Jro Dalang Gusti Made Aryana alias Dalang Sembroli (Dian Suryantini/Bali Express)
SINGARAJA, BALI EXPRESS-Menjadi seorang dalang atau orang yang memainkan wayang tidaklah mudah. Selain harus mengetahui beberapa cerita pawayangan, seorang dalang juga harus mengetahui aturan yang tersirat dalam Lontar Dharma Pawayangan.
Seorang dalang mesti mengetahui beberapa isi dari Lontar Dharma Pawayangan sebagai pedomannya. Ada beberapa peraturan yang harus dilakoni mereka yang menekuni dunia perdalangan.
Lontar Dharma Pawayangan merupakan naskah yang berkaitan dengan dunia seni wayang dan kewajiban seorang dalang.
Pada pasal 01 Dharma Pawayangan disebutkan tentang profesi seorang dalang dengan sebuah Kayon untuk menceritakan pada seluruh dunia untuk semua kehidupan yang terdapat dalam alam semesta.
Dalam pasal tersebut berbunyi : "Sang Amengku Dalang mawak gumi, mawak bhuta, mawak dewa, dalang ngarania waneh, karana dadi Siwa, karana dadi Paramasiwa, karana dadi Sadasiwa, karana dadi Sang Hyang Acintya, mapan Sang Hyang Acintya panunggalaning bhuana kabeh, wenang umilihaken lungguhnia. Wenang sira uncarakena carita, wenang uncarakena kataning aksara, wenang uncarakena japa muang mantra. Samangkana ngaran dalang".
Arti dari kutipan lontar tersebut yakni orang yang berprofesi sebagai dalang merupakan simbol bumi, simbol bhuta/makhluk halus, simbol dewa yang berhak menjalankan tugas-tugas Hyang Siwa, Paramasiwa, Sang Hyang Acintya, karena Acintya simbol panunggalaning bumi semua, dapat menentukan kedudukannya berhak menyebarluaskan cerita, berhak mengucapkan Veda atau mantra.
Sedangkan dalam Pasal 02 dari Dharma Pawayangan itu, menyebutkan tentang ajaran-ajaran atau kewajiban yang telah digariskan oleh Sang Hyang Catur Loka Pala yang bertujuan memotivasi umat.
Kutipan teksnya berbunyi : "Iti aji Dharma Pawayangan, ngawenang sumuliha ring ganal alit, mwah ring bhuana agung. Yan sira mahyun sudi ring putusaning ngawayang, palania tan langgana rijengira Sanghyang Catur Lokapala.
Apan sira umindahaken suci nirmala tatwa, weruh ri adoh aparek, ring satwa adnyana, terus malunga ring tri bhuana sangkania ana sor luhur, madia utama, pati berate, sabda bayu, ideping ala".
"Wenang pwa sira Sanghyang Catur Lokapala, umideraken satsatnira Sanghyang Kawicarita, sira ta ngaran dadi dalang-dalang. Sangkanyaana dalang patpat : yuwaktinia, Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa yan ring bhuana agung, Iswara akasa, Mahadewa sitidrani, Sanghyang Wisnu rupaning bhuana, Brahma tejaning bhuana, sangkania dadi urip, dadi pati, dadi sabda, dadi bayu”.
Artinya ini adalah ilmu tentang Dharma Pawayangan, yang wajib diterapkan dalam alam kecil dan alam besar. Bagi yang mau dan senang dengan keputusan melaksanakan tugas pewayangan, agar tidak dikutuk oleh Sanghyang Catur Lokapala, karena akan membicarakan kesucian tattwa, tahu dengan yang jauh dan yang dekat, tahu dengan bilangan yang ada dalam badan dan yang ada di tiga dunia.
Oleh karena itu ada bawah ada atas, menengah utama, taat dan patuh, suara tenaga, pikiran jelek, sehingga pantaslah Sanghyang Lokapala mengelilingi dan menempatkan Sang Kawicarita, dialah namanya menjadi dalang.
Dengan mengetahui ketentuan, panduan dan aturan yang telah tersurat dalam Dharma Pawayangan yang merupakan kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seorang dalang. Maka mereka yang disebut sebagai dalang sejatinya memangku tugas yang berat.
“Dikatakan memangku tugas yang cukup berat, karena dengan kondisi yang sekarang sudah tentu tantangan dan hambatan sangat kompleks dan menuntut sebuah kesadaran untuk mampu memahami serta melaksanakan apa yang mesti dilakukan oleh seorang dalang,” tutur Jro Dalang Gusti Made Aryana.
Dalam lontar itu juga diatur mantra-mantra yang harus diketahui oleh seorang dalang. Mulai dari baru berangkat dari rumah hingga selesai menunaikan tugas ngawayang di rumah si empunya acara.
“Dalam lontar itu, mantranya dibagi menjadi tiga bagian. Yakni mantra yang dilafalkan sebelum pertunjukan, mantra saat pertunjukkan, dan mantra seusai pertunjukan. Ada banyak sekali mantranya itu, dan itu harus diikuti prosesnya,” tambah dalang yang kerap disapa Dalang Sembroli ini.
Dalang Sembroli yang khas dengan rambut keritingnya itu pun membeberkan mantra-mantra yang digunakan yang terdapat dalam Lontar Dharma Pawayangan. Ia memaparkan satu per satu dari mantra sebelum pertunjukkan.
Mantra-mantra sebelum pertunjukan adalah mantra yang digunakan dalang mulai berangkat dari rumah sampai tiba di tempat pertunjukan.
1. Om Ang Lingga Boktra Prayojana Suda Ya Namah Swaha (napas deras hidung kanan = Brahma mangwayang). Mantra ini digunakan saat dalang tiba di pintu masuk tempat ngawayang. Sang dalang berdiri sejenak dan mengheningkan cipta, merasakan napasnya lebih deras pada hidung kanan, hal ini diyakini oleh para dalang bahwa Hyang Brahma memberikan restu. Secara Teologi mantra ini diperuntukan untuk memuja Dewa Brahma 'Ang' = Bhrahma.
2. Om Ung Lingga Boktra Prayojana Suda ya Namah Swaha (napas deras hidung kiri = Wisnu mangwayang). Jika setelah mengheningkan cipta di depan pintu gerbang dan merasakan napas lebih deras ada hidung kiri secara teologi diyakini Dewa Wisnu telah memberikan restu pada jro mangku dalang Ung = Wisnu.
CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
3. Om Mang Lingga Boktra Prayojana Suda Ya Namah Swaha (napas kedua lobang hidung sama derasnya = Iswara mangwayang). Bila dirasakan kedua hidung sama deras napasnya berarti secara teologi Dewa Siwa telah merestui pertunjukannya, Mang = Siwa.
4. Dalam perjalanan : “Om Kamajaya tatkalaning lumaku jaya sidi ya namah swaha”. Mantra ini ditujukan untuk memuja Sang Hyang Kamajaya agar dalam perjalan menuju tempat pertunjukan mendapatkan keselamatan dan kejayaan.
5. Setelah sampai di tempat pertunjukan : “Om Kamajaya wus prapta ngeka kesaktian ya namah swaha”. Secara teologi mantra ini ditujukan untuk memuja Sang Hyang Kamajaya untuk mendapatkan kekuatan atau kesaktian lahir dan batin pada saat mendalang.
6. Duduk : “Om Ang, Ung, Mang, Ang Ah, Ang Ah, Ang Ah”. Mantra tersebut untuk memuja Sang Hyang Tri Murti yaitu Brahma,Wisnu dan Siwa.
7. Makan : “Om mahamerta ingsun amukti sarining suci nirmala, urip langgeng wisya punah wisya punah wisya punah”. Jadi, mantra ini memuja Sang Hyang Amerta. Pada saat jro mangku dalang makan, agar terhindar dari segala gangguan Aji Ugig, bahaya dan menghilangkan segala racun, dan menjadikan semua makanan menjadi amerta.
Demikian mantra-mantra yang digunakan sebelum ngawayang. Selanjutnya ada pula mantra-mantra yang digunakan saat pertunjukan. Setelah selesai mendapat boga atau prasmanan, dalang mulai bersiap menuju tempatnya ngawayang.
Duduk di belakang kelir tepat di bawah lampu blencong. Mantra-mantra ini adalah mantra-mantra yang biasa dipakai secara umum, kendatipun ada pula beberapa dalang yang tidak menggunakannya. Adapaun susunan mantra-mantra yang telah dirangkum dan di struktur sebagai berikut:
1. Duduk di bawah lampu blencong atau dibelakang kelir : “Utpti (lahir): “Sa, Ba, Ta A, I, Na, Ma, Si, Wa, ya, Am Um Mam. “Stiti (hidup) : I, A, Ta, Ba, Si, Ya, Wa, Si Ma, Na, Um Am Mam. Pralina (mati) : A, Ta, Sa, Ba, I, Si, Wa, Ma, Na, Ya, Mam Um Am. Mantra ini diucapkan agar dalang mendapatkan kekuatan dari para dewa dalam wujud Sang Hyang Dasaksara sebagai kekuatan utpati, stiti, prelina (lahir, hidup dan mati).
2. Mantra Lampu Blencong: “Ang, Ang, Ang Bang Agni astra murub kadi kala mertyu anyapuh awu, durga lidek teka geseng, aku Sangh Hyang Cintya gni, amlabar gni sejagat, buta, leak desti satrunku teka geseng”. Mantra ini untuk memuja Sang Hyang Agni agar memberikan kekuatan kepada nyala api blencong, serta memusnahkan segala ancaman (Aji Ugig) yang ingin mencelakakan sang dalang.
Selain itu, dilihat dari kaca mata batin, mantra ini adalah mencerminkan kekuatan dalam sang dalang sebagai api batin. Lebih jauh lagi, agar dalang selalu mempunyai semangat yang berkobar-kobar dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang dalang.
3. Ngundang Taksu : “Ih..taksu ngidep buwana kena, sang hyang manik terus manik astagina, sang taksu dibya, atinku Surya Candra anyunari sebuana, ala ayu katon ring idep, teka jati ening, teka dudupan, teka dudupan, teka dudupan”. Mantra ini diucapkan untuk mengundang Sang Hyang Taksu, agar pertunjukan dapat memukau penonton lewat tuntunan dan tontonannya.
Lebih spesifik lagi, agar segala yang akan diucapkan atau dilakukan dalang, semuanya terang bendrang, jelas seperti siang disinari matahari, dan gelap seperti disinari bulan. Dengan demikian segala yang disampaikan menjadi terang bendrang tanpa halangan yang berarti.
4. Pangraksa Jiwa: “Pakulun Sanghyang Panca Pandawa umor ring akasa, Nakula Sahadewa ring cakepan kalih, Arjuna ring lontar, Darmawangsa ring sastra, Bima ring kelatning lontar, urip apageh lila ning wigna paramasakti ya namah swaha, Om Am Mam Um Om”.
Mantra ini diucapkan untuk memuja Sang Hyang Trimurti, Sang Hyang Sastra dan memuja kekuatan Panca Pandawa agar memberikan perlindungan kepada jiwa sang dalang.
5. Pangasih. Sarana base : “Pakulun Sanghyang Tunggal amasang guna kasmaran, bhuta leak sih, jatma manusa sih, dewa betara sih, Ong Ang antara pantara sarwa sih manembaha lila suksma ya namah swaha”.
Mantra ini untuk memuja Sang Hyang Tunggal dalam sifatnya memberikan cinta kasih, agar semua makhluk baik yang nyata maupun astral, bisa kasih kepada dalang. Dengan demikian dalang merasakan mendapat dukungan batin dan ketenangan dalam menunaikan kewajibannya.
6. Pangeger : “Pakulun Sanghyang Tiga Wisesa amasang guna pengeger, wong lanang, wadon geger, kedi geger, apupul ring arepku awijah lulut angrungu ingsun, pawak ingsun Sanghyang Semara, waneh sira andulu sanghyang samara waneh sira andulu ingsun, teka olas den pada asih, isep, isep, isepan gung mang raja karya murti saktyem patastra ya namah swaha”.
Mantra ini untuk memuja Sang Hyang Tiga Wisesa untuk memohon kekuatan taksu untuk menarik penonton sebanyak-banyaknya berkumpul menyaksikan pertunjukannya. Keinginan penonton seperti kena panah asmara, sehingga tidak merasa bosan menikmati sajian sang dalang.
7. Pangalup : “Ingsun angidep aken Sanghyang Guru rekan kama tantra, swaranku manik astagina andawut atma juwitane wong kabeh, asih welas mulih ring ati, edan ulangun mulih ring nyali, oneng lulut mulih ring papusuh, sing teka pada rna, sing tka pada rna, sing tka pada rna.”
Mantra ini hampir sama fungsinya dengan pangeger, namun pada mantra ini lebih dikhususkan untuk memohon kekuatan retorika (dialog, monolog) dan vokal atau tembang atau 'tandak' agar mampu menarik hati nurani serta menyenangkan pendengarnya.
Hal ini dilakukan karena dalang sering melakukan monolog dan dialog secara spontan sesuai dengan kemampuan kreativitasnya. Oleh sebab itu, yang dipuja pada mantra ini adalah Sang Hyang Guru Reka, yaitu Tuhan dalam kekuatannya menciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat.
8. Nebah Gedog (membuka tutup kotak/kropak wayang dengan memukul tutup gedog 3x): “Atangi Sanghyang Samerana angringgit amolah cara”.
Catatan: tutup gedog diletakkan di sebelah kanan dalang, dengan posisi tutup gedog yang lebar mengarah ke depan. Mantra ini diucapkan untuk memohon restu kepada Sang Hyang Catur Dalang (dalang Samerana, dalang Anteban, dalang Jaruman, dalang Sampurna). Namun dalam mantra ini hanya diwakili oleh dalang Samerana sebagai dalang yang tertua.
9. Nebah kain kasa penutup wayang. “Om Brahma munggah dewa urip jeng”. Mantra ini diucapkan untuk memuja dewa Bhrahma agar memberikan kekuatan hidup kepada semua wayang sehingga lakon yang disajikan dapat memberikan tuntunan dan tontonan hidup dan kehidupan nyata. Wayang yang diambil pertama kali setelah membuka kain kasa oleh dalang adalah wayang pemurtian dan ditancapkan di sisi kanan dan kiri kelir.
10. Nyolahang Kayonan: “Ong Sambu mulih ring Wisnu, Sangkara mulih ring Mahadewa, Ludra mulih ring Brahma, Maheswara mulih ring Iswara, Iswara mulih ring Kayonan, Kayonan mulih ring Ati”. Mantra ini untuk memuja Dewata Nawa Sanga, dimana pengucapannya melingkar ke arah kiri (utara yana) mulai dari ersanya/dewa Sambu.
Mantra ini diucapkan sebelum dalang menarikan wayang kayonan. Setelah selesai mengucapkan mantra ini, barulah dalang menarikan kayonannya.
Selama dalang tersebut ngewayang, dalang tidak boleh minum terlalu banyak. Sekali minum hanya diperbolehkan tiga teguk saja. Begitupun dengan posisi duduk dalang yang sama sekali tidak boleh bergeser.
“Dalang tidak boleh kebanyakan minum. Setiap kali ingin minum hanya tiga teguk saja. Kalau kebanyakan, pas ditengah-tengah ngewayang ingin buang air kecil kan tidak bisa. Karena dalang tidak boleh turun panggung. Bergeser saja tidak boleh, apalagi turun,” tegasnya sambil tertawa.
Runtutan Mantra yang terakhir adalah mantra sesudah pertunjukan. Setelah Pertunjukan selesai biasanya dalang menghaturkan beberapa sesaji sesuai dengan desa kala patra desa setempat, atau melakukan ritual sesaji khusus jikalau berkaitan dengan wayang sapuleger dengan sesaji tadah Kalanya.
Namun yang paling utama adalah saat dalang membuat tirta Sudamala atau Sapuleger yang sering disebut dengan 'tirtan wayang'. Salah satu model mantra yang digunakan oleh dalang adalah saat membuat tirta dan mantra saat melakukan panglukatan.
Namun, sebelum dalang membuat tirta dan menghaturkan sesaji, terlebih dulu dalang melakukan ritual kecil dengan beberapa mantra, sepeti halnya seorang pinandita dalam 'muput' sebuah upacara.
Adapun ritual tersebut adalah pranayama (mengatur pernapasan), penyucian angga sarira, penyucian sarira, pangening kayun, dilanjutkan dengan Gayatri Mantram.
Setelah itu, dalang melanjutkan menghaturkan sesaji yang telah disediakan yang didahului dengan ngalukat semua banten seperti pejati, peras, penyeneng, daksina alit/agung, suci, pengambean, prayascita, segehan dan sebagainya.
Kemudian dilanjutkan dengan membuat tirta, dan ngalukat orang yang diupacarai jika diperlukan, seperti dalam Sapuleger.
Adapun mantra dalam pembuatan tirta yang dilakukan usai pertunjukkan wayang. Mantra ini ditujukan untuk tirta Panglukatan Panca Dewa.
(bx/dhi/rin/JPR)
https://baliexpress.jawapos.com/read/2021/01/13/235162/lontar-dharma-pawayangan-benteng-dalang-lawan-aji-ugig