Minggu, 19 Mei 2024

SANG HYANG CANDRA

 


Ini adalah kidung yang sangat sering dikumandangkan ketika ada persembahyangan dan upacara lainnya. Maknanya begitu medalam, dan sangat relevan dengan kehidupan kita. Sangat cocok bukan saja untuk orang tua, tapi juga bagi anak-anak, generasi yang akan datang..
Sang hyang Candra taraanggana pinaka dipa
Memadangi ri kaala ning wengi
Sang hyang Surya sedeng prabhasa maka dipa memadangi ri bhumi mandala
Widya sastra sudharma dipanikanang tri bhuvana sumene prabhaasvara
Yaning putra suputra saadhu gunawaan memadangi kula wandhu wandhawa
(Sumber: Kekawin Nitisastra sarga IV.1)
Seperti Bulan dan bintang menerangi pada waktu malam.
Matahari yang sedang bersinar menerangi wilayah Bumi.
Ilmu pengetahuan, ajaran dan Dharma (Kebenaran/Aturan) memberikan penerangan pada ke tiga Jagat Raya.
Anak baik, yang berbudi luhur dan berguna, menerangi keluarga dan kerabat.
Sumber dari kidung atau nyanyian ini termuat dalam Kekawin Nitisastra yang banyak berisi berbagai ajaran, etika, tuntutan, dll ibarat sebagai penerang dalam menjalani kehidupan.. dan diri kita yang penuh dengan kegelapan..
Sebagai awal, saya mencoba menterjemahkan kata-per-kata yang saya ambil dari buku/referensi dalam Daftar Pustaka, sbb:
Arti kata per kata
Sang hyang Candra – Dewa Bulan; taraanggana – bintang ; pinaka – sebagai; dipa – lampu, cahaya;
Memadangi – menerangi; ri kaala – pada saat; ning – di saat; wengi – malam;
Sang hyang Surya – Dewa Surya, Matahari; sedeng – sedang; prabhasa – menjadi terang; maka – oleh karena; dipa - lampu, cahaya memadangi - menerangi ; ri bhumi – di Bumi; mandala – lingkaran, wilayah
Widya – ilmu pengathuan; sastra – ajaran Sastra (agama); sudharma – kebenaran, hukum; dipanikanang – sebagai lampu, cahaya; tri bhuvana - tiga dunia; sumene – menerangi; prabhaasvara – bersinar;
Yaning – jika; putra – anak; suputra – anak yang baik; saadhu – suci, berbudi luhur; gunawaan – berguna, pandai; memadangi – menerangi; kula – kulawarga/keluarga; wandhu wandhawa – sanak saudara, kerabat.
Bandingkan dengan lontar Slokantara, yang mengandung hal yang sama:
Sarwaridiipakarscandrah prabhate rawadipakah,
Trilokye dipako dharmah suputerah kuladipakah
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Kawi
Kalinganya, yan ing wengi Sang Hyang Candra sira pinaka damar, Yan ring rahina, Sang Hyang Rawi pinaka damar, Yan ring tri loka, Sang Hyang Dharma pinaka damar, Kunang yan ing kula, ikang anak suputra puika damar, ling ning aji
(Slokantara 24 (52))
Terjemahan Bahasa Sansekerta
Bulan itu lampu malam, Surya itu lampu dunia di siang hari, Dharma ialah lampu bagi ke tiga dunia ini, dan putra yang baik itu cahaya keluarga.
Terjemahan Bahasa Kawinya
Waktu malam, Bulanlah sebagai lampunya, di siang hari Mataharilah lampunya, di ketiga dunia ini, Dharma lah sebagai lampunya; dan dalam keluarga, putera yang baik itulah cahayanya. Demikian kata kitab suci.
Kedua lontar Bali/Nusantara: Kekawin Niti sastra dan lontar Slokantara, sepertinya bersumber dari Canakya Nitisatra, berbahasa Sansekerta.
Ekenapi suputrena
Vidya yuktena sadhuna
Ahladitam kulam sarvam
Yatha candrena sarvari
(Canakya Nitisastra, sloka 16)
Sebagaimana Bulan menerangi malam hari dengan cahayanya yang terang menyejukkan,
Begitulah seorang anak suputra yang berpengatuhuan rokhani, insaf akan dirinya, dan bijaksana. Anak suputra ini menyebabkan seluruh keluarganya selalu dalam kebahagiaan.

Rasanya perlu sedikit ada ulasan, untuk lebih memahamami makna spiritualnya..
Bulan, Matahari dan Bintang sebagai penerang kehidupan kita, baik ketika malam maupun pada siang hari. Jika tidak ada Matahari... maka bumi akan selalu gelap, ya tidak ada siang-maupun malam.. yang ada hanyalah malam gelap gulita.
Peranan Bulan-Matahari dan Bintang adalah sebagai kalender.. baik yang didasarkan peredaran Bulan mengelilingi Bumi kita yang lamanya 1 bulan, dikenal dengan Sasih – Sasi (Bulan) atau Month yang juga artinya Bulan. Sitem kalender yang atas dasar bulan ini dikenal dengan Sistem Lunar. Kita banyak merayakan upacara.. pada sasih tertentu.. terutama Purnama pada Sasih tertentu. Misalnya Sasih Kapat, Sasih Ke dasa, dll. Purnama-Tilem dan Gerhana Bulan, adalah waktu yang dipandang suci untuk sembahyang. Matahari juga dijadikan sebagai kalender, dikenal dengan Solar Sistem, dimana Bumi mengitari Matahari selama 1 tahun. Bintang juga, misalnya Bintang Kartika, juga dipakai pedoman dalam kehidupan kita. Dari ke tiga benda langit ini dijadikan sebagai pedoman dalam sembahyang, ala-ayuning devasa.. dll jadi tepatlah Bulan-Matahari-Bintang sebagai penerang dalam kehidupan kita.
Vidya atau ilmu pengetahuan, Sastra atau ajaran agama dan Dharma... inilah pedoman, petunjuk dan patokan.. sebagai penerang dalam menjali kehidupan di ketiga dunia termasuk di dunia ini dan kelak pada dunia lain. Tiga dunia tsb adalah Bhur, Bhuwah dan Swah.. dikenal sebagai Tri Loka.. yang mengawali mantra Gayatri. Ilmu Pengetahuan dan teknologi seperti Sosial – Ekonomi, Politik, Seni.. Teknologi, Fisika, dll adalah Vidya, pengetahuan untuk kehidupan material, sementara untuk kehidupan agama-spiritual adalah sastra dan penerapannya yng dikenal dengan Dharma.
Pustaka suci Brahma Sutra atau Vedanta Sutra yang ditulis oleh Badanarayana atau Maha Rsi Vyasa yang menulis wiracarita Mahabharata dan banyak Purana, menyatakan sastra lah yang yang seharusnya menjadi petunjuk dan pegangan dalam melaksanakan ajaran-ajaran Agama
Sastrayonitvat
(Brahma sutra, sutra 3)
Sastra atau kitab suci (sajalah) jalan menuju kepada pengetahuan yang benar
Jadi sastra atau kitab suci lah yang dipakai pegangan utama yang menuntun manusia Hindu dalam kehidupan sehari-hari dan bidang agama, bukan sekedar olah pikir, spekulatif dan kebiasaan-kebiasaan yang bisa saja bertentangan dengan agama atau Dharma. Atau kadang lebih percaya kepada pewisik, kerawuhan, dll yang mungkin belum tentu adalah sabda Betara atau Dewa.
Pandangan sastra Bali-Nusantara
Bagaimana dengan pelaksanaan agama (dan adat) terutama di Bali?
Secara umum, seperti dimuat dalam lontar Aji Dresti Loka Kretih, menyatakan bahwa dalam menjalankan agama dan adat, khususnya di Bali, hendaknya berpedoman pada Catur Dresta: Niti Agama, Purwwa Dresta, Loka Dresta dan Desa Dresta.
Mangkana temahan ira, apan karaketan letuh sariranya, hetunya yatna pwa sira aniti kramaning Agama Siwa Tirtha, hetuya Sang Hyang Siwaagni juga maka pamari puurnna ning merana kabeh, hana ring sang pandhita, apan sang pandhita Siwa Dharmma putusing tatwa ajnaana, wruhing pasurupaning gring marana, kabeh, anggawe kretta supuurnnaning raat, anresti upapatting wwang kabeh, de nira padha trepti Niti Agama, manuting Purwwa Dresta, Loka Dresta, Desa Dresta, ika tang Catur Dresta, maka sipating wwang amrinh hayuning nagara, wwang sariranya samangke, wwang katekaning kapatyanya, haywa tan weruh ri katatwaning sariranya, mwang sangkan paranya, bhuwanaagung mwang bhuvanaalit.
(lontar Aji Dresta Loka Kretih)
Demikian jadinya, karena dilekati kekotoran tubuhnya, karena itu waspadalah mengikuti peraturannya Agama Siwa Tirta, sebab itu Sang Hyang Siwagni juga sebagai penyempurnaannya (pembasmiannya) hama semuanya, ada pada sang pendeta, karena sang pendeta Siwa Dharma telah sempurna dalam tatwajnana (pengetahuan filsafat), mengetahui penyusupan penyakit hama semua, menjadikan aman tenteram lebih sempurna dunia ini, menjadi hakim semua orang, oleh karenanya sama-sama puas mengikuti Agama, Purwwa Dresta (tradisi kuna), Loka Dresta (tradisi dunia), Desa Dresta (tradisi setempat), itu disebut Catur Dresta (empat tradisi), sebagai patokan mengusahakan kesejahteraan negara, dan dirinya sekarang san sampai kematiannya, janganlah tidak mengetahui akan sejatinya diri, dan asal serta tujuannya, bhuwan agung (jagat raya) dan bhuwana alit (diri manusia).
Jadi menurut lontar Aji Dresta Loka Kretih, untuk mensejahterakan dunia dan diri manusia, hendaknya berpedoman pada Agama (Sastra agama), dan berbagai dresta (pandangan atau tradisi), seperti Purwwa Dresta (tradisi kuna), Loka dresta (tradisi dunia), dan Desa Dresta (tradisi desa setempa).
Dilihat dari kedudukan, dan otoritasi atau kewenangan perincian dari catur dresta tersebut, maka Sastra Dresta berada dalam keduduklan tertinggi begitupula dengan memiliki kewenangan yang tertinggi dalam menentukan benar-salah, baik-buruk, patut-tidak patut dalam mematuhi agama, baru kemudian diikuti dengan dresta yang kedudukannya lebih rendah: Loka Dresta, Purwwa Dresta dan terakhir Desa Dresta. Bukan sebaliknya, yang mana Desa Dresta atau tradisi setempat desa ”mengalahkan” sastra dresta atau agama.
Sebaliknya, ada peringatan bagi yang tidak mengindahkan ajaran Veda, apalagi yang melecehkannya.
Bahkan pustaka Chanakya Nitisastra, lebih tegas lagi memberikan peringatan bagi orang-orang yang melalaikan Veda, apalagi sampai meremehkan atau menghina ajaran Veda:
aanyatha vedapandityam
sastramacaramansyatha
anyatha vadacchantam
lokah klisyanti canyathad
(Chanakya Nitisastra, sloka V.10)
Meremehkan kebijaksanaan ajaran Veda, menghina tingkah laku/kegiatan yang sesuai dengan ajaran-ajaran Sastra / Veda, menjelekkan orang yang selalu berkata lembut bijaksana, tidak ada lain lagi inilah yang menyebabkan kekalutan Dunia.
Kembali pada baris terakhir dari kidung Kekawin Nitisastra tersebut,
Seorang anak, seorang Putra yang suputra, sepatutnya adalah orang yang berguna, bermanfaat bagi keluarga, masyarakat dan negara. Bukan yang menjadi beban, bersifat konsumtif, yang selalu memenuhi kama (nafsu – keinginan) dan harta, tetapi sebaliknya adalah anak yang produktif, yang bekerja dan menghasilkan sesuatu yang berguna. Disamping itu, seorang anak yang sadhu, orang yang suci karena mampu mengendalikan indrianya. Orang sadhu, adalah orang yang sidha, orang yang berhasil dan memiliki sidhi, karena telah menjalankan sadhana dengan tekun. Konon, seorang anak disebut Putraka, karena anak yang suputra akan membebaskan leluhurnya dari siksa neraka.
Astungkara !!
Made Astana
Daftar Pustaka
1. Miwanto”Kekawin Nitisatra – teks, terjemahan dan komentra”, Penerbit Paramita Surabaya, 2015.
2. I Made Darmayasa “Canakya Nitisastra “, Yayasan Dharma Narada, 1995
3. Prof Dr. Tjok Rai Sudharta, M.A. “Slokantara – Untaian Ajaran Etika, Teks, Terjemahan dan Ulasan”, Upada Sstra, 1991.

Tedung

 


Tedung, wastra dan atribut lainnya di tempat suci, menandakan akan ada upacara. Tedung menjadi simbolik peneduh bhakta.
Tedung yang ada di pura, juga sebagai Ista Dewata. Bahkan dapat juga sebagai windu, yang terdiri atas bhur, bwah, swah, yang mengayomi ketiga jagat (dunia)
Bentuknya yang bulat menjadi simbol menyeluruh atau universal karena perlindungan dan kedamaian diharapkan ada di seluruh dunia.
Tedung juga sering dikaitkan dengan makna gunung sebagai peneduh dunia dan melindungi bhakta.

Istilah tedung agung dan robrob dibedakan atas lenter/ider-ider yang dikenakan pada sisi penggir tukub/atap tedung dengan posisi berjuntai. Kalau Tedung robrob, pada sisi pinggirnya diisi atau dihiasi dengan anyaman atau sulaman dari benang. Sulaman atau rajutan yang menghiasi pinggiran tedung robrob menggunakan benang wol yang berwarna, seperti hitam, putih, kuning merah maupun hijau. Sedangkan tedung agung, pada hiasan tepi pinggir dijuntai dengan kain warna atau prada yang lazim disebut dengan ider-ider. Kain yang berjuntai tersebut terdiri dari dua lapis/warna dengan ukuran kain atas/depan lebih pendek dari pada yang dibagian bawah/tengahnya.
Setiap kerangka Tedung memiliki makna. Bahkan mempunyai filosofinya yang berbeda juga. Sebuah iga-iga tedung, lanjutnya, bermakna sebagai pangider bhuana (lambang dunia) yang berfungsi sebagai peneduh jagat, karena bentuknya yang bundar dan sesuai dengan arah mata angin.
“Sebelum dipakai, Tedung baru harus diupacarai terlebih dahulu, menggunakan banten pangulapan. Pada Tedung juga diisi sasap yi janur dan daun dapdap. Setelah itu, baru bisa digunakan, karena sudah dianggap suci.

Jumat, 17 Mei 2024

Sate Renteng Simbol Dewi Durga

 


Sarana upakara di Bali dikenal dengan berbagai bentuk dan jenis. Salah satunya adalah Sate Renteng. Sarana upacara ini memiliki bentuk yang tergolong unik, di mana terdiri dari beberapa tusuk sate dan rangkaian kulit Babi. Apa sejatinya makna Sate Renteng ini?

Sate Renteng, jika dilihat dari beberapa lontar agama Hindu memang belum ada yang membahas secara jelas. Sehingga Sate Renteng dalam upacara Hindu disebut dengan uperengga atau pelengkap upakara yadnya, namun wajib ada dalam setiap upacara yang menggunakan Banten Bebangkit. Sate Renteng sangat erat kaitannya dengan Banten Bebangkit yang menggunakan Babi Guling sebagai ulamnya.

“Hal itu sesuai dengan makna Banten Bebangkit yang merupakan persembahan kepada Dewi Durga,” ujar Budayawan, I Gede Anom Ranuara, S.pd, S.Sn yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group), Kamis (30/3).

Lebih lanjut dijelaskannya, dalam Lontar Tattwa Mpu Kuturan dijelaskan mengenai Rerentengan Jatah yang artinya rangkaian atau susunan sate. Sedangkan dalam Lontar Kadurgan dijelaskan juga mengenai rangkaian sate yang disebut Gayah. Gayah adalah merangkai kembali tulang babi yang akan dipersembahkan kepada Dewi Durga. Karena, apa pun itu segala jenis olahan daging babi pasti dipersembahkan kepada Dewi Durga.

Secara filosofis, Sate Renteng berawal dari permohonan Dewa Wisnu kepada Dewi Durga untuk membunuh Mahesasura, karena diyakini hanya Dewi Durga yang mampu menaklukkannya. Permohonan itu disanggupi oleh Dewi Durga, namun semua senjata para dewa agar berkenan diserahkan untuk mengalahkan Mahesasura. “Hal itu dibuktikan dengan terdapatnya sate yang berbentuk sembilan senjata para Dewa ,” jelasnya.


Sate Renteng terdiri dari beberapa jenis, yakni Sate Renteng Puspusan yang menggunkan kelapa sebagai alasnya. Di mana didalamnya terdapat 13 buah tusuk sate, namun tidak menggunakan bagia Pulekerti. Kedua adalah Sate Renteng Sari. Dalam sate ini terdapat Bagia Pulekerti, namun tetap berpatokan kepada 13 buah tusuk sate. Ketiga adalah sate Renteng Utuh, jenis sate Renteng yang tergolong tinggi, sebab pada alasnya menggunakan kepala babi utuh. Yang terakhir adalah Sate Renteng Durga Dewi yang tertinggi. Hal yang membedakan adalah penggunaan kepala babi yang disertai dengan cabai merah melambangkan taring Dewi Durga.

Beberapa komponen yang harus dilengkapi ketika hendak membuat Sate Renteng, yakni Sate Asem, Sate Serapah, Sate Lamat, Kekuwung, Bagia Pulekerti, Senjata Dewata Nawa Sanga, Penyelah, Aling-aling, Lawang, Japit Balung, dan Japit Babi. Susunan dalam merangkai Sate Renteng hendaknya selalu memperhatikan Tattwa, di mana ada beberapa komponen wajib yang harus ada di dalam Sate Renteng. Sate Renteng wajib menggunakan kelapa yang merupakan simbol bumi. Jika untuk keperluan estetika atau seni, boleh menggunakan gedebong atau batang pisang, namun wajib menggunakan sebanyak tiga biji yang melambangkan Tri Bhuwana atau tiga alam.

Selanjutnya di bagian dasar terdapat rangkaian tulang belulang babi, inilah yang dinamakan gayah. Selain itu, terdapat cabe merah yang merupakan simbol Banaspati yang berkaitan erat dengan Dewi Durga. Namun, secara biologis cebe memiliki peran penting untuk menghalau lalat agar tidak hinggap di sate, karenannya cabe diletakkan di ujung-ujung tusuk sate. Kunyit juga terdapat dalam rangkaian Sate Renteng yang merupakan penguat rangkaian agar kulit babi yang dirangkai tidak jatuh. Namun, secara biologis dapat menjadi antibiotik pada sate agar tidak busuk.

Selain beberapa komponen yang telah disebutkan , hal yang tak kalah penting adalah penggunaan Paru-paru di arah timur, Hati di arah selatan, Empedu di arah barat, Limpa di arah utara, dan di tengah adalah ginjal. Komponen ini hendaknya harus terdapat dalam rangkaian Sate Renteng. “Karena penggunaan ini merupakan simbol kanda pat yang tak lain merupakan ancangan Dewi Durga,” tutup Anom.

(bx/gus /yes/JPR) –sumber

Bhagavadgita Tiga Sifat Alam Material





Bhagavadgita Bab XIV - Tiga Sifat Alam Material

Bhagavad-gita 14.1
14.1 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; sekali lagi Aku akan bersabda kepadamu tentang kebijaksanaan yang paling utama ini, yang paling baik di antara segala pengetahuan. Setelah menguasai pengetahuan ini, semua resi sudah mencapai kesempurnaan yang paling tinggi.


Bhagavad-gita 14.2
14.2 Dengan menjadi mantap dalam pengetahuan ini, seseorang dapat mencapai sifat rohani seperti sifat-Ku sendiri. Setelah menjadi mantap seperti itu, ia tidak dilahirkan pada masa ciptaan atau pun digoyahkan pada masa peleburan.

Bhagavad-gita 14.3
14.3 Seluruh bahan material, yang disebut Brahman, adalah sumber kelahiran, dan Aku menyebabkan Brahman itu mengandung, yang memungkinkan kelahiran semua makhluk hidup, wahai putera Bharata.

Bhagavad-gita 14.4
14.4 Hendaknya dimengerti bahwa segala jenis kehidupan dimungkinkan oleh kelahiran di alam material ini, dan bahwa Akulah ayah yang memberi benih, wahai putera Kunti.

Bhagavad-gita 14.5
14.5 Alam material terdiri dari tiga sifat-kebaikan, nafsu, dan kebodohan. Bila makhluk hidup yang kekal berhubungan dengan alam, ia diikat oleh sifat-sifat tersebut, wahai Arjuna yang berlengan perkasa.




Bhagavad-gita 14.6
14.6 Wahai yang tidak berdosa, sifat kebaikan lebih murni daripada sifat-sifat yang lain,. Karena itu, sifat kebaikan memberi penerangan dan membebaskan seseorang dari segala reaksi dosa. Orang yang mantap dalam sifat itu diikat oleh rasa kebahagiaan dan pengetahuan.

Bhagavad-gita 14.7
14.7 Sifat nafsu dilahirkan dari keinginan dan hasrat yang tidak terhingga, wahai putera Kunti. Karena itu, makhluk hidup di dalam badan terikat terhadap perbuatan material yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil atau pahala.

Bhagavad-gita 14.8
14.8 Wahai putera Bharata, ketahuilah bahwa sifat kegelapan, yang dilahirkan dari kebodohan, adalah khayalan bagi semua makhluk hidup yang mempunyai badan. Akibat sifat ini adalah kegoncangan jiwa, sifat malas dan kecenderungan untuk tidur, yang mengikat roh yang terikat.

Bhagavad-gita 14.9
14.9 Wahai putera Bharata, sifat kebaikan mengikat seseorang pada kebahagiaan; nafsu mengikat dirinya pada kegiatan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil atau pahala; dan kebodohan, yang menutupi pengetahuanya mengikat dirinya pada kegilaan.

Bhagavad-gita 14.10
14.10 Kadang-kadang sifat kebaikan menonjol, dan mengalahkan sifat nafsu dan kebodohan, wahai putera bharata. Kadang-kadang sifat nafsu mengalahkan sifat kebaikan dan kebodohan, dan pada waktu yang lain kebodohan mengalahkan kebaikan dan nafsu. Dengan cara demikian selalu ada persaingan untuk berkuasa.

Bhagavad-gita 14.11
14.11 Perwujudan-perwujudan sifat kebaikan dapat dialami bila pintu gerbang badan diterangi oleh pengetahuan.

Bhagavad-gita 14.12
14.12 Wahai yang paling utama di antara para putera keturunan Bharata, bila sifat nafsu meningkat, berkembanglah tanda-tanda ikatan yang besar, kegiatan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil atau pahala, usaha yang keras sekali, keinginan dan hasrat yang tidak dapat dikendalikan.

Bhagavad-gita 14.13
14.13 Bila sifat kebodohan meningkat, terwujudlah kegelapan, malas-malasan, keadaan gila dan khayalan, wahai putera kuru.

Bhagavad-gita 14.14
14.14 Bila seseorang meninggal dalam sifat kebaikan, ia mencapai planet-planet murni yang lebih tinggi, tempat tinggal para resi yang mulia.

Bhagavad-gita 14.15
14.15 Bila seseorang meninggal dalam sifat nafsu , ia dilahirkan di tengah-tengah mereka yang sibuk dalam kegiatan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil. Bila seseorang meninggal dalam sifat kebodohan, ia dilahirkan di kerajaan binatang.

Bhagavad-gita 14.16
14.16 Hasil perbuatan saleh bersifat murni dan dikatakan bersifat kebaikan. Tetapi perbuatan yang dilakukan dalam sifat nafsu mengakibatkan kesengsaraan, dan perbuatan yang dilakukan dalam sifat kebodohan mengakibatkan hal-hal yang bukan-bukan.

Bhagavad-gita 14.17
14.17 Pengetahuan yang sejati berkembang dari sifat yang sejati berkembang dari sifat kebaikan; loba berkembang dari sifat nafsu; dan kegiatan yang bukan-bukan, sifat gila dan khayalan berkembang dari sifat kebodohan.

Bhagavad-gita 14.18
14.18 Orang yang berada dalam sifat kebaikan berangsur-angsur naik sampai planet-planet yang lebih tinggi; orang yang berada dalam sifat nafsu hidup di planet-planet seperti bumi; orang yang berada dalam sifat kebodohan yang menjijikan turun memasuki dunia-dunia neraka.

Bhagavad-gita 14.19
14.19 Bila seseorang melihat dengan sebenarnya melihat bahwa dalam segala kegiatan tiada pelaku lain yang bekerja selain sifat-sifat alam tersebut dan ia mengenal Tuhan Yang Maha Esa, yang melampaui segala sifat tersebut, maka ia mencapai alam rohani-Ku.



Bhagavad-gita 14.20
14.20 Bila makhluk hidup di dalam badan dapat melampaui ke tiga sifat alam yang berhubungan dengan badan jasmani, ia dapat dibebaskan dari kelahiran, kematian, usia tua dan dukacitanya hingga ia dapat menikmati minuman kekekalan bahkan dalam kehidupan ini pun.

Bhagavad-gita 14.21
14.21 Arjuna berkata; O Tuhan yang hamba cintai, melalui tanda-tanda manakah kita dapat mengetahui orang yang melampaui tiga sifat alam tersebut? Bagaimana tingkah lakunya? Bagaimana cara melampaui sifat-sifat alam?

Bhagavad-gita 14.22
Bhagavad-gita 14.23
Bhagavad-gita 14.24
Bhagavad-gita 14.25
14.22 – 25 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Wahai putera Pandu, orang yang tidak membenci penerangan, ikatan, dan khayalan bila hal-hal itu ada ataupun merindukannya bila hal-hal itu lenyap; yang tidak pernah gelisah atau goyah selama ia mengalami segala reaksi sifat-sifat alam material, tetap netral dan rohani, dengan mengetahui bahwa hanya sifat-sifat itulah yang bergerak; mantap dalam sang diri dan memandang suka dan duka dengan sikap sama; memandang segumpal tanah, sebuah batu dan sebatang emas dengan pandangan yang sama; bersikap yang sama terhadap yang diinginkan dan yang tidak diinginkan; mantap, bersikap yang sama baik terhadap pujian maupun tuduhan, penghormatan maupun penghinaan; yang memperlakukan kawan dan musuh dengan cara yang sama; dan sudah melepaskan ikatan terhadap segala kegiatan segala kegiatan material- orang seperti itulah dikatakan sudah melampaui sifat-sifat alam.

Bhagavad-gita 14.26
14.26 Orang yang menekuni bhakti sepenuhnya, dan tidak gagal dalam segala keadaan, segera melampaui sifat-sifat alam material, dan dengan demikian mencapai tingkat Brahman.

Bhagavad-gita 14.27
14.27 Aku adalah sandaran Brahman yang tidak bersifat pribadi, yang bersifat kekal, tidak pernah mati, tidak dapat dimusnahkan dan bersifat kekal, kedudukan dasar kebahagiaan yang paling tinggi.

Sumber : cakepane.blogspot.com


FILOSOFI CATUR VARNA DAN KONSEP DASAR PROFESIONALISME

 Filosofi Catur Varna dan Konsep Dasar Profesionalisme di zaman modern atau saat ini - Pada pembahasan materi agama Hindu kali ini mengenai Filosofi Catur Varna dan Konsep Dasar Profesionalisme yang merupakan salah satu dari bagian dari 4 Catur Varna dalam agama Hindu, untuk lebih mudah dipahami dapat kalian simak dalam penjelasan singkat berikut ini!


Catur Varna dan Profesionalisme di Zaman Modern

Ajaran Catur Varna ini sesungguhnya filosofi profesionalisme menurut Hindu. Sayang ajaran yang sangat mulia dan luhur ini dikotori oleh bintik-bintik hitam sejarah masa lampau yang menjungkirbalikan secara total ajaran Catur Varna itu menjadi kasta. Hal ini membuat terpuruknya citra Hindu di mata masyarakat luas.

Oleh karena itu dalam Pesamuan Agung PHDI, 26-29 Oktober 2002 di Mataram ini, ajaran Catur Varna itu akan dikembalikan pada fungsinya yang semula sesuai perkembangan dan tuntutan masyarakat.
Filosofi Catur Varna dan Konsep Dasar Profesionalisme
Filosofi Catur Varna dan Konsep Dasar Profesionalisme

Pada Pesamuan Agung tahun 2000 di Denpasar masalah pengembalian ajaran Catur Varna ini sudah pernah diajukan kepada sabha pandita untuk ditetapkan menjadi bhisama. Usul itu tinggal usul sampai akhirnya datang Maha Sabha VIII, bhisama tersebut tidak disidangkan oleh sabha pandita saat itu. Karena sesuai dengan Anggaran Dasar PHDI yang berhak mengeluarkan bhisama hanyalah sabha pandita.

Karena sabha pandita-lah sebagai unsur yang tertinggi dalam susunan kelembagaan PHDI. Hal ini memang sesuai dengan makna kitab suci Manawa Dharmasastra. Pada Pesamuan Agung PHDI di Mataram, ini diajukan lagi rancangan bhisama tentang Catur Varna ini sebagaimana diamanatkan oleh Maha Sabha VIII PHDI 2001 lalu.

Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat pada Pesamuhan Agung Tanggal 29 Oktober 2002. Menetapkan antara lain; Catur Varna adalah ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat atas “guna” dan “Kama” dan tidak terkait dengan Kasta atau Wangsa. Bhisama tentang Pengamalan Catur Varna ini sebagai pedoman yang sepatutnya dipatuhi oleh seluruh umat Hindu. Menugaskan kepada Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk memasyarakatkan Bhisama Tentang Pengamalan Catur Varna ini, beserta penjelasannya dalam lampiran Bhisama ini kepada scluruh umat Hindu di Indonesia.


Memahami Teks

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa dalam Bhagavadgītā dan kitab-kitab Hindu lainnya disebutkan Tuhan hanya menciptakan empat profesi atau Catur Varna padahal kita melihat dewasa ini banyak sekali jenis profesi yang berkembang?

Dapatkah semua jenis profesi itu dikelompokkan menjadi empat kelompok profesi? Hal inilah yang perlu dibahas sehingga Catur Varna itu menjadi lebih jelas perannya dalam pembangunan masyarakat.

Catur Varna itu adalah empat profesi yang diciptakan oleh Tuhan. Di dunia ini, yang kekal abadi adalah Tuhan. Semua ciptaannya dapat berubah-ubah atau mengalami penyempurnaan-penyempurnaan sesuai dengan tuntutan zaman.

Menurut ajaran Hindu zaman itu akan berubah-ubah, setiap perubahan membawa ciri-ciri tertentu. “satu hari Brahman” dibagi menjadi empat belas masa, setiap masa dibagi menjadi empat zaman. Ke empat zaman itu adalah: Kertha Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga. Ciri-ciri tiap-tiap Yuga ini dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra I, 85 dan 86 sebagai berikut:

Anye krtayuge dharmās
Tretāyām dvāpare pare,
anye kaliyuga nŕnām
yuga hrāsānu rūpatah

Terjemahan:
Suatu macam tertentu dari kewajiban-kewajiban yang ditentukan bagi manusia di zaman Kertha, adalah berbeda dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan di zaman Treta, berbeda pula dengan zaman Dwapara dan demikian pula pada zaman Kali, sesuai dengan panjangnya masa semakin berkurang.

Tapah param krta yuge
Tretāyām jňānam ucyate
dvāpare yajňam evāhur
dānam ekam kalau yuge

Terjemahan:
Pada zaman Kertha Yuga yang menjadi puncak dari kewajiban adalah pelaksanaan tapa, brata, semadhi, dalam zaman Treta pengetahuan suci, pada zaman Dwapara adalah upacara Yadnya, pada zaman Kali yang paling utama adalah dana atau pemberian harta benda.

Pada sloka 81 s/d 83 dalam kitab Manawa Dharmaśāstra, dijelaskan dengan jelas ciri-ciri setiap zaman. Pada zaman Kertha dikatakan Dharma berkaki empat manusia dengan sempurna tanpa cacat, mendapatkan kewajiban tidak ada kecurangan, tidak ada kejahatan. Sedang pada zaman berikutnya Dharma sudah mulai digerogoti secara bertahap sampai pada zaman Kali, dimana kejahatan dan kebohongan merajalela. Pada zaman Kertha, manusia bebas dari berbagai penyakit sehingga dapat berumur sampai empat ratus tahun, setiap zaman umur manusia makin berkurang.

Perbedaan setiap zaman inilah yang menyebabkan perbedaan penekanan profesi atau Varna yang dibutuhkan. Pada zaman Kertha manusia berumur panjang dan penuh dengan kebajikan, maka yang paling utama adalah melakukan tapa, brata dan semadhi. Pada zaman ini profesi atau Varna Brāhmaṇalah yang paling dibutuhkan.

Karena Varna Brāhmaṇa yang paling dibutuhkan maka wajarlah secara sosio-logis Varna Brāhmaṇa yang dianggap paling utama. Pada zaman Kerta kesucianlah yang dianggap paling penting.

Pada zaman Treta kesaktian atau kepintaran yang dianggap paling penting. Pada zaman ini orang memuja-muja kemampuan (kesaktian). Zaman Treta profesi Kṣatriya menjadi paling menonjol, karena itu Varna Kṣatriyalah yang dianggap paling utama.

Pada zaman Dwapara, Yadnya yang dianggap paling utama. Upacara Yadnya yang besar akan menghabiskan dana yang besar, karena itu Varna Waisyalah yang dianggap paling utama. Pada zaman Kali yang dianggap paling utama adalah pemberian harta benda. Sumber harta benda adalah Varna Waisya dan Śudra, karena itu Varna Waisya dan Śudralah yang dianggap paling menonjol.




Kedudukan utama pada masing-masing Varna yang didapatkan pada setiap zaman hanyalah merupakan pkamungan sosiologis saja. Kalau ditinjau secara filosofis, semua Varna adalah penting pada setiap zaman dan pada setiap orang.

Menurut Prof. Dr. I. B. Mantra, Catur Varna secara filosofis ada pada setiap orang. Dalam bercita-cita hendaknya seseorang itu menjadikan dirinya seorang Brāhmaṇa, dalam mengembangkan cita-citanya seseorang hendaknya menjadi seorang Kṣatriya. Dalam hal memelihara kemakmurannya hendaknya ia menjadi seorang Waisya, melayani semua itu hendaknya ia menjadi seorang Śudra. Keempat Varna atau profesi itu unsur-unsur dasarnya ada pada diri setiap orang. Idealnya keempat profesi itu dapat ditumbuhkan secara seimbang dan profesional.

Pertumbuhan unsur-unsur Varna atau profesi dalam diri setiap orang tidaklah terlalu sama. Ada pada diri seseorang, yang lebih kuat pengaruh dan pertumbuhannya bakat kerohanian, orang ini akan menjadi seorang Brāhmaṇa. Ada yang lebih dominan pertumbuhan bakatnya dalam kepemimpinan, orang ini akan menjadi Varna Kṣatriya.

Demikian pula yang lebih dominan pertumbuhan bakatnya dalam bidang ekonomi, orang inipun akan menjadi seorang Varna Waisya. Sedangkan mereka yang hanya mampu menumbuhkan tenaga fisiknya, diapun akan menjadi Varna Śudra.


Yang menjadi persoalan dewasa ini, cukup relevankah hanya empat Varna ini sebagai lkamusan filosofis pembangunan profesi?

Pada dunia modern dewasa ini ada berbagai profesi, dapatkah semua profesi ini dikelompokkan ke dalam empat kelompok profesi atau Varna? Hal inilah yang harus diberikan jawaban yang setepat-tepatnya. Untuk mencari jawaban tersebut, kita berangkat dari tujuan pembangunan pada zaman modern dewasa ini. Pembangunan bertujuan membangun manusia seutuhnya dan seluruhnya. Seutuhnya dimaksudkan membangun manusia dalam segala totalitasnya.

Membangun manusia seluruhnya dalam pengertian tidak ada satupun manusia yang ditinggalkan dalam pembangunan. Konsep pembangunan modern dewasa ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan konsep pembangunan kualitas manusia menurut pkamungan Hindu. Kalau kita ringkas keberadaan diri manusia itu memang dapat dibagi dua aspek, aspek rohani dan aspek jasmani. Untuk melayani dua aspek besar pembangunan manusia yang bersifat iniversial ini, nampaknya secara mendasar dapat dilayani oleh empat profesi saja.

Pembangunan non-fisik manusia dapat dilaksanakan oleh Varna Brāhmaṇa. Pembangunan fisik material dapat dilaksanakan oleh Varna Waisya. Penataan semua aspek pembangunan atau manajemen pembangunan dapat dilaksanakan oleh Varna Kṣatriya.

Pelayanan tenaga fisik pada semua aspek pembangunan dapat dilaksanakan oleh Varna Śudra. Semua profesi di dunia modern ini pada dasarnya dapat dibagi menjadi empat profesi atau Catur Varna itu. Setiap profesi yang penekanannya pada pembangunan spiritual atau non-fisik lainnya dapat digolongkan Varna Brāhmaṇa.

Setiap profesi yang penekanannya pada kesejahtraan fisik material dapat digolongkan pada Varna Waisya. Sedangkan profesi yang bertujuan untuk menata atau menekankan pada “managerial skill” dapat digolongkan pada Varna Kṣatriya. Profesi yang menekankan pada pelayanan tenaga fisik dapat digolongkan pada Varna Śudra.

Catur Varna pada dasarnya landasan filosofis untuk mengembangkan profesionalisme dalam rangka mendapatkan peranan dan fungsi dalam pembangunan manusia dan masyarakat. Dalam konsepsi Varna Brāhmaṇa, sebenarnya cukup jelas ruang dan peluang yang disediakan agar profesi keBrāhmaṇaan menjadi berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Fungsi Varna Brāhmaṇa menjaga dan mempelajari Veda dapat dilihat aktualisasinya menjadi penyucian diri dan menyucikan orang lain.

Belajar dan mengajar dengan tulus ikhlas demikian bentuk nyata dari pengalaman Varna Brāhmaṇa. Mengatur pemerintahan, menata masyarakat, melayani masyarakat adalah bentuk pengamalan Varna Ksatriya. Bergerak dalam bidang distribusi dan produksi barang-barang ekonomi untuk memenuhi kebutuhan konsumen adalah wujud dari pengamalan profesi Varna Waisya. Membantu dengan tenaga fisik adalah pengamalan dari Varna Śudra.

Keempat Varna itu akan dapat saling isi mengisi antara satu dengan yang lainnya. Pengelompokan masyarakat ke dalam empat Varna itu akan menumbuhkan hubungan sosial yang saling membutuhkan. Keretakan di antara profesi itu akan dapat merugikan semua pihak.

  Glosarium  
  • Advaita Vedanta : bagian dari ajaran Hindu yaitu Darsana
  • Agni : api yang sangat erat kaitannya dengan upacara atau Dewa pelindung yang selalu dipuja oleh umat Hindu
  • Agni Hotra : persembahan terhadap Dewa Agni, nama suatu upacara yang sangat penting di dalam ajaran Veda
  • Ahimsa : tidak melakukan kejahatan dan membunuh
  • Akasa : Angkasa, ether. Dewa yang dipuja saat membangun rumah.
  • Ambika : ibu dari alam semesta, yang senang membunuh. Korban raksasa siluman. Nama Dewi Padi, Durga, dan Parwati.
  • Asvameda : upacara korban kuda yang dilakukan oleh golongan Hindu zaman dahulu
  • Avidya : kebodohan. Penyebab atman terikat pada kehidupan dunia atau neraka.
  • Ayodhya : kota kuno di tepi sungai Gogra yang diperintah oleh Iksvaku atau Manu dari dinasti Surya.
  • Bhagavadgita : nyanyian Tuhan. Ajaran Sang Krsna dalam Mahabharata
  • Bakti : persembahan atau penyerahan diri menurut petunjuk agama dalam usaha mencapai kebebasan jiwa.
  • Candra : bulan atau Dewi Bulan.
  • Carvaka : nama salah satu darsana yang membicarakan masalah materialis yang bersumber pada ajaran Barhaspati Sutra.
  • Catur Warna : empat profesi kehidupan manusia berdasarkan keahlian “guna dan karma”, yang terdiri atas: Brahmana Varna, Ksatriya Varna, Waisya Varna, dan Sudra Varna.
  • Daitya : Raksasa, Danawa, Asura keturunan Diti yang merupakan lawan dari para Dewa.
  • Daksina : pemberian yang diberikan kepada pendeta yang menyelesaikan suatu upacara. Kekuatan atau sakti dari upacara Yajna.
  • Dandaka : hutan tempat Sang Rama, Laksmana dan Dewi Sita berkelana
  • Dewasa Ayu : hari baik