Sabtu, 01 Juli 2023

UPACARA MENEK DEHA (RAJASWALA)



Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini bertujuan untuk memohon ke hadapan Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.

Sarana :

Banten pabyakala, banten prayascita, banten dapetan, banten sesayut tabuh rah (bagi wanita), banten sesayut ngraja singa, (bagi laki-laki), banten padebarian.







Waktu Upacara menginjak dewasa (munggah deha) dilaksanakan pada saat putra/putri sudah menginjak dewasa. Peristiwa ini akan terlihat melalui perubahan-perubahan yang nampak pada putra-putri. Misalnya pada anak laki-laki perubahan yang menonjol dapat kita saksikan dari sikap dan suaranya. Pada anak putri mulai ditandai detang bulan (menstruasi) pertama.



Orang tua wajib melaksanakan upacara meningkat dewas (munggah deha) ini. Tempat Upacara dilaksanakan dirumah. Pelaksana Dilakukan oleh pandita / pinandita atau yang tertua di dalam lingkungan keluarga.



Tata cara :

Dalam upacara meningkat dewasa, pertama-tama putra / putri yang diupacarai terlebih dahulu mabyakala dan maprayascita. Setelah itu dilakukan dengan natab sesayut tabuh rah (bagi yang putri), sayut raja singa bagi yang putra.



Ciri-Ciri anak telah meningkat dewasa.

Siklus kehidupan makhluk didunia adalah lahir, hidup dan mati (kembali ke asalnya). Manusia hidup didunia mengalami beberapa fase yaitu, fase anak-anak, fase ini anak dianggap sebagai raja, semua permintaannya dipenuhi. Fase berikutnya adalah pada masa anak meningkat dewasa. Saat ini anak itu tidak lagi dianggap raja, tetapi sebagai teman. Orang tua memberikan nasihat kepada anak-anaknya dan anak itu bisa menolak nasihat orang tuanya bila kondisi dan lingkungannya tidak mendukung, artinya terjadi komunikasi timbal balik atau saling melangkapi. Dan yang terakhir adalah fase tua, disini anak tadi menjadi panutan penerusnya.


Sebagai tanda kedewasaan seseorang adalah suaranya mulai membesar/ berubah/ ngembakin (bahasa Bali) bagi laki-laki dan bagi perempuan pertama kalinya ia mengalami datang bulan. Sejak saat ini seseorang mulai merasakan getar-getar asamara, karena Dewa Asmara mulai menempati lubuk hatinya. Dua perasaan getar-getar ini tidak dibentengi dengan baik akan keluar dari jalur yang sebenarnya.



Perasaan getar-getar asmara itu dibentengi oleh dua jalur yaitu, jalur miskala, membersihkan jiwa anak dengan mengadakan Upacara yang disebut Raja Sewala dan jalur sekala, dengan memberikan wejangan-wejangan yang bermanfaat bagi dirinya.



Upacara Raja Sewala ini sesuai dengan apa yang diungkapkan didalam Agastya Parwa bahwa, disebutkan ada tiga perbuatan yang dapat menuju Surga, yaitu: Tapa (pengendalian), Yadnya (persembahan yang tulus ikhlas) dan Kirti (perbuatan amal kebajikan) Upacara Raja Sewala merupakan Yadnya (persembahan yang tulus ikhlas) yang membuat peluang bagi keluarganya untuk masuk Surga.



Nilai Pendidikan

Upacara Raja Sewala atau meningkat dewasa yang dilakukan oleh umat Hindu adalah merupakan salah satu jenis Upacara Manusa Yadnya yang bertujuan untuk memohon kehadapan Sanghyang Widhi Waca (Tuhan yang maha Esa) dalam menifestasinya sebagai Sang Hyang Semara Ratih, agar orang itu dibimbing, sehingga ia dapat mengendalikan dirinya dalam menghadapi Pancaroba. Dalam masa Pancaroba ini seseorang sangat rentang terhadap godaan-godaan khusunya godaan dari Sad Ripu yaitu: Kroda (sifat marah), Loba (rakus/tamak), Kama (nafsu/keinginan), Moha (kebingungan), Mada (kemabukan), dan Matsarya (rasa iri hati).



Pada Upacara ini juga terselip nilai pendidikan. Anak diberikan wejangan-wejangan yang menyatakan bahwa dirinya telah tumbuh dewasa, apapun yang akan diperbuatnya berikabat juga kepada orang tuanya. Jadi anak itu tidak bebas begitu saja menerjunkan diri dalam pergaulan di masyarakat. Dia harus tahu mana yang pantas untuk dilakukan dan mana yang dilarang. Dalam hal ini anak-anak juga merasa mendapat perhatian dari orang tuanya sehingga menimbulkan rasa lebih hormat kepada orang tuanya.



Melalui Upacara Raja Sewala/meningkat dewasa ini diharapkan seseorang dapat meningkatkan kesucian pribadinya sehingga mampu memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk.



HARI RAYA KURBAN SUCI BAGI UMAT HINDU

 Osadhyah Pasawa Wriksastir, Yancah Pakhanam Praptah, Yajnartham Nidhanam Praaptah, Prapnu Wantyutsritih Punah

Artinya :

Tumbuh-tumbuhan, Pohon-pohonan, Ternak, Burung dan lain-lain, yang telah dipergunakan untuk upacara yajna, akan lahir kembali dalam tingkatan yang lebih tinggi pada kelahiran berikutnya.



Demikian tingginya tingkat Penyucian terhadap Flora dan Fauna yang akan ditimbulkan dari upacara Agama yang dilakukan. Dengan demikian jelaslah bahwa melakukan upacara Agama bukan hanya untuk kebaikan bagi mereka yang menyelenggarakan Upacara, tetapi juga untuk kebaikan bagi Alam Semesta beserta Isinya.


Dalam Manawa Dharmasastra V.39, sebagai berikut:

Yajnartham Pasawa Ristah, Swamewa Sayambhawa, Yajnasya,Bhutyayi Sarwasya, Tasmadyajni Wadhawadhah

Artinya :

Swayambu telah menciptakan hewan-hewan, untuk tujuan upacara –upacara Kurban Suci yang telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi beserta isinya.

Dengan demikian penyembelihan hewan untuk upacara Agama  bukanlah penyembelihan dalam arti yang lumrah, karena tidak berdasarkan kebencian atau kebengisan, melainkan berdasarkan tujuan suci untuk meningkatkan status jiwa dari binatang yang disembelih.


Jika diperhatikan bahwa hidup ini bukan badan, tapi hidup ini adalah jiwa atau Spirit. Dalam upacara  Agama jiwa inilah yang diutamakan untuk diupacarai dan diberikan Mantra Suci.

Upacara yang menggunakan hewan, bagi umat Hindu khususnya di Bali dikenal dengan nama upacara Mapapada. Binatang yang akan dijadikan Kurban sebelumnya diupacarai dengan mengelilingi tempat upacara sebanyak tiga kali.

Mengeliling tempat tiga kali adalah lambang menuju peningkatan ke tempat yang lebih suci. Pendeta mendo’akan dengan mantra-mantra yang khusus, agar jiwa binatang yang diupacarai tersebut kelak menjelma menjadi mahluk  hidup yang lebih mulia.




SANGGAH WARGA



PURA KELUARGA ( SANGGAH WARGA )


Pura Keluarga ialah Pura yang bersifat khusus, untuk keluarga tertentu. Pura Keluarga atau Penyungsungan Keluarga merupakan perkembangan dari Sanggah (Pemerajan) yang ada dalam keluarga (beberapa keluarga). Di setiap rumah Umat Hindu, di Bali khususnya terdapat Sanggah Keluarga ataupun Pelinggih-Pelinggih.


Kata Sanggah (Sanggar) mengandung beberapa pengertian :

Sanggah : Sanggar berarti kumpulan, maksudnya kumpulan dari Pelinggih (bangunan-bangunan tempat suci)
Sanggah : Penyangga, Penampung, Penuntun, menuntun ke arah ke-Tuhan-an.
Sanggah : Berarti pula Palinggih (tempat Tinggal)


Contohnya yaitu :
Sanggah Kemulan, yang beruang Tiga. Ada sebutan Sanggar Agung (Surya).
Kemulan : Modal,Pokok asal kata Mula
Sanggah Kemulan minimal ada pada keluarga Hindu untuk memuja roh-roh Leluhur (kawitan) yang telah disucikan dengan Upacara Keagamaan dan dipandang telah bersatu dengan Sang Hyang Tri Ҫakti (Brahma, Wisnu, Ҫiwa)




Setelah keluarga makin berkembang besar, maka berkembang pulalah Sanggah /Pamarajan menjadi Pura Keluarga yang lebih besar diantaranya ada yang menyebut Kawitan, Pura Dadya, Pura Panti, Pura Ibu (Paibon) Padharman dan sebagainya.Kawitan (Kemimitan) dari kata Wit = Pokok
Dadya = Dadi = Menjadi, Turunan
Panti = Tempat Berlindung, Menenangkan Pikiran, Tempat Menunggu
Ibu = Induk, Pokok
Padharman = Tempat memuja roh-roh suci Para Bijaksanawan/Pahlawan Dharma.


Palinggih
Kata Palinggih berasal dari kata Linggih = Duduk, Tempat, Letak
Palinggih = Bangunan, Tempat Duduk
Sthana untuk Pemujaan terhadap Tuhan, dengan segala macam Perbhawanya (manifestasinya), termasuk pula untuk tempat untuk memuja Leluhur.


Palinggih ini banyak macamnya sesuai dengan besar kecilnya suatu Pura (Kahyangan) disesuaikan dengan guna dan tujuannya serta peraturan-peraturan yang berlaku. Kalau kita masuk ke PuraKeluarga, maupun Kahyangan Tiga, Sad Kahyangan, Kahyangan lainnya, maka jelas terlihat dari satu sampai puluhan Palinggih (Bangunan-bangunan suci) antara lain :Padmasana
Gedong
Meru
Sanggah Kemulan (Rong Tiga) dan sebagainya


Dahulu kala pada Jaman Batu, orang-orang membuat tempat pemujaan kepada Matahari dengan cara meletakkan beberapa Batu Besar. Setelah kebudayaan berkembang kita lihat sebagai mana ada pada masa kini.


1. Padmasana : ialah Bangunan Suci untuk memuja Sang Hyang Widdhi (Tuhan). Padma = Teratai, Asana = Sikap, Bentuk. Padmasana = Bangunan Suci berbentuk Teratai. Dalam Wrhaspati Tattwa, Tattwa Jnana, dan Ҫiwa Tattwa dijelaskan : Tuhan mempunyai Ҫadu Ҫakti (kekuatan yang empat) dan Asta Ҫakti (kekuatan yang delapan) dilambangkan pada Teratai berdaun empat dan teratai berdaun delapan. Tuhan bersthana di tengah yang disimbulkan dengan Aksara Suci OM.




Selain dari itu Padmasana ini juga berdasarkan bentuk Gunung terdapat pada Adi Parwa, yaitu pemutaran Gunung Mandhara di Lautan Ksira. Ada kalanya Padmasana dilukiskan gambaran bayi telanjang, melambangkan Acintya ( Tuhan Maha Gaib, tak dapat dipikirkan).


2. Gedong : Palinggih Gedong yang di Pura Dalem ialah untuk memuja Dewi Durgha yang merupakan Ҫakti Ҫiwa.


3. Meru : Juga berasal dari bentuk Gunung. Meru berarti Gunung (Gunung Mahameru) tempat memuja Prabhawa (manifestasi Tuhan), Dewa-Dewa/Bhatara.


Diketahui bahwa Palinggih-palinggih itu dibangun sesuai dengan guna tujuan dan menuruti peraturan tertentu.





HAL YANG TIDAK DIKETAHUI TENTANG TEMPAT-TEMPAT SUCI


Kalau kita tidak mempunyai tempat tinggal, tempat suci yang terdekat sehari-hari ialah dihati kita sendiri
Kalau kita hanya mempunyai satu kamar, maka tempat suci kita wujudkan dengan bentuk “Pelangkiran”.
Kalau kita mempunyai satu rumah dan pekarangannya, tempat suci kita wujudkan dengan “Sanggah Kemulan” (bentuk sementara atau permanent) yang berisikan pelinggih-pelinggih minimal : Rong Tiga dan Taksu.
Kalau kita mempunyai satu daerah pedesaan, maka tempat suci kita ialah Kahyangan Tiga yaitu : a. Pura Desa, b. Pura Puseh (yang bisa digabung berisikan pelinggih-pelinggih : Gedong Sari, Meru, Manjangan Seluang, Bale Agung dan Padmasana), c. Pura Dalem (yang dipisahkan dengan a dan b). Sebaiknya di dekat kuburan berisikan pelinggih-pelinggih : Gedong Dalem, Taksu, Prajapati dan Padmasana.
Kalau kita mempunyai daerah Persawahan tempat suci kita dirikan di tempat sumber air pertama dengan berisikan pelinggih-pelinggih : Padmasana, Tugu, Meru, namanya Pura Ulun Suwi.
Kalau kita mempunyai suatu pasar, maka tempat suci disana kita bangun dengan nama “Pura Melanting”
Dalam suatu kota pusat pemerintahan, hendaknya tempat suci kita dirikan dengan pelinggih “Padmasana Agung” sebagai halnya “Pura Jagatnatha”
Ditempat-tempat suci diatas gunung maupun ditepi danau dan laut didirikan suatu pelinggih “Padmasana” menurut kemampuan.


Denah dari tempat-tempat suci itu maksimum terdiri dari 3 (tiga) pelataran (Jaba, Jaba tengah, Jeroan). Dan minimum satu pelataran (Jeroan). Perlu kiranya kami sarankan disini bahwa untuk mencari tempat suci hendaknya tempat untuk pura itupun harusnya berhati-hati setelah memperhitungkan yang jika digabungkan dapat menimbulkan soal-soal ketenangan, keindahan, dan keserasian, jadi tegasnya tidak disembarang tempat.


sumber bacaan : Buku Hindu


Selasa, 27 Juni 2023

ULAT LULUT

 


Banten yg harus di persembahkan
Ulat lulut merupakan sebangsa binatang kecil-kecil seperti ulat. Di masyarakat bali biasanya sudah mengenal mengenai ulat lulut berada disuatu pekarangan rumah, ulat lulut ini berbentuk kecil-kecil jalannya berentetan seperti sebuah kalung dan memiliki warna yang berbeda-beda, ada yang berwarna putih, ada yang berwarna kuning keemasan, dan ada yang berwarna tembaga. Ulat lulut ini muncul merupakan suatu pertanda sebagai bahasa isyarat dari alam terhadap salah satu keluarga di tempat ulat lulut itu mencul.
Oleh karena itulah kita umat hindu menyebutnya dengan nama lulut, dan langsung menjadi kepercayaan umah hindu khususnya di bali, mungkin juga di tempat lainnya bila di dalam pekarangannya muncul lulut.
Cerita Mitos adanya Ulat lulut
Ada dua orang penghuni dewata loka, yaitu I Gudug Pasu, dan I Bawi Serenggi, pada suatu ketika mereka mendengar berita bahwa ada seorang Dewi penghuni Surga Loka yang bernama Bhatari Sri, beliau merupakan satu-satunya dewi yang paling cantik di seluruh Surga Loka. Ketika ke dua dewa penghuni Dewata Loka mendengar berita itu, kedua dewa itu sangat tertarik kepada Bhatari Sri, dan ingin mempersuntingnya. I Gudug Pasu dan I Bawi Serenggi yang sama keinginannya untuk mendapatkan Bhatari sri, dalam pertemuannya I Gudug Pasu mengatakan : “Hai sodaraku Bawi Serenggi, aku tahu apa yang tersimpan dalam hatimu setelah kita mendengar berita tentang kecantikan Bhatari Sri, begitu juga yang tersembunyi dalam hatiku. Yang sama-sama berkeinginan untuk mempersunting Bhatari Sri, sudah jelas Bhatari sri hanya seorang diri, sedangkan yang menyukainya kita berdua.jadi harus bagaimana kita bertindak sekarang, agar jangan kita nanti dihadapan Bhatari sri kita bertengkar, atau berlaku tidak senonoh, kita sama-sama penghuni Dewata Loka, sudah sewajarnya bersikeras mempertahankan mutu sifat kedewataan kita, menurut pendapatku dalam hal ini hanya ada satu jalan yaitu kita harus salah satu yang hidup, untuk tujuan itu, tidak ada jalan lain lagi kecuali berperang”.
I Bawi Serenggi setelah mendengar kata kawanya itu segera menjawab : “pendapatku juga demikian”. Akhirnya mereka bertarung untuk mendapatkan Bhatari sri, pertarungan mereka makin lama makin bertambah hebat, suara sentuhan senjata membisingkan, api yang timbul akibat sentuhan senjatanya tampak sebagai kilat membelah bumi, begitu hebat pertarungannya, sedikitpun pada sekujur tubuh mereka tiada bekas-bekas goresan senjata.karena begitu lama pertarungannya tidak ada yang kalah, akhirnya peperangan itu mereka hentikan, karena mereka sama-sama yakin bila di teruskan tak ada yang berakhir kalah dan menang. Setelah peperangan berhenti I gudug Pasu lalu berkata “saudaraku Bawi serenggi, oleh karena pertarungan kita tidak ada yang kalah dan menang. Sekarang baiklah kita teruskan saja usaha kita untuk dapat mengawini Bhatari Sri, marilah kita pergi saja ketempat Dewi Sri yaitu Sorga. Akan tetapi menurutku kepergian kita itu kita bagi. Kamu pergi menuju kearah barat laut dan aku sendiri menuju kearah timur laut”. Demikian perjanjian meraka yang sama-sama mentaatinya. Entah beberapa lamanya meraka dalam perjalan kini tersebutlah I Gudug Pasu yang mengambil arah ketimur laut tiba-tiba bertemu dengan Bhatara Siwa. Kepada Bhatara Siwa dia menjelaskan apa yang menjadi tujuannya sehingga dia sampai datang ke tempat ini. Bhatara Siwa setelah memahami maksud dan tujuannya I Gudug Pasu, beliau bersabda “ ya kalau itu yang kamu maksudkan, memang benar Bhatari Sri sangat cantik, tetapi sayang sekali Bhatari Sri kini tidak masih tinggal disini, Ia telah turun kedunia bersama kakaknya Batara Rambut Sedana untuk menguasai Dunia begitulah halnya dan sekarang teserah padamu” Sabda Bhatara Siwa. I Gudug Pasu setelah mendengar sabda Bhatara Siwa demikian, ia segera mohon pamit untuk meneruskan perjalanannya dalam mencari Bhatari Sri.
Kini tesebutlah seorang Raja yang menguasai daerah sebagaian dari dunia yaitu di Negara Maninte, Raja itu bermimpi bahwa Bhatari Sri sudah turun kedunia dan kini sedang berada dalam daerahnya,tapi entah dimana tempatnya. Berhalasan ini lah beliau segera memanggil seluruh rakyatnya untuk dimintainya penjelasan. Tetapi malang semua rakyatnya menjawab dengan tidak tau. Oleh karena mereka semua menjawab dengan tidak tahu akhirnya raja menitahkan agar seluruh rayatnya pergi mencari Bhatari sri diseluruh wilayahnya.

Bhatari Sri kini sedang perjalannya menuju dunia, sampailah beliau pada perbatasan negara yang menjadi kekuasaan Sang Raja Maninte, perjalanan Betari Sri diiringi oleh 2 orang abdinya masing-masing Ni Sri Tekong/ keladi dan Ni Sri Kuncung/ jagung) .
Sampainya Dewi Sri di dunia, beliau terkejut setelah ,melihat rakyat begitu banyak datang dan meraka siap menghadap dirinya, dengan tidak berpikir panjang, beliau segera menghilang dari tempat itu bersama kakanya lalu menuju hutan. Sampai dihutan beliau lalu berhenti di bawah sebatang kayu ketepung kuning yang rindang dahanya. Disanalah beliau berhenti sejenak untuk melepas lesunya. Pada saat itulah I Gudug Pasu dengan tidak sengaja dapat menjumpai Bhatari Sri, kegembiraan hatinya itu I gudug Pasu segera berkata “ Wahai jungjunganku Bhatari Sri syukurlah hamba bertemu dengan dewi di tempat ini. Ketahuilah wahai bhatariku, bahwa saya ini telah sekian lama sudah meninggalkan Sorga , untuk mencari Bhatariku, karena saya tidak akan senang bila belum dapat mempersunting bhatari ku”. Medengar kata –kata yang dihucapkan oleh I Gudug Pasu, Betari Rambut Sedana cepat menyelahnya “ Hai Gudug Pasu, kalau demikan kehendakmu aku sebagai kakanya belum iklas menyerahkan adiku begitu saja tanpa pembelahan. Hanya jiwakulah yang menjadi taruhanya”. I Gudug Pasu yang kehendaknya tak dapat di belokannya lagi, tahu akan dirinya, tak ada yang menyamai kesaktiannya, dengan tidak terduga-duga menyerang Betari Rambut Sedana untuk akan ditaklukannya. Pertarungan terjadi dengan dahsayatnya. Tak ada yang mengalami cedra selama pertarungan itu berlangsung. Saat pertarungan itu terjadi dengan hebatnya Betari Rambut sedana tiba-tiba mendengarkan suara dari langit “Hai dewa Rambut Sedana, bila dengan jalan ini membunuh I Gudug Pasu, pasti tak akan berhasil. Hanya dengan menangkapnya dan membuangnya ketengah samudra bisa mengalahkanya, hanya dengan jalan inilah akan berhasil usahamu untuk mengalahkannya” Betara Rambut Sedana tidak berpikir panjang lagi setelah mendengar sabda itu, dengan secepatnya ia lalu memancing I gudug Pasu kearah laut. Tiba dilaut Batara Rambut Redana Berhasil menangkap I Gudug Pasu dan segera melontarkan ketengah-tengah samudra yang luas. Setelah I Gudug Pasu berada dalam lautan sempat, ia mengeluarkan kata-katanya, kata-katanya itu jelas terdengar oleh betara rambut Sedana “hai Rambut Sedana apa dengan jalan beginikah kamu akan sanggup membunuh ku? Belum tentu. Tetapi ingat cita-citaku belum tersampaikan untuk mendapatkan Dewi Sri, aku akan terus berjuang sampai cita-citaku benar-benar terpenuhi”. Hilang suara itu, tiba-tiba mengapunglah dipermukaan air laut seekor ikan yang pada hakekatnya bahwa ikan itu adalah jelmaan I Gudug Pasu, dalam cerita disebut dengan Be Biwang uyah. Kini setelah I Gudug Pasu tiada lagi, Bhatara Rambut Sedana kembali menjumpai Bhatari Sri. Betapa girangnya hati Bhatari Sri melihat rakandanya datang dengan selamat.
Bhatara Rambut sedana bersabda “ adikku kini marilah kita turun ke medang Kemalean, untuk itu aku harap agar dinda tidak lagi menggunakan badan,melainkan sekarang ini dinda harus mempergunakan badan ulat kecil, begitu juga aku dengan memakai badan ulat juga, warna badanmu agar kuning dan aku warna kulit putih. Cara ini adalah suatu rahasia bagi kita untuk jangan kita sampai keliru mengingat kelak bila kita akan berjumpa, sehandainya barang siapa saja manusia didunia akan menjumpai kita supaya kita dipapag dengan upacara keagamaan sesuai dengan agama yang mereka anut. Bila dinda terlebih dahulu dijumpai agar mereka memapagnya dengan upacara yang terdiri dari: suti asoroh, dengan menggunakan daging ayam biying yang berbulu merah, tetebasan, peras lengkap dengan sesantunnya, penyeneng pelinggih, serta canang sekedarnya. Apabila aku di jumpainya, upacaranya sama saja hanya daging sucinya agar menggunakan ayam yang putih bulunya. Setelah dinda di papag, hendaknya ia cepat kembalikan ketempat padi ( lumbung) sedangkan aku agar ia kembalikan kegedong saren. Dalam hal ini memberikan kelonggaran bagi manusia yang menjumpainya, bila hari ini mereka menjumpai kita, lambat-lambatnya lagi tiga hari harus mereka buatkan upacaranya. Nah demikian lah pesanku, dan untuk itu aku harapkan dinda berangkat terlebih dahulu, karena aku ini masih dalam keadaan lelah”.
Kini tersebutlah I Gusti Makokowan, Raja yang menguasai Negara medang kemalean. Pada waktu itu beliau sedang sibuknya megadakan upacara, upacaranya yang memerlukan lubang tanah, raja segera menitahkan salah seorang dari abdinya untuk membuat lubang pada tanah sekitar yajnya diselenggarakannya, entah beberapa lamanya setelah yajnya itu berlalu maka tumbuhlah serumpun padi pada tempat cekung yang tanahnya pernah di gali semenjak di selenggarakannya yajnya tempo hari. Melihat itu alangkah girang hati Sang Raja, karena itu sungguh-sungguh kehadaan yang diluar dugaannya, begitulah keadaanya sehingga menjadi perhatian bagi seluruh rakyatnya.
Adapun kawan I Gudug Pasu yakni I Bawi Serenggi yang mengambil jalan arah kebarat laut,I Bawi Serenggi tidak memjumpai Dewi Sri maupun Bhatara Siwa, melainkan ia hanya menjumpai serumpun bambu gading ( ampel-gading)dia sangat kesal, karena tidak menemukan Dewi Sri, dengan tidak di sadari perbuatannya, maka cabang-cabang dari ampek gading itu di patah-patahkan, akibat perbuatannya tiba-tiba terdengarlah suara, setelah suara itu diselidikinya ternyata datang dari rumpun bambu itu, mengatakan “ O Bawi Serenggi, kenapa kau membuat aku seperti ini? Bukannya kamu akan mencari Dewi Sri? Kamu tidak tahu siapa aku ini sedangkan aku sediri telah mengetahuimu. Sekarang dewi Sri sudah terun di timur laut, carilah disana, nanti disana kamu akan jumpai cekung tanah, disanalah Bhatari Sri berada”. Begitulah terdengar suara dari rumpun bambu itu dan sekarang ia segera meninggalkan tempat itu, dan segera menuju tempat sebagaimana yang di tunjukan oleh suara tadi. Tetapi malang kedatangan I Bawi Serenggi, kedatangannya telah di ketahuinya terlebih tahulu oleh Bhatari Sri sehingga Bhatara Sri mengutuknya menjadikan babi yang begitu buas. Terhujudlah kutukan Bhatari Sri,kini I Bawi Serenggi sudah menjadi babi yang garang tanah-tanah di sekitar tempat itu dikacaukannya tempat itu sehingga berserakan.
Pohon-pohon diobrak-abriknya dengan sehendaknya, tingkah laku babi buas yang membabi buta itu, menimbulkan amarah Sang Raja. Sudah tentu Raja tidak membiarkan babi itu berbuat begitu semakin lama.Raja segera menangkapnya, tetapi babi itu melawan dengan sekuat-kuatnya sehingga terjadilah pertarungan yang hebat, keduanya sama-sama kuat, ketika pertarungan berlangsung sengit, tiba-tiba terdengar suara yang tidak dapat diketahui dari mana sumbernya yang maksudnya agar I gusti makokowan dalam usahnya membunuh babi itu tidak menggunakan senjata yang dipakainya itu, melanikan ia harus menggunakan bambu yang diruncingngi. I Gusti Makokowan segera melepaskan diri dari pertarungan itu, segera mengambil senjata bambu runcing. Dengan senjata inilah Raja menyerang babi buas itu dengan bertubi-tubi sehingga dengan senjata itulah baru tubuh babi itu terluka olehnya, darah yang tersembur kesana-kemari yang menandakan bahwa jiwanya akan segera meninggalkan jasadnya, sebelum jiwanya pergi meninggalkan tubuhnya sempat ia mengeluarkan kata-katanya ” hai Gusti Makokowan, sekarang kamu bisa membunuhku, tetapi ingat, cita-cita ku untuk memperistri Dewi Sri belum terwujud, selama keinginan ku belum terwujud, selama itu pula aku akan berjuang” . setelah selesai ia mengucapkan kata-katanya itu maka melayanglah jiwanya dan jasadnya menggeletek pada tempat itu. Apakah yang akan terjadi setelah babi itu tiada? dalam cerita ini disebutlah bahwa darah dari babi itu dikatakan menjelma menjadi candang api, nabasnya menjelma menjadi candang kubal, kukunya menjadi candang getep, dan ekornya menjadi candang kibul,
Begitulah disebutkan dalam ceritera kalulutan yang pada hikmatnya kami bahwa segala candang-candang yang disebut tadi adalah ia merupakan penyakit padi,misalnya semacam hama yang bisa disebut hama merah, hama mentek dan lain-lainnya, yang sulit bagi petani kita memeranginya, walaupun dengan jalan menggunakan bahan-bahan kimia yang modern.disamping kita sebagai petani memeranginya dengan jalan itu, ada baiknya kalau kami sarankan sesuai dengan kepercayaan kita sebagai umat Hindu, untuk menyertai usaha pembasmian itu dengan jalan mengadakan peneduhan-peneduhan pada tempat-tempat suci yang kita anggap bhatara yang beristana disana bercompeten dalam bidang itu.
Itulah yang dapat saya ketahui tentang cerita asal mula adanya lulut dan sampai sekarang masyarakat bali sangat percaya tentang adanya lulut.kita sebagai umat hindu khususnya di Bali tidak bisa membiarkan begitu saja jika ada muncul lulut di pekarangan kita, bahkan mereka yang pekarangan rumahnya kedatangan ulat lulut, akan segera mengadakan upacara bhuta yadnya sekurang-kurangnya tingkat Eka sata, sesuai dengan kepercayaannya. Sudah tentu upacara yang mereka lakukan berfungsi sebagai pemarisudha.
Dalam lontar Segara Bumi juga menjelaskan Ulat lulut ini muncul merupakan suatu pertanda sebagai bahasa isyarat dari alam terhadap salah satu keluarga di tempat ulat lulut itu mencul. Pertanda ini dapat dijelaskan sesuai petunjuk lontar “ Roga Segara Bumi” antara lain:
1. Kalau dipekarangan rumah muncul adanya ulat lulut yang berwarna kecoklatan, dikatakan lulut “tembaga” adalah sebagai pertanda bahwa upacara penyucian karanganya masih belum sempurna, sehingga adanya prawesa kedurmengalan berupa lulut warna coklat, akan dapat mengakibatkan adanya kejadian-kejadian labian amuk di pekarangan tersebut.
2. Kalau di pekarang rumahnya muncul adanya ulat lulut berwarna putih, disebut “Lulut Selaka “ maka hal itu merupakan pertanda bahwa ada salah satu dari leluhur di tempat itu mendapatkan kesengsaraan, masih keletuhan sehingga leluhur yang demikian meminta tolong kepada sentana agar dibuatkan upacara penyucian kembali, kalau tidak demikian, akan selalu mendapatkan mara bahaya.
3. Kalau di pekarangan rumahny muncul adanya ulat lulut berwarna kuning keemasan, disebut “ Lulut Emas” adalah merupakan pertanda bahwa di karang tersebut, dulunya ada salah satu pohon yag tumbuh di pekaranga tersebut disambar halilintar ( sinamberaning gelap), sehingga mengakibatkan tempat tersebut kedurmengalan, karena tidak pernah melakukan upacara pemarisudha durmengalan dari dulu. Hal ini dapat memberi pertanda bahwa setiap anggota keluarga silih berganti mengalami sakit dan dalam waktu lama tidak mengalami kesembuhan, boros, sering mengkibatkan perselisihan antar anggota keluarga, selalu menemukan bahaya.
Pertanda dengan adanya ulat lulut tersebut bagi umat hindu khusunya yang tinggal di bali sangat perlu di yakini, sesuai dengan petunjuk lontar roga sengara Bumi yang isi petunjuk lontarnya anatara lain :
Muah Yan Hana Uler, Lulut Kenaka, Rejata, Muang Temaga, Tumuwuh Ring Kadewatan Sira, Wenang Gaweyaken Pemarisudanta Sang Hyang Druwa Resi Maweh Wangsit, Ciri Palemahan Sira Manggih Lara Makweh Pangrubedania Luire : Yan Lulut Tmaga Ciri Nguni Hana Ri Palemahania Kekneng Sinambering Gelap Pangrubedania Lara Tan Kepegatan, Memehan Hana Kelabuan Amuk, Wanang Parisudana Sejeroning Wulan Pitung Dina, Warasa’ya.
Hana Muah Lulut Kenaka, Maka Ciri Hana Pitra Kewalunan Kekneng Soda Sengsara, Pangrubedania, Rug Ikang Sanak Kulawargania Ring Lemah, Sentania Makweh Cendek Tuwuh, Wenang Parisudanan, Waras’ya.
Hana Manih Katiben Lulut Rejata,Nga, Emas, Apan Manusa Maring Lemah Tan Wruh Ring Kawitania, Rug, Sanakuluwarga’ta Umaweh Lara, Umaweh Tan Pegatan Anemu Redut, Cendek Tuwuhnia, Oros Pedaging Umahnia, Wenang Pari Sudhanan, Waras’ya
Jika berbicara tentang filsafat,maka adanya binatang lulut di suatu pekarang rumah, merupakan pekarangan itu terkena leteh, dalam lontar “Roga Segara Bumi” sudah memberikan petunjuk bahwa sebagai bahasa isyarat dari alam terhadap salah satu keluarga di tempat itu, sehingga adanya prawesa kedurmengalan berupa lulut. Pengertian Durmangala adalah Durmangala berasal dari kata “Mala” yang maksudnya keletuhan, dan kata “dur” dapat diartikan telah kena, mendapat sisipan “Ng” menjadi kata “durmangala” yang memiliki arti Kena keletuhan. Dan kata Prawesa berasal dari kata “para” yang dapat diberikan arti “segala bentuk” dan kata “wesa” berasal dari kata “WASIBHUTA” yang artinya “ tersiksa” atau “Siksaan” ( Kamus Jawa Kuno, Hal 667). Maka arti secara keseluruhan adalah telah mengalami keletuhan dan siksaan dari kekuatan bhuta, sehingga merasakan kesedihan. Jika ulat lulut itu ditemukan di area persawahan yang di tananami padi, maka ulat lulut sebagai hama, dan jika ulat ulut di temukan di pekarangan rumah, maka pekarang rumah itu mengalami keletuhan dan siksaan dari kekuatan bhuta sesuai petunjuk Lontar Roga Segara Bumi.
Kita sebagai umat hindu khususnya di bali, banyak sekali kejadian-kejadian yang merupakan di luar nalar manusia dan juga sulit di jelaskan secara ilmiah, maka dari itu kita harus percaya dengan hal yang seperti itu. Apa lagi terjadi di pekarang rumah kita sendiri, kita harus menyikapi hal tersebut dengan upacara yang sesuai ketentuan. Agar terhindar dari kesengsaraan. Kita sebagai umat hindu harus menjaga keseimbangan sekala (jasmani) dan juga niskala (rohani) diperhatikan dan dikerjakan dengan baik. Sebab hidup yang baik adalah hidup yang seimbang, serasi dan harmonis dalam segala hal.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsana, I. B. Putu. 2009. Ajaran Agama Hindu Prawesa. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.

Sabtu, 24 Juni 2023

14 Ritual Hindu dari Masa Kehamilan Hingga Meninggal






Panglingsir Grya Ulon Jungutan, Ida Bagus Gunawan. (Dian Suryantini/Bali Express)

KARANGASEM, BALI EXPRESS – Dalam umat Hindu terdapat konsep upacara yang disebut dengan Panca Yadnya. Panca Yadnya diartikan sebagai lima persembahan suci kepada Tuhan. Adapun tingkatannya adalah Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, Butha Yadnya, dan Pitra Yadnya.


Dewa Yadnya adalah persembahan yang ditujukan kepada Tuhan, Rsi Yadnya adalah persembahan yang ditujukan pada rsi (guru). Selanjutnya Manusa Yadnya adalah persembahan atau upacara penyucian secara spiritual kepada manusia. Sementara Bhuta Yadnya adalah persembahan yang ditujukan untuk para Bhutakala untuk menjaga keseimbangan alam. Dan yang terakhir adalah Pitra Yadnya, yakni persembahan kepada para leluhur.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Pada bagian Manusa Yadnya, terdapat 14 ritual yang harus ditempuh dalam kehidupan manusia. Yang pertama adalah upacara Ngrujak. Ngrujak merupakan upacara yang pertama dilaksanakan bagi seorang wanita yang sedang hamil muda. Upacara ini bertujuan untuk memperkuat kehamilan ibu dan mengurangi risiko keguguran. Juga bertjuan untuk pertumbuhan bayi yang sehat dan aman.


Bahan utama untuk Ngrujak adalah berbagai jenis pisang dan buah-buahan, seperti Delima, Pepaya, Mangga, Belimbing, Badung, Kecubung, juga Gula Aren (Juruh) dan Madu. Permata Rubby kecil (jika mungkin Delima Rubby) kemudian dimasukkan ke dalam campuran buah, diletakkan dalam batil atau gedah yang terbuat dari gelas, kemudian diberkati dengan mantra oleh pendeta.

“Poinnya dalam upacara ini adalah bagaimana bayi yang ada dalam kandungan itu sehat dan ibunya juga sehat. Caranya adalah dengan makan buah. Karena ibu yang hamil dan anak yang dikandung butuh asupan gizi, juga vitamin. Kalau secara ilmiahnya seperti itu. Akan tetapi dalam Hindu ini ada ritualnya. Dan, Ngrujak inilah upacaranya, kalau istilah Bali ini disebut apang tis,” jelas Panglingsir Puri Ulon Jungutan, Ida Bagus Gunawan, pekan kemarin.

Yang kedua adalah upacara Magedong-gedongan. Upacara ini untuk seorang ibu dengan usia kehamilan 3-6 bulan. Upacara ini adalah upaya untuk memurnikan dan menjaga keselamatan janin dan ibu, berharap bayi yang akan lahir tumbuh menjadi orang yang baik atau suputra dan memainkan peran penting, baik untuk keluarga maupun masyarakat.

Rangkaian upacaranya meliputi suami ditemani istrinya menyiapkan benang hitam, menyiapkan galah buluh. Bambu ini digunakan untuk menumbak daun kumbang (sejenis talas) dibentuk seperti bungkusan dan didalamnya diisi dengan ikan air tawar.

Selanjutnya istri menjunjung ceraken, kemudian dipuja mantra oleh pendeta dan pada saatnya tiba, istri kemudian menelan sepasang permata mirah (Mirah Delima).

“Ini upacara untuk wanita hamil 7 bulan, agar bayi yang dilahirkan kelak tumbuh menjadi anak yang baik dan berbakti. Makanya ada disebut menelan sepasang permata. Tapi ini bisa disimbolkan dengan buah Delima merah,” jelasnya.

Upacara yang ketiga yakni Nanem ari-ari. Upacara ini bertujuan untuk memohon permakluman kepada Hyang Ibu Pertiwi dan Hyang Akasa untuk menerima dan berkenan memberikan perlindungan, umur panjang serta keselamatan bagi si bayi.

Ari-ari pertama harus dicuci sampai bersih, dibungkus dengan kain kasa, diisi rempah-rempah, lalu dimasukkan ke dalam kelapa untuk selanjutnya ditanam. Di atas ari-ari diletakkan batu dengan permukaan datar dan pandan berduri, disampingnya ditempatkan baleman (bara api).

Baleman adalah simbol dari pembakar jasad. Lamanya membuat baleman adalah satu bulan tujuh hari (42 hari). “Apabila tidak dilakukan dengan benar maka tujuan membakar jasad tersebut tidak akan berhasil. Untuk penanaman ari-ari anak perempuan ditanam di sebelah kiri pintu masuk dan anak laki-laki di tanam di sebelah kanan pintu masuk,” tambahnya.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Upacara selanjutnya adalah kepus wedel atau kepus pungsed. Upacara ini khusus ketika plasenta terlepas dari pusar bayi. Biasanya 5-15 hari setelah bayi lahir. Dalam kepercayaan orang Bali, kepus wedel menandai masuknya kekuatan spiritual Nyama Catur yang akan terus merawat bayi.

“Pratiti Mas sebagai penjaga bayi disiapkan. Pratiti ini seperti pasikepan dalam istilah Bali, terbuat dari daun kelapa, digulung sedemikian rupa lalu diikat dengan benang hitam, selanjutnya diikatkan pada pergelangan tangan kiri bayi,” sambungnya.

Ritual yang kelima adalah Mapag Rare. Ritual ini dilakukan ketika bayi berusia 12 hari. Tujuan dari upacara ini adalah untuk mengucapkan terima kasih kepada Sang Hyang Dumadi (yang lahir kembali), bahwa bayi itu lahir dengan selamat.

“Melalui upacara ini diharapkan yang dumadi memeroleh kehidupan yang sehat dan panjang usia. Sebelum ngayab saji Pamatang Rare, bayi itu diperciki dengan palukatan dan tirta,” imbuhnya.

Yang keenam adalah Ngeles Kakambuh. Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Kakambuh (penjaga) digantikan oleh penjaga (pangijeng) bayi yang berfungsi sebagai penjaga jiwa bayi, sehingga bayi akan panjang umur, bebas dari rasa sakit dan berbagai gangguan atau halangan.

Yang ketujuh upacara Nelu Bulanin atau tiga bulanan. Upacara ini dilakukan ketika bayi berusia tiga bulan atau 105 hari. Upacara ini bermakna untuk melepaskan pengaruh negatif yang dibawa oleh Nyama Catur atau empat saudara dan pada saat yang sama menyambut kedatangan untur-unsur Panca Maha Butha untuk menyatukan dan memperkuat fisik dan psikologis bayi. Pada upacara ini dipercaya bayi akan diberkati oleh Dewa Raditya atai Siwaditya.

Selanjutnya adalah Nganem Bulanin atau yang terkenal disebut Otonan atau Ngotonin. Pada upacara ini bayi dimohonkan restu dari Ida Bhatara Pertiwi agar dilimpahkan keharmonisan, kesehatan dan tidak terpengaruh oleh bencana dan hambatan.

Pada usia enam bulan, bayi diizinkan untuk menginjak tanah untuk pertama kalinya. “Upacara ini boleh dilakukan seterusnya kala hari otonannya tiba. Di Desa Jungutan sendiri pada umumnya banyak orang yang melakukannya sampai usia dewasa. Tapi ada pula yang melaksanakannya sekali saat usia enam bulan,” tuturnya.

Ritual kesembilan yakni Makutang Rambut atau Mapetik. Upacara ini menunjukkan bahwa bayi telah menjadi manusia yang sempurna. Kekotoran (leteh) bayi yang disebabkan oleh proses kelahiran telah sirna. Setelah upacara ini biasanya rambut bayi dicukur habis. Upacara ini dilakukan ketika bayi berusia enam bulan kalender Bali (210 hari) atau satu oton.

Usia aoton dipilih untuk upacara ini karena pada usia ini bayi dianggap telah memiliki sistem kekebalan tubuh yang cukup dan kesehatan bayi dalam tahap yang baik.

Upacara selanjutnya adalah upacara Semayut Maketus Lan Menek Kelih. Setelah anak kehilangan gigi pertamanya, sejak saat itu pikiran anak mulai dipengaruhi oleh Triguna. Seorang anak harus mulai belajar tentang kehidupan dan secara simbolis harus menindik telinganya. Upacara ini disebut Semayut Maketus.

Setelah anak meningkat remaja dan mulai menstruasi, ada upacara yang sebaiknya dilakukan untuk memurnikan faktor-faktor negatif yang melekat yang disebut dengan upacara Menek Kelih.

Ritual kesebelas adalah Matatah. Ritual ini hampir sama dengan upacara Menek Kelih. Upacara ini ditujukan kepada seorang anak yang telah berusia 16 tahun atau sudah bisa dianggap dewasa. Biasanya ritual ini dapat digabung dengan upacara Menek Kelih.

Kemudian setelah melaksanakan ritual Matatah, ada ritual Pawiwahan. Upacara ini juga terkadang dilakukan bersamaan dengan upacara Matatah. Upacara Pawiwahan ini tujuan utamanya adalah untuk menetralisasi kotoran (cuntaka) yang diakibatkan karena adanya pertemuan dua manusia (pria dan wanita).


Ritual ketiga belas adalah Ngaben. Ritual ini masuk dalam Pitra Yadnya. Upacara ini ditujukan untuk keluarga yang telah meninggal. Upacara ini merupakan pengorbanan yang tulus iklas yang ditujukan kepada roh leluhur. Pada lontar Yama Tattwa, filosofi Ngaben adalah mempercepat pengembalian unsur-unsur Panca Maha Butha ke asalnya.

“Ini juga menunjukkan bahwa Hinduisme tujuan akhir kehidupan bukanlah surga. Melainkan atma itu menyatu dengan Brahman atau Tuhan. Seperti yang sering didengar, tujuan akhirnya adalah moksa. Tidak terlahir kembali, tapi menyatu dengan Tuhan,” ucapnya.

Upacara yang terakhir adalah Atma Wedana. Setelah upacara Atiwa-tiwa, upacara terakhir yang dilakukan adalah Atma Wedana. Upacara ini dilakukan untuk memuliakan dan memurnikan roh/atma untuk dapat bersatu dengan Sang Pencipta.

Runtutan ritual yang dilalui manusia semasa hidup hingga meninggal ini diambil dari rujukan lontar Rare Angon dan lontar Gama Dewa Pati Urip. Selain itu, juga dari berbagai sumber, seperti para peranda dan narasumber yang ahli di bidang sastra. “Itu yang pokok sekali kami pakai rujukannya. Selain para peranda di Desa Jungutan, juga dari para Tapini serta para ahli pembaca lontar,” ungkapnya.



(bx/dhi/rin/JPR)

Cara dan Mantra Menanam Ari-ari Menurut Hindu






BATU BULITAN: Batu bulitan sebagai simbol anugerah panjang umur untuk bayi. (ISTIMEWA)


Bayi yang terlahir ke dunia tak sendirian. Berdasar kepercayaan Hindu, ada empat saudara yang mengikuti yang disebut Catur Sanak. Lantaran itu pula, ada prosesi ritual khusus, salah satunya menanam Ari-ari sang bayi.

Ari-ari merupakan bagian dari kehidupan sang bayi yang menjadi personifikasi dari Sang Catur Sanak, yakni Sang Anta Preta, Sang Kala , Sang Bhuta, dan Sang Dengen

Sang Anta Preta merupakan sebutan dari air ketuban atu yeh nyom sebagai personifikasi saudara tertua dari sang bayi karena air ketuban sebagai pengantar bayi lahir ke dunia. Sang Kala merupakan sebutan darah yang keluar a saat melahirkan sebagai sumber energi dari bayi, sehingga bayi bisa bergerak aktif untuk keluar dari perut Ibu. Selanjutnya Sang Bhuta, merupakan sebutan untuk selaput ari atau lamas yang membungkus tubuh bayi, berguna sebagai penetralisir suhu udara sebelum lahir maupun saat lahir, sehingga suhunya menjadi seimbang dan sekaligus sebagai sarana pelicin saat bayi lahir. Dan, yang terakhir adalah Sang Dengen, yakni sebutan untuk Ari-ari atau placenta yang ikut lahir.



Ida Pedanda Gede Manara Putra Kekeran yang saat walaka bernama Drs. Ida Bagus Putu Sudarsana, MBA, mengatakan, Ari-ari sangat berguna sebagai sumber kehidupan bayi dalam kandungan. Sebab, ari-ari merupakan transformator dan mediator zat-zat makanan dari ibu kepada bayi dalam pertumbuhannya sekaligus sebagai selimut dalam menjaga stabilitas suhu tubuh bayi terhadap suhu badan si ibu

Lebih lanjut dijelaskan, saat bayi lahir, ada upacara khusus yang harus dilakukan untuk mendem Ari - ari si bayi.

Saat si ibu dalam proses bersalin, maka disiapkan sebuah periuk tanah yang berisi tutup untuk tempat Ari-ari, setelah bayi lahir.

Ari-ari tersebut, dibawa pulang, dan setelah itu diletakkan di dalam baskom atau ember baru, dan ember itu tidak boleh dipakai lagi. Lalu, Ari – ari tersebut dicuci dengan air. Sang ayah harus membersihkannya dengan bersih, menggunakan kedua tangan, tanpa perasaan jijik dan dilakukan dengan perasaan penuh syukur dan kasih saying. Setelah bersih lalu dibilas dengan air kumkuman (air bunga). Siapkan sebuah kelapa ukuran besar yang masih lengkap dengan kulitnya, lalu dipotong dan dikeluarkan airnya. Pada bagian atas kelapa (bagian tutupnya) ditulis aksara Ah yang melambangkan Akasa, dan pada bagian bawahnya ditulis aksara Ang yang melambangkan Pertiwi.

"Jadi, penanaman Ari-ari memiliki tujuan untuk menyatukan pertiwi dan akasa guna memberikan keseimbangan perjalanan si bayi," imbuhnya.

Kemudian Ari-ari dimasukkan kedalam kelapa tersebut, diisi dengan 1 kwangen yang berisi 11 kepeng uang bolong yang diletakan di atas Ari - ari, 1 potong lontar atau ental yang ditulis aksara Ongkara, 1 ikat duri - durian (3 macam duri), Rempah - rempah (anget - angetan), wewangian dan boleh juga diisi pesan - pesan lain dari sang ayah dalam hal ini mengacu kepada Desa Kala Patra.

Tempat menanamnya sesuai dengan jenis kelamin si bayi. Kalau si bayi laki-laki, maka ditanam di sebelah kanan pintu balai, sedangkan kalau bayinya perempuan, maka Ari-arinya ditanam di sebelah kiri pintu balai (dilihat dari dalam rumah).

Di lain pihak, Mangku I Wayan Satra menjelaskan, sebelum mulai menanam Ari-ari, pertama harus menyalakan dupa untuk memohon perlindungan dan amertha ke hadapan Sang Hyang Ibu Pertiwi dengan mantra “ Om Ang sri basunari jiwa mertha, trepti paripurna ya namah suaha. Selanjutnya dengan ucapan “Pukulun Sang Hyang Ibu Pertiwi, pinakengulun aminta sih, ingsun angengkap pertiwi, ngulati amendem Ari-ari, tan kenang sira keletehan, rinaksanan denira Sang Catur Sanak, manadi pageh uripe di jabang bayi, Om sidhi rastu ya namah swaha.”

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Setelah mengucapkan mantra tersebut, lanjutnya, barulah membuat lubang, selanjutnya Ari-ari dicuci dengan air biasa sampai bersih. Sesudah itu diusapi dengan boreh gading sampai rata, kemudian dibilas dengan air kumkuman agar bersih. Semua air pencucinya dimasukkan ke lubang tersebut. Ari-ari dimasukkan ke dalam kelapa yang dibelah menjadi dua dan diisi ngad, lontar yang telah ditulisi aksara, kewangen yang berisi uang bolong 11 kepeng, duri-duri, isin ceraken, anget-anget, dan wangi-wangian dibungkus dengan serabut ijuk, serta diluar ijuk dibungkus dengan kain putih, dibuat simpul di atasnya, dan dipasangkan kwangen di atasnya. Masukkan Ari-ari ke dalam lobang atau bangbang dengan muka kwangen ke arah halaman rumah. Sambil meletakkan di dalam lubang, ucapkan mantra dalam hati

“Om presadha stiti sarisa sudha ya namah“ dan ucapakn "Ong sang ibu pertiwi rumaga bayu, rumaga amertha sanjiwani, ngamertanin sarwa tumuwuh, ( nama bayi ) mangda dirgayusa nutugang tuwuh.

"Artinya, Om Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai pertiwi, penguasa segala kekuatan, penguasa kehidupan, menghidupi segala yang lahir atau tumbuh, si anu (nama si bayi) semoga panjang umur.

Setelah ditanam, di atasnya ditanami pohon pandan dan batang kantawali, sebatang buluh guna memasukkan air nantinya ke ari-ari tersebut kemudian diletakkan sebuah batu hitam atau batu bulitan. Di atas batu diletakkan sebuah lampu Bali yang telah menyala dan dibiarkan tetap menyala sampai bayi kepus pusar, kemudian ditutup dengan sangkar ayam.

Di bagian hulu dari ari-ari, ditanam ditancapkan sebuah sanggah tutuan dihiasi dengan bunga merah, lengkap berisi sampian, gantung-gantungan, sebagai stana Sanghyang Maha Yoni.

Suguhkan segehan beralaskan daun taru sakti (dapdap) pada Ari-ari sebanyak empat tanding yang merupakan persembahan kepada Catur Sanak yakni, kepelan putih satu tanding, lauknya garam menghadap ke timur. Kepelan merah (bang) satu tanding, dengan lauk bawang menghadap ke selatan.

Kepelan kuning satu tanding, lauk jahe menghadap ke barat. Kepelan hitam (ireng) satu tanding, lauk uyah areng menghadap ke utara, dengan mantra "Ong sang butha preta, empu semeton jrone sang rare, mangde pageh angemit."

Kemudian percikkan tetabuhan berem dan arak, dan lakukan ritual menghaturkan segehan ini setiap rahinan jagat, kliwon serta petemuan dina kelahiran bayi. Selanjutnya setiap hari di atas batu bulitan atau batu hitam disajikan banten nasi segenggam di atas daun dapdap dengan lauk garam dan arang.

Setiap selesai memandikan bayi, siramkan air memandikan bayi tersebut di batu hitam tersebut. Menghaturkan soda putih kuning, canang sari pada sanggah tutuan, dengan mantra “Om pakulun paduka Sang Hyang Maha Yoni maka dewaning rare astana ring pelantaran, penyawangan, pinakengulun sang adruwe jabang bayi anganturaken bhakti seprakaraning penek putih kuning, maduluran kesuma, pinakengulun aminta nugeraha, kemit rareningulun rahina kelawan wengi, anulak sarwa ala, sakwehing joti maetmahan jati, Ang, Ah amertha sanjiwani ya namah swaha.”

Selain itu, ada beberapa makna yang terkandung dalam perlengkapan menanam Ari-ari, yakni batu bulitan mengandung makna sebagai permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi agar sang bayi dianugrahi panjang umur. Pohon pandan duri diwujudkan sebagai buaya putih sebagai penjaga bayi terhadap gangguan yang bersifat black magic. Lampu ini berbahan bakar minyak kelapa yang dicampur dengan minyak lampu wayang (tunasin ring jro dalang) serta minyak kelapa (nyuh surya). Lampu Bali yang menyala melambangkan Sanghyang Surya Candra, yaitu memiliki kekuatan Widia, oleh karena itu lampu tersebut ditatabkan atau ayab dengan mantra “Om Ang Ah surya candra gumelar ya namah swaha.“

Ini sebagai lambang kekuatan maya Sang Hyang Widhi dan sebagai Cakra Jala (batas pandang alam semesta), di mana Catur Sanak merupakan bagian mayanya Sang Hyang Widhi dan merupakan unit kehidupan maya di alam semesta, serta menjadi pelindung bayi. "Sanggah Tutuan merupakan simbol dari stananya Sang Hyang Maha Yoni sebagai Dewa pengasuh sang bayi," tutup Satra.



https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/11/12/26172/ini-cara-dan-mantra-menanam-ari-ari-menurut-hindu