Seorang laki-laki dari Pulau Jawa (Jaba – luar ?), entah siapa namanya, terlunta-lunta pergi ke Bali. Ia jatuh miskin. Pekerjaannya sehari-hari hanya berjudi dan bermalas-malasan. Tanah rumah dan harta bendanya habis terjual karena ia selalu kalah dalam perjudian.
Di Bali ia berharap dapat menghindari kebiasaannya yang sangat buruk itu. Sambil mengenang nasibnya yang malang itu, ia melangkah tak tentu arah. Berpuluh sungai terseberangi, berpuluh hutan dan gunung terlewati, akhirnya ia sampai di sebuah bukit di ujung timur Pulau Bali. Penduduk Desa Bugbug yang tinggal tidak jauh dari bukit itu, menamakan tempat itu Bukit Juru atau Bukit Gumang.
Bukit yang agak tinggi itu menjorok ke Pantai selatan, di lereng Barat dan Utara berjejer gugus-gugus hutan yang lebat dan menghijau, di lereng timurnya mengalir sebuah sungai, Sungai Buhu namanya dan di seberang sungai itu terbentang sawah yang luas, di bukit itulah ia merasakan ketenangan. Sekali-sekali ia melepas pandang ke selatan, memandang ombak yang menghempas ke pantai di Song Lawah di kaki Bukit Gumang sebelah selatan.
Di bukit yang berpuncak seperti prisma, puncak bukit yang bercabang tiga laksana lambang kedamaian – peace – ini ia beroleh kedamaian. “Bukit ini tak kan kutinggalkan,” katanya sendirian. Ia duduk bersila menghadap ke timur laut menjalankan tapa brata seolah hendak menghubungkan aura Gunung Agung di Utara dan Gunung Lempuyang di timur mewujudkannya menjadi garis imajiner Trikona. Berhari-hari berminggu minggu, bahkan berbulan-bulan, ia merenung : melupakan masa silam dan menyambut kehidupan yang baru.
Singkat cerita, laki-laki yang mula-mula berperangai buruk itu berhasil menjadi betara atau dewata. Karena menetap di bukit itu, lama kelamaan ia dikenal dengan nama Dewa Gede Gumang. Di alam dewata ia tidak lagi hidup menyendiri, tetapi hidup berkeluarga, punya seorang istri dan empat orang anak. Anak pertama laki-laki bernama Dewa Gede Manik Punggung, anak kedua ketiga dan keempat semuanya perempuan berturut-turut bernama Dewa Ayu Nengah, Dewa Ayu Nyoman dan Dewa Ayu Ketut.
Keluarga dewata itu hidup rukun dan damai. Mereka bukan saja berhubungan baik dengan dewa-dewa di Desa Bugbug, tetapi juga dengan dewa-dewa di luar desa itu, seperti Bebandem, Jasi dan Ngis. Bahkan Dewa Gede Gumang menginginkan putra-putrinya menikah dengan betara-betari dari desa tetangga.
Keinginan sang Ayah itu terpenuhi, putrinya yang pertama Dewa Ayu Nengah dinikahkan dengan Betara Bebandem itu tidak berjalan mulus. Konon Ida Betara Bebandem itu sangat buruk rupanya. Kepalanya botak dan bibirnya sumbing. Sedikitpun Dewa Ayu Nengah tidak tertarik pada pemuda itu. Setiap didekati, putri itu menjauh, bahkan menolak mentah-mentah.
Tibalah pada suatu kesempatan, Dewa Ayu Nengah minggat dari Bebandem, Ia tidak berani pulang ke Gumang, tetapi membuang-buang langkah di pesisir Pantai Selatan. Di sepanjang jalan ia menangis dan menyesali nasibnya yang malang. Ketika menyisiri Pantai Jasi, seorang Betara bernama Betara Gede Pesisi mendengar tangis yang mengiris hati.
“Apa yang terjadi atas dirimu Ayu Nengah ?” Tanya Betara Pesisi mendekati Dewa Ayu Nengah. “Dan mengapa menangis di tempat seperti ini ?” “Tolonglah hamba yang malang ini Betara Gede,” jawab Dewa Ayu Nengah sesenggukan. Kemudian menjelaskan kenapa ia meninggalkan Betara Gede Bebandem.
Sebelumnya kedua Betara-betari itu sudah sejak lama saling menaruh perhatian. Akan tetapi karena takut dengan Dewa Gede Gumang, kedua muda-muda itu tidak pernah mendapat kesempatan untuk saling bercengkerama. Kini saat yang baik itu dipergunakan oleh Dewa Gede Pesisi untuk menyatakan isi hatinya.
Pertemuan yang tak terduga-duga itu ternyata melahirkan benih-benih saling mencintai. Petang itu juga keluarga Dewa Gede Pesisi menyampaikan pejati kepada Dewa Gede Gumang. Tentu saja Dewa Gede Gumang marah luar biasa. Ia merasa hubungannya dengan Dewa Gede Bebandem sengaja dihancurkan, Kalau saja beberapa orang pengiring tidak melerai kejadian petang itu, pastilah terjadi pertumpahan darah.
Setelah kemarahannya mereda, barulah Dewa Gede Gumang menyadari kekeliruannya. Pernikahan antara putrinya dengan Dewa Gede Pesisi adalah atas dasar cinta sama cinta. Sedangkan pernikahan dengan Betara Bebandem atas dasar kehendak orang tua masing-masing. Hubungan cinta yang murni itu haruslah direstui, demikian kata hatinya.
Sepeninggal Betara Gede Pesisi tak lama kemudian datanglah Betara Bebandem. Ia mengira Ayu Nengah yang minggat dari rumahnya, pastilah pulang ke Gumang. Mendengar penjelasan bahwa Ayu Nengah telah dinikahi oleh Dewa Gede Pesisi, seketika itu ia naik darah. Ia menuduh Dewa Gede Gumang tidak bertanggung jawab, dan menghina keluarga Bebandem. Tanpa berpikir panjang ia segera berangkat ke Jasi untuk merebut kembali kekasihnya.
“Maafkanlah aku anakku”, kata Betara Gede Gumang sambil menahan keberangkatan Betara Bebandem. “Rupanya Ayu Nengah bukan jodohmu. Kita tidak boleh memaksakan perkawinan yang bukan jodohnya. Kalau nanda berkenan ambillah anakku Ayu Nyoman sebagai istrimu.
Dengan demikian hubungan keluarga Gumang dengan Bebandem tetap terjalin”. Walaupun kemarahan yang meluap itu terobati, Betara Bebandem masih meragukan kata-kata Betara Gede Gumang. Ia takut kalau-kalau kejadian yang memalukan itu terulang kembali dan tentu saja hubungan antara dua keluarga itu akan retak selamnya.
“Baiklah hamba bersedia memperistri Dewa Ayu Nyoman, tetapi ada satu permintaan hamba”, kata Dewa Gede Bebandem. “Hamba minta putra ayahanda yang pertama, Manik Punggung menyertai Ayu Nyoman untuk menetap di Bebandem. Dialah yang akan memperkuat hubungan keluarga kita”. Kata Gede Bebandem.
Bagi Betara Gede Gumang, usul menantunya itu bagaikan gayung bersambut. Hubungan Bukit Gumang dengan desa desa lain di sekitarnya akan selamanya terjalin dengan aman dan damai. Apalagi Manik Punggung dipercaya ikut memelihara hubungan kekeluargaan itu. Itu terlukis dalam prosesi yang berlangsung dalam Upacara Usaba Gumang yang tetap diadakan sampai sekarang.
Sumber : https://iwbdenpasar.wordpress.com/.../pergumulan-jem...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar