Rabu, 21 Juni 2023

Pura Pingit Melamba


Pura Pingit Melamba terletak di desa Bunutin, kecamatan Kintamani, kabupaten Bangli, pura ini di tempuh kurang lebih satu setangah jam dari kota bangli, Pura Pingit Melamba jika ditinjau dari namanya yaitu “MELAMBA” berasal dari kata “METAMBA” yg artinya mengobati. Banyak orang yang berdatangan untuk melukat dan memohon kesembuhan di Pura Pingit Melamba ini. Pura Pingit Melamba terletak di sebelah selatan desa Bunutin tepat pada hulu sungai ayung yang merupakan batas antara kabupaten Bangli dan kabupaten Gianyar.

Pura Pingit Melamba merupakan pura yang sangat tua  terbukti dengan adanya tiga arca besar yang sangat tua di perkirakan sudah ada sejak abad ke IV,  ketiga arca tersebut di buat oleh Rsi terdahulu bertujuan untuk mempermudah mengajarkan orang orang bali mula tentang ajaran ketuhanan, yang sebelumnya menyembah batu yang besar atau pohon yang besar. meski pura ini belum begitu di kenal namun perlu diketahui pura ini memiliki tiga arca besar yang bersejarah yaitu Arca Gunamutri, Arca Siwa, dan Arca Ganesha. Arca-arca tersebut sudah ada sejak jaman dahulu, yang ditemukan oleh penglingsir jaman dahulu pada saat mencangkul dan membabat hutan untuk lahan perkebunan menurut dari cerita yang saya dengar.
Arca-arca di Pura Pingit Melamba
Arca Gunamutri yaitu merupakan arca ganesa berdiri bertangan delapan belas yang masing-masing tangannya memegang senjata dan memiliki makna dan arti masing-masing, saat ini kondisin acra tersebut bisa dikatakan sedikit usang namun dalam tahap renofasi.


Arca Siwa yaitu melambangkan kebesaran dewa Siwa yang mealambangkan kebesarnya sebagai Pelebur. dan Arca Ganesa yang melambangkan kesuburan dan pemberi jalan ke arah kebaikan dan simbolik dari pengetahuan. Arca Ganesha bertangan 18 yang memiliki atribut menggunakan gelang lengan (keyura), gelang tangan (kankana) berupa genitri polos, berkalung tengkorak manusia dengan bentuk yang tidak proposional dan melambangkan demonis. Arca Ganesha bertangan 18 menyiratkan pemujaan tantrayana yang mengedepankan upcara keduniawian.

Arca ganesha ini memiliki tinggi 119 cm, tebal 49 cm, lebar 57 cm. diperkirakan dibuat pada zaman bali kuna XIII-XIV Masehi dimana Bali dikuasai oleh seorang Raja Patih bernama Kebo Parud dibawah pemerintahan Singosari dengan rajanya yang berkuasa saat itu adalah Raja Kertanegara yang menganut aliran tantrayana. 
Selain itu di pura ini juga terdapat tempat pelukatan panca tirta dan kolam pemandian (gangga, sindhu, saraswati, yamuna, gando wari ) terdapat makna-makna tersendiri dari panca tirta tersebut

Makna dari kelima panca tirta tersebut yakini:
Gangga: disini untuk memohon kesucian bagi para penangkil yang hendak melukat atau penyucian diri dengan air suci. di bagian pancoran gangga ini para pemedek atau penangkil memohon pasa Ida Sang Hyang Widhi agar diberikan kesucian diri
Shindu: disini memiliki makna kesehatan, agar siapa yang melukat disini agar diberikan kesehatan dan keselamatan
Yamuna : disini memiliki makna agar diberikan keharmonisan antar manusia dengan tuhan sebagai pencipta, manusia dengan manusia lainya, dan manusi dengan alam sekitar sebagai bagian konsep dari Tri Hita Karana
Gandawarai: disini memiliki makna agar mendapat kemasyuran atau ketenaran, jadi biasanya dilakukan oleh para pejabat agar mendapatkan kewibawaan saat mengemban tugasnya.
Pura Pingit Melamba, Pura yang sangat tua, merupakan simbol peradaban di zaman dahulu dan merupakan Puranya leluhur orang Bali yang terletak di hulu sungai ayung yang menjadi perbatasan dari kota bangli dan gianyar.


Dipura Pingit Melamba ini terdapat dua upacara besar yang dilakukan satu tahun sekali dan enam bulan sekali, yaitu : Upacara ngusaba desa yang dilakukan satu tahun sekali biasanya dilakukan setelah panen padi yang bertujuan untuk mengucapkan rasa terimakasih atas hasil panen yang telah diberikan pada warga desa.  Upacara ngusaba desa ini biasanya masyarakat desa Bunutin menyebutnya dengan sebutan Pujawali Neduh, dimana upacara neduh ini hanya dilakukan satu hari penuh dari pagi sampai sore. Uniknya dalam tradisi neduh ini yaitu pada sehabis sembahyang masyarakat melakukan tradisi makan bersama di pura atau megibung pada setiap keluarga dengan memakan lungsuran atau prasadam, biasanya berapa jumlah keluarga sebanyak jumlah keluarga itulah memotong ayam yang dipakai untuk sesajen atau banten. Pada setiap upaca ngusaba desa ini semua masyarakat desa tidak diperkenankan membawa kendaraan, semua masyarakat desa berjalan kaki dengan menempuh jarak yang lumayan jauh kira-kira 10 km. Selain itu ada upacara piodalan ring pura yang dilakukan enam bulan sekali yang jatuh pada buda keliwon ugu yang jatuh pertengahan sebelum datangnya galungan.

Ritual Neduhin
Masyarakat Desa Bunutin masih menggelar upacara keagamaannya, seperti dilaksanakannya upacara pertanian yaitu ritual Neduhin, dalam sejarahnya para tokoh adat Desa Bunutin terdahulu telah melaksanakan ritual neduhin secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Ritual neduhin tersebut sebagai simbol meminta anugerah kepada Ida Betara sebelum dimulainya aktivitas pertanian. Ritual neduhin ini terdiri atas beberapa rangkaian tradisi di dalamnya, yang memiliki keunikan tersendiri dan tentunya berbeda dari ritual neduh yang biasanya bersifat insidental dikarenakan suatu musibah yang datang terusmenerus. Pada hari pertama di sore hari masyarakat melakukan tradisi neratas atau bersih-bersih, dilanjutkan dengan ritual ngusaba toya, kemudian pada keesokan paginya melaksanakan meiring-iringan atau mearak-arakan menuju ritual neduhin yang dilaksanakan di Pura Pingit Malambe. Di dalam ritual neduhin terdapat tradisi nunas tirtha oleh para teruna menggunakan sampian teteg, keesokan harinya harus bertepatan dengan rainan purnama sasih kepitu.


- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Saat bulan purnama masyarakat Desa Bunutin melaksanakan rerainan purnama seperti biasanya, kemudian keesokan malam harinya melanjutkan rangkaian acara ritual neduhin di Pura Desa/Pura Bale Agung. Saat itu, para teruna memiliki tugas duduk disekeliling penjor besar dan tinggi untuk membuat daha menjadi panik ketika tradisi ngodog lidi berlangsung.

Reference
1. Image : Ni Made Swanendri, April 2018 @ https://www.google.com/maps/ dan @ 2020 Google Earth Pro
2.Makhrofsi Zarah Afandi1*, Ni Luh Arjani2, I Ketut Kaler3 “Ritual Neduhin dalam Sistem Pertanian Masyarakat Desa Bunutin, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali”. Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 21.1 Nopember 2017: 37-45; Pura Pingit Melamba @ https://youtube.com dan https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar