewa – Dewi itu, katanya terjadi pada tahun Saka 11 (’89 M). Perhitungan tahun saka itu dinyatakan dengan istilah “Candra Sangkala” yang berbunyi “Rudira Bumi”. baik perkataan “Rudira” maupun “Bumi”, masing – masing mempunyai nilai angka 1, sehingga kedua patah perkataan itu menujukan bilangan angka tahun saka 11. Semenjak itulah katanya keadaan Pulau Bali mulai sentosa,tiada bergoyang lagi karena adanya gunung – gunung itu. hal ini dapat diartikan bahwa semenjak itu masyarakat di Bali mulai mengalami perubahan karena desakan paham baru yang datang dari india.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dalam lontar Raja Purana Sasana Candi Sapralingga Bhuana, dikemukakan keadaan Balidwipa dan salaparangdwipa, masih sunyi senyap. Seolah-olah masih mengambang di tengah lautan yang luas, bak perahu tanpa kemudi, oleng kesana kemari, tak menentu arahnya. Pada waktu itu di Balidwipa hanya baru ada Gunung Lempuyang di bagian Timur. Disebelah selatan Gunung Andakasa. Di sebelah barat, Gunung Batukaru, disebelah utara Gunung Mangu dan Beratan. Sehingga Balidwipa pada waktu itu masih labil dan goyang.

Keadaan Balidwipa yang masih labil dan bergoyang terus, diketahui oleh Dewa Pasupati yang bersthana di Gunung Semeru. Agar Balidwipa menjadi stabil, Dewa Pasupati memerintahkan Sanng Badawangnala, Sang Naga Anantaboga, Sang Naga Basuki, Sang Naga Taksaka memindahkan bagian salah satu puncak Gunung Semeru ke Balidwipa.

Sang Badawangnala, menjadi alas bagian puncak Gunung Semeru yang dipindahkan ke Balidwipa, Naga Anantaboga dan Naga Basuki mengikat. Sedangkan Naga Taksaka, juga mengikat dan menerbangkan ke utara. Bagian-bagian puncak Gunung Semeru yang diterbangkan ke Balidwipa pada waktu itu, adapula bagian - bagian yang rempak dan jatuh tercecer di Balidwipa, menjadi gunung Batur, dan sebagian yang tidak tercecer menjadi Gunung Agung. kemudian setelah itu, keadaan Balidwipa menjadi stabil. Sejak itu pula di Balidwipa ada Sadpralinggagiri (enam sthana gunung), yakni Gunung Lempuyang, Gunung Andakasa, Gunung Watukaru, Gunung Pucak Mangu atau Gunung Bratan, Gunung Batur dan Gunung Agung.

Setelah keadaan Balidwipa menjadi stabil, kemudian Dewa Pasupati, memerintahkan tiga istadewata atau prabhawanya, yang dalam penghayatan Agama yang immanent, dikemukakan sebagai tiga putra-Nya. Ketiga Putra-Nya yang diberi bhisama agar bersthana di Balidwipa menjadi sungsungan Raja-raja dan Rakyat di Balidwipa, adalah

Hyang Gnijaya, bersthana di Gunung Lempuyang,
Hyang Putrajaya, bersthana di Gunung Agung
Hyang Bhatari (Dewi Danu), bersthana di Gunung Batur.Maka sejak itu, bagi Raja-raja dan Rakyat Balidwipa, telah ada sungsungan Trilinggagiri (tiga sthana gunung).

Agar keadaan Balidwipa menjadi sempurna, kemudian Dewa Pasupati di Gunung Semeru, memerintahkan lagi empat orang putranya untuk bersthana di Balidwipa yakni;

Bhatara (Hyang) Tumuwuh, bersthana di Gunung Watukaru,
Bhatara (Hyang) Manik Gumawang, bersthana di Gunung Bratan (Pucak Mangu),
Bhatara (Hyang) Manik Galang, bersthana di Pejeng,
Bhatara (Hyang) Tugu, bersthana di Gunung Andakasa.Sejak itu Balidwipa, dikenal adanya Saptalinggasari, tujuh gunung sebagai lingga, yang dalam penghayatan agama immanent selaras dengan konsep dan sistem ajaran Upaweda, sebagai sthana putra-putra Dewa Pasupati, yang bersthana di Gunung Semeru.



Dalam naskah Purana Bali yang disusun oleh Ida Peranda Gede Pemaron, Geria Agung Menara Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, dinyatakan sebagai berikut;

Sang Hyang Wisnu mengadakan Gunung Batur namanya dan lereng Gunung Batur, terus berkahyangan disitu di Toya Bungkah namanya di sebelah Gunung Batur itu. Danau Batur kahyangan Bhetari Uma, Danau Buyan kahyangan Bhatari Gangga, Danau Beratan kahyangan Bhatari Laksmi dan Danau Tamblingan kahyangan Bhatari Sri.
Hyang Pasupati menyuruh Hyang Putranjaya dan Dewi Danuh untuk menuju Benoa Bangsul (Pulau Bali) serta berkahyangan disana sebagai bhetara yang disembah oleh masyarakat disana (Bali). Hyang Putranjaya dan Dewi Danuh menuju Bali dengan merubah dirinya berwujud dua ekor burung perkutut yaitu Hyang Putranjaya menjadi Perkutut (titiran) Putih dan Bhatari Danuh menjadi Perkutut Brumbun. Sementara itu Hyang Pasupati terbang ke Bali dengan membawa dua buah keping gunung yang diambil dari Jambudwipa (Gunung Himalaya) yang dipegang dengan tangan kanan dan kiriNya. Kedua buah keping itu kemudian diletakkan di Bali yaitu keping yang dipegang dengan tangan kanan menjadi Giri Tohlangkir (Gunung Agung) sebagai stana Hyang Putranjaya dan keping yang dipegang dengan tangan kiri menjadi Gunung Batur sebagai kahyangan Dewi Danuh atau Bhatari Ulun Danu.Diterangkan pula dalam Lontar Usana Bali, bahwa “sesungguhnya aku adalah putra Dewa Pasupati dari Jambudwipa yang bersemayam di Gunung Mahameru. aku dititahkan oleh Dewa Pasupati untuk bersemayam di Bali, selanjutnya berstana di Pura Besakih yang merupakan tempat pemujaan Raja – raja di Bali, lagi pula aku dititahkan sebagai junjungan masyarakat di Bali dan sudah berganti nama. kini aku bernama Dewa Mahadewa dan adikku ini bernama Dewi Danuh”.
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali
Diterangkan juga dalam lontar tersebut bahwa Gunung Agung di Bali pernah meletus pada tahun saka 13 (91M). perhitungan tahun saka itupun dinyatakan dalam istilah candra sangkala yang berbunyi “Geni Bhudara”. Geni mempunyai nilai angka 3, sedangkan Bhudara bernilai angka 1. cara membacanya harus terbalik, sehingga dibaca tahun saka 13. Akibat meletusnya Gunung Agung Itu, maka terjadilah gempa besar, disertai hujan lebat siang dan malam tiada henti – hentinya selama 2 bulan. kilat dan petir bersambung di udara, setelah itu turunlah Dewa dan Dewi dari kahyangan, Dewa itu masing – masing disebut Hyang Putranjaya, Hyang Gnijaya dan Dewi Danuh. Hyang Putranjaya dianggap paling tinggi derajatnya sebab itulah disebut juga Mahadewa yang berkahyangan di Gunung Agung. Hyang Gnijaya kemudian berkahyangan di Gunung Lempuhyang sedangkan Dewi Danuh dinyatakan berkahyangan di Gunung dan Danu Batur.

Tempat pemujaan untuk Dewi Danuh di daerah Gunung Batur kemudian dulu dikenal dengan nama Pura Tampurhyang yang letaknya di Desa Sinarata. tapi akibat meletusnya Gunung Batur pada tanggal 3 Agustus 1926, yang berakibat desa dan pura tersebut rata tertutup lahar panas, sehingga penduduk desa menyingkir ke sebelah selatan desa kintamani, yang kemudian daerah tersebut kemudian disebut Desa Batur. Di Desa batur inilah masyarakat membangun kembali Pura Tampurhyang yang selesai di plaspas pada hari Redite Pon Prangbakat tanggal 14 April 1935. Belakangan, karena keberadaan Pura Tampurhyang berada di wilayah Desa Batur, masyarakat Bali sering juga disebut Pura Ulun Danu Batur.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Mengenai Pura Lempuyang sedikit dijelaskan dalam naskah turunan prasasti Sading C yang disimpan di Geria Mandhara Munggu, yang isinya menyebutkan sebagai berikut " Pada tahun 1072 Caka (1150) bulan ke-9 hari tanggal 12 bulan paroh terang, wuku julungpujut, ketika hari itu beliau Paduka Çri Maharaja Jayaçakti, merapatkan seluruh pemimpin perang. Karena beliau akan pergi ke Bali karena disuruh oleh ayahnya yaitu Sang Hyang Guru yang bertujuan untuk membuat Pura (dharma) disana di Gunung Lempuyang, terutama sebagai penyelamat bumi bali, diikuti oleh Pendeta Çiwa dan Budha serta mentri besar. Beliau juga disebut Maharaja Bima, yaitu Çri Bayu atau Çri Jaya atau Çri Gnijayaçakti."

Selain itu didalam Lontar Kutarakanda Dewa Purana Bangsul lembar ke 3-5 koleksi Ida Pedande Gde Pemaron di Gria Mandhara Munggu Badung ada di singgung mengenai Lempuyang yang kutipannya kira-kira sebagai berikut " Demikianlah perkataan Sang Hyang Parameçwara kepada putra beliau para dewa sekalian, terutama sekali Sang Hyang Gnijayaçakti wahai ananda, anda-anda para dewa sekalian, dengarkanlah perkataanku kepada anda sekalian, hendaknya anda turun (datang) ke Pulau Bali menjaga pulau Bali, seraya anda menjadi dewa disana"

Di dalam bahsa Jawa kata Lempuyang berarti "Gamongan" gunung Lempuyang berarti gunung gamongan atau bukit gamongan sebagaimana disebutkan dalam lontar Kusuma Dewa dan sampai sekarang masyarakat sekitar tempat itu menyebutkan bahwa Pura Lempuyang terletak di Bukit Gamongan disebelah timur kota Amlapura. Suatu yang menarik dan merupakan keistimewaan adalah didalam Pura Lempuyang luhur terdapat serumpun bambu jenis kecil. Setelah selesai menghaturkan bhakti batang pohon bambu itu dipotong oleh pemangku untuk mendapatkan tirta (disebut tirtha pingit) bagi setiap orang yang pedek tangkil ngaturang bhakti kesana. Tirta tersebut juga berfungsi sebagai Tritha Pengenteg-enteg yakni tirtha yang dipakai untuk Ngenteg Linggih baik di Pura-Pura, mrajan ataupun sanggah. Tetapi anehnya tidak selalu didalam batang bambu tersebut diketemukan air.

Pengungkapan pantheon Hindu, seperti yang dikemukakan di dalam Lontar Raja Purana Sasana Candi Sapralingga Bhuana, kalau disimak dan dikaji, ada titik temu dengan Lontar Usana Bali, yang ditulis oleh Danghyang Nirartha, atau di Bali lebih dikenal sebagai Ida Pedanda Shakti Bawu Rawuh, salah seorang Wiku Siwa yang datang dari Jawadwipa, sebagai wiku pembaharu sistem kehidupan sosial agama Hindu di Bali dan Lombok. Dalam karya tulisnya itu, ada dikemukakan Pelinggih Pura Catur Lokapala, yakni:

Ring Purwa (Timur), Gunung Lempuyang, dengan Pura Lempuyang Luhur, sthana Bhatara Gnijaya,
Ring Pascima, (Barat), Gunung Watukaru, dengan Pura Luhur Watukaru, sthana Bhatara Hyang Tumuwuh,
Ring Uttara (Utara), Gunung Mangu, dengan Pura Ulun Danu Bratan, sthana Bhatara Hyang Danawa,
Ring Daksina, (Selatan), Gunung Andakasa, dengan Pura Andakasa, adalah sthana Bhatara Hyang Tugu.
Ring Madya,adalah Gunung Agung, dengan Pura Besakihnya, pusat pemujaan Siwa Tri purusha (Prama Siwa, Sadasiwa dan Siwa), lengkaplah menjadi Pancagiripralingga (lima gunung sebagai sthana) lima Dewa.Demikian titik temu antara konsep Lontar Raja Purana Sasana Candi Sapralingga Bhuana dengan Lontar Usana Bali, yang telah dikemukakan. Selaras dengan konsep gunung sebagai tempat suci dan Candi Pralingga, di dalam buku upadesa, yang diterbitkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat (sekarang) juga ada yang dikemukakan sembilan Khayangan Jagat, yang berlokasi secara kardinal di Balidwipa. Berlokasi di sembilan gunung dengan sembilan dewa-dewa yang bersthana di pura-pura Nawagiri yang kardinal, sebagai istadewata Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Atau dengan kata lain prabhawa kekuatan Hyang Widhi Yang Tunggal , yang dalam penghayatan agama yang immament di Bali, lebih dikenal sebagai Dewata Nawasanga.
Dewata Nawasanga, yang bersthana secara kardinal, disembilan penjuru mata angin, masing-masing adalah :

Gunung Lempuyang (Pura Lempuyang), ditimur tempat pemujaan istadewata Hyang Widhi, sebagai Dewa Iswara.
Gunung Andakasa, di Selatan (Pura Andakasa), tempat memuja Dewa Brahma.
Gunung Watukaru (Pura Luhur Watukaru), di Barat, tempat memuja Dewa Mahadewa.
Gunung Batur (Pura Ulundanu Batur), di Utara, tempat memuja Dewa Wisnu
Perbukitan Gua Lawah (Pura Gua Lawah), di Tenggara, tempat memuja Dewa Mahesora.
Bukit Pecatu (Pura Luhur Uluwatu), di Baratdaya, tempat memuja Dewa Rudra.
Gunung Mangu (Pura Ulun Danu Bratan), di Baratlaut, tempat memuja Dewa Sangkara.
Gunung Agung (Pura Agung Besakih) di Timur Laut, tempat memuja Dewa Shambu.
Pura Agung Besakih, merupakan Khayangan Jagat (di tengah) tempat pemujaan Dewa Siwa, Siwa Tripurusha (Paramasiwa, Sadasiwa, dan Si-wa) seperti yang telah dikemukakan.Dalam tradisi yang masih hidup sampai sekarang di Balidwipa, di Nawagiri (sembilan gunung) dengan masing-masing puranya, kalau dilaksanakan pemujaan dan persembahan di Pura-pura selalu melakukan Upacara Pemendak Tirtha, beberapa hari sebelum upacara berlangsung. Dan kalau pelaksanaan pemujaan dan persembahan telah selesai, akan dilanjutkan dengan Upacara Mancakarma, atau mejejauman ke Gunung Semeru, yang bermakna selaku Perwujudan angayubagya atau sejenis upacara perwujudan terima kasih kehadapan Dewa Pasupati, yang bersthana di Gunung Semeru.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Malam Kajeng Kliwon, Diyakini sebagai Hari Sangkep Leak, Kenapa?






Ilustrasi Leak (ISTIMEWA)


BALI EXPRESS, DENPASAR - Kajeng Kliwon adalah hari yang dikenal angker bagi sebagain besar umat Hindu di Bali. Pada hari itu juga diyakini sebagai hari pertemuan dan perkumpulan Leak untuk mengasah keilmuannya. Benarkah?


Kajeng Kliwon merupakan hari yang perhitungannya jatuh pada Tri Wara, yaitu Kajeng dan Panca Wara, Kliwon. Pertemuan antara Kajeng dengan Kliwon, diyakini sebagai saat energi alam semesta yang memiliki unsur dualitas bertemu satu sama lainnya. "Energi dalam alam semesta yang ada di Bhuwana Agung semuanya terealisasi dalam Bhuwana Alit atau tubuh manusia itu sendiri," ujar Jro Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Senin (30/1).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Lebih lanjut dijelaskan Mangku Satra, rahinan Kajeng Kliwon diperingati setiap 15 hari sekali, dan dapat dibagi menjadi tiga, yakni, Kajeng Kliwon Uwudan, Kajeng Kliwon Enyitan, dan Kajeng Kliwon Pamelastali.

Kajeng Kliwon Uwudan adalah Kajeng Kliwon yang jatuh setelah terjadinya purnama, sedangkan Kajeng Kliwon Enyitan adalah Kajeng Kliwon yang dilaksanakan setelah bulan mati atai Tilem. Sementara Kajeng Kliwon Pamelastali adalah Kajeng Kliwon yang dilaksanakan setiap hari Minggu pada Wuku Watugunung, dilaksanakan setiap enam bulan sekali.


Pada setiap hari kliwon, umat hindu di Bali mengadakan upakara di rumah maupun di beberapa tempat sesuai adat masing-masing. Ada pun penjelasannya diambil dari Lontar Cundarigama yang menyebut 'Mwah ana manut Pancawara Kliwon ngaran, samadhin Bhatara Siwa, kawenangnia anadah wangi ring sanggah, mwang luhuring haturu, meneher aheningana cita, wehana sasuguh ring natar sanggar mwah dengen, dening. Maksudnya, segehan kepel kekalih dadi atanding, wehana pada tigang tanding. Ne ring natar sambat Sang Kala Bhucari, ne ring sanggar sambat Sang Bhuta Bhucari, ring dengen sambat Durga Bhucari. 'Ikang wehana laba nangken kliwon, saisinia, dan sama hanemu rahayu, paripurna rahasya'. Yang artinya, pada hari pancawara, yakni setiap datangnya Hari Kliwon adalah saatnya beryoga Bhatara Siwa, sepatutnya pada saat yaang demikian, melakukan penyucian dengan menghaturkan wangi-wangi bertempat di pamerajan, dan di atas tempat tidur. Sedangkan yang patut disuguhkan di halaman rumah, segehan kepel dua kepel menjadi satu tanding, dan setiap tempat tersebut disuguhkan tiga tanding, yakni di halaman sanggar kepada Bhuta Bhucari, di dengen kepada Durga Bhucari, untuk di halaman rumah kepada Kala Bhucari. Adapun maksud memberikan laba setiap Kliwon, yakni untuk menjaga pekarangan serta keluarga semuanya mendapat perlindungan dan menjadi bahagia.


'Kunang ring byantara kliwon, prakrtinia kayeng lagi, kayeng kliwon juga, kewala metambehing sege warna, limang tanding, ring samping lawang ne ring luhur canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa, astawakna ring Hyang Durgadewi, ne ring sor, sambat Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, phalania rahayu paripurna wang maumah. Yen tan samangkana ring Bhatara Durgadewi angrubeda ring wang adruwe umah, angadeken gring mwang angundang desti, teluh, sasab mrana, amasang pamunah, pangalak ring sang maumah, mur sarwa Dewata kabeh, wehaken manusa katadah dening wadwanira Sang Hyang Kala, pareng wadwanira Bhatara Durga. Mangkana pinatuhu, haywa alpa ring ingsun. Maksudnya, lain lagi pada hari Kajeng Kliwon, pelaksanaan widhiwidananya, seperti halnya pada hari kliwon juga, hanya tambahannya dengan segehan warna 5 tanding, yang disuguhkan pada samping kori sebelah atasnya, ialah canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa dan yang dipuja adalah Durgadewi. Yang disuguhkan di bawahnya, untuk Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, yang maksudnya berkenan memberikan keselamatan kepada penghuni rumah. Sebab, kalau tidak dilakukan sedemikian rupa, maka Sang Kala Tiga Bhucari akan memohon lelugrahan kepada Bhatari Durga Dewi, untuk merusak penghuni rumah, dengan jalan mengadakan atau menyebarkan penyakit, dan mngundang para pangiwa, segala merana-merana, mengadakan pemalsuan-pemalsuan, yang merajalela di rumah-rumah, yang mengakibatkan perginya para Dewata semua.



Dan, akan memberi kesempatan para penghuni rumah disantap oleh Sanghyang Kala bersama-sama dengan abdi Bhatari Durga. "Demikianlah agar disadari, dan jangan menentang pada petunjuk kami," sarannya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Rahina Kajeng Kliwon diperingati sebagai hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama. Pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma. Pada Kajeng Kliwon hendaknya menghaturkan segehan mancawarna. Tetabuhannya adalah tuak atau arak berem. Di bagian atas, di ambang pintu gerbang (lebuh) harus dihaturkan canang burat wangi dan canang yasa. "Semuanya itu dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Durgha Dewi," imbuhnya.


Segehan dihaturkan di tiga tempat yang berbeda, yaitu halaman Sanggah atau Mrajan, atau di depan palinggih pengaruman, dan ini di tujukan pada Sang Bhuta Bhucari. Kemudian di halaman rumah atau pekarangan rumah tempat tinggal, ditujukan kepada Sang Kala Bhucari. Kemudian yang terakhir adalah dihaturkan di depan pintu gerbang pekarangan rumah atau di luar pintu rumah yang terluar. Ini ditujukan kepada Sang Durgha Bhucari .


Maksud dan tujuan menghaturkan segehan ini merupakan perwujudan bhakti dan sradha umat kepada Hyang Siwa ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah mengembalikan (Somya) Sang Tiga Bhucari. "Berarti kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar)," tandasnya.

Pada dasarnya, lanjutnya, Kajeng Kliwon merupakan hari yang sangat keramat karena kekuatan negatif dari dalam diri maupun dari luar manusia, amat mudah muncul dan mengganggu kehidupan manusia.Jadi, dapat diambil kesimpulan adanya peringatan dan upacara yadnya pada hari kajeng kliwon ini, dengan harapan bahwa baik secara sekala maupun niskala dunia ataupun alam semesta ini tetap menjadi seimbang.


Dikatakannya, sebagaimana dijelaskan pula bahwa saat malam kajeng kliwon sering dianggap sebagai malam sangkep (rapat) Leak di Bali. Pada malam Kajeng Kliwon ini para penganut aji Pangliyakan akan berkumpul mengadakan puja bakti bersama untuk memuja Shiva, Durga, dan Bhairawi. "Ritual Kajeng Kliwon ini biasanya dilaksanakan di Pura Dalem, Pura Prajapati atau di Kuburan atau uluning setra, pemuwunan, " tutup Satra.



(bx/gus /rin/yes/JPR)

Pura Kawitan - Pura Kahyangan Jagat







Purа Kаwіtаn ѕеmuа wаrgа Pаѕеk Sаnаk Sарtа Rѕі adalah di Lempuyang Madya.
Tарі ѕеѕuаі Bіѕаmа Idа Bhаtаrа Kawitan, ѕеmuа wаrgа Pаѕеk wаjіb jugа mеnуungѕung Purа Khayangan lаіnnуа уаng masih dіаntаrаnуа Pura Bеѕаkіh, Purа Dаѕаr Bhuana dan Purа Sіlауuktі.

Kеnара harus mеnуungѕung Purа-рurа tеrѕеbut…???

Mаrі kіtа kеmbаlі kе Babad Kаwіtаn. Ida Hyang Pаѕuраtі yang berstna dі Gunung Mahameru mеmеrіntаhkаn putra bеlіаu Hyang Gnіjауа Kе Bali untuk mеnаtа kembali kеhіduраn dіѕаnа. Hуаng Gnіjауа kemudian bеrѕtаnа dі Gunung Tоhlаngkіr berputra 5 orang.



• Idа Bhatara Kаwіtаn (Mpu Gnіjауа) уаng kemudian membangun Pesraman dі Tаmрurhуаng/Lеmрuуаng (Lеmрuуаng Madya)
• Ida Mрu Sеmеru уаng kеmudіаn membangun Pеѕrаmаn dі Besakih
• Idа Mрu Kuturаn yang kеmudіаn mеmbаngun Pesraman di Sіlауuktі
• Ida Mрu Ghana уаng kеmudіаn mеmbаngun Pesraman dі Dаѕаr Gelgel
• Idа Mрu Brаdаh tіnggаl dі Tаnаh Jawi.

Dаrі empat bersaudara уаng bеrtеmраt tіnggаl dі bаlі tersebut, hаnуа Idа Mpu Gnijaya ѕаjа уаng mеmіlіkі kеturunаn. Sеhіnggа Ida Bhаtаrа Kаwіtаn Mеnurunkаn Bisamanya agar tetap іngаt dеngаn Lеluhur dаn ѕаudаrа blіаu, dіаntаrаnуа dengan іngаt dan tеtар mеnуungѕung tеmраt раѕrаmаn dаrі ѕаudаrа-ѕаudаrа blіаu. Adарun Pаѕrаmаn tеrѕеbut kеmudіаn dibangun Pura, уаng kemudian dіjаdіkаn Purа Khayangan Jagat dаn ѕаmраі ѕеkаrаng wаjіb untuk kіtа ѕungѕung…

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Mеnurut salah ѕаtu Bаbаd, ditemukan pula bаhwа Idа Mpu Sеmеru tіdаk memiliki рutrа biologis, tetapi beliau mеmіlіkі рutrа dаrі hаѕіl уоgа-ѕаmаdі bеlіаu, уаng kalau tіdаk ѕаlаh kemudian mеnurunkаn Pаѕеk Kеkауоn diantaranya Pasek Kауu Sеlеm dаn ѕаudаrа-ѕаudаrа bеlіаu…

Jаngаn bеrрutuѕ asa tеntаng kаwіtаn. Memuja kаwіtаn іtu perlu kаrеnа mеlірutі tіgа dari Pаnсаѕrаdа уаіtu: Widhi Tаttwа, Atmа Tattwa, dan Punarbhawa.

Sаmа seperti kіtа ѕеkаrаng, bаgаіmаnа ѕаkіt hаtіnуа jіkа аnаk kаndung kіtа tіdаk mеngаkuі kita sebagai ауаhnуа? аtаu tіdаk tаhu bаhwа kіtаlаh ауаhnуа?

Kаwіtаn berasal dаrі kаtа "Wit" аrtіnуа asal-usul. Bhіѕаmа leluhur yang dіmuаt di Prаѕаѕtі аntаrа lain bеrbunуі ѕbb.: (tеrjеmаhаn) ....."itulah" hukumnya bаgі оrаng-оrаng yang tіdаk tаhu kawitan; bаgі mеrеkа уаng dеmіkіаn іtu аkаn tеrtіmра kesusahan ѕереrtі "sabe asanak" (: bеrkеlаhі аntаr kеluаrgа), "tаnреgаt agering" (:ѕаkіt tеruѕ mеnеruѕ tanpa sebab уаng jelas), "kаtеmаh dеnіng bhuta kаlа dеngеn" (: diganggu pikiran уаng tіdаk pernah tеnаng), "ѕurud kаwіbаwааn" (: tіdаk рunуа wіbаwа/ khаrіѕmа), "surud kawisesan" (: bоdоh, mаlаѕ dаn kаtа-kаtаnуа tidak bеrаrtі), "kеlаngеnаn tаn genah" (: hidup boros ѕеhіnggа mеnjаdі miskin), "sedina аnаngun уudа nеng роmаhаn" (:tidak реrnаh rukun dеngаn аnаk-іѕtrі), "rаmе іng gawe kіrаng раngаn" (: bаnуаk kerjaan tеtарі hаѕіlnуа kurаng/ tidak mеmаdаі)

Tetaplah berbakti kepada Kаwіtаn, tіdаk berarti lalu membangkitkan fanatisme ѕоrоh. Ingаtlаh kita ѕаtu darah, ѕаtu Kаwіtаn.
Om Sаntі, Sаntі, Sаntі, Om....


Sumber : cakepane.blogspot.com