Senin, 18 September 2023

Tuntunan Prosesi Pacaruan di Rumah Saat Pengrupukan

 






Prof. Sudiana (ISTIMEWA)





Dalam runtutan Tawur Agung Kasanga, ada prosesi upakara yang harus dijalankan di masing - masing pekarangan rumah.


Ketua PHDI Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, MSi mengungkapkan, telah mengeluarkan wewaran yang didistribusikan lewat banjar masing - masing. “Sudah ada kok pengumumannya kemarin. Tapi, jika masih ada yang belum dapat mungkin bisa saya paparkan,” jelasnya.






Untuk pacaruan di merajan atau sanggah, masyarakat diwajibkan menghaturkan banten saka sidan atau pajati di kemulan. Di ajengan palinggih menghaturkan segehan agung dan segehan cacah sebanyak 33 tanding. Segehan tersebut dihaturkan kepada Bhuta Bucari. “Itu banten untuk di sanggah ya, untuk di halaman rumah masyarakat harus menghaturkan segehan manca warna sebanyak 9 tanding. Segehan itu maulam siap brumbun, boleh yang lebeng atau makaput. Lalu, segehan itu matabuh arak berem dan toya anyar. Nah segehan dan siap brumbun itu dihaturkan kepada Sang Bhuta Raja dan Kala Raja,”terangnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Ia juga menambahkan, di pintu masuk atau gerbang rumah masyarakat diimbau menancapkan sebuah sanggah cucuk dan dihaturkan banten peras, daksina , tipat kelan, dan arak berem serta toya anyar. Lalu, di bawah dihaturkan segehan cacah sebanyak 100 tanding maulam jejeroan matah dan segehan agung matabuh arak berem dan toya anyar. “Untuk banten di depan rumah dihaturkan kepada Sang Kala Bala dan Sang Bhuta Bala,” terangnya.

Usai maturan pacaruan di lingkungan rumah dan merajan, lanjutnya, masyarakat yang telah menek kelih harus natab banten pabeyakala, prayascita, dan sasayut di halaman rumah. Kenapa diwajibkan natab? “Natab itu sebagai prasarana pembersihan. Setelah natab, barulah melaksanakan Mabuu buu. Caranya dengan menyulut kraras atau obor dan membuat berbagai bunyi - bunyian ,” tandasnya.



(bx/tya/yes/JPR)

Mengungkap Misteri 108 Nasi Cacah Saat Tawur Kasanga

 






NASI CACAH: Wujud dan bentuk Nasi Cacah yang dihaturkan saat Tawur Kasanga. (istimewa)





Nyepi merupakan Hari Raya Umat Hindu yang diperingati tiap tahun. Sehari sebelum peringatan Tahun Baru Saka ini, dilaksanakan Tawur Agung Kasanga. Nah, dalam Tawur ini salah satu sarana ritual atau upakaranya adalah 108 Nasi Cacah yang dirangkai sedemikian rupa. Mengapa harus 108?


Menurut kajian Pasraman Sastra Kencana, angka tersebut bukanlah suatu kebetulan, melainkan berkaitan dengan rangkaian energi. Hal ini tak lepas dari konsep Aksara. Kelahiran angka 108 dari laba Nasi Cacah itu bersumber dari urip masing-masing aksara.




Mulai dari Ang dan Ah yang memiliki urip masing-masing 8. Kemudian aksara Sa, Ba, Ta, A, I, dengan urip 33. Lalu Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya, dengan jumlah urip 59. “Maka total menjadi 108,” ungkap Guru Nabe Budiarsa, Pinisepuh Pasraman Sastra Kencana yang beralamat di Banjar Tegak Gede, Desa Yehembang Kangin, Mendoyo, Jembrana, belum lama ini.


PINISEPUH : Pinisepuh Pasaraman Sastra Kencana, Guru Nabe Budiarsa (istimewa)



CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Dijelaskan lebih lanjut, menurut tatwa filsafat Hindu Bali yang berdasarkan pada ajaran sastra Hindu Bali, yang bertitik tolak pada Wreastra, Dasa Aksara, dan Kanda Empat, dapat dijelaskan secara rinci dan detail tentang lahirnya kekuatan yang disebut dengan 108 Butha Kala.

Dikatakannya, 108 Bhuta Kala ini harus mendapat perlakuan dan stabilisasi atau harus dinetralisasi lewat Caru Tawur Agung Kasanga, khususnya di perumahan setiap umat Hindu di Bali. Tujuannya, agar alam Bali benar-benar suci menurut dasar keyakinan umat Hindu di Bali, khususnya.

Diterangkannya, angka 108 itu dapat ditemukan lewat kajian sastra Dasa Aksara dan Kanda Empat. “Dalam Dasa Aksara mengenal sastra Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya. Sedangkan dalam ajaran Kanda Empat mengenal sastra Sa, Ba, Ta, A, dan I,” paparnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

Sastra Dasa Aksara, lanjutnya, adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang langit dan cakrawala, atau Bwah Loka dan Swah Loka. Bentuknya bulat kosong dan hampa, namun terdapat tebaran benda-benda langit, seperti matahari, bulan, bintang dan planet-planet yang memiliki sifat kekuatan dan pengaruh yang berbeda-beda. Ada yang memiliki energi panas, dingin, netral, dan sebagainya.

Dalam siklus perputaran Galaksi Antariksa yang dipengaruhi oleh energi benda-benda itu, langit melahirkan sifat-sifat energi yang berbeda. Di samping itu pula, dipengaruhi juga oleh energi bumi yang memiliki kekuatan lima unsur, yaitu angin, api, sinar, air, dan bumi itu sendiri.

Kelima energi ini dipengaruhi oleh energi panas bumi pada titik magma di dasar bumi. “Akibat dari adanya energi panas dasar bumi ini, maka kelima energi ini menjadi panas yang setiap waktu atau kala, akan mengalami peningkatan panas sampai titik pemanasan global, dan terbentuklah lima energi panas di bumi ini, yaitu angin panas atau Gni Petak, api panas atau Gni Bang, sinar panas atau Gni Jenar, air panas atau Gni Ireng, dan tanah panas atau Gni Mancawarna,” terang Pinisepuh Perguruan Wahyu Siwa Mukti ini.

Panas bumi ini kemudian memengaruhi energi langit yang juga memiliki sumber panas pada matahari. Nah, pertemuan panas inilah yang diberikan proses ritual agar bisa kembali netral dengan melakukan laba Tawur Kasanga, menurunkan energi langit ke muka bumi, agar bumi menjadi netral lalu disebut bersih dan suci.

“Dalam melakukan pembersihan dan penyucian di bumi ini, dilakukan dalam semua kegiatan tanpa kecuali, baik yang ada di Buana Agung maupun di Buana Alit,” katanya.

Pada Buana Agung, lanjutnya, tidak boleh melakukan kegiatan apapun terhadap alam, baik perusakan maupun menciptakan polusi terhadap alam. Lalu memberikan kesempatan pada bumi, langit dan cakrawala berevolusi melakukan proses sinergi antara energi langit dengan energi bumi.

Oleh karena itu, umat manusia, khususnya yang meyakini, terutama umat Hindu di Bali melakukan penghentian aktivitas apapun di atas bumi di bawah langit. Bahkan, gelombang energi yang menggunakan frekuensi satelit pun dibatasi dengan mengurangi penyiaran radio, televisi bahkan internet, demi tak terganggunya sinergi alam bumi dan langit.

Kemudian pada Buana Alit dilakukan pembersihan dan penyucian diri lahir-batin tanpa menikmati apapun, agar jiwa tenang dan terbebas dari nafsu. Lalu menghentikan aktivitas jasmani dengan istirahat total. Maka langkah Catur Brata Panyepian pun dilakukan.

Kembali ke sastra, energi langit dengan 10 unsur alam Akasa yang bertitik tumpu pada 7 lapisan langit atau Sapta Loka dipaparkan oleh sastra Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa Ya. Setiap sastra dinyatakan memiliki kekuatan atau kehidupan yang disebut dengan urip.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI 

Sa memiliki urip 5, Ba urip 9, Ta urip 7, A urip 4, I urip 8, Na urip 8, Ma urip 3, Si urip 1, Wa urip 6, dan Ya urip 8. Sehingga total urip adalah 5 + 9 + 7 + 4 + 8 + 8 + 3 + 1 + 6 + 8 = 59. “Itulah urip dari Dasa Aksara. Karena sastra ini belum mendapatkan kekuatan sinar dari matahari, bulan, dan bintang, maka sastra ini belum memiliki sinar atau kekuatan suci.

Sinar itu sama dengan Div (diw), dan Div itu sama dengan Dewa. Karena itu disebut sastra Butha atau sastra yang belum memiliki sinar kekuatan suci,” jelasnya.

Maka, lanjut Guru Nabe, dari unsur Dasa Aksara energi langit yang terkontaminasi oleh energi bumi yang panas, menimbulkan pengaruh negatif pada alam. Lalu ke-10 energi alam langit ini yang memiliki 59 kekuatan disucikan secara ritual.

Karena 10 kekuatan langit ini yang disatupadukan di merajan, dari 10 sastra menjadi 5 sastra, dan dari 5 sastra disatupadukan menjadi 3 sastra, maka lahirlah sastra Ang, Ung, Mang dengan kekuatan Api, Air, dan Angin dengan masing-masing dewanya, yaitu Brahmana, Wisnu, dan Iswara.

Lantaran energi langit turun ke bumi, maka 10 sastra, salah satunya menyatu menjadi 9 sastra, lalu disebut Nawa Sanga. Pengaruh negatif dari Nawa Sanga ini disebut Butha Nawa Sanga dan pengaruh positifnya disebut Dewa Nawa Sanga.

“Dewa Nawa Sanga menyatu menjadi Tri Dewata, Buta Nawa Sanga menjadi Butha Angga Tiga Sakti,” ucapnya. Berkenaan dengan itu, di merajan dinetralisasi dengan laba 9 tanding yang merupakan perwujudan dari Butha Nawa Sanga dengan kekuatan atau urip 59.

"Butha Nawa Sanga ini berputar sesuai siklus alam selama 24 jam yang merupakan satu putaran alam penuh. Perputaran ini melahirkan pengaruh positif dan negatif yang merupakan Bala Bela Langit Niskala lalu disimbolkan dengan istilah Sang Kala Bela atau Sang Kala Bala,” katanya.

Jadi, pengendali dari Butha Nawa Sanga ini adalah Sang Kala Bala atau Sang Kala Bela. Dikarenakan sebagai pengendali langit yang memiliki 8 penjuru, maka urip atau kekuatan dari Sang Kala Bela itu adalah 8 dan memiliki unsur langit atau Maha I Bapa. “Maka pada unsur langit memiliki kekuatan Butha Nawa Sanga dengan urip 59 dan Sang Kala Bela dengan urip 8,” jelasnya.

Selanjutnya di bumi ada 5 unsur energi yang berpusat pada Sapta Petala dan bertitik tumpu di dasar bumi, yang memiliki kekuatan api sangat panas pada titik magma, yang bila keluar ke permukaan bumi menjadi lava pijar penghancur nomor satu di muka bumi.

Panas ini memengaruhi energi lima unsur, yakni angin, api, sinar, air, dan bumi menjadi angin panas, api panas, sinar panas, air panas, dan bumi panas, lalu disebut Panca Brahma.

“Sifat panas ini bersumber dari Sapta Petala yang divisualisasikan dan sebagai unsur Dhurga, maka terciptalah istilah Sapta Dhurga. Lima Dhurga yang memengaruhi lima unsur menjadi Panca Dhurga. Penyatuan lima unsur Dhurga menjadi Bhatari Dhurga. Sedangkan pancaran sinar panas dari Bhatari Dhurga ini disebut Dewi Dhurga,” paparnya.

Dikatakan Guru Nabe, di bumi ini ada kekuatan ratu atau rajanya panas. Dikarenakan panas itu bersumber dari lima cikal bakal energi, maka energi ini diistilahkan dengan Panca Maha Butha. Kekuatan Panca Maha Butha ini merupakan perwujudan Butha yang keluar sewaktu-waktu atau kala tertentu sesuai siklusnya, sehingga disebut dengan istilah Butha Kala.

“Kekuatan tertinggi dari Butha ini dinyatakan sebagai Raja dan Ratunya Butha, dari kata Raja dan Ratu ini muncul istilah Ratu Ayu dan Raja Butha,” terangnya.

Kemudian, Butha yang ada di bumi, akibat pengaruh energi langit menyebabkan Panca Maha Butha ini sangat kuat. Energi langit yang datang dari 8 penjuru menjadi satu kesatuan pada energi bumi 5 unsur. Oleh karena itu, Raja Butha ini memiliki kekuatan urip 8 penjuru, maka lahir istilah Sang Kala Raja dengan urip 8.

Sedangkan Sang Panca Maha Buthanya memiliki urip, yakni Sa, berupa angin, letaknya di Timur dengan urip 5. Lalu Ba, berupa api, letaknya di Selatan dengan urip 9. Ta, berupa sinar, letaknya di Barat dengan urip 7. A, berupa air, letaknya di Utara dengan urip 4. I, berupa pertiwi, letaknya di tengah dengan urip 8. Sehingga 5 + 9 + 7 + 4 + 8 = 33. Lalu urip Sang Kala Raja adalah 8, maka urip bumi menjadi 33 + 8 = 41. Akibat perpaduan urip bumi dan urip langit maka, 33 + 8 = 41. Lalu 59 + 8 = 67. Sehingga 41+ 67 = 108.


Berdasarkan perhitungan tersebut, maka di lebuh atau pintu pekarangan rumah dekat jalan dibuat nasi cacah dengan ketentuan, paling bawah unsur bumi, 8 Nasi Cacah menjadi 1 tanding. Di atasnya Panca Maha Bhuta, 33 Nasi Cacah jadi 1 tanding. “Itu semua unsur bumi, Sang Kala Raja kairing sang Panca Maha Butha dari manca desa, lalu di pempatan mendapat Caru Manca Sata,” ujarnya.

Kemudian untuk unsur langit, Butha Nawa Sanga dengan urip 59 dibuatkan nasi cacah isi 59 jadi satu atau dapat pula dipecah. Satu isi 33 satu lagi isi 26, lalu Nasi Cacah urip 8 untuk Sang Kala Bela. Maka jika disusun dalam bentuk laba Nasi Cacah, menjadi Nasi Cacah 8, Nasi Cacah 33, Nasi Cacah 59, dan kembali Nasi Cacah 8. Sehingga jumlahnya 108 Nasi Cacah.

Di atas Nasi Cacah ini, kemudian disatukan oleh Caru Ayam Brumbun sebagai unsur penyatuan bumi dan langit, penyelarasan unsur 10 menjadi 5 agar bumi dan langit bisa bersinergi.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Unsur langit dinyatakan Maha I Bapa dengan sastra Ah dan unsur bumi disebut Maha Ibu dengan sastra Ang. “Hal ini tidak boleh salah apalagi keliru. Kalau salah, maka pembentukan energi akan berubah, dari niat ingin menghilangkan energi panas malah menjadi tambah panas,” tegasnya.

Dengan menggabungkan keseluruhan urip itu akan ketemu angka 108 sebagai perwujudan Butha kala, yang mana para Butha Kala itu diilustrasikan dan divisualisasikan dalam wujud makhluk-makhluk gaib, seperti Jin, Samar, Gamang, memedi, atau Setan, Iblis, dan Berhala. Karena Bhuta Kala itu masuk dalam kelompok Gamang, maka nasi cacah itu sering disebut Nasi Gamang.

Dijelaskan Guru Nabe, sesungguhnya persembahan adalah sebuah rangkaian sastra untuk melahirkan energi. Hal ini sangat kelihatan pada proses paringkesan sastra Dasa Aksara menjadi Panca Aksara untuk menciptakan dua sifat kelompok energi. Yakni kelompok energi panas disebut Panca Brahma, dan kelompok dingin disebut Panca Amerta atau Panca Tirta atau Panca Suda.

“Jika ini tak dipahami, maka kita akan mengatakan Butha Kala itu makan enak dan lahap tak boleh kurang. Kalau kurang bisa ngamuk kesurupan. Padahal sesungguhnya kita salah merangkai upacara ataupun merangkai doa, akibat kurang pahamnya sifat-sifat energi secara sastra," ujarnya.

Ketika unsur api kurang, lanjutnya, maka bisa saja minta api perapak atau api dupa. "Ketika butuh unsur air bisa saja minta babi butuhan atau ayam hitam, begitu seterusnya,” pungkasnya.



(bx/adi/rin/JPR)

Selasa, 12 September 2023

Tutur Kamoksan - Jalan Menuju Penyatuan Atma





Tutur Kamoksan merupakan petuah - petuah yang berhubungan dengan kematian, penyatuan diri manuasia kepada asalnya yaitu Tuhan. berikut akan dipaparkan sekilas tentang petuah tersebut. tulisan ini hanyalah gambaran luarnya saja, untuk lebih lengkap mempelajari tutur kamoksan ini di anjurkan untuk mencari pembimbing yang kompeten dan perlu pengorbanan yang cukup besar, yaitu waktu dan kebiasaan.

Tujuan utama orang hindu adalahmenuju moksa (Nirwana),
tetapi pada jaman sekarang ini terasa sangat sulit untuk mencapai hal tersebut. Na.. tar ta share sedikit pengetahuan tentang tutur kamoksan, dimana tutur ini sudah saya ringkas yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Sebenarnya sih bukan saya yg ngumpulin dulunya tapi hanya sebatas melanjutkan saja.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Sebelum lebih jauh mari simak beberapa pengertian Moksa menurut para sesepuh and penulis buku barat..

Arti MOKSA;
“Moksa/mukti berarti kebebasan atau kemerdekaan” dalam Mahanirvana Tantra Moksa dikatakan “Bebas dari ikatan samsara dengan berakhir persatuan dengan jiwatman dengan paratman”, dalam lain buku disebutkan bahwa “Emansipasi libration realize from deat final or eternal emancipation” lain pula yang ditemukan dalam salah satu lontar bali “Niyan tutur pamoka margining mulih pitara ring sunya loka” Artinya ; inilah tutur pamoksa jalan atma menuju alam sunia. Oleh Sir. Monier Williams, kamus Sanskrit-inggris disebutkan bahma yang dimaksud dengan Moksa adalah Ingin untuk membebaskan diri sendiri, mencari kebebasan.

Mungkin dari beberapa ungkapan anda sudah bias mengerti maksud dari arti kata moksa itu sendiri. Dengan kata lain moksa itu kehidupan di alam yang berbeda yang lebih baik dari alam kita sekarang ataupun sorga, ini berarti moksa dapat dicapai setelah kematian kita…

Trus kematian yang bagaimana dapat dikategorikan jalan menuju moksa,??

yang jelas bukan karena kematian salahpati ataupun ngulah pati tetapi proses kematian yang diawali dengan meditasi ataupun yang dapat menjalankan langkah2 berikut ini;
BACA JUGA
Jalan Menuju Penyatuan - Moksa
Tujuan Agama Hindu Adalah Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma
Kamus Hindu Bali
“mempersatukan Sang Bapak dengan Sang Ibu, kemudian memasukan Sang Ibu ke dalam Sang Bapak. setelah persatuan sempurna, ia memasukan Sang Atma di tengah – tengah otak terlebih dahulu. Di tempat Sang Tunggal Sang Hyang Atma berusaha menunggal dengan Sang Hyang Tunggal. kemudian berusaha agar Sang Hyang Tunggal meninggalkan tubuh melalui wunwunan dan masuk ke dalam sunia agar tidak kembali menjelma. ia dapat menikmati kebahagiaan langgeng, sekalipun dalam hidupnya melakukan kejahatan – kejahatan, karena ia tahu : Manjing Sang Hyang Tunggal dalam tubuh”.

Nah.. sebelum kita menemui jalan moksa hendaknya kita harus menjalankan perbuata yang sejalan dengan ajaran Dharma dan mengamalkan JnanaBala.

Adapun kegiatan JnanaBala tersebut antara lain:

Pranayama.
Sthanakanda puja, tri purusa diatas wunwunan 12 jari.
Ucapkan Sad Aksara ditempatnya masing-masing dengan memancarkan sinar (bayangan) [Semua itu difokuskan di Telenging Lelata].
Diikuti dengan mantram Gayatri, dengan cara; mata tidak berkedip, bait-bait sloka diucapkan dengan tidak bernafas.
Yakini bahwa itu berkekuatan tidak ada tandingannya, baik dalam kesucian maupun dalam bidang megic.
Jauhkan diri dari; Moha, Mada dan Kasmala.
Kegunaannya untuk; kesucian, kedamaian dan penyembuhan.Setelah mejalankan ajaran diatas sekarang saya share pertanda datangnya dewa Kematian;


Jika denyut darah Si Sakit lemah padahal penyakitnya tidak berat dan orang mendengar gersik dalam usus muda dan usus tua menjelang waktu tidur, terus menerus kembali terdengar.
Saluran – saluran mata lemak (megenyi) nampaknya si sakit merasa ada asap pada wunwunannya itu pertanda 1 bulan lagi akan mati.
Jika orang melihat bibirnya menyerengai, 10 hari lagi akan mati.
Bibir pucat dan terasa ada semut berjalan didalam badan, 7 hari lagi akan mati.
Jika pada ujung lidah ada perasaan manis yang beberapa kali hilang adanya rasa itu, disertai “ air putih” keluar dari kerongkongan, besok akan mati.
Setiap benda dilihat si sakit berupa kembar, 5 hari lagi akan mati.
Gersik mengalun atau mendesing dalam telinga sebagai lanjutan mendesah, 6 hari lagi akan mati.
Merasa seolah – olah tempurung kepala retak dan punggung terbelah, 4 hari lagi akan mati.
Jika ada bunyi anjing menggonggong dan meraung, 3 hari lagi akan mati.
Jika seseorang berpusing – pusing berjalan dan warnanya nampak kuning, mata bagian yang putih nampak keruh, bulu matanya melengket, ia tinggal hidup 3 hari saja, 2 hari mengalami mencret dan muntah – muntah, tak dapat dan tak mau makan, pada hari ke-3 menderita ketegangan pada ulu hati, sekalipun ia dapat bercakap – cakap dan berjalan tetapi toh akan mati.
Jika bulu – bulu mata dan pelupuk – pelupuk mata tengah tertutup, bulu alisnya berdiri, rambutnya kelemak – lemakkan, orang demikian pasti mati.Tanda – tanda kematian lainnya (Sang Hyang Widhi) di Sarira/Tubuh :

- JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

Jika tubuh dicubit tidak merasa sakit, Dewa Daging sudah meninggalkan tubuh dan masuk kembali ke Pertiwi.
Tidak mendengar apapun waktu meraba dan mengusap – usap tubuh si sakit, Dewa Pelindung Darah sudah kembali ke dalam air.
Pada waktu mata si sakit yang tertutup ditekan, tidak ada terlihat kesan cahaya, maka Dewa Pelindung Mata sudah pergi dan kembali ke api.
Lidah tidak terasa sakit waktu tergigit, Dewa Pelindung Lidah telah kembali ke udara.
Jika bayangannya sendiri seluruh pelosuk tubuhnya nampak berubah dalam air, Dewa Pelindung tubuh telah kembali ke angkasa. Kalau bayangan tubuh dalam air dan tidak berubah, orang tak usah takut.Si sakit sendiri tau datangnya kematiannya dengan cara :

Berada di pekarangan waktu tengah malam, tutup kedua liang telinga. Jika terdengar suara berbunyi ; Teg, Tog, Ser, Sek, artinya: dewa pelindung rambut menangis.
Jika bunyi gersesik terdengar sebagai suara maka dewa wunwunan menangis, 2 hari lagi akan mati.
Jika suara genta didengar, dewa pelindung otak menangis, besok harinya akan menangis.
Jika segala sesuatunya hening (sunyi/sepi) dan tidak mendengar suara apapun, sang hyang pramana (hidup orang) sudah bersembunyi, dan pada setiap waktu orang bisa mati.
Jika orang ingin pada bulan mana akan mati, ia harus pada tengah hari berada pada pekarangan rumahnya dan memandang langit selama seperempat jam.Jika orang melihat sesuatu benda hitam, yang besarnya sebagai roda kereta (dokar) yang seolah-olah bergantung pada awang-awang :

Empat depa, empat bulan akan mati.
Tiga depa, tiga bulan akan mati.
Dua depa, dua bulan akan mati.
Satu depa, satu bulan akan mati.
Jarak kecil, lima hari tinggal hidup.
Jika benda itu hampir menyentuh tubuh orang itu sewaktu-waktu akan mati.
Jika tidak melihat apa-apa, tidak usah takut.Tetenger (tanda-tanda) kematian berdasarkan pancawara. Dengan cara memandang matahari dengan mata kanan:

Matahari tampak jauh di timur, umanis mati.
Matahari tampak jauh di selatan, paing mati.
Matahari tampak jauh di barat, pon mati.
Matahari tampak jauh di utara, wage mati.
Matahari tampak jauh di tengah, kliwon mati.
Tidak melihat apa-apa, tak usah takut.Nah sekian dulu kutipan dari ajaran Kemoksan, mudah2an dapat berguna bagi segenap umat sedharma. Om Santih, Santih, Santih, Om

Sumber : cakepane.blogspot.com

Catus Pata, Tempat Dewi Uma dan Sang Pretanjala Berganti Rupa


PEMPATAN AGUNG : Persembahyangan di Pempatan Agung dilaksanakan warga Kebonjero, Munduktemu, Pupuan Tabanan.

PEMPATAN AGUNG : Persembahyangan di Pempatan Agung dilaksanakan warga Kebonjero, Munduktemu, Pupuan Tabanan. (ISTIMEWA)





BALI EXPRESS, DENPASAR - Catus Pata atau Pempatan Agung adalah simpul energi yang amat dahsyat dari alam. Oleh karena itu, energi tersebut kemudian diikat secara gaib dan dipergunakan untuk mendatangkan manfaat bagi warga desa yang bersangkutan sehingga mendatangkan manfaat yang positif.



Konon pada zaman dahulu, simpul energi tersebut juga dimanfaatkan oleh orang-orang yang belajar ilmu pangleakan.



Dijelaskan juga dalam beberapa lontar seperti Dewa Tattwa maupun Eka Pratama, dalam seluk beluk Caru dan Tawur disebutkan terutama untuk Tawur Kesanga, dilaksanakan di Catus Pata, karena di Catus Pata inilah mula pertama Dewi Uma berubah menjadi Bhatari Durga untuk menciptakan Bhuta Kala dan di Catus Pata ini pula Sang Pretanjala berubah menjadi Maha Kala.


Dalam beberapa sumber, khususnya Lontar Bhumi Kamulan dan Siwa Gama diceritakan, awalnya Bhatara Siwaingin menciptakan alam semesta beserta isinya. Pada saat itu, Bhatara Siwa mempunyai lima putra yang disebut Panca Korsika. Bhatara Siwa meminta keempat putranya, yakni Sang Korsika, Sang Garga, Sang Maitri, dan Sang Kurusya, untuk melakukan tugas tersebut, namun gagal sehingga dikutuk. Beliau kemudian mengutus putranya yang bernama Sang Pretanjala untuk mengambil alih tugas keempat saudaranya itu. Sang Pretanjala menyanggupi, namun mohon agar Ia dibantu oleh Dewi Uma. Dewa Siwa pun mengabulkan permohonan Sang Pretanjala.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Mulailah Dewi Uma bersama Sang Pretanjala mencipta. Awalnya mereka berhasil menciptakan Bhuwana Agung (alam semesta) dan mahluk-mahluk halus. Mahluk-mahluk halus tersebut ada berbagai macam jenis dan sifat. Yang memiliki sifat baik adalah widyadara-widyadara, gandarwa, dan kinara. Selanjutnya yang jahat adalah raksasa, denawa, pisaca, dan daitya. Di samping itu, diciptakan pula mahluk halus yang lebih rendah tingkatannya, seperti jin, memedi, tonya, dan sebagainya.

Selanjutnya Dewi Uma kemudian menjelma menjadi Bhatari Durgha dan memecah diri-Nya menjadi lima, yakni pertama Sri-Durgha, bertempat di timur. Sri-Durgha kemudian menciptakan Kalika-Kaliki, Yaksa-Yaksi, dan Bhuta Dengen. Kedua, Dhari-Durgha, berkedudukan di Selatan serta menciptakan Kapragan. Ketiga, Suksmi-Durgha, berkedudukan di Barat serta menciptakan Kamala-Kamali, dan Kala Sweta. Keempat, Raji-Durgha, bertempat di Utara dan menciptakan Bregala-Bregali serta Bebai. Terakhir, adalah Durgha sendiri yang berkedudukan di tengah-tengah. Durgha kemudian menciptakan Bhuta Janggitan di Timur, Bhuta Langkir di Selatan, Bhuta Lembu Kania di Barat, Bhuta Taruna di Utara, Bhuta Tiga Sakti di tengah-tengah, Bhuta Lambukan di Tenggara, Bhuta Hulu-Kuda dan Bhuta Jingga di Barat Daya, Bhuta Ijo di Barat Laut, dan Bhuta reng di Timur Laut.


Melihat Dewi Uma menjadi Bhatari Durgha, maka Sang Pretanjala ikut berubah menjadi Mahakala dan menciptakan Panca Mahabhuta. Sang Pretanjala kemudian mengajak keempat saudaranya dan memberikan kedudukan masing-masing, yakni Sang Korsika di Timur, Sang Garga di Selatan, Sang Maitri di Barat, dan Sang Kurusya di Utara.

Berdasarkan hal itu, tidak heran jika orang-orang yang mempelajari Ilmu Pangiwa memanfaatkan Catus Pata untuk mendapat panugrahan Dewi Durga dan Sang Mahakala. Dalam praktiknya mereka membawa sanggah cucuk beserta sesajen tertentu. Dengan mantra dan sikap tertentu, mereka pun dikatakan memperoleh energi. Namun demikian, fenomena seperti itu saat ini tentunya sudah jarang karena kawasan Catus Pata kini sudah ramai, bahkan menjadi titik kawasan bisnis di pedesaan.


(bx/adi/rin/yes/JPR)

Bhagavadgita Pengetahuan Tentang Yang Mutlak





Bhagavadgita Bab VII - Pengetahuan Tentang Yang Mutlak

Bhagavad-gita 7.1
7.1 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Wahai Putera Prtha, sekarang dengarlah bagaimana engkau dapat mengenal Diri-Ku sepenuhnya, bebas dari keragu-raguan, dengan cara mempraktekkan yoga dan menyadari Aku sepenuhnya, dengan pikiran terikat kepada-Ku.

Bhagavad-gita 7.2
7.2 Sekarang Aku akan menyatakan pengetahuan ini kepadamu secara keseluruhan, baik yang dapat dilihat maupun yang tidak dapat dilihat. Dengan menguasai pengetahuan ini, tidak akan ada hal lain lagi yang belum engkau ketahui.

Bhagavad-gita 7.3
7.3 Di antara beribu-ribu orang, mungkin ada satu yang berusaha untuk mencapai kesempurnaan, dan di antara mereka yang sudah mencapai kesempurnaan, hampir tidak ada satupun yang mengetahui tentang diri-Ku dengan sebenarnya.

Bhagavad-gita 7.4
7.4 Tanah, api, udara, angkasa, pikiran, kecerdasan, dan keakuan yang palsu-secara keseluruhan delapan unsur ini merupakan tenaga-tenaga material yang terpisah dari Diri-Ku.

Bhagavad-gita 7.5
7.5 Wahai Arjuna yang berlengan perkasa, di samping tenaga-tenaga tersebut, ada pula tenaga-Ku, yang lain yang bersifat utama, terdiri dari para makhluk hidup yang menggunakan sumber-sumber alam material yang rendah tersebut.

Bhagavad-gita 7.6
7.6 Semua makhluk yang diciptakan bersumber dari kedua alam tersebut. Ketahuilah dengan pasti bahwa Aku adalah sumber perwujudan dan peleburan segala sesuatu di dunia ini, baik yang bersifat material maupun yang bersifat rohani.

Bhagavad-gita 7.7
7.7 Wahai perebut kekayaan, tidak ada kebenaran yang lebih tinggi daripada-Ku. Segala sesuatu bersandar kepada-Ku, bagaikan mutiara diikat pada seutas tali.

Bhagavad-gita 7.8
7.8 Wahai putera Kunti ( Arjuna ), Aku adalah rasa air, cahaya matahari dan bulan, suku kata Om dalam mantra-mantra veda; Aku adalah suara di angkasa dan kesanggupan dalam manusia.

Bhagavad-gita 7.9
7.9 Aku adalah harum yang asli dari tanah, dan Aku adalah panas dalam api. Aku adalah nyawa segala sesuatu yang hidup, dan Aku adalah pertapaan semua orang yang bertapa.

Bhagavad-gita 7.10
7.10 Wahai putera Prtha, ketahuilah bahwa Aku adalah benih asli segala kehidupan, kecerdasan orang yang cerdas, dan kewibawaan orang yang perkasa.

Bhagavad-gita 7.11
7.11 Aku adalah kekuatan orang yang kuat, bebas dari nafsu dan keinginan. Aku adalah hubungan suami isteri yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip keagamaan, wahai prabhu dari keluarga Bharata (Arjuna ).

Bhagavad-gita 7.12
7.12 Ketahuilah bahwa segala keadaan hidup; baik kebaikan, nafsu maupun kebodohan-diwujudkan oleh tenaga-Ku. Menurut suatu pengertian, Aku adalah segala sesuatu, tetapi Aku bebas. Aku tidak berada di bawah pengaruh sifat-sifat alam material, sebaiknya sifat-sifat alam berada di dalam Diri-Ku.

Bhagavad-gita 7.13
7.13 Dikhayalkan oleh tiga sifat ( kebaikan, nafsu, dan kebodohan ), seluruh dunia tidak mengenal Diri-Ku, yang berada di atas sifat-sifat alam dan tidak dapat dimusnahkan.

Bhagavad-gita 7.14
7.14 Tenaga rohani-Ku, terdiri dari tiga sifat alam material, sulit diatasi. Tetapi orang yang sudah menyerahkan diri kepada-Ku dengan mudah sekali dapat menyeberang melampaui tenaga itu.

Bhagavad-gita 7.15
7.15 Orang jahat yang bodoh secara kasar, manusia yang paling rendah, yang kehilangan pengetahuannya akibat khayalan, dan yang ikut dalam sifat orang jahat yang tidak percaya kepada Tuhan tidak menyerahkan diri kepada-Ku.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Bhagavad-gita 7.16
7.16 o yang paling baik di antara para Bharata, empat jenis orang saleh mulai ber-bhakti kepada-Ku-orang yang berduka cita, orang yang menginginkan kekayaan, orang yang ingin tahu, dan orang yang mencari pengetahuan tentang yang mutlak.

Bhagavad-gita 7.17
7.17 Di antara orang tersebut, orang yang memiliki pengetahuan sepenuhnya dan selalu tekun dalam bhakti yang murni adalah yang paling baik. Sebab dia sangat mencintai-Ku dan Aku sangat mencintainya.

Bhagavad-gita 7.18
7.18 Semua penyembah tersebut tentu saja roh yang murah hati, tetapi orang yang mantap dalam pengetahuan tentang-Ku Aku anggap seperti Diri-Ku sendiri. Oleh karena dia tekun dalam bhakti rohani kepada-Ku, dia pasti mencapai kepada-Ku, tujuan tertinggi yang paling sempurna.

Bhagavad-gita 7.19
7.19 Sesudah dilahirkan dan meninggal berulang kali, orang yang sungguh-sungguh memiliki pengetahuan menyerahkan diri kepada-Ku, dengan mengenal-Ku sebagai sebab segala sebab dan segala sesuatu yang ada. Roh yang mulia seperti itu jarang sekali ditemukan.


Bhagavad-gita 7.20
7.20 Orang yang kecerdasannya sudah dicuri oleh keinginan duniawi menyerahkan diri kepada para dewa dan mengikuti aturan dan peraturan sembahyang tertentu menurut sifatnya masing-masing.

Bhagavad-gita 7.21
7.21 Aku bersemayam di dalam hati semua orang sebagai Roh Yang Utama. Begitu seseorang menyembah dewa tertentu, Aku menjadikan kepercayaannya mantap supaya ia dapat menyerahkan diri kepada dewa itu.

Bhagavad-gita 7.22
7.22 Setelah diberi kepercayaan seperti itu, dia berusaha menyembah dewa tertentu dan memperoleh apa yang diinginkannya. Tetapi sebenarnya hanya Aku sendiri yang menganugerahkan berkat-berkat itu.

Bhagavad-gita 7.23
7.23 Orang yang kurang cerdas menyembah para dewa, dan hasilnya terbatas dan sementara. Orang yang menyembah para dewa pergi ke planet-planet para dewa, tetapi para penyembah-Ku akhirnya mencapai planet-Ku yang paling tinggi.

Bhagavad-gita 7.24
7.24 Orang yang kurang cerdas, tidak mengenal Diri-Ku secara sempurna, menganggap bahwa dahulu Aku, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Krsna, tidak bersifat pribadi dan sekarang Aku sudah berwujud dalam kepribadian ini. Oleh karena pengetahuan mereka sangat kurang, mereka tidak mengenal sifat-Ku yang lebih tinggi, yang tidak dapat dimusnahkan dan bersifat Mahakuasa.

Bhagavad-gita 7.25
7.25 Aku tidak pernah terwujud kepada orang yang bodoh dan kurang cerdas. Bagi mereka, aku ditutupi oleh kekuatan dalam dari Diri- ku. Karena itu, mereka tidak mengetahui bahwa Aku tidak dilahirkan dan tidak pernah gagal.

Bhagavad-gita 7.26
7.26 Wahai Arjuna, sebagai kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Aku mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada masa lampau, segala sesuatu yang sedang terjadi sekarang, dan segala sesuatu yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Aku juga mengenal semua makhluk hidup, namun tiada seorangpun yang mengenal Diri-Ku.

Bhagavad-gita 7.27
7.27 Wahai prabhu dari keluarga Bharata, wahai penakluk musuh, semua makhluk hidup dilahirkan ke dalam khayalan, dan dibingungkan oleh hal-hal relatif yang timbul dari keinginan dan rasa benci.

Bhagavad-gita 7.28
7.28 Orang yang sudah bertindak dengan cara yang saleh dalam penjelmaan-penjelmaan yang lalu dan dalam hidup ini dan dosanya sudah dihilangkan sepenuhnya, dibebaskan dari hal-hal relatif berupa khayalan, dan mereka menekuni bhakti kepada-Ku dengan ketabahan hati.

Bhagavad-gita 7.29
7.29 Orang cerdas yang sedang berusaha mencapai pembebasan dari usia tua dan kematian berlindung kepada-Ku dalam bhakti. Mereka sungguh-sungguh Brahman karena mereka mengetahui sepenuhnya segala sesuatu tentang kegiatan rohani yang melampaui hal-hal duniawi.

Bhagavad-gita 7.30
7.30 Orang yang sadar kepada-Ku sepenuhnya, yang mengenal Diri-Ku, Yang Mahakuasa, sebagai prinsip yang mengendalikan manifestasi material, para dewa dan segala cara korban suci, dapat mengerti dan mengenal Diri-Ku, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, bahkan pada saat meninggal dunia sekalipun

Sumber : cakepane.blogspot.com

Minggu, 03 September 2023

Aksara Wyanjana

 



Kalau belajar aksara Bali swalalita dan bahasa Sanskerta akan menemukan konsonan v yang dibaca w dan ń=ng, ñ=ny, ņ, n, m yang merupakan warga anuswara yang dinyatakan dari hidung (sengau).
Contoh:
Sarva dibaca dan ditulis sarwa. Veda dibaca dan ditulis weda. Svasti dibaca dan ditulis Swasti yang artinya selamat.
Jika svasti digabung dengan astu yg artinya semoga, maka menjadi Svastiastu yg dibaca dan ditulis Swastyastu yg artinya semoga selamat, yg dimaksud semoga dalam keadaan selamat. Kalau dilengkapi dgn Omkara Om sebagai sebagai simbul Tuhan menjadi,
OM Swastyastu.
Ń (ng) adalah satu warga dgn M, yaitu warga anu swara dari hidung (sengau). Kalau konsonan Ń dan M diawali vokal O maka OŃ dibaca dan ditulis dgn ONG sedangkan M menjadi OM yg merupakan simbul Tuhan.
Maka ditulis menjadi OM Swastyastu yg artinya Ya Tuhan semoga dalam keadaan selamat.


Selasa, 29 Agustus 2023

Bentuk dan Contoh Pemujaan Tri Purusa Dalam Agama Hindu



Tri Purusha adalah jiwa agung tiga alam semesta yakni Bhur Loka (alam bawah), Bhuwah Loka (alam tengah) dan Swah Loka (alam atas). Tuhan sebagai penguasa alam bawah disebut Siwa atau Iswara. Sebagai jiwa alam tengah, Tuhan disebut Sadha Siwa dan sebagai jiwa agung alam atas, Tuhan disebut Parama Siwa atau Parameswara.


Baca: Pengertian Tri Purusa dan Bagian-Bagiannya
.

Pura Tanah Lot (image; shiva_bali_tour)

Salah satu contoh tempat pemujaan Tri Purusha adalah Padmasana, Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih merupakan sarana untuk memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusha yaitu jiwa agung alam semesta. Purusha artinya jiwa atau hidup. Tuhan sebagai jiwa dari Bhur Loka disebut Siwa, sebagai jiwa Bhuwah Loka disebut Sadha Úiwa dan sebagai jiwa dari Swah Loka disebut Swah Loka. Pelinggih Padma Tiga sebagai media pemujaan Sang Hyang Tri Purusha yaitu Siwa, Sadasiwa dan Paramasiwa. Hal ini dinyatakan dalam Piagam Besakih dan juga dalam beberapa sumber lainnya seperti dalam Pustaka Pura Besakih yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali tahun 1988.



Padma Tiga - Pura Besakih

Pura Besakih adalah merupakan sumber kesucian, tempat pemujaan Tri Purusha. Pura Besakih banyak mengandung filosofi. Menurut Piagam Besakih, Pura Agung Besakih adalah Sari Padma Bhuwana atau pusatnya dunia yang dilambangkan berbentuk bunga padma. Oleh karena itu, Pura Agung Besakih dijadikan sebagai pusat untuk menyucikan dunia dengan segala isinya. Pura Besakih juga pusat kegiatan upacara agama bagi umat Hindu. Di Pura Agung Besakih setiap sepuluh tahun sekali dilangsungkan upacara Panca Bali Krama dan setiap seratus tahun diselenggarakan upacara Eka Dasa Rudra.


Pura Agung Besakih secara spiritual adalah sumber kesucian dan sumber kerahayuan bagi umat Hindu. Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih sebagai sarana untuk memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusha. Fungsi dan jenis pelinggih Padmasana yang memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu ruang. Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih, selain digunakan sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Bangunan yang paling utama di Pura Besakih adalah palinggih Padma (Padmasana) Tiga. Letaknya di Pura Penataran Agung Besakih. Palinggih tersebut terdiri atas tiga bangunan berbentuk padmasana berdiri di atas satu altar. Perkembangan awal dari Tri Purusha ini disebutkan bahwa ketika Dang Hyang Nirartha pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun caka 1411 atau 1489 M, dan ketika itu Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong, beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tri Purusha ini, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 267).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Bentuk bangunan suci Padma Tiga yang berada di Pura Agung Besakih adalah tempat pemujaan Tri Purusha yakni Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa (Tuhan Yang Mahaesa). Piodalan di Padmasana Tiga dilangsungkan setiap Purnama Kapat. Ini terkait dengan tradisi ngapat. Sasih Kapat atau Kartika, merupakan saat-saat bunga bermekaran. Kartika juga berarti penedengan sari. Padmasana tersebut dibangun dalam satu altar atau yoni. Palinggih padmasana merupakan sthana Tuhan Yang Maha Esa. Padmasana berasal dari kata padma dan asana. Padma berarti teratai dan asana berarti tempat duduk atau singgasana. Jadi, padmasana artinya tempat duduk atau singgasana teratai.


Tuhan Yang Mahaesa secara simbolis bertahta di atas tempat duduk atau singgasana teratai atau padmasana. Padmasana lambang kesucian dengan astadala atau delapan helai daun bunga teratai. Bali Dwipa atau Pulau Bali dibayangkan oleh para Rsi Hindu zaman dulu sebagai padmasana, tempat duduk Tuhan Siwa, Tuhan Yang Maha Esa dengan asta saktinya (delapan kemahakuasaan-Nya) yang membentang ke delapan penjuru (asta dala) Pulau Bali masing-masing dengan Deva penguasanya. Deva Iswara berada di arah Timur, bersemayam di Pura Lempuyang. Brahma di selatan bersemayam di Pura Andakasa. Deva Mahadeva di barat (Pura Batukaru), Wisnu di utara (Pura Batur), Maheswara di arah tenggara (Pura Goa Lawah), Rudra di barat daya (Pura Uluwatu), Sangkara di barat laut (Pura Puncak Mangu), Sambhu di timur laut (Pura Besakih), Siwa bersemayam di tengah, pada altar dari Pura Besakih dengan Tri Purusa-Nya yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Tri Purusha tersebut dipuja di Padmasana Tiga Besakih. Palinggih Padmasana Tiga tersebut merupakan intisari dari padma bhuwana, yang memancarkan kesucian ke seluruh penjuru dunia. ‘’Karena itu, sumber kesucian tersebut penting terus dijaga, sebagai sumber kehidupan. Pembangunan Pura Agung Besakih dan Pura-pura Sad Kahyangan lainnya adalah berdasarkan konsepsi Padma Mandala, bunga padma dengan helai yang berlapis-lapis (Catur Lawa dan Astadala). Pura Besakih adalah sari padma mandala atau padma bhuwana. Pura Gelap, Pura Kiduling Kerteg, Pura Ulun Kulkul dan Pura Batumadeg adalah Catur Lawa. Sedangkan Pura Lempuyang Luhur, Goa Lawah,Andakasa, Luhur Uluwatu, Batukaru, Puncak Mangu, dan Pura Batur adalah Astadala. Pura-pura tersebut sangat disucikan dan merupakan satu kesatuan yang utuh. Pura-pura tersebut pusat kesucian dan kerahayuan bagi umat Hindu.


Pura Besakih sebagai huluning Bali Rajya, hulunya daerah Bali. Pura Besakih sebagai kepala atau jiwanya Pulau Bali. Hal ini sesuai dengan letak Pura Besakih di bagian timur laut Pulau Bali. Timur laut adalah arah terbitnya matahari dengan sinarnya sebagai salah satu kekuatan alam ciptaan Tuhan yang menjadi sumber kehidupan di bumi. Pura Besakih juga hulunya berbagai pura di Bali, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 268)


Di Padma Tiga ini Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusha, tiga manifestasi Tuhan sebagai jiwa alam semesta. Tuhan sebagai Tri Purusha adalah jiwa agung tiga alam semesta yakni Bhur Loka (alam bawah), Bhuwah Loka (alam tengah) dan Swah Loka (alam atas). Tuhan sebagai penguasa alam bawah disebut Siwa atau Iswara. Sebagai jiwa alam tengah, Tuhan disebut Sadha Úiwa dan sebagai jiwa agung alam atas, Tuhan disebut Parama Úiwa atau Parameswara.


Palinggih padma paling kanan tempat memuja Sang Hyang Parama Siwa. Bangunan ini biasa dihiasi busana hitam. Sebab, alam yang tertinggi (Swah Loka) tak terjangkau sinar matahari sehingga berwarna hitam. Bangunan padma yang terletak di tengah adalah lambang pemujaan terhadap Sang Hyang Sadha Siwa. Busana yang dikenakan pada padma tengah itu berwana putih. Warna putih lambang akasa. Sedangkan, bangunan padma paling kiri lambang pemujaan Sang Hyang Siwa yaitu Tuhan sebagai jiwa Bhur Loka. Busana yang dikenakan berwarna merah. Di Bhur Loka inilah Tuhan meletakkan ciptaan- Nya berupa stavira (tumbuh-tumbuhan), janggama (hewan) dan manusia. Jadi, palinggih Padma Tiga merupakan sarana pemujaan Tuhan sebagai jiwa Tri Loka. Karena itu dalam konsepsi rwa-bhineda, Pura Besakih merupakan Pura Purusha, sedangkan Pura Batur sebagai Pura Predana.


Busana hitam pada palinggih Padma Tiga bukanlah simbol Deva Wisnu, tetapi Parama Siwa. Dalam Mantra Rgveda dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan Yang Maha Esa yang memenuhi alam semesta ini hanya seperempat bagian. Selebihnya ada di luar alam semesta. Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap, karena tidak dijangkau oleh sinar matahari. Tuhan juga maha- ada di luar alam semesta yang gelap. Tuhan sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta yang disebut Parama Siwa. Parama Siwa adalah Tuhan dalam keadaan Nirguna Brahman atau tanpa sifat. Manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Kuasa itu.

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Padmasana yang berada di tengah, busananya putih-kuning sebagai simbol Tuhan dalam keadaan Saguna Brahman. Artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan. Sedangkan busana warna merah pada padma paling kiri bukanlah sebagai lambang Deva Brahma. Warna merah itu sebagai simbol yang melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida untuk Utpati, Sthitti dan Pralina. Dalam hal inilah Tuhan Siwa bermanifestasi menjadi Tri Murti. Sementara di kompleks Pura Besakih, manifestasi Tuhan sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Kiduling Kreteg, Batara Wisnu di Pura Batu Madeg dan Batara Iswara di Pura Gelap, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 269)


Di tingkat Pura Padma Bhuwana, Batara Wisnu dipuja di Pura Batur, simbol Tuhan Maha Kuasa di arah utara. Bhatara Iswara dipuja di Pura Lempuhyang Luhur, simbol Tuhan di arah timur dan Batara Brahma dipuja di Pura Andakasa, simbol Tuhan Maha Kuasa di arah selatan. Demikianlah keberadaan Pelinggih Padma Tiga yang berada di Mandala kedua dari Pura Penataran Agung Besakih. Di Mandala kedua ini sebagai simbol bertemunya antara bhakti dengan sweca. Bhakti adalah upaya umat manusia atau para bhakta untuk mendekatkan diri pada Tuhan.

Sedangkan sweca dalam bahasa Bali maksudnya suatu anugerah Tuhan kepada para bhakta-nya. Sweca itu akan diterima oleh manusia atau para bhakta sesuai dengan tingkatan bhakti- nya kepada Tuhan. Bentuk bhakti pada Tuhan di samping secara langsung juga seyogianya dilakukan dalam wujud asih dan punia. Asih adalah bentuk bhakti pada Tuhan dengan menjaga kelestarian alam lingkungan dengan penuh kasih sayang. Karena alam semesta ini adalah badan nyata dari Tuhan. Sedangkan punia adalah bentuk bhakti pada Tuhan dalam wujud pengabdian pada sesama umat manusia sesuai dengan swadharma kita masing-masing.


Tuhan telah menciptakan Rta sebagai pedoman atau norma untuk memelihara dan melindungi alam ini dengan asih. Tuhan juga menciptakan dharma sebagai pedoman untuk melakukan pengabdian pada sesama manusia. Dengan konsep asih, punia dan bhakti itulah umat manusia meraih sweca-nya Tuhan yang dilambangkan di Pura Besakih di Mandala kedua ini. Di Mandala ketiga ini tepatnya di sebelah kanan Padma Tiga itu adalah bangunan suci yang disebut Bale Kembang Sirang. Di Bale Kembang Sirang inilah berlangsung upacara pedanaan saat ada upacara besar di Besakih seperti saat ada upacara Batara Turun Kabeh maupun upacara Manca Walikrama, apalagi Upacara Eka Dasa Ludra.


Upacara Pedanaan yang dipusatkan di Bale Kambang Sirang inilah sebagai simbol bahwa antara bhakti umat dengan sweca-nya Hyang Widhi bertemu. Di Pura Penataran Agung Besakih sebagai simbol Sapta Loka tergolong Pura Luhuring Ambal-Ambal. Ini dilukiskan bagaimana umat seyogianya melakukan bhakti pada Tuhan dan bagaimana Tuhan menurunkan sweca pada umat yang dapat melakukan bhakti dengan baik dan benar. Semuanya dilukiskan dengan sangat menarik di Pura Penataran Agung Besakih dan amat sesuai dengan konsep Veda, kitab suci agama Hindu.


Sementara di tingkat desa pakraman, Batara Tri Murti itu dipuja di Pura Kahyangan Tiga. Ajaran Agama Hindu demikian serius mengajarkan umatnya untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa itu dalam manifestasinya sebagai Deva Tri Murti. Salah satu ciri hidup manusia melakukan dinamika hidup. Memuja Tuhan sebagai Tri Murti untuk menuntun umat manusia agar dalam hidupnya ini selalu berdinamika yang mampu memberikan kontribusi pada kemajuan hidup menuju hidup yang semakin baik, benar dan tepat. Pemujaan pada Deva Tri Murti itu agar dinamika hidup manusia itu berada di koridor Utpati, Stithi dan Pralina. Maksudnya menciptakan sesuatu yang patut diciptakan disebut Utpati, memelihara serta melindungi sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan dilindungi disebut Stithi. Serta meniadakan sesuatu yang sudah usang yang memang sudah sepatutnya dihilangkan yang disebut Pralina, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 270-271).


Demikian umat Hindu di Bali memuja Tuhan, bagaimana dengan umat Hindu di luar Bali? Seiring dengan kemajuan zaman dan pengetahuan yang ada, terkait tentang sarana pemujaan kehadapan Tuhan oleh umat Hindu di luar Bali, dapat dinyatakan sudah mengalami kemajuan yang patut kita banggakan bersama. Di antara mereka juga sudah memiliki dan mempergunakan “Padmasana” sebagai tempat untuk memuja kebesaran Sang Pencipta. Berikut ini adalah tempat-tempat suci umat Hindu yang ada di luar Bali, antara lain:






RELATED:
Pengertian, Contoh dan Bagian-Bagian Tri Rna
Veda sebagai Sumber Hukum Hindu
Glosarium Materi Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V
Renungan Atharvaveda XIX.41.1


"Bhadram icchanta åûayas tapo diksàm upanisedur agre,
tato ràstram balam ojaúca jàtam tadasmai devà upasamnamantu".


Terjemahan:


"Para rsi (futurelog) yang memikirkan tentang kemakmuran bangsa mendapatkan dua faktor, yakni kesetiaan dan pengabdian (dedikasi), Dengan menjalankan faktor-faktor itu bangsa ini menjadi kuat dan mulia. Maka dari itu faktor-faktor ini seharusnya dibina".


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/11/bentuk-dan-contoh-pemujaan-tri-purusa.html


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015