Minggu, 24 September 2023

Lontar BHUWANA KOSA

 



Adapun ajarannya dapat dijelaskan sebagai berikut : Tuhan dalam Bhuwana Kosa disebut Bhatāra Śiwa, yaitu :
Beliau Maha Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak bergerak, tak terbatas dan sebagainya.
Ia yang tak terbatas digambarkan secara terbatas, karena itu Ia sering disebut dengan nama yang berbeda, seperti : Brahma, Wisnu, Iswara / Rudra, sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Dalam Lontar Bhuwana Kosa ini Bhatāra Śiwa dijelaskan juga bersifat immanent dan transcendent.
Immanent, Ia meresapi segalanya, hadir pada segala termasuk meresap pada pikiran dan indriya (sira wyapaka).


Transcendent, Ia meliputi segalanya, tetapi Ia berada di luar batas pikiran dan indriya.
Meskipun Ia Immanent dan Transcendent pada semua makhluk, tetapi Ia tidak dapat dilihat dengan kasat mata, karena Ia bersifat sangat rahasia, abstrak. Karena kerahasiaannya Ia digambarkan bagaikan api dalam kayu, minyak dalam santan. Dan Ia ada dimana-mana, pada semua yang ada ini.
Ia tidak tampak,
tetapi Ia ada.
Sungguh sangat rahasia adanya. Alam semesta (Bhuwana Agung) dengan segala isinya dan manusia adalah ciptaanNya juga.
Semua ciptaanNya itu merupakan wujud mayanya yang bersifat tidak kekal, karena dapat mengalami kehancuran dan pada saat mengalami kehancuran semua ciptaanNya itu akan kembali kepadaNya, karena Ia adalah asal dan tujuan.
Demikian juga disebutkan dalam beberapa petikan mantra dalam Tattwa III referensi Lontar Bhuwana Kosa yang sebagaimana dijelaskan
Berkedudukan di alam Satya Loka, Bhatara Siva Maha gaib, tanpa awal, tanpa pertengahan, tanpa akhir, amat suci:
“Keadaan Sang Hyang Siva berada di hati semua mahluk, tanpa awal, tanpa pertengahan dan tanpa akhir, Keberadaan Beliau kekal berwujud seperti putaran air".
Berkedudukan di alam Tapa Loka, Beliau Bhatara Siwa menguasai semua pengetahuan dan selalu terhindar dari ketuaan dan kematian.

Makna Asu Bang Bungkem dalam Caru Panca Kelud

 






ASU : Asu atau Anjing Bang Bungkem tak bisa diganti dengan binatang lain untuk caru. (ISTIMEWA)





BALI EXPRESS, SINGARAJA - Umat Hindu di Bali memiliki keyakinan bahwa untuk menjaga keseimbangan alam, dapat dilakukan dengan menggelar upacara Bhuta yadnya yang disebut dengan caru. Berbagai jenis caru pun dipergunakan dengan kurban binatang sebagai sarana upakara, mulai dari caru eka sata, panca sata, panca sanak, panca kelud, dan balik sumpah.


Menurut dosen upakara STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Dra. Wayan Murniti, M.Ag, salah satu binatang yang mutlak ada sebagai sarana upakara dalam Caru Panca Sanak dan Panca Kelud, yakni Asu Bang Bungkem.





Asu Bang Bungkem terdiri dari kata Asu, Bang, dan Bungkem. Asu berarti anjing, sedangkan Bang berarti merah, dan Bungkem berarti diam. Jadi , Asu Bang Bungkem berarti Anjing yang berwarna merah pada badannya, namun moncong mulut dan ekornya berwarna hitam.


“Caru Panca Sanak merupakan caru yang dasarnya adalah panca sato, lalu ditambah dengan satu hewan lagi, yakni Asu Bang Bungkem yang ditempatkan di sebelah neriti (barat daya). Mungkin karena mempergunakan tambahan seekor anjing yang termasuk kaki empat, sehingga disebut catur sanak,” ujar Murniti kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Rabu (5/7/2016) lalu.



Lebih lanjut diungkapkan Murniti, khusus untuk caru Anjing Bang Bungkem ini merupakan simbol dari Bhuta Kala yang di bawah kekuasaan Dewa Rudra. Bahkan, dalam Lontar Bhama Kertih penggunaan Asu Bang Bungkem sebagai sarana utama dalam caru Panca Sanak maupun Caru Rsi Gana yang dimaksudkan untuk manyomya (menyeimbangkan) Bhuta Ulu Kuda yang tempatnya dalam pangider-ider di neriti atau barat daya agar kembali menjadi Sang Hyang Rudra.

“Iki pemahayun karang, awet denya manggih ayu, caru angkus nga, lwirnya:...asu bang bungkem 1, dagingya olah jangkep, wewalungannya wahan sengkwi...katur ring Bhatara Kala, kesaksanan de Bhatara Surya mwah para watek dewata nawasangha, tumut hyangnya make sami...mangkana kramanya, genahe mecaru ri natar wenang.”

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Sedangkan merujuk dalam tattwa (filsafat), sambung Murniti, warna hitam pada mulut anjing Bang Bungkem sebagai simbol kekuatan Dewa Wisnu. Warna merah pada bagian badannya sebagai simbol Dewa Brahma. Selain dalam kisah Mahabarata, khususnya bagian Suarga Rohana Parwa, Dharma Wangsa diikuti oleh seekor anjing dikisahkan dapat menempuh perjalanan menuju alam Sunya (moksa).



“Sebisa mungkin, anjing Bang Bungkem yang dipergunakan untuk caru diusahakan usianya sudah dewasa, namun belum memiliki anak. Karena pada umumnya yang dewasa sudah memiliki kekuatan penuh yang dibutuhkan dalam caru,” paparnya.


Murniti menambahkan, jika penggunaan Asu Bang Bungkem sebagai sarana untuk menetralisasi, energi dari negatif menjadi positif, sehingga menjadi seimbang. Bahkan, kekuatan Asu Bang Bungkem untuk menetralisasi energi negatif menjadi positif tidak hanya dipergunakan untuk di pekarangan rumah saja. Melainkan di sebuah daerah, bila mengalami musibah, karang panes, karang tenget, pamali agung, terserang hama untuk lahan pertanian.


Di sisi lain, Murniti menegaskan jika penggunaan Asu Bang Bungkem merupakan tetadahan (makanan) Bhuta Ulu Kuda. Disebut tetadahan karena dalam prakteknya manusia banyak memiliki keterbatasan untuk menciptakan alam yang harmonis, maka dipakailah penggantinya, yakni Asu Bang Bungkem. “Di sini manusia harus mengerti tentang alam, bahwa bukan hanya manusia saja yang menikmati alam ini, melainkan ada makhluk lain, termasuk hewan dan tumbuhan. Kalau alam tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan bencana. Sehingga penggunaan Asu Bang Bungkem sangatlah penting,” ujar Murniti.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Saat ditanya apakah boleh Asu Bang Bungkem diganti dengan hewan lain atau anjing jenis lain? Dengan tegas Murniti mengatakan tidak boleh digantikan. Menurutnya, selama ini berdasarkan pengalaman belum ada masyarakat yang batal melaksanakan caru karena tak mendapatkan Asu Bang Bungkem.

“Makanya, betapa pun sayangnya terhadap Anjing Bang Bungkem, jika sudah layak menjadi caru, maka harus direlakan. Karena kalau dilarang, maka secara tattwa kita melakukan kesalahan besar akibat menghambat anjing tersebut untuk mendapatkan panyupatan atau penyucian dalam meningkatkan kualitas dan tingkatan hidupnya kelak,” tegasnya.

Untuk mencari Asu Bang Bungkem sebagai sarana upakara, sambung Murniti, memang tidak segampang mencari atau menemui anjing pada umumnya. “Namun, apabila dipergunakan untuk sarana upakara, sudah pasti dapat dimanapun tempatnya. Itulah kehebatan Sang Pencipta. Sekali lagi Asu Bang Bungkem ini memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap alam niskala. Oleh karena itulah kita harus melestarikannya, mengingat kebutuhan akan anjing ini begitu besar di Bali,” paparnya.


Dalam upacara pacaruan, yang dipentingkan dari caru Asu Bang Bungkem adalah kepala yang masih melekat dengan kulitnya (belulang). Sedangkan dagingnya diolah menjadi urab barak, urab putih, sate calon sebanyak 33, dirangkai menjadi tiga tanding, berdasarkan Lontar Bhuta Yadnya. Pun demikian, dalam Lontar Bhama Kertih, mantram yang diucapkan saat penggunaan Asu Bang Bungkem adalah “Pakulun sang bhuta ulu kuda saking kidul, pahing panca waran sira, iki asu bang bungkem rinancana, makadi runtutannya, tuak sagoca, Bali salyus, enak sira amangan anginum, ring raga, ring sawah, ring pomahan, tukalen kang sasab, mrana kabeh, om sidhi rastu ya namah swaha.”



(bx/dik/yes/JPR)

Kamus Hindu Bali







Kamus Hindu Bali agar tidak menggunakan dan pinjam istilah orang lain:




Syukur = Angayubagia

Amin = Swaha, sidhirastu

Ikhlas = Tulus, Lascarya

Halal = Suklaà

Haram = Cemer, Leteh, Letuh

Kiamat = Prelaya

Sabar = Ksanti


Berkat, Ridho = Pasuecan, Anugraha



Istilah yang Sering Keliru :

Insyaallah = Om Awighnamastu (Artinya semoga tidak ada halangan)

Alhamdulillah = Astungkara

KEBANYAKAN DARI KITA LATAH MENGUCAPKAN ASTUNGKARA SAJA SEHINGGA PENEMPATANNYA KURANG TEPAT (Mohon diperhatikan perbedaan diatas)*

Bajik = Sukerthi

Ethika = Sesana, Anggah Ungguh

Tidak etis = Dursesana

Dosa = Dosa, Mala, adharma

Hasil perbuatan dosa = mala petaka

Murtad = Tulah

Laknat = Durjana

Khianat = Linyok

Maksiat = Smara dudu

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Almarhum = Sang sampun lina, Sang petala, Suwargi

Khasanah = Wawengkon

Allah SWA = Ida Sang Hyang Widhi Waça

Ibadah = Bhakti, Muspa, Maturan

Amal Ibadah = Kerthi yasa

Jenazah = Layon

Wafat = Seda, Pelatra, Lampus, Kelayu Sekaran


Nikah = Nganten, Wiwaha, Alaki Rabi,

Iman = Sraddha

Taqwa (taat) = Satya, Bhakti,

Ridho = Pasuecan, Waranugraha

Halal bihalal = Sima Krama, Gendu Wirasa, temu wirasa

Sedekah = Punia

Amal jariah = Dana Punia, Dana Paramitha

Ahlak = Budi Pekerti

Jumat, 22 September 2023

NYAMA BAJANG

 


1. Anggapati = Dengen.... Bajang Papah,
2. Prajapati = Kala .... Bajang Colong.
3. Banaspati = Preta.... Bajang Regek,
4. Banaspati Raja = Anta ... Bajang Pusuh,
Biasanya Uperengge ini dipergunakan pada hari upacara - 105 hari tiga bulan) anak bayi yang lazim di Bali disebut: "Nelubulanin" atau "Nigang sasihin ",
BAJANG PAPAH
Sebuah pelepah yang kering diisi lukisan - manusia yang kini di Bali disebut: "Bajang Papah" yang mengandung simbul Saudara dari si bayi
BAJANG REGEK
Sebuah alay yang dibuat dari daun kelapa yang dianyam, diwujudkan sebagai manusia, yang di Bali disebut "Reregek,
BAJANG PUSUH
Gambar manusia yang digambarkan pada jantung pisang. Ini disebut "Bajang Pusuh"
BAJANG COLONG
Seekor ayam yang disebut "Bajang Colong"
Keempat bajang-bajang itu , disebut dengan " Nyama Bajang ", adalah lambang dari ;
Anggapati atau Dengen
Prajapati atau Kala
Banaspati atau Preta
Banaspati Raja atau Anta

Keempatnya adalah perwujudan dari :
Yeh Nyom ( Air Ketuban),
Getih ( Darah ),
Lamas
Ari - Ari
Yang keluar pada waktu si Ibu melahirkan si bayi.
Wusta veruh maninggalin Bape bunta irika mabatan sira
"Sang_Hyang_Panon_Pandeleng "
Wusta kumrah mangiring, irika maharan sira " Sang Hyang Waya wayahan "
Wusta malinggeb mabading, tur manangis, iri ka sira maharan
" Sang Hyang Eta Eto.
Samalih weruh sira keheng-keheng, irika sira maharan
Sang_Hyang_Japamantra.
Mangke ika ta kaweruhakna kandanira RARE , duk mijil saking guwa garban Ibunta, sawatek ta ma gawe gering ring Manusia_Pandanta liwar ring 11 dina, kawenang kene gering sa-pakardin wang Ala, sadurung ika tan kawenang-
Yening sadurung ika, kena gering, ika pangaban RARE, apan ;
I Buyut Kompyang mwang I Wayah,
Sami padan dane Istri_kakung pada ngerejeg ring awak sariranta.
Samalih wus nampi banten pe-ngeroras dinan mijil, irika dane pada mantuk.




BIU KUKUNG

 


weda mengalir dengan indah menyatu dengan peradaban agraris Bali Dwipa sebagai cikal bakal GAMA-BALI GAMA TIRTA. maka dari itu begitu banyak ritus magis digelar pada siklus tanam PARI (padi). semenjak mulai menanam benih, mengolah tanah, menanam WIWIT (bibit padi). paling dinanati dengan penuh kegembiraan adalah ritus BIU KUKUNG, sebagai prosesi meriah dengan upakara yang tergolong banyak dan tampak rumit. ada yang menyebut ritual BIU KUKUNG sebagai GALUNGAN CARIK mengingat kemeriahan prosesi (adanya sanggah cucuk dan penjor), pun sehari sebelumnya disertai prosesi MEBAT, NGELAWAR.dilakukan kurang lebih saat padi berumur 3 bulan, saat padi telah BELING (hamil), bulir padi sudah mulai tumbuh.
Ritus BIU KUKUNG tersurat tersirat dalam begtu banyak sastra bergenre GUNA-TANI, meliputi sastra SRI purana tattwa, DHARMA PAMACUL, PUJA DAHA, tingkahing ASAWAH dll.jika dirunut perkata tampakanya kata BIU BUKAN merujuk kepada PISANG, tetapi kata BIU merupakan perubahan bentuk kata BAYA, bandingkan dengan kalimat BAYA KALA, BAYA KAWONAN yang kerap kali di salah ucap menjadi BIU KALA atau BIU KAWONAN. BAYA atau BHAYA diserap dari bahasa sansekerta menjadi varian bhasa Kawi yang berarti BAHAYA, BENCANA.
kemudian kata KUKUNG disinyalir terbentuk dari kata KUNG, bahasa jawa kuna yang berarti CINTA, bandingkan dengan sebutan TANAKUNG (tanpa CINTA), sebagai salah seorang pujangga besar nusantara.
baiklah sebelum berbicara lebar tentang pemaknaan kata BAYA KUNG, biu kukung, ada beberapa YANTRA penting sebagai tanda khas GALUNGAN CARIK, diantaranya PENJOR-SANGGAH, banten TIPAT, IDAM-IDAMAN (rujak), SEGEHAN (laban), UTIK (api sundih), banten SULANGGI, dll

PENJOR dan SANGGAH kerapkali sebagai yantra penting pada berbagai ritus SUDHA-BHUMI, CARU, GALUNG (perayaan kemenangan). sebisanya saat ma-biu kukung maka sanggah cucuk-penjor diletakan pada kiblat KAJA-KANGIN, bahkan ada yang lebih fanataik dengan mengarahkan ujung lengkung penjor menuju GUNUNG AGUNG. sebagai wujud keyakinan bahwa segala kesuburan berasal dari GUNUNG AGUNG. PENJOR pun dimaknai sebagai wujud nyata mahluk gaib magis berupa SANGHYANG NAGA sebagai simbol PERTIWI-DEWI, bentuk panjang melengkung penjor adalah ibarat liuk tubuh naga. ritus BIU KUKUNG adalah upaya magis religus mengucapkan rasa PARAMASUKSMA kepada BAHAMA-DEWA, Pertiwi, TANAH, GUNUNG AGUNG.
TIPAT adalah ragam bentuk pengolahan beras asli nusantara, yang dicurigai telah ada jauh sebelum kejayaan MAJAPAHIT. konon dahulu kala saking KUNG (cintanya) Bhatara Guru kepada manusia ciptaannya maka diberilah tumbuhan PADI yang yang berbuah TIPAT, jadi manusia sungguh dimudahkan, tanpa perlu ribet mengolah beras menjadi nasi ataupun makanan lainnya. tetapi hadiah ini justru membuat manusia semakin malas untuk berusaha, bekerja, karena semua telah sedemikian mudah. TIPAT pada ritus BAYA KUNG berupaya mengingatkan betapa para dewa sedemikian KUNG (cinta) kepada manusia, sekaligus mengingatkan bahwa manusia harus mengolah sawah, mengolah beras hingga menjadi AMERTA SANJIWANI, amerta Kahuripan sebagai sumber HIDUP.
NGUAK, MAGOAK-GOAKAN, adalah juga sangat melegenda bagi penerus tradisi agraris Bali, terutama anak anak, dilakukan secara bergerombol NYURUD mengambil berbagai persembahan banten BAYA KUKUNG, untuk dimakan sambil manari menirukan suara burung GOAK (gagak). ini menjadi sebuah kenikmatan tak terlupakan masa kanak-kanak. tidak ada larangan dari pemilik sawah yang persembahannya disantap oleh sekumpulan Goak nakal, bahakan diyakini jika banten BAYA kung tidak diambil oleh para goak, maka panennya akan merosot, bahkan gagal panen
GOAK (gagak) adalah sebagai bentuk mahluk magis raja dari para burung yang kerapkali menjadi sumber MERANA (wabah). sastra Sri-purana menggambarkan mahluk ini sedemikian magis menyeramkan, bermata merah bertubuh raksasa. memiliki ribuan ancangan berupa segalam macam BREGALA, MERANA. sebutan lain dari mahluk ini adalah GAGAK SONA, PAKSI RAJA. inilah prosesi terpenting dari upacara BIU KUKUNG yaitu mengusir segala macam BHAYA (biu) yang mengancam tumbuh kembang PADI.
Ong HRNG HRING SAH AGRA GIRI DIPATHAYA NAMAH

Senin, 18 September 2023

Banten Pejati

 


Pejati untuk mohon dipersaksikan, mengesahkan dan meresmikan suatu upacara yang telah diselenggarakan secara lahir bathin, agar mendapatkan keselamatan.
Banten pejati juga dihaturkan ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat suci.
Sesayut pejati dipandang sebagai banten yang utama, maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja .
Banten Pejati/ "Banten Peras Daksina" dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu:
-Daksina kepada Sanghyang Brahma
-Peras kepada Sanghyang Isvara
-Ketupat kelanan kepada Sanghyang Wisnu
-Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva
Selain sastra Weda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Weda dan bahasa Mona itu adalah banten.
Lontar Yajña PrakrtI
“Sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka dan bhuana”
Artinya :
Semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).
Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan:
“Mapiteges pakahyunan Banten, nga; pakahyunane sane jangkep galang ”Artinya
: Banten itu adalah buah pemikiran yaitu pemikiran yang lengkap dan bersih.

BANTEN PEJATI
Pejati berasal dari bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa-“. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang berada makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh.
UNSUR DAN MAKNA FILOSOFI
Daksina
Banten Peras,
Banten Ajuman Rayunan / Sodaan
Ketupat Kelanan
Penyeneng / Tehenan / Pabuat
Pesucian
Segehan alit
Sarana yang Lain
Daun / Plawa; lambang kesejukan.
Bunga; lambang cetusan perasaan
Bija; lambang benih-benih kesucian.
Udara; lambang pawitra, amertha
Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.
Daksina mengurung:
bakul / serembeng, simbol arda candra
kelapa dengan sambuk maperucut, simbol brahma dan nada
bedogan, simbol swastika
kojong pesel-peselan, simbol ardanareswari
kojong gegantusan, simbul akasa / pertiwi
telur bebek simbol windu dan satyam
tampelan, simbol trimurti
irisan pisang, simbol dharma
irisan tebu, simbol smara-ratih
benang putih, simbol siwa
Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa termasuk kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan menyelimuti manusia..
#DAKSINA terdiri dari serobong dimasukkan tapak dara beras, dan kelapa yg sudah dihilangkan sabutnya, lalu diatas kelapa diisi 7 kojong yg terbuat dari janur / slepan, yg masing-2 kojong diisi telor itik, base tampelan , irisan pisang tebu, tingkih, pangi, gegantusan, pesel-peselan lalu di isi benang putih dan terakhir letakkan canang burat wangi di atasnya.
#PERAS: memakai alas taledan lalu di isi diisi kulit peras yang diisi beras + benang + base tampelan, lalu di atas kulit peras akomodasi 2 buah tumpeng nasi putih, raka-raka (jaja dan buah-buahan), ditambah kojong rangkadan yang terbuat dari janur / slepan yang berisi kacang saur, gerang / terong goreng, garam, bawang goreng, timun, lalu di isi canang dan sampiyan peras.
SODAAN / AJUMAN RAYUNAN: memakai tamas dari janur / slepan yang diisi 2 buah nasi penek, raka-raka secukupnya, ditambah dengan dua buah clemik yang berisi rerasmen seperti kacang saur, teri, gerang dan lain-lain. Lalu di isi canang dan sampiyan Plaus / sampiyan Soda.
TIPAT KELAN: memakai tamas sama seperti Sodaan, cuma di dalamnya diisi ketupat nasi sebanyak 6 biji, lalu dilengkapi dengan 2 buah clemik yang berisi rerasmen. Di isi dapat diisi dan sampiyan Plaus / Soda. Utk melengkapi Pejati perlu juga dibuatkan Pesucian yang terbuat dari ceper bungkulan yang di dalamnya dijahitkan 5 buah clemik, yang masing-masing berisi boreh miik, irisan pandan wangi yang kaya minyak rambut, irisan daun bunga sepatu, sekeping begina metunu, seiris buah jeruk nipis dan 1 buah takir untuk tirta, reringgitan suwah serit dan base tampel. Untuk memberi informasi juga perlu dibuatkan segehan putih kuning dua tanding bila pejati untuk dibawa ke Pura / Tempat suci.
Untuk melengkapi banten Pejati juga perlu dibuatkan Penyeneng yang dibuat dari 3 potong janur lalu kita rupa sehingga rupa sehingga tiga bentuk kojong yang disatukan dan berdiri tegak, di mana masing-masing kojong diisi dengan beras, tepung tawar (beras + daun dapdap + kunir ditumbuk ) dan irisan bunga cepaka dan jepun patok boreh miik, jagan lupa diisi benang putih.
Lontar Tegesing Sarwa Banten;
Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; waras kakalih sampun masikian “.
Artinya :
Kacang-kacangan penyebab perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu.
“Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos waras becik rinengo ”.
Artinya:
Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
Mengenai buah-buahan:
“Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; waras tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan “.
Artinya :
Segala jenis buah-buahan merupakan hasil dari perbuatan, yaitu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), perasaan yang menyebabkan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.
Mengenai Kue / Jajan:
“Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan “.
Artinya :
Gina adalah lambang alarm, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka (ayah-ibu), Dodol is lambang pikiran menjadi setia, wajik is lambang belajar sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang benar-benar- Dan tidak .
Mengenai bahan porosan:
“Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih “.
Artinya:Sirih dan pinang itu lambang dari yang kesejahteraan / kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan.
TBB


Lontar Dharma Pawayangan, Benteng Dalang Lawan Aji Ugig

 






Jro Dalang Gusti Made Aryana alias Dalang Sembroli (Dian Suryantini/Bali Express)





SINGARAJA, BALI EXPRESS-Menjadi seorang dalang atau orang yang memainkan wayang tidaklah mudah. Selain harus mengetahui beberapa cerita pawayangan, seorang dalang juga harus mengetahui aturan yang tersirat dalam Lontar Dharma Pawayangan.


Seorang dalang mesti mengetahui beberapa isi dari Lontar Dharma Pawayangan sebagai pedomannya. Ada beberapa peraturan yang harus dilakoni mereka yang menekuni dunia perdalangan.



Lontar Dharma Pawayangan merupakan naskah yang berkaitan dengan dunia seni wayang dan kewajiban seorang dalang.


Pada pasal 01 Dharma Pawayangan disebutkan tentang profesi seorang dalang dengan sebuah Kayon untuk menceritakan pada seluruh dunia untuk semua kehidupan yang terdapat dalam alam semesta.

Dalam pasal tersebut berbunyi : "Sang Amengku Dalang mawak gumi, mawak bhuta, mawak dewa, dalang ngarania waneh, karana dadi Siwa, karana dadi Paramasiwa, karana dadi Sadasiwa, karana dadi Sang Hyang Acintya, mapan Sang Hyang Acintya panunggalaning bhuana kabeh, wenang umilihaken lungguhnia. Wenang sira uncarakena carita, wenang uncarakena kataning aksara, wenang uncarakena japa muang mantra. Samangkana ngaran dalang".

Arti dari kutipan lontar tersebut yakni orang yang berprofesi sebagai dalang merupakan simbol bumi, simbol bhuta/makhluk halus, simbol dewa yang berhak menjalankan tugas-tugas Hyang Siwa, Paramasiwa, Sang Hyang Acintya, karena Acintya simbol panunggalaning bumi semua, dapat menentukan kedudukannya berhak menyebarluaskan cerita, berhak mengucapkan Veda atau mantra.

Sedangkan dalam Pasal 02 dari Dharma Pawayangan itu, menyebutkan tentang ajaran-ajaran atau kewajiban yang telah digariskan oleh Sang Hyang Catur Loka Pala yang bertujuan memotivasi umat.

Kutipan teksnya berbunyi : "Iti aji Dharma Pawayangan, ngawenang sumuliha ring ganal alit, mwah ring bhuana agung. Yan sira mahyun sudi ring putusaning ngawayang, palania tan langgana rijengira Sanghyang Catur Lokapala.

Apan sira umindahaken suci nirmala tatwa, weruh ri adoh aparek, ring satwa adnyana, terus malunga ring tri bhuana sangkania ana sor luhur, madia utama, pati berate, sabda bayu, ideping ala".

"Wenang pwa sira Sanghyang Catur Lokapala, umideraken satsatnira Sanghyang Kawicarita, sira ta ngaran dadi dalang-dalang. Sangkanyaana dalang patpat : yuwaktinia, Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa yan ring bhuana agung, Iswara akasa, Mahadewa sitidrani, Sanghyang Wisnu rupaning bhuana, Brahma tejaning bhuana, sangkania dadi urip, dadi pati, dadi sabda, dadi bayu”.

Artinya ini adalah ilmu tentang Dharma Pawayangan, yang wajib diterapkan dalam alam kecil dan alam besar. Bagi yang mau dan senang dengan keputusan melaksanakan tugas pewayangan, agar tidak dikutuk oleh Sanghyang Catur Lokapala, karena akan membicarakan kesucian tattwa, tahu dengan yang jauh dan yang dekat, tahu dengan bilangan yang ada dalam badan dan yang ada di tiga dunia.

Oleh karena itu ada bawah ada atas, menengah utama, taat dan patuh, suara tenaga, pikiran jelek, sehingga pantaslah Sanghyang Lokapala mengelilingi dan menempatkan Sang Kawicarita, dialah namanya menjadi dalang.

Dengan mengetahui ketentuan, panduan dan aturan yang telah tersurat dalam Dharma Pawayangan yang merupakan kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seorang dalang. Maka mereka yang disebut sebagai dalang sejatinya memangku tugas yang berat.

“Dikatakan memangku tugas yang cukup berat, karena dengan kondisi yang sekarang sudah tentu tantangan dan hambatan sangat kompleks dan menuntut sebuah kesadaran untuk mampu memahami serta melaksanakan apa yang mesti dilakukan oleh seorang dalang,” tutur Jro Dalang Gusti Made Aryana.

Dalam lontar itu juga diatur mantra-mantra yang harus diketahui oleh seorang dalang. Mulai dari baru berangkat dari rumah hingga selesai menunaikan tugas ngawayang di rumah si empunya acara.

“Dalam lontar itu, mantranya dibagi menjadi tiga bagian. Yakni mantra yang dilafalkan sebelum pertunjukan, mantra saat pertunjukkan, dan mantra seusai pertunjukan. Ada banyak sekali mantranya itu, dan itu harus diikuti prosesnya,” tambah dalang yang kerap disapa Dalang Sembroli ini.

Dalang Sembroli yang khas dengan rambut keritingnya itu pun membeberkan mantra-mantra yang digunakan yang terdapat dalam Lontar Dharma Pawayangan. Ia memaparkan satu per satu dari mantra sebelum pertunjukkan.

Mantra-mantra sebelum pertunjukan adalah mantra yang digunakan dalang mulai berangkat dari rumah sampai tiba di tempat pertunjukan.

1. Om Ang Lingga Boktra Prayojana Suda Ya Namah Swaha (napas deras hidung kanan = Brahma mangwayang). Mantra ini digunakan saat dalang tiba di pintu masuk tempat ngawayang. Sang dalang berdiri sejenak dan mengheningkan cipta, merasakan napasnya lebih deras pada hidung kanan, hal ini diyakini oleh para dalang bahwa Hyang Brahma memberikan restu. Secara Teologi mantra ini diperuntukan untuk memuja Dewa Brahma 'Ang' = Bhrahma.

2. Om Ung Lingga Boktra Prayojana Suda ya Namah Swaha (napas deras hidung kiri = Wisnu mangwayang). Jika setelah mengheningkan cipta di depan pintu gerbang dan merasakan napas lebih deras ada hidung kiri secara teologi diyakini Dewa Wisnu telah memberikan restu pada jro mangku dalang Ung = Wisnu.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

3. Om Mang Lingga Boktra Prayojana Suda Ya Namah Swaha (napas kedua lobang hidung sama derasnya = Iswara mangwayang). Bila dirasakan kedua hidung sama deras napasnya berarti secara teologi Dewa Siwa telah merestui pertunjukannya, Mang = Siwa.

4. Dalam perjalanan : “Om Kamajaya tatkalaning lumaku jaya sidi ya namah swaha”. Mantra ini ditujukan untuk memuja Sang Hyang Kamajaya agar dalam perjalan menuju tempat pertunjukan mendapatkan keselamatan dan kejayaan.

5. Setelah sampai di tempat pertunjukan : “Om Kamajaya wus prapta ngeka kesaktian ya namah swaha”. Secara teologi mantra ini ditujukan untuk memuja Sang Hyang Kamajaya untuk mendapatkan kekuatan atau kesaktian lahir dan batin pada saat mendalang.

6. Duduk : “Om Ang, Ung, Mang, Ang Ah, Ang Ah, Ang Ah”. Mantra tersebut untuk memuja Sang Hyang Tri Murti yaitu Brahma,Wisnu dan Siwa.

7. Makan : “Om mahamerta ingsun amukti sarining suci nirmala, urip langgeng wisya punah wisya punah wisya punah”. Jadi, mantra ini memuja Sang Hyang Amerta. Pada saat jro mangku dalang makan, agar terhindar dari segala gangguan Aji Ugig, bahaya dan menghilangkan segala racun, dan menjadikan semua makanan menjadi amerta.

Demikian mantra-mantra yang digunakan sebelum ngawayang. Selanjutnya ada pula mantra-mantra yang digunakan saat pertunjukan. Setelah selesai mendapat boga atau prasmanan, dalang mulai bersiap menuju tempatnya ngawayang.

Duduk di belakang kelir tepat di bawah lampu blencong. Mantra-mantra ini adalah mantra-mantra yang biasa dipakai secara umum, kendatipun ada pula beberapa dalang yang tidak menggunakannya. Adapaun susunan mantra-mantra yang telah dirangkum dan di struktur sebagai berikut:

1. Duduk di bawah lampu blencong atau dibelakang kelir : “Utpti (lahir): “Sa, Ba, Ta A, I, Na, Ma, Si, Wa, ya, Am Um Mam. “Stiti (hidup) : I, A, Ta, Ba, Si, Ya, Wa, Si Ma, Na, Um Am Mam. Pralina (mati) : A, Ta, Sa, Ba, I, Si, Wa, Ma, Na, Ya, Mam Um Am. Mantra ini diucapkan agar dalang mendapatkan kekuatan dari para dewa dalam wujud Sang Hyang Dasaksara sebagai kekuatan utpati, stiti, prelina (lahir, hidup dan mati).

2. Mantra Lampu Blencong: “Ang, Ang, Ang Bang Agni astra murub kadi kala mertyu anyapuh awu, durga lidek teka geseng, aku Sangh Hyang Cintya gni, amlabar gni sejagat, buta, leak desti satrunku teka geseng”. Mantra ini untuk memuja Sang Hyang Agni agar memberikan kekuatan kepada nyala api blencong, serta memusnahkan segala ancaman (Aji Ugig) yang ingin mencelakakan sang dalang.

Selain itu, dilihat dari kaca mata batin, mantra ini adalah mencerminkan kekuatan dalam sang dalang sebagai api batin. Lebih jauh lagi, agar dalang selalu mempunyai semangat yang berkobar-kobar dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang dalang.

3. Ngundang Taksu : “Ih..taksu ngidep buwana kena, sang hyang manik terus manik astagina, sang taksu dibya, atinku Surya Candra anyunari sebuana, ala ayu katon ring idep, teka jati ening, teka dudupan, teka dudupan, teka dudupan”. Mantra ini diucapkan untuk mengundang Sang Hyang Taksu, agar pertunjukan dapat memukau penonton lewat tuntunan dan tontonannya.

Lebih spesifik lagi, agar segala yang akan diucapkan atau dilakukan dalang, semuanya terang bendrang, jelas seperti siang disinari matahari, dan gelap seperti disinari bulan. Dengan demikian segala yang disampaikan menjadi terang bendrang tanpa halangan yang berarti.

4. Pangraksa Jiwa: “Pakulun Sanghyang Panca Pandawa umor ring akasa, Nakula Sahadewa ring cakepan kalih, Arjuna ring lontar, Darmawangsa ring sastra, Bima ring kelatning lontar, urip apageh lila ning wigna paramasakti ya namah swaha, Om Am Mam Um Om”.

Mantra ini diucapkan untuk memuja Sang Hyang Trimurti, Sang Hyang Sastra dan memuja kekuatan Panca Pandawa agar memberikan perlindungan kepada jiwa sang dalang.

5. Pangasih. Sarana base : “Pakulun Sanghyang Tunggal amasang guna kasmaran, bhuta leak sih, jatma manusa sih, dewa betara sih, Ong Ang antara pantara sarwa sih manembaha lila suksma ya namah swaha”.

Mantra ini untuk memuja Sang Hyang Tunggal dalam sifatnya memberikan cinta kasih, agar semua makhluk baik yang nyata maupun astral, bisa kasih kepada dalang. Dengan demikian dalang merasakan mendapat dukungan batin dan ketenangan dalam menunaikan kewajibannya.

6. Pangeger : “Pakulun Sanghyang Tiga Wisesa amasang guna pengeger, wong lanang, wadon geger, kedi geger, apupul ring arepku awijah lulut angrungu ingsun, pawak ingsun Sanghyang Semara, waneh sira andulu sanghyang samara waneh sira andulu ingsun, teka olas den pada asih, isep, isep, isepan gung mang raja karya murti saktyem patastra ya namah swaha”.

Mantra ini untuk memuja Sang Hyang Tiga Wisesa untuk memohon kekuatan taksu untuk menarik penonton sebanyak-banyaknya berkumpul menyaksikan pertunjukannya. Keinginan penonton seperti kena panah asmara, sehingga tidak merasa bosan menikmati sajian sang dalang.

7. Pangalup : “Ingsun angidep aken Sanghyang Guru rekan kama tantra, swaranku manik astagina andawut atma juwitane wong kabeh, asih welas mulih ring ati, edan ulangun mulih ring nyali, oneng lulut mulih ring papusuh, sing teka pada rna, sing tka pada rna, sing tka pada rna.”


Mantra ini hampir sama fungsinya dengan pangeger, namun pada mantra ini lebih dikhususkan untuk memohon kekuatan retorika (dialog, monolog) dan vokal atau tembang atau 'tandak' agar mampu menarik hati nurani serta menyenangkan pendengarnya.

Hal ini dilakukan karena dalang sering melakukan monolog dan dialog secara spontan sesuai dengan kemampuan kreativitasnya. Oleh sebab itu, yang dipuja pada mantra ini adalah Sang Hyang Guru Reka, yaitu Tuhan dalam kekuatannya menciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat.

8. Nebah Gedog (membuka tutup kotak/kropak wayang dengan memukul tutup gedog 3x): “Atangi Sanghyang Samerana angringgit amolah cara”.

Catatan: tutup gedog diletakkan di sebelah kanan dalang, dengan posisi tutup gedog yang lebar mengarah ke depan. Mantra ini diucapkan untuk memohon restu kepada Sang Hyang Catur Dalang (dalang Samerana, dalang Anteban, dalang Jaruman, dalang Sampurna). Namun dalam mantra ini hanya diwakili oleh dalang Samerana sebagai dalang yang tertua.

9. Nebah kain kasa penutup wayang. “Om Brahma munggah dewa urip jeng”. Mantra ini diucapkan untuk memuja dewa Bhrahma agar memberikan kekuatan hidup kepada semua wayang sehingga lakon yang disajikan dapat memberikan tuntunan dan tontonan hidup dan kehidupan nyata. Wayang yang diambil pertama kali setelah membuka kain kasa oleh dalang adalah wayang pemurtian dan ditancapkan di sisi kanan dan kiri kelir.

10. Nyolahang Kayonan: “Ong Sambu mulih ring Wisnu, Sangkara mulih ring Mahadewa, Ludra mulih ring Brahma, Maheswara mulih ring Iswara, Iswara mulih ring Kayonan, Kayonan mulih ring Ati”. Mantra ini untuk memuja Dewata Nawa Sanga, dimana pengucapannya melingkar ke arah kiri (utara yana) mulai dari ersanya/dewa Sambu.

Mantra ini diucapkan sebelum dalang menarikan wayang kayonan. Setelah selesai mengucapkan mantra ini, barulah dalang menarikan kayonannya.

Selama dalang tersebut ngewayang, dalang tidak boleh minum terlalu banyak. Sekali minum hanya diperbolehkan tiga teguk saja. Begitupun dengan posisi duduk dalang yang sama sekali tidak boleh bergeser.

“Dalang tidak boleh kebanyakan minum. Setiap kali ingin minum hanya tiga teguk saja. Kalau kebanyakan, pas ditengah-tengah ngewayang ingin buang air kecil kan tidak bisa. Karena dalang tidak boleh turun panggung. Bergeser saja tidak boleh, apalagi turun,” tegasnya sambil tertawa.

Runtutan Mantra yang terakhir adalah mantra sesudah pertunjukan. Setelah Pertunjukan selesai biasanya dalang menghaturkan beberapa sesaji sesuai dengan desa kala patra desa setempat, atau melakukan ritual sesaji khusus jikalau berkaitan dengan wayang sapuleger dengan sesaji tadah Kalanya.

Namun yang paling utama adalah saat dalang membuat tirta Sudamala atau Sapuleger yang sering disebut dengan 'tirtan wayang'. Salah satu model mantra yang digunakan oleh dalang adalah saat membuat tirta dan mantra saat melakukan panglukatan.

Namun, sebelum dalang membuat tirta dan menghaturkan sesaji, terlebih dulu dalang melakukan ritual kecil dengan beberapa mantra, sepeti halnya seorang pinandita dalam 'muput' sebuah upacara.

Adapun ritual tersebut adalah pranayama (mengatur pernapasan), penyucian angga sarira, penyucian sarira, pangening kayun, dilanjutkan dengan Gayatri Mantram.

Setelah itu, dalang melanjutkan menghaturkan sesaji yang telah disediakan yang didahului dengan ngalukat semua banten seperti pejati, peras, penyeneng, daksina alit/agung, suci, pengambean, prayascita, segehan dan sebagainya.

Kemudian dilanjutkan dengan membuat tirta, dan ngalukat orang yang diupacarai jika diperlukan, seperti dalam Sapuleger.

Adapun mantra dalam pembuatan tirta yang dilakukan usai pertunjukkan wayang. Mantra ini ditujukan untuk tirta Panglukatan Panca Dewa.



(bx/dhi/rin/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2021/01/13/235162/lontar-dharma-pawayangan-benteng-dalang-lawan-aji-ugig