Selasa, 16 Januari 2024

Pura Campuhan Windhu Segara

 


BALI EXPRESS, DENPASAR – Pura Campuhan Windhu Segara, salah satu pura unik yang ada di Denpasar. Kawasan suci yang berlokasi di pinggir Pantai Padang Galak, Sanur ini, merupakan perpaduan dari beragam kultur dan aliran kepercayaan yang menyatu dalam satu tempat persembahyangan. Kenapa belakangan begitu mencuat namanya?

Pura Campuhan Windhu Segara diyakini sebagai tempat bagus untuk Malukat (membersihkan fisik dan nonfisik) dan memohon rezeki. Tak hanya pada hari tertentu, bahkan hampir setiap hari tempat ini penuh dipadati pamedek yang ingin sembahyang dan Malukat. Walaupun keberadaan pura ini tergolong cukup baru ( mulai dibangun 7 Juli 2005), namun tempat Malukat ini cepat dikenal. Mengapa begitu populer? Pemangku sekaligus pendiri pura, Jro Mangku Gede Alit Adnyana memaparkan, pura ini memadukan berbagai kultur aliran, seperti siwa dengan linggamnya, ada juga patirtaan Dewi Subadra dan palinggihan Dewi Nyai Roro Kidul.

“Mungkin karena menjadi perpaduan dari beragam aliran dan budaya itu, yang membuat banyak masyarakat yang tertarik,” papar Jro Mangku Adnyana kepada Bali Express ( Jawa Pos Group), pekan kemarin.

Pura Campuhan ini terletak di tepi Pantai Padang Galak, karena campuhan sendiri berarti campuran. Campuran yang dimaksud adalah campuran atau pertemuan antara air laut dan sungai. Begitu juga dengan Pura Campuhan Windhu Segara yang lokasinya ada di pinggir pertemuan antara air laut Padang Galak dan air tawar yang mengalir dari aliran Sungai Ayung yang populer dengan atraksi rafting atau arung jeram.

Dikatakannya, pura ini berawal dari kisah dari seorang pemangku yang bernama Jro Mangku Gede Alit Adnyana, yang sempat menderita panyakit gagal ginjal. Upaya untuk berobat sudah dilakukan ke berbagai daerah, dan telah dilakukan dengan beragam cara. Namun, sakitnya tak kunjung sembuh, bahkan sempat putus asa dan pasrah.

Pemangku yang memiliki nama lain sebagai Mahaguru Hatria Narayanam ini, mengatakan,
pembangunan pura ini terjadi secara tidak sengaja, berawal saat ia mengalami putus asa akan kehidupannya.

Suatu ketika, Jro Mangku Adnyana menemukan sebatang kayu di pinggir Pantai Padang Galak, dan anehnya kayu tersebut mengeluarkan asap. Ia berkeyakinan api tersebut pertanda akan kebesaran Tuhan.

Setelah kejadian itu, ia juga mendapat pewisik (petunjuk gaib) untuk membangun parahyangan Ida Bhatara di tempat kayu tersebut ditemukan. “Saya berusaha untuk menyanggupi dan ajaibnya penyakit saya sembuh,” paparnya. Tempat ditemukan kayu tersebut kini digunakan sebagai tegak (tempat) mendirikan palinggih.

Setelah melalui perjuangan panjang, pada 7 Juli 2005 Pura Campuhan Windhu Segara akhirnya mulai dibangun. Dukungan dari berbagai pihak mengalir. Tidak hanya dari umat Hindu saja yang berpartisipasi, umat agama lain, seperti umat Islam, Budha dan Kristen turut memberikan sumbangan, sebagai wujud tolerenasi beragama .

“Nah di situ letak keunikannya. Selain pencampuran antara air laut dan air sungai, dan juga perpaduan kultur, di sini juga bebas dalam perpaduan keyakinan. Siapa saja boleh datang untuk malukat dan sembahyang. Yang penting mereka percaya. Siapapun di terima, tanpa harus membawa banten apa pun,” ujarnya.

Memang benar, tak hanya masyarakat lokal Bali yang memadati pura tersebut, masyarakat luar daerah serta tamu mancanegara pun datang untuk Malukat serta sembahyang.

Hal senada dipaparkan Rusmini, warga Klaten, Jawa Tengah ini datang untuk nyekar di Palinggih Nyai Roro Kidul yang terdapat di Pura Campuhan Windhu Segara.

Pura Campuhan Windhu Segara ini akhirnya dibuatkan prasasti, berisi tanggal berdiri pura, 7 Juli 2005 oleh Mahaguru Altreya Narayana yang sekaligus sebagai pangawit. Dan, selanjutnya diresmikan 9 September 2016 oleh Gubernur Bali I Made Mangku Pastika dan diketahui juga oleh Ida Dalem Semaraputra sebagai wakil dari Puri Klungkung. Adapun palinggih yang ada di kawasan Pura Campuhan Windhu Segara adalah Palinggih Betara Wisnu, Padmasana, Rambut Sedana, Kanjeng Ratu, Dewi Kwam In, Pusering Jagat, Panglukatan, Ratu Bagus Padang Galak, Ratu Manik Segara, Ratu Gede Dalem Ped, Siwa Budha, Taksu Agung, Hyang Baruna, Tajuk Kiwa dan Tengen.


Selain pujawali ataupun piodalan di Pura Campuhan Windhu Segara, dilakukan juga beberapa upacara unik seperti masakapan pasih untuk merayakan pertemuan antara air laut dan air sungai. Selain itu, juga ada upacara matatah, seperti halnya upacara yang dilakukan kepada manusia.

“Sebenarnya tirta panglukatan di sini fungsinya sebagai tirta pangleburan mala. Biasanya buang sial, kekotoran dalam diri. Namun itu kembali lagi ke pribadi, ” urai Mahaguru yang seempat diciduk polisi hutan ketika melaksanakan tapa brata di hutan Buleleng, beberapa bulan lalu.

Dia mencontohkan, ada yang datang untuk nunas di Patirtan Dewi Badra , biasanya untuk mereka yang berjualan. Nah ada juga yang ingin memohon kesehatan. Banyak juga yang memohon jodoh, diberkati anak dan rezeki. Ingin Malukat?

Ada beberapa sarana yang diperlukan saat bersembahyang dan Malukat di Pura Campuhan Windhu Segara, pertama adalah banten pajati. Minimal satu buah pajati untuk di tempat panglukatan Ida Bhatara Wisnu dan satu buah bungkak (kelapa gading). Kalau membawa pajati lebih dari satu, bisa dihaturkan di tempat Malukat berikutnya, yaitu di Pura Beji dan Penataran Utama Pura.

Kelapa gading biasanya sudah dijual di lokasi dan sudah dibuka (kasturi). Namun, agar lebih aman karena bisa saja kehabisan, bungkak nyuh gading sebaiknya dibawa dari rumah dan siapkan pisau untuk membukanya.

Urutan Malukat di Pura Campuhan Windhu Segara

1. Panglukatan di tempat pemujaan Ida Sang Hyang Wisnu dengan sarana pajati dan nyuh gading. Pamedek akan dilukat (diruwat) oleh Jro Mangku dengan guyuran air suci, kemudian dilanjutkan malukat dengan bungkak kelapa (nyuh) gading.

2. Panglukatan berikutnya di Pantai Padang Galak, tepatnya di lokasi Campuhan atau tempat bertemunya air laut dengan air sungai.

3. Panglukatan di Pura Beji. Di pura ini ada tiga tahap penglukatan, yaitu di Tirta Darmada, Tirta Dewi Gangga, dan Tirta Linggam. Setelah selesai Malukat, pamedek melakukan persembahyangan di natar (halaman) Pura Beji.

Setelah proses Malukat di Pura Beji dan melakukan persembahyangan di natar Pura Beji, pamedek bisa ganti pakaian memakai pakaian kering atau tetap bisa memakai pakaian basah tersebut, untuk melanjutkan persembahyangan di natar utama Pura Campuhan Windhu Segara. Setelah selesai melakukan persembahyangan di Palinggih Utama Pura Campuhan Windhu Segara, selanjutnya melakukan persembahyangan di Palinggih Kanjeng Ratu di sebelah selatan (kanan) palinggih utama.

(bx/tya/yes/JPR) –sumber

Topeng Sidhakarya

  




Om Swastiastu. Saya berbagi pengalaman sedikit. jika dihitung, saya sudah menarikan sidhakarya sejak saya duduk dibangku kuliah, hingga sekarang. Menjadi Pregina Topeng Siddhakarya itu, tidak cukup paham dan mengerti Agem, tandang, tangkep, Takeh, Olah vokal, Babad, Wirama, Wirasa, miwah Wiraga. Dimana patut nanjek, ngalih angsel dan sebagainya. Tapi juga wajib Mawinten. Tarian ini sakral, dan bukan kesenian profan. Topeng Sidhakarya menyempurnakan yajna (Siddha) sehingga berhasil baik.




Maka dipentaskan juga tidak sembarangan. Urutannya begini, ketika Ida Sulinggih sampun munggah ring pawedan, barulah Topeng dan Wayang Lemah mulai. Tidak dibenarkan mendahului sulinggih, dan Ketika sudah "ngayab", maka sebaiknya Siddhakarya juga nganteb banten sinarengan. Bukan sebaliknya. Setelah Ida Sulinggih wusan ngayab, wusan masegeh, topeng masih bebondresan. Ini agak kurang pas. Sebab Ida Sulinggih adalah representasi akasa, dan Sidhakarya adalah representasi Bumi. Maka topeng ini tarian sakral. Nah, kalau urutan pementasannya begini.
1. Panglembar Keras
2. Panglembar Tua
3. Panglembar monyer (situasi)
4. Pensara dan Wijil
5. Dalem Harsawijaya
6. Tokoh Dukuh atau Pedanda
7. Bondres
8. Siddhakarya. Puput.
.... Adnyana

SARANA UPACARA BHUTA YADNYA.

 




Pada pelaksanaan Upacara Bhuta Yadnya juga mempergunakan Uparengga sebagai pelengkap upacaranya...

1. SANGGAH CUCUK
Sanggah Cucuk di buat dari bambu , di buat anyaman dgn dasar memiliki lima buah lubang dan memiliki bentuk segi empat sama sisi sebagai dasarnya, sedangkan atapnya berbentuk segi tiga serta memiliki dua penampang pada kiri dan kanannya.
Sanggah Cucuk ini memiliki satu tangkai sebagai penyangganya, biasanya di pergunakan pada waktu pelaksanaan Upacara Pecaruan.
KENAPA DI SEBUT SANGGAH CUCUK ...
Kata Cucuk berasal dari kata, "CUTA", agar memiliki suatu pengertian serta dapat di jadikan Budaya maka, kata CUTA menjadi kata "CUNTAKA", yg dapat di berikan arti, "MALA".
(Kamus Kawi Bali).
Cucuk juga berarti dicucuk atau di tumpu dgn Satu tiang/penyangga.
Melihat dari bentuk Sanggah Cucuk yg berbentuk segitiga, mengandung Nyasa "TRI MALA PAKSA", yaitu : kayika Mala paksa, Wacika Mala paksa, dan Manacika mala paksa.
Adanya Tri Mala paksa adalah akibat dari mamurtinya Bhuta yg di sebut Bhuta Bucari, kala mamurti di sebut kala Bucari, dan pemurtian Dhurganya di sebut , Dhurga Bucari.
Oleh karena itu pemurtian tersebut di simbulkan dgn sikap "MASUKU TUNGGAL", sehingga Sanggah Cucuk memakai satu tiang penyangga.



2. PENIMPUG
Uparengga Penimpug , di buat dari tiga batang bambu yg masih mengandung ruas sebanyak tiga batang, dan penimpug ini di pergunakan setiap ada upacara keagamaan bagi pemeluk agama Hindu .
Satu rangkaian penimpug ini terdiri dari tiga batang bambu yg masih ruasnya, dan perhitungan tiga ini sebagai simbul suci "TRI BHUANA", baik untuk di Bhuana agung maupun di Bhuana alit.
Bagi Bhuana agung Tri Bhuana adalah , Bhur Loka, Bhuwah Loka, dan Swah Loka, sedangkan di Bhuana alit adalah Bayu, Sabda dan Idep .
Mengenai makna dan fungsi penimpug adalah untuk menetralisir kekuatan kala Bhucari yg bersemayam pada Bhur loka atau Sabda, Bhuta Bhucari yg bersemayam pada Bwah loka atau Bayu, dan Dhurga Bhucari yg bersemayam pada Swah loka atau Idep, agar menjadi kala Hita , Bhuta Hita dan Dhurga Hita, sehingga keseimbangan , keselarasan dan keserasian Bhuana alit terhadap Bhuana Agung tetap dapat di lestarikan .

3. PRAKPAK/orob2
Prakpak ini terbuat dari daun kelapa yg sudah kering di ikat seperlunya, dan di pergunakan pada waktu pelaksanaan Upacara pemarlina Caru dgn cara mengelilingi pekarangan rumah atau pemrajan ke arah kiri dlm keadaan prakpak telah berisi api .
Mengenai makna dari prakpak ini adalah sebagai simbul suci dari kekuatan ," TEJA", serta memiliki fungsi sebagai penyomia , untuk mengembalikan kekuatan panca Maha Bhuta yg berasal dari unsur Teja .
Pengleburan dgn api dan asapnya..

4. KULKUL
Kulkul ini di buat dari batang bambu adalah sebagai simbul kekuatan Panca Maha Bhuta yg berasal dari unsur Akasa.beda dgn kulkul dr kayu..
Kulkul Dr bambu juga bermakna sebagai simbolis mengundang/membangunkan butabhuti untuk datang.

5. TULUD/LAMPIT/TENGALA
Tulud ini di buat dari bambu atau kayu adalah sebagai simbul suci dari kekuatan "BAYU" berfungsi untuk mengembalikan kekuatan panca maha bhuta , yg berasal dari unsur Bayu
Adlh simbolis alat pembersihan spt fungsi tulud itu sendiri

6 SAPU LIDI
Dalam melaksanakan meralina caru juga memakai sapu lidi berjumlah 12 helai dlh sebagai simbul suci dari kekuatan "PERTIWI" berfungsi untuk mengembalikan kekuatan panca maha bhuta , yg berasal dari unsur PERTIWI. Simbolis alat pembersihan sesuai fungsinya sebagai sapu angrapuhaken ikang Mala.

7 ARAK DAN BEREM
Arak dan Berem juga di pergunakan pada saat pelaksanaan upacara ini, dgn cara metabuh mengikuti yg lainnya , arak Berem ini merupakan simbul suci dari kekuatan "APAH" berfungsi untuk mengembalikan Panca maha bhuta yg berasal dari unsur Apah .
Adlh simbolis dr kekuatan matahari Dan bulan
Energy Panas dan dingin sebagai penetralisir kekuatan bhutakala.

8. SENGKUI
Adlh simbolik dr Tulang Manusia yg dianyam tengkurap memakai daun kelapa Di sesusikan dgn jumlah urip masing2 pengideran.

9.AYAM CARU
Adlh simbolik dr Rajas Dan Tamas. di jadikan olahan sate bayang2 peketengan biasanya sesuai urip pengideran.
begitu juga bulu ayam yg dipergunakan di sesuikan dgn warna2 arah Mara angin/pengideran.nyomya kekuatan rajas tamas menjadi satvika dr butahita mjd dewahita dlm buana alit dan buana agung sehingga menetap Dan menjadi sebuah Kekuatan sekala niskala . sebagai pengaktifasi kekuatan magis/gaib.
Caru artinya bagus, cantik, indah harmonis (dlm bhs sansekerta).
Jadi arti harfiahnya agar menjadi bagus/cantik/indah/Harmonis hubungan manusia dgn alam yg dsb Tri Hita Karana.
Bhuta adlh unsur dari alam yg dsb panca maha bhuta /Lima unsur Periwi Apah Teja Bayu Akasa.
Kala adlh perputaran dr planet2 matahari bulan Yg membuat perubahan musim Dan keadaan dsb juga waktu.
Jadi Bhuta kala adlh ruang dan waktu yg sewaktu2 bisa berubah2..
Seperti api dan Air bisa menjadi sahabat juga bisa menghsncurkan apabila manusia tidak berwiweka menggunakannya.
Adapun juga arti kata Bhutakala adlh waktu yg tak terlihat...
Yg tdk dapat dilihat oleh mata telanjang
Hanya dgn mata bhatinlah hal tersebut akan nampak dan bisa dirasakan.
Caru yg menggunakan ayam dsb caru Manca sata/amancaan.
Adapun caru2 yg lain Disesuikan oleh peruntukan besar kecilnya upacara tsb.
Kemungkinan ada perbedaan dlm pembuatan caru Di masing2 tempat sesuai dgn desa kala patra/dresta yg berlaku
Tidaklah dijadikan perdebatan..
Karna masing2 pemuput memiliki sumber yg berbeda2 sesuai dgn plutuk ataupun lontal yg ada..
Kalau ada kekurangan silakan di tambahkan


Jajan Pulagembal

 


Dasar 39
Pohon 18
Penangkeb 12
5 warna: petak, barak, kuning, wilis, ireng
Pelengkap: taluh siap, tingkih, bawang, suna, unti, padi, mica ireng, 4 pis bolong, kelopak gedebong, don
Dasar:
Ante, empas, mimi, tapak tangan, tapak kaki, tasik, suruh agung, sampat, luwed agung, tingkih, prusa, prusi, bawang, taluh, udel, seet mimang, lekeh, lipi, takep4 terbuka, takep5 ada tutup, simbar mrica, lulut besi perak, lulut mas, kemangmang, marga3, marga4, gelar, gemulung, saang putih n berwarna, klongkang poleng, bunga temu poleng, bayam raja, ider buana, sri sedana, pepek, medaka, cili, cerme

Pohon:
16 pohon cab 2, 1 cab3, 1 cab4
Ancak, bingin, nagasari, ambengan, padang lepas, kelapa gading, ubi sikep, kladi, rebab, ngadeg, sepit gunting, lawangan, ungang, tagog, kukur, kuntul, cakup3 n 4
Penangkeb:
Gunung (cili, krucut3, rumput ijo, b gagak, tembok belak belok, naga, kuluk, lipi poleng),
Tangkar iga, Lingga, Sarad, Taman,
Sekar taman pd jajan pulagembal
Ceper mesingsing mejujuk, peras metempel d ceper, uras, kedis n sri kekili



Ilmu leak merupakan ilmu yang diturunkan oleh Dewi Durga

 



Umumnya orang Bali mengetahui Leak sebagai ilmu hitam yang mematikan yang digunakan orang untuk menyakiti orang lain. Sejatinya pada awal diciptakan, ilmu leak merupakan ilmu yang diturunkan oleh Dewi Durga, agar suatu saat bisa digunakan untuk kebenaran.
Menurut Lontar Kuno ilmu Leak atau Liak adalah singkatan dari kata Lelintihan Aksara atau Linggihan Aksara, aksara yang dimaksud adalah Dasa Aksara (Sepuluh Cakra Dalam Diri Manusia) yaitu Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya jadi ilmu leak adalah ilmu yang mengajarkan untuk mengolah cakra sehingga pelakunya memperoleh suatu kekuatan supranatural.

Kemudian ilmu leak digunakan oleh para ksatria dan pendekar untuk melindungi kerajaan dan mengelabuhi musuh dengan kekuatan tenaga dalam atau berubah wujud menjadi makhluk seram, terciptalah ajian-ajian leak yang dahsyat, dan ilmu leak terbagi menjadi dua yaitu Leak Pemaron (Pengiwa atau Aliran Kiri) dan Leak Sari (Penengen atau Aliran Kanan).
Ilmu leak pemaron atau pengiwa berhak menyakiti orang yang melakukan kesalahan, itupun kalau diizinkan oleh leluhur orang tersebut, jadi tidak sembarangan menyakiti orang, sedangkan ilmu Leak Sari atau Penengen, tingkatan ilmunya sudah tinggi, dan jauh lebih sakti dari Leak Pemaron, bertugas mengobati orang yang sakit akibat Leak Pemaron contohnya Balian.
Ilmu Leak bukan semata-mata untuk menyakiti, tergantung kepada orang yang menekuni ilmu tersebut, bahkan dulu ilmu leak digunakan untuk menghalau penjajah.
payanadewa,com



Memaknai Yadnya

 


Setiap kata adalah ekspresi dr sebuah ide atau lebih yg disampaikan dg sebaik2nya agar orang lain yg menerima eķapresi tsb memahami dg sebaik2nya ide yg dimaksud.
Terlebih dlm bahasa "samskritam" yg tiada lain maknanya sam + krita = samskritam yg berarti sesuatu yg dibangun dg cara terbaik.
Artinya dlm bahasa sansekerta, setiap kata dibangun sedemikian rupa shg mendapatkan bentukan kata yg terbaik untuk menyampaikan sebuah "bhawa" atau ide. Bhawa ini biasanya tersimpan dlm akar kata atau root verb dr kata bentukan td. Jd dg mengetahui akar katanya, kita mendapatkan ide atau bhawa de kata tsb, dan mengembangkan maknanya untuk memahami apa yg dimaksud.
Yadnya adalah salah satu kata "samskritam", berasal dr akar "yaj" menjadi "yajina" menjadi yadnya dan maknanya adalah
“an act of applying oneself quietly and persistently to master something by focused intention”
Jadi yajnya adalah suatu tindakan yg dilakukan dengan ketekunan dan khidmat untuk menguasai sesuatu dengan konsentrasi yg menunggal. Dalam melakukan yajnya spirit ini yg harus ditanamkan. Walaupun intinya hanya satu tujuan dr yajnya yaitu untuk mencapai Tuhan, sesuai definisi, tetapi manifetasinya yang beragam membuat kita harus menyesuaikan dg obyek yajnya, karenanya kita mengenal:
(Berdasarkan pembagian yajnya dlm filsafat ANANDA MARGA - Shrii Shrii Anandamurti))
1. Bhuta yajnya,
2. Manusa yajnya (atau Nr Yajnya, nr=nara=manusia),
3. Rsi yajnya,
4. Pitra yajnya atau (Pitr) dan
5. Dewa yajnya(atau Adhyatma yajnya=Tuhan)
Bhuta yajya mencakup segala ciptaan diluar dr keempat lainnya. Berarti seluruh mahluk spt tumbuhan, hewan dan batu, tanah air, lingkungan dsb. Bhuta yajnya dilakukan dg memperlakukan "mereka" (sarvabhuta) dg baik, menjaga keharmonisan lingkungan alam, tidak mencemari lingkungan (udara, air dan tanah) merupakan bentuk bhuta yajnya. Memberi makan hewan, menyiram tanaman juga termasuk bhuta yajnya. Dengan bhuta yajnya keseimbangan alam semesta akan terjaga. Bhuta yajnya harus dilakukan dlm kehidupan sehari2 berkesinambungan.

Manusa Yajnya mencakup pelayanan terhadap sesama manusia, menolong orang yg sakit, membantu yg miskin, membantu org terkena bencana dsb. Semua dilakukan dg spirit melayani Tuhan, menyadari sesama sebagai bagian yg tak terpisahkan dr diri kita. Tat tvam asi.
Pitra yajnya, bagaimana melayani leluhur? Ini sdh sering dibahas panjang lebar. Leluhur yg sdh jauh dr jangkauan dunia maya, maka untuk melayaninya adalah dg menjaga prati sentananya, keturunan dan keluarga yg masih ada, menerapkan nilai2 luhur yg mereka ajarkan.
Rsi Yajnya, diantara manusia ada orang2 tertentu yang telah menyumbangkan hasil karya yang besr bagi umat manusia. Mereka yang menurunkan pengetahuan, yg membuat kesehjateraan manusia spt yg kita nikmati skrng patut dihargai. Dengan meniru tauladannya, menyebarkan ajaran sucinya.
Adhyatma, ini adalah bentuk yajnya terakhir dalam bentuk sadhana. Melakukan yoga, meditasi, dsb. Sebuah usaha mensucikan jiwa raga agar menjadi dekat dgNya.
Kesimpulannya kalau kita fahami dengan baik, semua merupakan satu kesatuan untuk menciptakan tatanan kehidupan yg harmonis fisik mental dan spiritual, dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Internal maupun eksternal. Antar sesama manusia dan dengan alam semesta dan Tuhan (Tri Hita Karana). Kalau ini difahami dan dilaksanakan dengan benar, hasilnya adalah nyata. Tetapi kalau hanya dijadikan simbolik, maka tdk ada hasilnya. Demikianlah Yadnya yang bersifat simbolik kalau tidak diikuti dg praktek nyata, tdk akan memberikan kesejahteraan.

Bendu dan Guru Piduka, Mohon Maaf dan Bersihkan Jejak Kotor

 



BALI EXPRESS, DENPASAR – Upacara Guru Piduka dan Bendu Piduka menjadi pilihan warga Desa Adat Besakih untuk membersihkan ‘jejak kotor’ si bule nekat yang menaiki Palinggih Padmasana di Pura Gelap Besakih. Sejatinya, apa itu upacara Bendu Piduka dan Guru Piduka?

Upacara Bendu Piduka, sebelumnya pernah dilaksanakan di Desa Pakraman Dauh Waru, Jembrana. Ketika itu, warga mengalami kabrebehan (kejadian aneh), di mana anggota masyarakatnya meninggal tidak wajar secara berturut – turut. Hal itu terjadi paska pelaksanaan melasti jelang Hari Raya Nyepi tahun lalu. Secara etimologi, Bendu memiliki pengertian kesal , perbuatan buruk dan kecewa.
Sedangkan Piduka berarti berduka. Jadi, Bendu Piduka berarti pembersihan untuk perbuatan buruk yang membuat berduka. Biasanya upacara ini dilakukan untuk menetralisasi leteh atau pengaruh negatif pada suatu tempat atau suatu daerah.

Ida Pandita Mpu Parama Daksa menjelaskan, Bendu Piduka adalah rangkaian prosesi untuk menetralisasi segala sesuatu yang mencemari alam ini, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Baik karena perbuatan maupun karena perkataan.



“Dalam tradisi adat Bali, kita mengenal istilah ngayah. Ngayah itu bentuk dari sebuah pelayanan kita kepada Tuhan dan leluhur, baik itu di pura ataupun sanggah merajan. Mungkin saja ketika kita ngayah ada perkataan kita yang membuat sebuah lokasi atau tempat tersebut menjadi leteh. Bisa juga karena perbuatan, seperti yang terjadi di Jembrana atau Besakih,” ujar Sulinggih asal Mengwi ini kepada Bali Express ( Jawa Pos Group), kemarin.

Dikatakannya, Bendu Piduka tertulis dalam lontar Dewa Tatwa yang menyebut bahwa upakara piduka, terdiri dari dua macam, yakni Guru Piduka dan Bendu Piduka.

Dalam kepercayan umat Hindu mengenai Usadha, lanjutnya, dikatakan penyakit terdiri dari dua penyebab yaitu secara Skala (nyata) dan secara Niskala (tidak nyata atau tidak terlihat). Adapun penyebab penyakit secara skala misalnya penyakit jantung karena pola hidup tidak sehat, terluka karena jatuh. Penyebab penyakit yang diakibatkan secara niskala, di antaranya pekarangan rumah yang angker sehingga keluarga tidak harmonis, adanya kesalahan tindakan yang kurang baik di tempat suci atau sanggah, sehingga menyebabkan terjadinya mala petaka berturut – turut.

“ Yang paling berbahaya itu, ketika kita mengucapkan janji disertai sumpah (sapa atau semaya) dan kita lupa, serta mengingkarinya. Akibatnya, leluhur, para dewa sebagai manifestasinya Tuhan akan marah dengan mengirim bhuta bhuti dan mengganggu kesehatan serta keharmonisan keluarga tersebut. Jadi, jangan macam – macam soal niskala,” ujar Ida Pandita Mpu Parama Daksa. Dalam Lontar Dewa Tatwa dipaparkan, untuk menetralisasi pengaruh negatif akibat kesalahan kesalahan itu, lanjutnya, maka masyarakat dianjurkan untuk menghaturkan banten Maguru Piduka dan tetebasan Bendu Piduka. Mengapa menghaturkan banten Guru Piduka dan tetebasan Bendu Piduka?

“Sesungguhnya, kedua banten itu hanya sebagai prasarana sementara, sebagai permohonan maaf serta janji untuk melaksanakan upakara yadnya sebagai bentuk permohonan maaf yang tulus,” ujarnya.


Selain menggelar upakara yadnya, dalam lontar Dewa Tatwa juga menganjurkan untuk membuat palinggih baru dengan melinggihkan Ida Bhatara Indra Balaka dan pengayahan leluhur kawitan, dengan tujuan menetralisiasi pekarangan.

Ditegaskannya, menggelar upakara Guru Piduka dan Bendu Piduka tidak boleh sembarangan. “Ketika kita merasa pekarangan rumah panes atau merasa ada penyebab niskala, lantas menganggap perlu dilakukan upacara tersebut tanpa mempertimbangkan aspek lainnya, dan hal itu tentu saja akan berakibat fatal,” ujarnya.

Dalam lontar Dewa Tatwa disebutkan, tanda – tanda perlunya melaksanakan upakara tersebut adalah adanya kejadian akibat bencana yang menimpa manusia. Seperti Sakit berkepanjangan yang tak kunjung sembuh, banyak orang meninggal dalam waktu singkat, di daerah tersebut banyak terjadi mati salah pati dan ulah pati, juga terjadinya hubungan ‘salah timpal’, yakni hubungan seks antara manusia dengan binatang atau antara binatang yang berbeda jenis. Selain itu, adanya kematian anggota keluarga yang bertepatan dengan piodalan di sanggah merajan, sering terjadi cekcok atau keributan dalam keluarga, tempat suci yang terbakar, baik oleh api maupun oleh halilitar, serta diporak-porandakan angin puyuh.

Dalam lontar Dewa Tatwa disebutkan: Muah yang ketibenin apui tanpan para, yadnya linus tan pantara mwang telas basmi kayangan ika cihmaning anemu ala sang madrewe khayangan ika, hana sot tan tinawang wenang ngagen sot rigumi piduka.

Artinya, demikianlah pula bila khayangan terjadi kebakaran tanpa sebab, demikian juga angin beliung tanpa sebab, apalgi sampai menghanguskan seluruh bangunan kahyangan. Itulah ciri bahwa yang memiliki kahyangan tersebut mendapat bahasa, karena kaulnya tidak dibayar. Oleh karena itu, sepatutnya agar sot (berjanji) akan membayar kaul dengan mempersembahkan Guru Piduka dan Bendu Piduka.

Ida Pandita Mpu Parama Daksa juga menjelaskan, ada baiknya dalam melaksanakan upacara Guru Piduka dan Bendu Piduka diiringi suara gender atau angklung, terlebih lagi jika tempat pelaksanaan upacara tersebut di pura. Hal ini untuk menjaga keselamatan desa pakaraman. Dalam Widhi Sastra juga dijelaskan, apabila pelaksanaan Guru Piduka dan Bendu Piduka diakibatkan karena tempat suci yang roboh atau terbakar, sebaiknya setiap anggota pemaksa yang menghaturkan ayah dan bakti menggunakan lima keping uang kepeng dalam kwangen yang digunakan ketika menghaturkan sembah.

“Karena upakara Guru Piduka dan Bendu Piiduka ini hanya sebagai janji yang ditunda, maka sebaiknya harus segera disusul upacara yadnya yang sesuai kedurmanggalan,” ujarnya.

Dalam rangkaian upakara, biasanya belum lengkap jika tidak menggunakan prasarana banten, mantra serta tirtha. Begitu pula dalam upakara Guru Piduka dan Bendu Piduka sebagai upaya menetralisasi pengaruh negatif yang disebabkan karena niskala.

Dalam lontar Dewa Tatwa disebutkan, bentuk bebantenan Guru Piduka secara sederhana, yakni Suci soroh, Sesayut pangambeyan salaran bebek dan ayam yang masih hidup. Tetegenan, sesantun, soda putih kuning, makembaran, sesayut dirgayusa gumi, dan dilengkapi Tatebasan Guru Piduka. Sedangkan untuk bebantenan Tatebasan Bendu Piduka,

tumpeng 1 , matatakan kulit sesayut iwaknia rerasmen, sudang, tulung 1, canang pawitra maraka jaja bendu, mwang woh wohan sampian nagasari. Tujuan mempersembahkan Tatebasan Bendu Piduka adalah sebagai bentuk permohonan maaf kepada Hyang Kawitan yang telah menurunkan kedukaan, dikarenakan keingkaran si penghuni rumah atau masyarakat yang menempati daerah tersebut. Uacara Bendu Piduka sering juga disebut banten paneduh pada waktu ‘meneduh’ di desa pakraman.

(bx/tya/yes/JPR) –sumber