Senin, 26 Agustus 2024

Tiga utang manusia


 

Kitab suci Veda menyatakan tiga utang manusia, yakni kepada para dewata (deva rna) sebagai abdi-abdi Tuhan yang memberikan kelengkapan unsur-unsur material kepada manusia. Utang kedua adalah kepada para leluhur (pitra rna) karena atas jasa mereka seseorang bisa lahir ke dunia ini dan mendapatkan kesempatan lahir menjadi manusia. Utang ketiga adalah kepada para rsi, brahmana, atau guru kerohanian (acarya) sebab mereka memberikan diksa atau kelahiran kedua.
Kelahiran pertama adalah kelahiran fisik yang terjadi atas persatuan ayah dan ibu (pitra). Kelahiran kedua (dvijati) terjadi atas persatuan guru (rsi, brahmana, acarya) dengan Veda (kitab suci). Hanya manusia (bukan binatang atau tumbuhan) yang bisa mempelajari Veda dan menerima pengetahuan rohani. Pengetahuan rohani inilah yang membedakan manusia dengan binatang.
Itulah sebabnya manusia punya utang kepada para rsi (orang suci: nabi, acarya, guru kerohanian atau apalah istilahnya). Kalau seseorang hanya dilahirkan secara fisik tetapi tidak diberikan pengetahuan rohani, kehidupannya akan hanya berkisar antara makan/minum, tidur, mempertahankan hidup, dan berketurunan. Namun, apabila manusia diberikan pengetahuan rohani mengenai jati dirinya sebagai atma (roh) yang suci, maka di sanalah dia memenuhi misi hidupnya sebagai manusia.
Semua utang itu tergambar pada tangan manusia. Tangan manusia adalah gabungan dari empat jalur (patha) persembahan. Tiga celah di antara kelingking, jari manis, jari tengah dan telunjuk adalah jalur persembahan kepada Tuhan dan para dewata. Karena itu, orang yang mempersembahkan bunga, air atau aksata kepada Tuhan dan para dewata hendaknya mempersembahkannya melewati celah di antara empat jemari tangan.
Celah antara telunjuk dan ibu jari adalah jalur untuk persembahan kepada para leluhur. Apabila seseorang melakukan pindodaka, tarpana, atau pinda dana (persembahan air dan nasi kepal kepada leluhurnya), maka ia hendaknya mempersembahkannya melewati celah ini sembari mengucapkan doa/mantra kepada leluhurnya baik dari pihak ayah maupun ibu.


Cekungan di bawah kelingking adalah jalur persembahan kepada para rsi, brahmana dan acarya. Apabila seseorang akan melakukan persembahan air, abhiseka atau puspanjali kepada para orang suci, para rsi, Bhagawan Byasa, atau para acarya, maka persembahan itu hendaknya melewati cekungan ini.
Di pangkal tangan seseorang (tepat di atas pergelangan tangan) adalah cekungan yang disebut manusa patha atau brahma tirtha. Lewat cekungan inilah seseorang meminum air suci (tirtha) atau meminum air saat melakukan acamana (penyucian diri dengan air suci). Apabila mulut menyentuh bagian ini, tangan tidak menjadi leteh (kotor) karena tercemar kotoran mulut. Apabila tirtha diminum tidak melalui celah brahmatirtha ini, maka tangan seseorang dinyatakan cemer (tercemar) oleh mulut dan liurnya. Demikian petunjuk sastra.

Selasa, 20 Agustus 2024

CERITA RAKYAT BALI Pan Balang Tamak Yang Licik

 



Hiduplah seorang lelaki di Bali pada zaman dahulu. Pan Balang Tamak namanya. Pan Balang Tamak dikenal selaku orang yang licik dan cerdik. Kecerdikannya kerap digunakannya untuk berbuat licik. Ia juga dikenal selaku sosok pembohong, sombong, pemalas, dan jarang bergaul dengan orang lain. Orang-orang di desanya tidak menyukai Pan Balang Tamak. Sang Kepala Desa di mana Pan Balang Tamak tinggal termasuk orang yang tidak senang dengan Balang Tamak.

Kepala Desa merencanakan cara untuk menghukum Pan Balang Tamak. Setelah dipikirkannya masak-masak, sang Kepala Desa akhirnya menemukan cara. Ia lantas memerintahkan agar segenap warga untuk melaksanakan perburuan bersama. "Siapa yang tidak turut dalam perburuan bersama itu akan dikenakan hukuman berupa denda!" begitu pengumuman sang Kepala Desa.

Kepala Desa memerintahkan segenap warga desa pimpinannya untuk berkumpul dan berangkat setelah ayam jantan berkokok dan mulai turun mencari makan.

Pan Balang Tamak jelas mengetahui adanya pengumuman dari kepala desa itu. Ia juga bisa merasakan adanya niat kepala desa untuk menghukum dan menjatuhkan denda padanya. Ia pun merencanakan siasat licik untuk menghadapinya.

Pada hari yang telah ditentukan, warga desa berdatangan di rumah kepala desa tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Hanya Pan Balang Tamak sendiri yang tidak terlihat di tempat itu. Warga desa yakin, kali ini Pan Balang Tamak tidak akan dapat lagi mengelak dari tuntutan hukuman dan denda yang akan dijatuhkan Kepala Desa.

Pan Balang Tamak akhirnya datang juga ke tempat pertemuan itu meski sangat terlambat dari waktu yang ditentukan. Ia terlihat tenang seraya menuntun seekor anak anjing miliknya ketika datang ke pertemuan warga tersebut. Ia tetap juga terlihat tenang dan tidak sedikit pun memperlihatkan rasa bersalahnya karena datang sangat terlambat dan mendapat ejekan warga desa lainnya.

Ketika perburuan dimulai, Pan Balang Tamak turut pula dalam kegiatan tersebut. Tanpa diketahui warga lainnya, Pan Balang Tamak melemparkan anak anjing miliknya ke semak-semak berduri. Anak anjing itu pun meraung-raung kesakitan karena tubuhnya terkena duri-duri tajam. Orang-orang yang tengah berburu terperanjat dan buru-buru mendatangi Pan Balang Tamak. Mereka mendapati Pan Balang Tamak tengah menimang-nimang anjingnya itu dan membersihkan darah dari tubuh anjingnya.

"Pan Balang Tamak, apa yang terjadi dengan anjingmu itu?" tanya sang Kepala Desa.

"Anjingku ini tadi habis bertarung dengan seekor babi hutan besar." jawab Pan Balang Tamak berbohong. "Ia begitu gigih bertarung hingga sekujur tubuhnya terluka dan mengeluarkan darah."

"Kemana babi hutan itu Iari?" tanya seorang warga.

Pan Balang Tamak menunjuk ke sebuah arah. "Kesana!" jawabnya.

Maka, warga desa pun segera bergerak ke arah yang ditunjukkan Pan Balang Tamak. Sementara Pan Balang Tamak sendiri hanya duduk seraya terus membersihkan darah dari luka di tubuh anjing miliknya. Dengan cara itu maka Pan Balang Tamak tidak harus bersusah-payah mengikuti perburuan. Siasat Iiciknya telah berhasil mengelabui Kepala Desa dan juga warga desa lainnya.

Perburuan pun berakhir ketika waktu senja tiba. Mereka kembali tanpa mendapatkan seekor hewan buruan pun. Sebelum kembali ke rumah masing-masing, Kepala Desa memerintahkan segenap warga desa untuk berkumpul keesokan harinya. Warga desa mengetahui, Kepala Desa akan menghukum Pan Balang Tamak karena berani melanggar perintah Kepala Desa.

Pan Balang Tamak mengetahui jika dirinya akan dijatuhi hukuman Kepala Desa. Namun ia tidak terlihat resah atau takut. Setibanya di rumah, ia malah menyuruh istrinya untuk membuat abug iwel (Sejenis penganan atau kue yang terbuat dari ketan). "Bentuklah abug iwel itu hingga menyerupai tahi anjing."

Istri Pan Balang Tamak keheranan mendengar ucapan suaminya. "Untuk apa abug iwel dibentuk menyerupai tahi anjing, Pan?" tanyanya.

"Sudahlah, jangan banyak tanya." jawab Pan Balang Tamak. "Aku akan mengolok-olok Kepala Desa karena akan menjatuhkan hukuman untukku. Aku akan buktikan, aku lebih cerdik dibandingkan Kepala Desa."

Meski tidak mengetahui rencana suaminya yang sebenarnya, istri Pan Balang Tamak menuruti perintah suaminya. Ia membuat abug iwel dan membentuknya hingga menyerupai tahi anjing.





Keesokan harinya, Pan Balang Tamak pagi-pagi telah datang di Balai Desa. Secara sembunyi- sembunyi ia meletakkan abug iwel buatan istrinya itu di bawah tiang Balai Desa. Diberinya air di sekitar abug iwel itu hingga kian mengesankan air kencing anjing. Selesai dengan tugas rahasianya itu Pan Balang Tamak lantas kembali ke rumahnya. Ia mandi dan beberapa saat kembali ia berangkat ke Balai Desa untuk bergabung dengan warga desa lainnya.

Setelah semua warga desa berkumpul, Kepala Desa lantas menghadapkan Pan Balang Tamak kepadanya. Katanya, "Engkau harus kami hukum karena telah melanggar perintah Kepala Desa. Hukuman untukmu adalah membayar denda."

Dengan wajah yang menyiratkan kepolosan, Pan Balang Tamak menyahut, "Mengapa aku harus dihukum? Apa kesalahanku? Bukankah aku telah mematuhi perintah Kepala Desa?"

"Patuh pada perintah Kepala Desa bagaimana maksudmu?" kata Kepala Desa dengan wajah yang menyiratkan kemarahan. "Bukankah aku telah umumkan agar segenap warga desa datang dan berkumpul di Balai Desa ketika ayam jago berkokok dan turun untuk mencari makan? Lantas, bagaimana dengan dirimu sendiri?"

Dengan suara lantang Pan Balang Tamak menjelaskan, jika ia tidak mempunyai ayam jago, walau seekor pun. Ayam yang dimilikinya hanyalah ayam betina yang tengah mengerami telur-telurnya. "Tentu saja ayamku tidak berkokok. Sesuai perintah Kepala Desa, aku langsung berangkat ke Balai Desa setelah ayarnku turun untuk menari makan. Bukankah aku telah mematuhi perintah Kepala Desa? Lantas, bagaimana mungkin aku harus dihukum dengan membayar denda?"

Kepala Desa dan segenap warga desa tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menyanggah penjelasan Pan Balang Tamak. Mereka semua mengetahui, Pan Balang Tamak memang hanya mempunyai seekor ayam betina. Jika ia datang ke Balai Desa setelah ayam betinanya turun untuk mencari makan, maka jelas Pan Balang Tamak tidak bisa disalahkan karenanya.

Pan Balang Tamak akhirnya dibebaskan dari hukuman denda. Pan Balang Tamak lantas berlagak. Diperhatikannya keadaan di bawah tiang Balai Desa.

Katanya kemudian dengan wajah bersungut-sungut seraya menunjuk pada abug iwel, "Balai Desa ini tampak kotor. Lihat banyak tahi anjing di dekat tiang ini:'

Kepala Desa dan beberapa warga desa melihat ke arah yang ditunjuk Pan Balang Tamak. Mereka dapat membenarkan ucapan Pan Balang Tamak.

Mendadak Pan Balang Tamak berujar, "Aku menantang siapa pun di antara kalian. Siapa pun yang berani memakan tahi anjing ini, aku akan membayarnya sepuluh ringgit!"

Kepala Desa sangat jengkel mendengar ucapan Pan Balang Tamak. "Bagaimana dengan dirimu sendiri? Jika engkau berani memakan tahi anjing itu, aku akan membayar dua kali lipat dari tawaranmu! Bagaimana? Engkau berani menerima tantanganku?"

Pan Balang Tamak pura-pura berpikir dan menimbang-nimbang. Ia terus berlagak hingga Kepala Desa dan orang-orang kian bersemangat memintanya untuk melakukan tantangan Kepala Desa. Dengan tetap berlagak menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, Pan Balang Tamak lalu memakan abug iwel yang dibentuk menyerupai tahi anjing itu.

Kepala Desa maupun warga desa yang melihat Pan Balang Tamak memakan 'tahi anjing` menjadi mual perutnya. Mereka menutup mulutnya dan tak sanggup melihat aksi Pan Balang Tamak. Kepala Desa lantas memberikan uang dua puluh ringgit untuk Pan Balang Tamak dan memintanya untuk segera pulang.

Pan Balang Tamak pulang dengan wajah berseri-seri. Kecerdikannya untuk berbuat licik kembali memperdaya Kepala Desa dan juga warga desa tempat tinggalnya.

Karena terlalu banyak hal curang yang sering dilakukan Pan Balang Tamak, kepala desa mengutus seseorang untuk membunuhnya menggunakan racun yang sangat ampuh untuk membunuh Pan Balang Tamak, tetapi karena mendengar hal itu sebelumnya Pan Balang Tamak pernah mengingatkan istrinya ia berkata ” Istriku jika aku mati nanti aku ingin agar jenasahku di dudukan dengan bersila di bale lalu senderkan diriku pada salah satu tiang di bale tersebut, gantungkan rambutku pada bagian atas bale, lalu carikan aku seekor tamulilingan dan letakan di samping jenasah ku selama 1 hari , dan aku ingin harta kita di letakan di bale delod (rumah bagian selatan) berupa peti dan tutup menggunakan kain kasa putih dan jasad di letakan di bale daja ( rumah bagian utara) dan di tutup peti”. Setelah itu beberapa hari kemudian matilah Pan Balang Tamak dan istrinya pun melakukan hal yang di perintahkan suaminya. Karna mendengar hal tersebut utusan kepala desa mengintip ke rumah Pan Balag Tamak, tetapi apa yang ia lihat, ia kira Pan Balang Tamak telah mati, tetapi iya melihatnya duduk bersila di bale sambil menggeraikan rambutnya diselingi dengan membacakan mantra/nanyian agama yang sebenarnya hanyalah jenasah dan tamulilingan yang ada. Karan hal itu utusan kepala desa mengatakan bahwa racun tersebut tidak ampuh. Karena kepala desa tidak percaya iapun menelan racun tersebut dan akhirnya ia mati.

Akhirnya kepala desa yang semula ingin mebunuh Pan Balang Tamak akhirnya mati juga bersama racun miliknya. Setelah beberapa hari jenasah Pan Balang Tamak di pindahkan oleh istrinya ketempat yang di perintahkan dahulu yaitu bale daja (rumah bagian utara) dan hartanya di letakan di bale delod (rumah bagian selatan). Karena berita tentang kematian Pan Balang Tamak sudah tersebar keseluruh desa, ternyata ada orang yang ingin berbuat jahat. Orang tersebut ingin mencuri harta kekayaan Pan Balang Tamak karena Pan Balang Tamak terkenal kaya. Akhirnya orang tersebut mendatangi rumah Pan Balang Tamak dengan sembunyi-sembunyi dan langsung berjalan ke bale daja (rumah bagian utara) di mana semua orang percaya tempat itu adalah tempat menyimpan kekayaan dan barang berharga, karena tidak mungkin di bale delod (rumah bagian selatan) adalah tempat jenasah Pan Balang Tamak. Akhirnya orang tersebut melihat peti yang dikira harta Pan Balang Tamak dan membawanya pergi. Ketika ingin melihat isinya di pertengahan jalan mereka berhenti, tetapi karena ada bau tak sedap akhinya tidak jadi dan berjalan lagi hingga tiba di pura, yaitu pura Desa, akhirnya mereka membukanya dan ternyata yang mereka bawa dalam peti ternyata isinya adalah jenasah Pan Balang Tamak dan mereka lari ketakukan dan meninggalkan jenasah tersebut di pura desa,

Itulah yang menyebabkan di pura Desa ada Pemujaan/bale yang bernama Pan Balang Tamak yang berarti agar setiap kita memasuki pura Desa maka rasa Tamak kita atau rasa rakus kita akan hilang dan menjadi orang yang lebih baik dan tidak menjadi orang yang rakus dan curang dalam kehidupan ini.

Pesan moral dari cerita rakyat ini adalah :
Pan Balang Tamak yang licik adalah kecerdikan sudan seharusnya tidak dilakukan untuk berbuat kelicikan atau memperdaya orang lain. Kecerdikan hendaknya digunakan untuk membantu orang yang membutuhkan.

Sumber : dongengceritarakyat.com › ... › Cerita Rakyat Nusantara



CERITA RAKYAT BALI SIAP SELEM (AYAM HITAM )

 



Ada cerita, seekor ayam betina bernama I Siap Selem. Dia mempunyai anak ayam yang banyak juga, yang masing-masing memiliki nama-nama unik. Salah satunya, I Ulagan yang berarti tanpa bulu. Sebagai seorang induk, I Siap selem ini sangat protektif terhadap anak-anaknya dan juga sangat cerdik. Musuh abadi keluarga ayam kecil dan sejahtera ini adalah seekor luwak bernama Men Kuwuk.

Suatu hari, keluarga ayam ini berkelana kesana kemari mencari makan sampai sore hari. Tanpa dinyana, mereka tersesat. Tepat saat itu, hujan turun dengan lebat. Rombongan keluarga ayam yang berjumlah tujuh ekor, termasuk I Ulagan, tersesat dalam sebuah hutan. Tentu mereka mencari tempat berteduh dan akhirnya sampai dirumah Men Kuwuk.

Seperti kita ketahui, luwak dikenal sebagai binatang pemakan ayam. Kedatangan I Siap Selem dan keluarganya, membuat Men Kuwuk girang bukan kepalang. Dalam kepala mereka terbayang hidangan lezat dari daging ayam. Men Kuwuk mempersilakan keluarga ayam untuk menginap di rumahnya saja, karena tampaknya hujan belum reda dalam waktu dekat, sementara hari sudah malam. Naluri I Siap Selem waspada. Ia merasa ada sesuatu pada kebaikan Men Kuwuk. Karena ia tahu sepak terjang Men Kuwuk terhadap kaum ayam.

Kedua belah pihak, baik I Siap Selem dan Men Kuwuk, sama-sama mengatur strategi. Men Kuwuk memikirkan bagaimana caranya menyantap I Siap Selem dan anak-anaknya. Sementara, I Siap Selem memikirkan bagaimana bertahan dan memenangkan pertarungan dengan Men Kuwuk - karena ayam tidak kuat cuaca hujan.

***





Ketika hujan sudah reda, I Siap Selem segera memerintahkan anak-anaknya untuk kabur dengan cara terbang melewati pagar pembatas rumah Men Kuwuk. Yang kabur terlebih dulu anak ayam pertama, disusul kedua, ketiga dan seterusnya, hingga tersisa I Siap Selem dan I Ulagan. Karena I Ulagan masih kecil dan belum punya sayap kuat untuk terbang melewati pagar, maka I Siap Selem dengan berat hati meninggalkannya dengan pesan.

"I Ulagan, ibu percaya kamu bisa memperdayai Men Kuwuk dan keluarganya. Karena kamu yang paling cerdik disini."

Sebetulnya, I Ulagan enggan ditinggal. Tapi, apa boleh buat, ibunya tentu tidak kuat membawanya. Akhirnya, ia membulatkan hati untuk tetap tinggal di rumah Men Kuwuk yang kelaparan.

Diam-diam, Men Kuwuk mengamati keluarga I Siap Selem dari jauh. Ia merasa yakin, tidak ada jalan lain bagi I Siap Selem melarikan diri dari rumahnya. Pagar rumahnya terlalu tinggi untuk dilewati. Sementara itu, I Ulagan tengah menggeser batu-batu berwarna hitam yang berbentuk ayam di dekatnya. Ia sendiri lalu bersembunyi supaya tidak terlihat Men Kuwuk.

Ketika tengah malam tiba, Men Kuwuk bersiap untuk memangsa I Siap Selem dan anak-anaknya. Dipanggil-panggillah I Siap Selem. Tak ada sahutan. Men Kuwuk yakin, I Siap Selem dan keluarganya sudah tertidur pulas. Lalu, dengan mengendap-endap, ia mendekati tempat I Siap Selem berteduh. Begitu melihat batu-batu berwarna hitam yang berbentuk ayam, secepat kilat, Men Kuwuk menerkam dan menggigitnya. Sontak, gigi Men Kuwuk tanggal semuanya. Karena ia menggigit batu bukannya I Siap Selem. I Ulagan yang melihat Men Kuwuk tanpa gigi itu, tertawa terpingkal-pingkal. Men Kuwuk meringis kesakitan. I Ulagan bernyanyi, Ngik... Ngik... Ngak... Gigi Pungak Ngugut Batu (Ngik Ngik ngak, Giginya nerkam batu).

SUMBER : 365ceritarakyatindonesia.blogspot.com


CERITA RAKYAT BALI BUKIT GUMANG DESA BUGBUG KARANGASEM BALI,INDONESIA

 



Seorang laki-laki dari Pulau Jawa (Jaba – luar ?), entah siapa namanya, terlunta-lunta pergi ke Bali. Ia jatuh miskin. Pekerjaannya sehari-hari hanya berjudi dan bermalas-malasan. Tanah rumah dan harta bendanya habis terjual karena ia selalu kalah dalam perjudian.

Di Bali ia berharap dapat menghindari kebiasaannya yang sangat buruk itu. Sambil mengenang nasibnya yang malang itu, ia melangkah tak tentu arah. Berpuluh sungai terseberangi, berpuluh hutan dan gunung terlewati, akhirnya ia sampai di sebuah bukit di ujung timur Pulau Bali. Penduduk Desa Bugbug yang tinggal tidak jauh dari bukit itu, menamakan tempat itu Bukit Juru atau Bukit Gumang.

Bukit yang agak tinggi itu menjorok ke Pantai selatan, di lereng Barat dan Utara berjejer gugus-gugus hutan yang lebat dan menghijau, di lereng timurnya mengalir sebuah sungai, Sungai Buhu namanya dan di seberang sungai itu terbentang sawah yang luas, di bukit itulah ia merasakan ketenangan. Sekali-sekali ia melepas pandang ke selatan, memandang ombak yang menghempas ke pantai di Song Lawah di kaki Bukit Gumang sebelah selatan.

Di bukit yang berpuncak seperti prisma, puncak bukit yang bercabang tiga laksana lambang kedamaian – peace – ini ia beroleh kedamaian. “Bukit ini tak kan kutinggalkan,” katanya sendirian. Ia duduk bersila menghadap ke timur laut menjalankan tapa brata seolah hendak menghubungkan aura Gunung Agung di Utara dan Gunung Lempuyang di timur mewujudkannya menjadi garis imajiner Trikona. Berhari-hari berminggu minggu, bahkan berbulan-bulan, ia merenung : melupakan masa silam dan menyambut kehidupan yang baru.

Singkat cerita, laki-laki yang mula-mula berperangai buruk itu berhasil menjadi betara atau dewata. Karena menetap di bukit itu, lama kelamaan ia dikenal dengan nama Dewa Gede Gumang. Di alam dewata ia tidak lagi hidup menyendiri, tetapi hidup berkeluarga, punya seorang istri dan empat orang anak. Anak pertama laki-laki bernama Dewa Gede Manik Punggung, anak kedua ketiga dan keempat semuanya perempuan berturut-turut bernama Dewa Ayu Nengah, Dewa Ayu Nyoman dan Dewa Ayu Ketut.

Keluarga dewata itu hidup rukun dan damai. Mereka bukan saja berhubungan baik dengan dewa-dewa di Desa Bugbug, tetapi juga dengan dewa-dewa di luar desa itu, seperti Bebandem, Jasi dan Ngis. Bahkan Dewa Gede Gumang menginginkan putra-putrinya menikah dengan betara-betari dari desa tetangga.





Keinginan sang Ayah itu terpenuhi, putrinya yang pertama Dewa Ayu Nengah dinikahkan dengan Betara Bebandem itu tidak berjalan mulus. Konon Ida Betara Bebandem itu sangat buruk rupanya. Kepalanya botak dan bibirnya sumbing. Sedikitpun Dewa Ayu Nengah tidak tertarik pada pemuda itu. Setiap didekati, putri itu menjauh, bahkan menolak mentah-mentah.

Tibalah pada suatu kesempatan, Dewa Ayu Nengah minggat dari Bebandem, Ia tidak berani pulang ke Gumang, tetapi membuang-buang langkah di pesisir Pantai Selatan. Di sepanjang jalan ia menangis dan menyesali nasibnya yang malang. Ketika menyisiri Pantai Jasi, seorang Betara bernama Betara Gede Pesisi mendengar tangis yang mengiris hati.

“Apa yang terjadi atas dirimu Ayu Nengah ?” Tanya Betara Pesisi mendekati Dewa Ayu Nengah. “Dan mengapa menangis di tempat seperti ini ?” “Tolonglah hamba yang malang ini Betara Gede,” jawab Dewa Ayu Nengah sesenggukan. Kemudian menjelaskan kenapa ia meninggalkan Betara Gede Bebandem.

Sebelumnya kedua Betara-betari itu sudah sejak lama saling menaruh perhatian. Akan tetapi karena takut dengan Dewa Gede Gumang, kedua muda-muda itu tidak pernah mendapat kesempatan untuk saling bercengkerama. Kini saat yang baik itu dipergunakan oleh Dewa Gede Pesisi untuk menyatakan isi hatinya.

Pertemuan yang tak terduga-duga itu ternyata melahirkan benih-benih saling mencintai. Petang itu juga keluarga Dewa Gede Pesisi menyampaikan pejati kepada Dewa Gede Gumang. Tentu saja Dewa Gede Gumang marah luar biasa. Ia merasa hubungannya dengan Dewa Gede Bebandem sengaja dihancurkan, Kalau saja beberapa orang pengiring tidak melerai kejadian petang itu, pastilah terjadi pertumpahan darah.

Setelah kemarahannya mereda, barulah Dewa Gede Gumang menyadari kekeliruannya. Pernikahan antara putrinya dengan Dewa Gede Pesisi adalah atas dasar cinta sama cinta. Sedangkan pernikahan dengan Betara Bebandem atas dasar kehendak orang tua masing-masing. Hubungan cinta yang murni itu haruslah direstui, demikian kata hatinya.

Sepeninggal Betara Gede Pesisi tak lama kemudian datanglah Betara Bebandem. Ia mengira Ayu Nengah yang minggat dari rumahnya, pastilah pulang ke Gumang. Mendengar penjelasan bahwa Ayu Nengah telah dinikahi oleh Dewa Gede Pesisi, seketika itu ia naik darah. Ia menuduh Dewa Gede Gumang tidak bertanggung jawab, dan menghina keluarga Bebandem. Tanpa berpikir panjang ia segera berangkat ke Jasi untuk merebut kembali kekasihnya.

“Maafkanlah aku anakku”, kata Betara Gede Gumang sambil menahan keberangkatan Betara Bebandem. “Rupanya Ayu Nengah bukan jodohmu. Kita tidak boleh memaksakan perkawinan yang bukan jodohnya. Kalau nanda berkenan ambillah anakku Ayu Nyoman sebagai istrimu.
Dengan demikian hubungan keluarga Gumang dengan Bebandem tetap terjalin”. Walaupun kemarahan yang meluap itu terobati, Betara Bebandem masih meragukan kata-kata Betara Gede Gumang. Ia takut kalau-kalau kejadian yang memalukan itu terulang kembali dan tentu saja hubungan antara dua keluarga itu akan retak selamnya.

“Baiklah hamba bersedia memperistri Dewa Ayu Nyoman, tetapi ada satu permintaan hamba”, kata Dewa Gede Bebandem. “Hamba minta putra ayahanda yang pertama, Manik Punggung menyertai Ayu Nyoman untuk menetap di Bebandem. Dialah yang akan memperkuat hubungan keluarga kita”. Kata Gede Bebandem.

Bagi Betara Gede Gumang, usul menantunya itu bagaikan gayung bersambut. Hubungan Bukit Gumang dengan desa desa lain di sekitarnya akan selamanya terjalin dengan aman dan damai. Apalagi Manik Punggung dipercaya ikut memelihara hubungan kekeluargaan itu. Itu terlukis dalam prosesi yang berlangsung dalam Upacara Usaba Gumang yang tetap diadakan sampai sekarang.

Sumber : https://iwbdenpasar.wordpress.com/.../pergumulan-jem...


CERITA RAKYAT BALI I Belog Dan Bebeknya. "Si Bodoh dan bebeknya"

 



Dikisahkan, pada jaman dahulu hiduplah seorang anak lelaki kecil bernama I Belog. Ia tinggal bersama dengan ibunya yang sudah tua dan menjanda. Bapaknya sudah meninggal saat I Belog masih bayi. I Belog sesuai dengan namanya, memiliki kekurangan dalam hal kecerdasan. Seringkali ia berbuat yang keliru karena kebodohannya.

Suatu kali Sang Ibu memanggil I Belog. Karena dirasanya anak lelakinya sekarang sudah mulai besar, Sang Ibu ingin agar I Belog mulai bisa bekerja mencari uang sendiri dengan memelihara bebek. Maka disuruhnyalah anaknya itu pergi ke pasar untuk membeli beberapa ekor bebek. “Belog, berangkatlah kamu ke pasar hari ini untuk membeli bebek”. Anaknya mengangguk setuju dengan rencana ibunya. I Belog pada dasarnya adalah seorang anak yang sangat baik dan penurut. Apapun kata ibunya pasti akan ia ikuti dengan baik. “Baiklah Ibu, saya akan berangkat hari ini” Jawab I Belog. Ibunya pun segera memberikan I Belog sejumlah uang yang cukup untuk membeli sepuluh ekor anak bebek.

Menyadari bahwa anaknya kurang pintar, maka Ibunya mewanti-wanti I Belog dengan berbagai nasihat. “Kalau memilih anak bebek, pilihlah yang sehat dan lincah. Pilih yang badannya berat – berat saja. Jangan pilih bebek yang ringan, karena itu tandanya bebek itu tidak sehat. Percuma kalau dibawa pulang” . Nasihat ibunya. I Belog mendengarkan nasihat ibunya dengan baik. Ia menghapalkannya sepanjang jalan, karena ia tidak ingin ibunya yang sudah tua kecewa. Jadi pilih bebek yang sehat. Pilih bebek yang lincah. Dan pilih bebek yang berat.






Sesampainya di pasar, ia langsung mencari pedagang bebek. Melihat-lihat dan memilih sepuluh ekor anak bebek terbaik yang menurutnya sudah sesuai dengan permintaan ibunya. Sudah terlihat paling sehat, paling lincah dan paling berat. Untuk memastikannya, maka iapun bertanya kepada pedagang bebek, apakah menurutnya bebek pilihannya itu sudah sesuai dengan kriteria ibunya atau tidak. Pedagang bebek itu meyakinkan I Belog, bahwa ia telah memenuhi semua persyaratan bebek sehat, lincah dan berat yang dinasihatkan ibunya. Maka dengan riang, iapun menuntun dan mengarahkan bebeknya berjalan pulang ke rumahnya.

Sebelum mencapai rumahnya, ada sebuah sungai dangkal yang harus diseberangi oleh I Belog. Ia pun berhenti sejenak di tepi kali dan bermaksud menyeberangkan bebeknya itu satu per satu. Melihat badan air itu, maka bebek bebek itupun merasa sangat kegirangan, lalu beramai-ramai berlarian ke kali dengan riangnya. Kwek kewek kwek..jebuurrrrr! jeburrr! jeburrr!!, Kwek kwek kwek… jebur!!.. ke sepuluh ekor bebek itupun sekarang sudah mengapung dan berenang di air kali itu. Melihat itu I Belog terkejut bukan alang kepalang.Ia teringat kepada nasihat ibunya.

Bebeknya mengapung di air!. Ia berpikir, jika ada sebuah benda yang mengapung di air tentulah benda itu ringan, jika tidak tentu di dalamnya kosong. Waduuuh!. bebek -bebek itu mengapung semuanya. Tentulah bebek itu ringan. Atau kalau tidak tentu di dalamnya kosong. “Aduuuh, rupanya aku sudah ditipu oleh pedagang bebek itu. Ia bilang bebeknya berat. Kenyataannya bebeknya mengapung. Ternyata aku salah membeli. Bebek kosong rupanya yang kubeli” Gumamnya di dalam hati. I Belog merasa sangat geram pada pedagang bebek itu. Namun ia tak mungkin kembali ke pasar lagi, karena sekarang hari sudah terlalu siang. Tentu pedagang bebek itu sudah pulang. Maka iapun akhirnya pulang juga tanpa membawa bebeknya. Ia ingat perkataan ibunya, bahwa percuma membawa bebek yang ringan. Ia pun berjalan dengan lunglai ke rumahnya.

Sesampai di rumah, ibunya bertanya mengapa ia terlihat sangat lesu dan dimanakah gerangan bebeknya? I Belogpun menceritakan semua kejadian yang ia alami sejak pergi hingga dalam perjalanan pulang di sungai kecil itu. Dan menunjukkan betapa kesalnya ia pada pedagang bebek yang menurutnya telah menipu dirinya itu. Mendengar cerita itu, ibunyapun terkejut dan mengurut dada .Sedih atas kebodohan anaknya. ” Ya ampuuun,Belog! Semua bebek juga akan mengapung jika kamu lepas di sungai. Tapi bukan berarti bahwa mereka ringan.” Kata ibunya.

Mendengar itu I Belog segera berlari kembali ke sungai. Namun bebek-bebeknya sudah tidak kelihatan lagi. Sudah terlalu jauh karena mengikuti arus sungai sejak ditinggalkan oleh I Belog.

*****

Moral ceritanya adalah hendaknya kita jangan memiliki pikiran sempit dan berhenti pada terjemahan harfiahnya saja, namun hendaknya meningkatkan pemahaman kita tehadap intisarinya dengan lebih mendalam, sehingga ketika kita berhadapan dengan situasi yang berbeda, pikiran kita masih tetap jernih dan tdak kebingungan.

Sumber : https://nimadesriandani.wordpress.com/.../i-belog-dan-...