Minggu, 19 Mei 2024
SANG HYANG CANDRA
Tedung
Jumat, 17 Mei 2024
Sate Renteng Simbol Dewi Durga
Sarana upakara di Bali dikenal dengan berbagai bentuk dan jenis. Salah satunya adalah Sate Renteng. Sarana upacara ini memiliki bentuk yang tergolong unik, di mana terdiri dari beberapa tusuk sate dan rangkaian kulit Babi. Apa sejatinya makna Sate Renteng ini?
Sate Renteng, jika dilihat dari beberapa lontar agama Hindu memang belum ada yang membahas secara jelas. Sehingga Sate Renteng dalam upacara Hindu disebut dengan uperengga atau pelengkap upakara yadnya, namun wajib ada dalam setiap upacara yang menggunakan Banten Bebangkit. Sate Renteng sangat erat kaitannya dengan Banten Bebangkit yang menggunakan Babi Guling sebagai ulamnya.
“Hal itu sesuai dengan makna Banten Bebangkit yang merupakan persembahan kepada Dewi Durga,” ujar Budayawan, I Gede Anom Ranuara, S.pd, S.Sn yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group), Kamis (30/3).
Lebih lanjut dijelaskannya, dalam Lontar Tattwa Mpu Kuturan dijelaskan mengenai Rerentengan Jatah yang artinya rangkaian atau susunan sate. Sedangkan dalam Lontar Kadurgan dijelaskan juga mengenai rangkaian sate yang disebut Gayah. Gayah adalah merangkai kembali tulang babi yang akan dipersembahkan kepada Dewi Durga. Karena, apa pun itu segala jenis olahan daging babi pasti dipersembahkan kepada Dewi Durga.
Secara filosofis, Sate Renteng berawal dari permohonan Dewa Wisnu kepada Dewi Durga untuk membunuh Mahesasura, karena diyakini hanya Dewi Durga yang mampu menaklukkannya. Permohonan itu disanggupi oleh Dewi Durga, namun semua senjata para dewa agar berkenan diserahkan untuk mengalahkan Mahesasura. “Hal itu dibuktikan dengan terdapatnya sate yang berbentuk sembilan senjata para Dewa ,” jelasnya.
Sate Renteng terdiri dari beberapa jenis, yakni Sate Renteng Puspusan yang menggunkan kelapa sebagai alasnya. Di mana didalamnya terdapat 13 buah tusuk sate, namun tidak menggunakan bagia Pulekerti. Kedua adalah Sate Renteng Sari. Dalam sate ini terdapat Bagia Pulekerti, namun tetap berpatokan kepada 13 buah tusuk sate. Ketiga adalah sate Renteng Utuh, jenis sate Renteng yang tergolong tinggi, sebab pada alasnya menggunakan kepala babi utuh. Yang terakhir adalah Sate Renteng Durga Dewi yang tertinggi. Hal yang membedakan adalah penggunaan kepala babi yang disertai dengan cabai merah melambangkan taring Dewi Durga.
Beberapa komponen yang harus dilengkapi ketika hendak membuat Sate Renteng, yakni Sate Asem, Sate Serapah, Sate Lamat, Kekuwung, Bagia Pulekerti, Senjata Dewata Nawa Sanga, Penyelah, Aling-aling, Lawang, Japit Balung, dan Japit Babi. Susunan dalam merangkai Sate Renteng hendaknya selalu memperhatikan Tattwa, di mana ada beberapa komponen wajib yang harus ada di dalam Sate Renteng. Sate Renteng wajib menggunakan kelapa yang merupakan simbol bumi. Jika untuk keperluan estetika atau seni, boleh menggunakan gedebong atau batang pisang, namun wajib menggunakan sebanyak tiga biji yang melambangkan Tri Bhuwana atau tiga alam.
Selanjutnya di bagian dasar terdapat rangkaian tulang belulang babi, inilah yang dinamakan gayah. Selain itu, terdapat cabe merah yang merupakan simbol Banaspati yang berkaitan erat dengan Dewi Durga. Namun, secara biologis cebe memiliki peran penting untuk menghalau lalat agar tidak hinggap di sate, karenannya cabe diletakkan di ujung-ujung tusuk sate. Kunyit juga terdapat dalam rangkaian Sate Renteng yang merupakan penguat rangkaian agar kulit babi yang dirangkai tidak jatuh. Namun, secara biologis dapat menjadi antibiotik pada sate agar tidak busuk.
Selain beberapa komponen yang telah disebutkan , hal yang tak kalah penting adalah penggunaan Paru-paru di arah timur, Hati di arah selatan, Empedu di arah barat, Limpa di arah utara, dan di tengah adalah ginjal. Komponen ini hendaknya harus terdapat dalam rangkaian Sate Renteng. “Karena penggunaan ini merupakan simbol kanda pat yang tak lain merupakan ancangan Dewi Durga,” tutup Anom.
(bx/gus /yes/JPR) –sumber
Bhagavadgita Tiga Sifat Alam Material
Bhagavadgita Bab XIV - Tiga Sifat Alam Material
Bhagavad-gita 14.1
14.1 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; sekali lagi Aku akan bersabda kepadamu tentang kebijaksanaan yang paling utama ini, yang paling baik di antara segala pengetahuan. Setelah menguasai pengetahuan ini, semua resi sudah mencapai kesempurnaan yang paling tinggi.
Bhagavad-gita 14.2
14.2 Dengan menjadi mantap dalam pengetahuan ini, seseorang dapat mencapai sifat rohani seperti sifat-Ku sendiri. Setelah menjadi mantap seperti itu, ia tidak dilahirkan pada masa ciptaan atau pun digoyahkan pada masa peleburan.
Bhagavad-gita 14.3
14.3 Seluruh bahan material, yang disebut Brahman, adalah sumber kelahiran, dan Aku menyebabkan Brahman itu mengandung, yang memungkinkan kelahiran semua makhluk hidup, wahai putera Bharata.
Bhagavad-gita 14.4
14.4 Hendaknya dimengerti bahwa segala jenis kehidupan dimungkinkan oleh kelahiran di alam material ini, dan bahwa Akulah ayah yang memberi benih, wahai putera Kunti.
Bhagavad-gita 14.5
14.5 Alam material terdiri dari tiga sifat-kebaikan, nafsu, dan kebodohan. Bila makhluk hidup yang kekal berhubungan dengan alam, ia diikat oleh sifat-sifat tersebut, wahai Arjuna yang berlengan perkasa.
Bhagavad-gita 14.6
14.6 Wahai yang tidak berdosa, sifat kebaikan lebih murni daripada sifat-sifat yang lain,. Karena itu, sifat kebaikan memberi penerangan dan membebaskan seseorang dari segala reaksi dosa. Orang yang mantap dalam sifat itu diikat oleh rasa kebahagiaan dan pengetahuan.
Bhagavad-gita 14.7
14.7 Sifat nafsu dilahirkan dari keinginan dan hasrat yang tidak terhingga, wahai putera Kunti. Karena itu, makhluk hidup di dalam badan terikat terhadap perbuatan material yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil atau pahala.
Bhagavad-gita 14.8
14.8 Wahai putera Bharata, ketahuilah bahwa sifat kegelapan, yang dilahirkan dari kebodohan, adalah khayalan bagi semua makhluk hidup yang mempunyai badan. Akibat sifat ini adalah kegoncangan jiwa, sifat malas dan kecenderungan untuk tidur, yang mengikat roh yang terikat.
Bhagavad-gita 14.9
14.9 Wahai putera Bharata, sifat kebaikan mengikat seseorang pada kebahagiaan; nafsu mengikat dirinya pada kegiatan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil atau pahala; dan kebodohan, yang menutupi pengetahuanya mengikat dirinya pada kegilaan.
Bhagavad-gita 14.10
14.10 Kadang-kadang sifat kebaikan menonjol, dan mengalahkan sifat nafsu dan kebodohan, wahai putera bharata. Kadang-kadang sifat nafsu mengalahkan sifat kebaikan dan kebodohan, dan pada waktu yang lain kebodohan mengalahkan kebaikan dan nafsu. Dengan cara demikian selalu ada persaingan untuk berkuasa.
Bhagavad-gita 14.11
14.11 Perwujudan-perwujudan sifat kebaikan dapat dialami bila pintu gerbang badan diterangi oleh pengetahuan.
Bhagavad-gita 14.12
14.12 Wahai yang paling utama di antara para putera keturunan Bharata, bila sifat nafsu meningkat, berkembanglah tanda-tanda ikatan yang besar, kegiatan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil atau pahala, usaha yang keras sekali, keinginan dan hasrat yang tidak dapat dikendalikan.
Bhagavad-gita 14.13
14.13 Bila sifat kebodohan meningkat, terwujudlah kegelapan, malas-malasan, keadaan gila dan khayalan, wahai putera kuru.
Bhagavad-gita 14.14
14.14 Bila seseorang meninggal dalam sifat kebaikan, ia mencapai planet-planet murni yang lebih tinggi, tempat tinggal para resi yang mulia.
Bhagavad-gita 14.15
14.15 Bila seseorang meninggal dalam sifat nafsu , ia dilahirkan di tengah-tengah mereka yang sibuk dalam kegiatan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil. Bila seseorang meninggal dalam sifat kebodohan, ia dilahirkan di kerajaan binatang.
Bhagavad-gita 14.16
14.16 Hasil perbuatan saleh bersifat murni dan dikatakan bersifat kebaikan. Tetapi perbuatan yang dilakukan dalam sifat nafsu mengakibatkan kesengsaraan, dan perbuatan yang dilakukan dalam sifat kebodohan mengakibatkan hal-hal yang bukan-bukan.
Bhagavad-gita 14.17
14.17 Pengetahuan yang sejati berkembang dari sifat yang sejati berkembang dari sifat kebaikan; loba berkembang dari sifat nafsu; dan kegiatan yang bukan-bukan, sifat gila dan khayalan berkembang dari sifat kebodohan.
Bhagavad-gita 14.18
14.18 Orang yang berada dalam sifat kebaikan berangsur-angsur naik sampai planet-planet yang lebih tinggi; orang yang berada dalam sifat nafsu hidup di planet-planet seperti bumi; orang yang berada dalam sifat kebodohan yang menjijikan turun memasuki dunia-dunia neraka.
Bhagavad-gita 14.19
14.19 Bila seseorang melihat dengan sebenarnya melihat bahwa dalam segala kegiatan tiada pelaku lain yang bekerja selain sifat-sifat alam tersebut dan ia mengenal Tuhan Yang Maha Esa, yang melampaui segala sifat tersebut, maka ia mencapai alam rohani-Ku.
Bhagavad-gita 14.20
14.20 Bila makhluk hidup di dalam badan dapat melampaui ke tiga sifat alam yang berhubungan dengan badan jasmani, ia dapat dibebaskan dari kelahiran, kematian, usia tua dan dukacitanya hingga ia dapat menikmati minuman kekekalan bahkan dalam kehidupan ini pun.
Bhagavad-gita 14.21
14.21 Arjuna berkata; O Tuhan yang hamba cintai, melalui tanda-tanda manakah kita dapat mengetahui orang yang melampaui tiga sifat alam tersebut? Bagaimana tingkah lakunya? Bagaimana cara melampaui sifat-sifat alam?
Bhagavad-gita 14.22
Bhagavad-gita 14.23
Bhagavad-gita 14.24
Bhagavad-gita 14.25
14.22 – 25 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Wahai putera Pandu, orang yang tidak membenci penerangan, ikatan, dan khayalan bila hal-hal itu ada ataupun merindukannya bila hal-hal itu lenyap; yang tidak pernah gelisah atau goyah selama ia mengalami segala reaksi sifat-sifat alam material, tetap netral dan rohani, dengan mengetahui bahwa hanya sifat-sifat itulah yang bergerak; mantap dalam sang diri dan memandang suka dan duka dengan sikap sama; memandang segumpal tanah, sebuah batu dan sebatang emas dengan pandangan yang sama; bersikap yang sama terhadap yang diinginkan dan yang tidak diinginkan; mantap, bersikap yang sama baik terhadap pujian maupun tuduhan, penghormatan maupun penghinaan; yang memperlakukan kawan dan musuh dengan cara yang sama; dan sudah melepaskan ikatan terhadap segala kegiatan segala kegiatan material- orang seperti itulah dikatakan sudah melampaui sifat-sifat alam.
Bhagavad-gita 14.26
14.26 Orang yang menekuni bhakti sepenuhnya, dan tidak gagal dalam segala keadaan, segera melampaui sifat-sifat alam material, dan dengan demikian mencapai tingkat Brahman.
Bhagavad-gita 14.27
14.27 Aku adalah sandaran Brahman yang tidak bersifat pribadi, yang bersifat kekal, tidak pernah mati, tidak dapat dimusnahkan dan bersifat kekal, kedudukan dasar kebahagiaan yang paling tinggi.
Sumber : cakepane.blogspot.com
FILOSOFI CATUR VARNA DAN KONSEP DASAR PROFESIONALISME
Filosofi Catur Varna dan Konsep Dasar Profesionalisme di zaman modern atau saat ini - Pada pembahasan materi agama Hindu kali ini mengenai Filosofi Catur Varna dan Konsep Dasar Profesionalisme yang merupakan salah satu dari bagian dari 4 Catur Varna dalam agama Hindu, untuk lebih mudah dipahami dapat kalian simak dalam penjelasan singkat berikut ini!
Catur Varna dan Profesionalisme di Zaman Modern
Oleh karena itu dalam Pesamuan Agung PHDI, 26-29 Oktober 2002 di Mataram ini, ajaran Catur Varna itu akan dikembalikan pada fungsinya yang semula sesuai perkembangan dan tuntutan masyarakat.
Filosofi Catur Varna dan Konsep Dasar Profesionalisme |
Pada Pesamuan Agung tahun 2000 di Denpasar masalah pengembalian ajaran Catur Varna ini sudah pernah diajukan kepada sabha pandita untuk ditetapkan menjadi bhisama. Usul itu tinggal usul sampai akhirnya datang Maha Sabha VIII, bhisama tersebut tidak disidangkan oleh sabha pandita saat itu. Karena sesuai dengan Anggaran Dasar PHDI yang berhak mengeluarkan bhisama hanyalah sabha pandita.
Karena sabha pandita-lah sebagai unsur yang tertinggi dalam susunan kelembagaan PHDI. Hal ini memang sesuai dengan makna kitab suci Manawa Dharmasastra. Pada Pesamuan Agung PHDI di Mataram, ini diajukan lagi rancangan bhisama tentang Catur Varna ini sebagaimana diamanatkan oleh Maha Sabha VIII PHDI 2001 lalu.
Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat pada Pesamuhan Agung Tanggal 29 Oktober 2002. Menetapkan antara lain; Catur Varna adalah ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat atas “guna” dan “Kama” dan tidak terkait dengan Kasta atau Wangsa. Bhisama tentang Pengamalan Catur Varna ini sebagai pedoman yang sepatutnya dipatuhi oleh seluruh umat Hindu. Menugaskan kepada Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk memasyarakatkan Bhisama Tentang Pengamalan Catur Varna ini, beserta penjelasannya dalam lampiran Bhisama ini kepada scluruh umat Hindu di Indonesia.
Memahami Teks
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa dalam Bhagavadgītā dan kitab-kitab Hindu lainnya disebutkan Tuhan hanya menciptakan empat profesi atau Catur Varna padahal kita melihat dewasa ini banyak sekali jenis profesi yang berkembang?Dapatkah semua jenis profesi itu dikelompokkan menjadi empat kelompok profesi? Hal inilah yang perlu dibahas sehingga Catur Varna itu menjadi lebih jelas perannya dalam pembangunan masyarakat.
Catur Varna itu adalah empat profesi yang diciptakan oleh Tuhan. Di dunia ini, yang kekal abadi adalah Tuhan. Semua ciptaannya dapat berubah-ubah atau mengalami penyempurnaan-penyempurnaan sesuai dengan tuntutan zaman.
Menurut ajaran Hindu zaman itu akan berubah-ubah, setiap perubahan membawa ciri-ciri tertentu. “satu hari Brahman” dibagi menjadi empat belas masa, setiap masa dibagi menjadi empat zaman. Ke empat zaman itu adalah: Kertha Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga. Ciri-ciri tiap-tiap Yuga ini dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra I, 85 dan 86 sebagai berikut:
Pada sloka 81 s/d 83 dalam kitab Manawa Dharmaśāstra, dijelaskan dengan jelas ciri-ciri setiap zaman. Pada zaman Kertha dikatakan Dharma berkaki empat manusia dengan sempurna tanpa cacat, mendapatkan kewajiban tidak ada kecurangan, tidak ada kejahatan. Sedang pada zaman berikutnya Dharma sudah mulai digerogoti secara bertahap sampai pada zaman Kali, dimana kejahatan dan kebohongan merajalela. Pada zaman Kertha, manusia bebas dari berbagai penyakit sehingga dapat berumur sampai empat ratus tahun, setiap zaman umur manusia makin berkurang.
Perbedaan setiap zaman inilah yang menyebabkan perbedaan penekanan profesi atau Varna yang dibutuhkan. Pada zaman Kertha manusia berumur panjang dan penuh dengan kebajikan, maka yang paling utama adalah melakukan tapa, brata dan semadhi. Pada zaman ini profesi atau Varna Brāhmaṇalah yang paling dibutuhkan.
Karena Varna Brāhmaṇa yang paling dibutuhkan maka wajarlah secara sosio-logis Varna Brāhmaṇa yang dianggap paling utama. Pada zaman Kerta kesucianlah yang dianggap paling penting.
Pada zaman Treta kesaktian atau kepintaran yang dianggap paling penting. Pada zaman ini orang memuja-muja kemampuan (kesaktian). Zaman Treta profesi Kṣatriya menjadi paling menonjol, karena itu Varna Kṣatriyalah yang dianggap paling utama.
Pada zaman Dwapara, Yadnya yang dianggap paling utama. Upacara Yadnya yang besar akan menghabiskan dana yang besar, karena itu Varna Waisyalah yang dianggap paling utama. Pada zaman Kali yang dianggap paling utama adalah pemberian harta benda. Sumber harta benda adalah Varna Waisya dan Śudra, karena itu Varna Waisya dan Śudralah yang dianggap paling menonjol.
Kedudukan utama pada masing-masing Varna yang didapatkan pada setiap zaman hanyalah merupakan pkamungan sosiologis saja. Kalau ditinjau secara filosofis, semua Varna adalah penting pada setiap zaman dan pada setiap orang.
Menurut Prof. Dr. I. B. Mantra, Catur Varna secara filosofis ada pada setiap orang. Dalam bercita-cita hendaknya seseorang itu menjadikan dirinya seorang Brāhmaṇa, dalam mengembangkan cita-citanya seseorang hendaknya menjadi seorang Kṣatriya. Dalam hal memelihara kemakmurannya hendaknya ia menjadi seorang Waisya, melayani semua itu hendaknya ia menjadi seorang Śudra. Keempat Varna atau profesi itu unsur-unsur dasarnya ada pada diri setiap orang. Idealnya keempat profesi itu dapat ditumbuhkan secara seimbang dan profesional.
Pertumbuhan unsur-unsur Varna atau profesi dalam diri setiap orang tidaklah terlalu sama. Ada pada diri seseorang, yang lebih kuat pengaruh dan pertumbuhannya bakat kerohanian, orang ini akan menjadi seorang Brāhmaṇa. Ada yang lebih dominan pertumbuhan bakatnya dalam kepemimpinan, orang ini akan menjadi Varna Kṣatriya.
Demikian pula yang lebih dominan pertumbuhan bakatnya dalam bidang ekonomi, orang inipun akan menjadi seorang Varna Waisya. Sedangkan mereka yang hanya mampu menumbuhkan tenaga fisiknya, diapun akan menjadi Varna Śudra.
Yang menjadi persoalan dewasa ini, cukup relevankah hanya empat Varna ini sebagai lkamusan filosofis pembangunan profesi?
Pada dunia modern dewasa ini ada berbagai profesi, dapatkah semua profesi ini dikelompokkan ke dalam empat kelompok profesi atau Varna? Hal inilah yang harus diberikan jawaban yang setepat-tepatnya. Untuk mencari jawaban tersebut, kita berangkat dari tujuan pembangunan pada zaman modern dewasa ini. Pembangunan bertujuan membangun manusia seutuhnya dan seluruhnya. Seutuhnya dimaksudkan membangun manusia dalam segala totalitasnya.
Membangun manusia seluruhnya dalam pengertian tidak ada satupun manusia yang ditinggalkan dalam pembangunan. Konsep pembangunan modern dewasa ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan konsep pembangunan kualitas manusia menurut pkamungan Hindu. Kalau kita ringkas keberadaan diri manusia itu memang dapat dibagi dua aspek, aspek rohani dan aspek jasmani. Untuk melayani dua aspek besar pembangunan manusia yang bersifat iniversial ini, nampaknya secara mendasar dapat dilayani oleh empat profesi saja.
Pembangunan non-fisik manusia dapat dilaksanakan oleh Varna Brāhmaṇa. Pembangunan fisik material dapat dilaksanakan oleh Varna Waisya. Penataan semua aspek pembangunan atau manajemen pembangunan dapat dilaksanakan oleh Varna Kṣatriya.
Pelayanan tenaga fisik pada semua aspek pembangunan dapat dilaksanakan oleh Varna Śudra. Semua profesi di dunia modern ini pada dasarnya dapat dibagi menjadi empat profesi atau Catur Varna itu. Setiap profesi yang penekanannya pada pembangunan spiritual atau non-fisik lainnya dapat digolongkan Varna Brāhmaṇa.
Setiap profesi yang penekanannya pada kesejahtraan fisik material dapat digolongkan pada Varna Waisya. Sedangkan profesi yang bertujuan untuk menata atau menekankan pada “managerial skill” dapat digolongkan pada Varna Kṣatriya. Profesi yang menekankan pada pelayanan tenaga fisik dapat digolongkan pada Varna Śudra.
Catur Varna pada dasarnya landasan filosofis untuk mengembangkan profesionalisme dalam rangka mendapatkan peranan dan fungsi dalam pembangunan manusia dan masyarakat. Dalam konsepsi Varna Brāhmaṇa, sebenarnya cukup jelas ruang dan peluang yang disediakan agar profesi keBrāhmaṇaan menjadi berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Fungsi Varna Brāhmaṇa menjaga dan mempelajari Veda dapat dilihat aktualisasinya menjadi penyucian diri dan menyucikan orang lain.
Belajar dan mengajar dengan tulus ikhlas demikian bentuk nyata dari pengalaman Varna Brāhmaṇa. Mengatur pemerintahan, menata masyarakat, melayani masyarakat adalah bentuk pengamalan Varna Ksatriya. Bergerak dalam bidang distribusi dan produksi barang-barang ekonomi untuk memenuhi kebutuhan konsumen adalah wujud dari pengamalan profesi Varna Waisya. Membantu dengan tenaga fisik adalah pengamalan dari Varna Śudra.
Keempat Varna itu akan dapat saling isi mengisi antara satu dengan yang lainnya. Pengelompokan masyarakat ke dalam empat Varna itu akan menumbuhkan hubungan sosial yang saling membutuhkan. Keretakan di antara profesi itu akan dapat merugikan semua pihak.
Glosarium
- Advaita Vedanta : bagian dari ajaran Hindu yaitu Darsana
- Agni : api yang sangat erat kaitannya dengan upacara atau Dewa pelindung yang selalu dipuja oleh umat Hindu
- Agni Hotra : persembahan terhadap Dewa Agni, nama suatu upacara yang sangat penting di dalam ajaran Veda
- Ahimsa : tidak melakukan kejahatan dan membunuh
- Akasa : Angkasa, ether. Dewa yang dipuja saat membangun rumah.
- Ambika : ibu dari alam semesta, yang senang membunuh. Korban raksasa siluman. Nama Dewi Padi, Durga, dan Parwati.
- Asvameda : upacara korban kuda yang dilakukan oleh golongan Hindu zaman dahulu
- Avidya : kebodohan. Penyebab atman terikat pada kehidupan dunia atau neraka.
- Ayodhya : kota kuno di tepi sungai Gogra yang diperintah oleh Iksvaku atau Manu dari dinasti Surya.
- Bhagavadgita : nyanyian Tuhan. Ajaran Sang Krsna dalam Mahabharata
- Bakti : persembahan atau penyerahan diri menurut petunjuk agama dalam usaha mencapai kebebasan jiwa.
- Candra : bulan atau Dewi Bulan.
- Carvaka : nama salah satu darsana yang membicarakan masalah materialis yang bersumber pada ajaran Barhaspati Sutra.
- Catur Warna : empat profesi kehidupan manusia berdasarkan keahlian “guna dan karma”, yang terdiri atas: Brahmana Varna, Ksatriya Varna, Waisya Varna, dan Sudra Varna.
- Daitya : Raksasa, Danawa, Asura keturunan Diti yang merupakan lawan dari para Dewa.
- Daksina : pemberian yang diberikan kepada pendeta yang menyelesaikan suatu upacara. Kekuatan atau sakti dari upacara Yajna.
- Dandaka : hutan tempat Sang Rama, Laksmana dan Dewi Sita berkelana
- Dewasa Ayu : hari baik