Minggu, 22 September 2024

Benarkah Sugihan Jawa-Bali Terkait Asal Orang Bali?

 





BALI EXPRESS, DENPASAR – Enam hari menjelang Hari Raya Galungan, umat Hindu mengadakan upacara yang disebut Sugian. Dalam pelaksanaannya, Sugihan dibagi menjadi dua waktu berbeda, yakni Sugihan Jawa pada Wheraspati wage sungsang, sedangkan Sugihan Bali pada Jumat kliwon wuku sungsang. Lantas, benarkah yang merayakan Sugihan Bali adalah keturunan Bali asli, sedangkan yang melaksanakan Sugihan Jawa keturunan pelarian Majapahit?

Secara umum Sugihan Jawa dan Bali, pelaksanaannya dilakukan sebagai simbolisasi pembersihan alam semesta (Bhuana Agung) hingga Bhuana Alit, sehingga pelaksanaan Galungan berjalan sesuai dengan harapan, terwujudnya harmonisasi alam semesta beserta isinya.

Jika dilihat dari arti katanya, Sugian Jawa berasal dari urat kata Sugi, yang artinya membersihkan, dan Jawa artinya luar. Jadi, Sugihan Jawa dapat diartikan sebagai suatu upacara yang berfungsi untuk membersikan Bhuana Agung atau alam semesta (makrokosmos), baik sekala maupun niskala. Sedangkan Sugihan Bali, disebutkan berasal dari kata ‘wali’ yang artinya ‘bagian dalam’. Secara harfiah, artinya ‘pembersihan bagian dalam diri manusia’ (pembersihan dari dalam diri sendiri).



Dalam Lontar Sundarigama dijelaskan, ketika Wuku Sungsang, yakni Kamis Wage Sungsang dinamakan Parerebwan atau disebut juga Sugihan Jawa. Dalam lontar tersebut juga dijelaskan pula mengapa hari itu disebut Sugihan Jawa. “Mitos yang selama ini berkembang di masyarakat itu, tidak sepenuhnya benar. Bukan karena hari khusus bagi mereka yang berasal dai Jawa Majapahit,” ujar Sastrawan yang juga Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr.Drs.I Nyoman Suarka, M. Hum, ketika ditemui Bali Express ( Jawa Pos Group) di sela – sela seminar Calonarang di Art Center pekan lalu.

Dijelaskan Suarka, latar belakang dinamakan Sugihan Jawa karena merupakan hari suci bagi para Bhatara untuk melakukan rerebu di Sanggar dan di Parhyangan, disertai pangraratan dan pangresikan untuk Bhatara serta kembang wangi.

Menurutnya, hari yang jatuh pada Kamis Wage, Wuku Sungsang tersebut sangat baik digunakan untuk kegiatan spiritual. “Hari itu adalah hari di mana para Bhatara dan Sasuhunan kita pulang, dan turun ke dunia. Bagi yang mengetahui, pasti mereka akan memanfaatkannya untuk melaksanakan meditasi dan kegiatan spiritual lainnya. Karena secara niskala dalam lontar dikatakan itu adalah hari yang sangat baik,” ujar Suarka.

Bahkan, dalam Lontar Sundarigama dipaparkan, Sungsang, wrehaspati wage ngaran parerebwan, sugyan jawa kajar ing loka, katwinya sugyan jawa ta ngaran, apan pakretin bhatara kabeh arerebon ring sanggar mwang ring parhyangan, dulurin pangraratan, pangresikan ring bhatara, saha puspa wangi. Kunang wwang wruh ing tatwa jnana, pasang yoga, sang wiku anggarga puja, apan bhatara tumurun mareng madyapada, milu sang dewa pitara, amukti banten anerus tekeng galungan

“ Jelas diuraikan, tentang betapa murninya hari itu. Karena Bhatara turun ke dunia diiringi dewa serta leluhur untuk ikut menikmati sesajen persembahan umat, hingga sampai pada hari Galungan,” ujarnya.


Ia juga menjelaskan, dalam Lontar Sundarigama, Sugihan Jawa diartikan sebagai pasucian dewa kalinggania pamrastista Bhatara kabeh (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua Bhatara). Sedangkan Sugihan Bali bermakna, Kalinggania amrestista raga tawulan, yang artinya oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing (mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan atau panglukatan.

Jika ditarik garis perbedaannya, Sugihan Jawa dan Bali sama – sama hari yang dtujukan sebagai hari pembersihan dalam rangka menyambut Hari Raya Galungan sebagai hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Perbedaannya terletak dalam filosofi maknanya.

“Jadi, di hari Sugihan Jawa kita semua diajarkan untuk melakukan ritual pembersihan di eksternal diri kita, pembersihan palinggih atau tempat-tempat suci yang digunakan sebagai tempat pemujaan,” ungkapnya.

Selain itu, ia menambahkan, pembersihan bisa dilakukan dengan melakukan pacaruan ekasata di rumah masing-masing. Bila tidak sempat melakukan pacaruan, maka cukup dengan bungkak nyuh gading yang dipercikkan ke semua penjuru rumah atau pekarangan yang sebelumnya sudah dihaturkan agar dapat menjadikan rumah dan lingkungan menjadi bersih.

Sedangkan Sugihan Bali adalah panyucian Bhuana Alit atau diri sendiri (mikrokosmos), sehingga bersih dari perbuatan-perbuatan yang ternoda atau pembersihan lahir dan batin. Pembersihan dapat dilakukan dengan panglukatan, sarananya dapat menggunakan bungkak nyuh gading. Dengan adanya kesucian lahir dan batin itu, umat lebih bisa memaknai Hari Suci Galungan, sebagai kemenangan dharma. Umumnya Sugihan jatuh pada hari yang berbeda. Sugihan Bali dilaksanakan keesokan hari setelah Sugihan Jawa.

Ketika ditanya, Apakah dilaksanakan salah satu atau keduanya secara bergiliran? Sastrawan Jawi Kuno ini mengatakan, dalam mitologi Bhutakala diceritakan bahwa dalam menyambut hari Raya Galungan, Dewa Siwa menugaskan para Bhuta untuk menggoda manusia. Untuk mencegah hal itu, disarankan untuk melakukan pembersihan Bhuana Agung pada Sugihan Jawa dan pembersihan diri sendiri (Bhuana Alit) pada Sugihan Bali. Dengan begitu, akan mampu lebih menjauhkan diri dari godaan para Bhuta yang dapat merugikan diri.

Sehingga, pada Hari Galungan nanti akan lebih mampu memahami akan arti kemenangan dharma melawan adharma. “ Ya sebaiknya dilaksanakan keduanya. Ini kan pembersihan Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Jika hanya dilaksanakan salah satunya, tentu akan terasa kurang. Ini bukan lagi soal asal usul kita, tapi soal pembersihan kita menyambut Hari Raya Galungan,” ujarnya.

Bebantenan dan Tatacara Upacara Sugihan

Berdasarkan Lontar Sundarigama, Sugihan Jawa diartikan sebagai pasucian dewa, yakni hari panyucian semua Bhatara. Apa saja bebantenan yang digunakan dalam melaksanakan Sugihan Jawa?

Dalam Lontar Sundarigama dijelaskan bebantenan yang digunakan adalah Banten Pangresikan, yaitu Pabyakaonan, Durmanggala, Prayascita dan Pangulapan. Banten Pasucian, Wangi – wangian,Tigasan, Toya(Tirta), Sesayut,Tutwan, Sodan (Rayunan).

Sesuai Lontar Sundarigama, banten tersebut dihaturkan di merajan serta lingkungan rumah tempat tinggal.

“Banten itu sesungguhnya sebagai simbolis saja, simbol dari pembersihan Bhuana Agung, yang dilanjutkan dengan malukat keesokan harinya. Sebagai simbol dari pembersihan bhuana Alit. Jadi baiknya harus dilakukan keduanya secara beriringan,” ujar Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr.Drs.I Nyoman Suarka, M. Hum.

(bx/tya/yes/JPR) –sumber

BHIKSU SIWA Dan Siwa Budha di Bali sejak Tahun 804

 


Sugra Pekulun
Sejak kapan Paham Siwa Budha masuk ke Bali ? Memang sulit untuk ditelusuri. Tapi bukti tertulis menyebutkan bahwa Siwa Budha di Bali sudah ada sejak tahun 804. Tapi temuan Tablet - tablet Tanah Liat yang disimpan di Stupika - stupika dari Tanah Liat pula di daerah Pejeng Gianyar berisikan mantra yang sangat terkenal dalam paham Budha yaitu “ Ye Te Mantra “ dan menurut Para Ahli berasal dari tahun 700 an atau abad 8. Dan mengindikasikan bahwa Paham Budha sudah ada sejak abad 8.
Istilah “ Agama “ tidak ada disebutkan dalam Prasasti Bali Kuno, tapi kepercayaan terhadap Tuhan sudah sangat lama di Bali, paling tidak diawal Masehi walau diawali oleh Penyembahan terhadap Roh Nenek Moyang. Tetapi tempat Suci untuk Persembahan sudah disebutkan dalam Prasasti Bali Kuno sejak tahun 804 yang disebut dengan Ulan, Kuil Hyang Api dan lain - lain.
Paham Siwa Budha sebenarnya istilah kepercayaan atau mashab yang dipeluk oleh Masyarakat Bali Kuno termasuk juga Raja, disamping juga tentunya Kepercayan terhadap Roh Leluhur.
Bhiksu Siwa
Ada yang unik tentang gelar Pemuka Agama masa Bali Kuno.
Pertama - tama, sebutan Pemuka Agama yang tercatat dalam Prasasti Bali Kuno yang tertua yang berangka tahun 804 adalah Bhiksu Siwa. Hali ini tercatat dalam Prasasti No. 001 Sukawana A I Halaman 1b yang mana kutipannya sebagai berikut :
“ ........ tua hetu syuruhku senāpati danda kumpi marodaya me bhikṣu çiwakangçi ṇ
ta, çiwanirmmala, çiwaprajñā, banguněn partapānān satra di kathan buru, ........ “.
Terjemahan :
“ ........ Itulah sebabnya aku suruh Senapati Danda yang bernama Kumpi Mardaya dan Bhiksu Siwakangsitan
(Bhiksu) Siwanirmala, Bhiksu Siwa Prajna, agar membangun pertapaan (dan) pesanggrahan di daerah perburuan. ........ “.
Kutipan diatas menyebut Bikshu Siwa dan bukan Utusan ( Bhiksu ) Budha dan Utusan Siwa. Berarti sebutan untuk Satu Orang yang menyandang gelar Bhiksu Siwa.
Tapi setelah beberapa tahun pemerintah Raja - raja Bali Kuno, Bhiksu Siwa tidak disebut lagi sebagai gelar yang disandang oleh Satu Tokoh dan mulailah Bhiksu Siwa
disebut tersendiri yaitu Bhiksu dan Pendeta Siwa.
Bhiksu
Setelah Prasasti Sukawana A I Tahun 804, Sebutan Bhiksu Siwa tidak tercatat lagi. Dan yang muncul yaitu sebutan untuk Rohaniawan adalah Bhiksu dan Prasasti yang mencatat adalah Prasasti No. 002 Bebetin A I berangka tahun 818.
Sama seperti Prasasti Sukawana A I yang tidak nenyebut nama raja, tapi sama - sama menyebut Titah Raja Turun di Panglapuan di Singhamandawa. Dalam Prasasti Bebetin AI Halaman 1b. Bhiksu yang disebut adalah Bhiksu Widya Ruwana.

Raja yang pertama yang tercatat dalam Prasasti Bali Kuno adalah Sri Kesari Warmadewa. Beliau memerintah Tahun 835. Dalam beberapa prasasti masa Beliau kebanyakan memuat Kemenangan Sang Raja yaitu Prasasti Tugu Batu yang sering juga disebut Jayacihna atau Jaya Stambha. Prasati yang dimaksud adalah Prasasti Blanjong, Prasasti Penembahan, Prasasti Malet Gede dan tetakhir yang baru baru ini ditemukan yaitu Prasasti Pukuh. Sangat sulit mengetahui gelar kependetaan saat Beliau memerintah.
Bikshu juga tercatat dalam Prasasti No. 102 Babahan Kelompok I Lempeng 1b. Berangka tahun 839, Raja yang bertahta adalah Sang Ratu Sri Ugrasena. Saat itu Beliau melakunan perjalanan ke Buwunan dan Songan. Bhiksu saat itu bernama
Bhiksu Dharmmeṡwara dan Bhiksu Dharmmacchāya.
Pendeta Siwa
Sang Ratu Sri Ugrasena digantikan oleh Sang Ratu Sri Haji Tabanendra Warmmadewa dan Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmmadewi yang menerintah dari Tahun 887 - 889. Raja dan Ratu ini tercatat dalam Prasasti No. 206 Kintamani Kelompok Pertama berangka Tahun 889. Di Halaman 1a, tertulis Ṡiwasangkara dan Ṡiwaprasuti. Bisalah disebut bahwa sebutan itu untuk Rohanian Siwa. Dan didalam prasasti ini juga penyebutan Mpu untuk pertama kalinya, bahkan ditulis sebelum penyebutan Ṡiwasangkara dan Ṡiwaprasuti. Nama Rohaniawan atau Pandita Mpu saat itu adalah Mpu Darana.
Aliran Siwa dan Aliran Budha
Dalam Prasasti Kintamani Kelompok Empat Halaman 4b. mulai tertulis Beliau dari Aliran Siwa dan Beliau dari Aliran Budha yang semacam Utusan dari beberapa daerah yaitu :
Beliau dari aliran Siwa di Dharmmahañar Dang Acaryya Jiwajaya, yang berasal dari Lokeswara Dang Acaryya Dirasanaka, Beliau dari aliran Budha di Kadikaran Dang Upadhyaya Sawkas, dari Ku tihañar Dang Upadhyaya
Dalam prasasti - prasasti Bali Kuno selanjutnya perubahan juga dilakukan yang mana penyebutan Pendeta Siwa dan Pendeta Budha disebutkan dengan Pendeta Kasiwan dan Pendeta Kasogatan.
Yang unik
Adalah bahwa Tempat - tempat Suci yang berhubungan dengan Pendeta saat itu, kental dengan istilah Bali Asli seperti Bangunan Suci Ulan, Kuil Hyang Api dan lain - lain. Ini mengindikasikan bahwa Beliau - beliau Sang Pendeta dari awal disebutkan merupakan Tokoh Bali Asli dan bukan dari Manca Negara.
Dan
Apa yang menjadi tradisi di Bali Ribuan Tahun yang lalu, tetap ada di Bali seperti adanya Pedanda Budha begitu juga Orang Bali, kebanyakam beragama Hindu tapi banyak juga beragama Budha dan menjadi Anggota Banjar bersama - sama. Dan dalam Bangunan Suci Pura , banyak juga terdapat Bangunan Suci untuk Umat Budha. Dan masih banyak juga keharmonisan yang lainnya.
Cukup sekian dulu nggih
Agak panjang kalau diteruskan
Jukut kangkung misi sambel sera
Kirang langkung tiang nunas gengerena sinempura
Disarikan dari :
- Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Bali - Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1978
- Alih Aksara dan Alih Bahasa Prasasti Sukawana
- Prasasti Bali I - Lembaga Bahasa Dan Budaja Universitas Indonesia. NV Masa Baru Bandung 1958
- Alih Bahasa Prasasti Babahan
- Alih Bahasa Prasasti Kintamani
- Dan lain - lain
Dumogi Makasami ngemanggihin kerahayuan

Rahina Tumpek Landep

 



Hari Raya Tumpek Landep jatuh pada Sabtu, Saniscara Kliwon Wuku Landep, atau 14 hari setelah Hari Raya Saraswati. Hari raya ini dilaksanakan setiap 210 hari. Saat itu umat Hindu di Bali memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Dewa Siwa atau Sang Hyang Siwa Pasupati di hari raya ini.
Menurut Dosen Program Studi Agama Hindu di Universitas Hindu Indonesia (Unhi), I Kadek Satria SAG MPdH, tumpek adalah akhir dari panca wara yaitu kliwon. Sedangkan saniscara adalah akhir dari sapta wara. Akhir inilah yang disebut sebagai puncak. Puncak yang dimaksud adalah kondisi di mana umat harus mengingat begitu sampai pada perjalanan akhirnya. Umat harus mengingat bagaimana perjuangannya hingga mencapai puncak, dan pasti menggunakan banyak piranti untuk mencapainya. Pada titik itulah umat merunduk untuk memuja Sang Penguasa Ketajaman yaitu Sang Hyang Siwa Pasupati.

Jadi Tumpek Landep inilah dijadikan sebagai momen umat Hindu untuk memohon ketajaman tersebut, agar berguna dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.
Mempersembahkan Banten Pasupati yang harus dirangkai (Ditanding). dan kunci utama yang sesungguhnya adalah pemujaan kepada Sang Hyang Siwa Pasupati di Sanggah Kemulan. Kenapa?
Karena Sang Hyang Siwa bersifat purusha dan pradhan. Inilah cikal bakal dari kemulan dan taksu. Purusha kita puja pada kemulan, dan Pradhana kita puja pada taksu yang memberikan kita penguatan atas kehidupan ini.
"Setelah melakukan pemujaan, sebaiknya umat nunas (Mengambil) lungsuran atau sarin amertha yang kita mohonkan sebagai penguat jasmani dan rohani." ungkapnya
Namun hampir seluruh umat Hindu di Bali membuatkan upacara untuk kendaraan bermotor. Kadek Satria mengungkapkan, bahwa hal tersebut kurang tepat. Sebab menurutnya, kendaraan bermotor dapat diartikan sebagai simbol kemakmuran. Sehingga sebaiknya dibuatkan upacara pada saat Tumpek Kuningan atau Hari Raya Kuningan.

Sabtu, 21 September 2024

Pura Goa Raja Besakih

 



Pura Goa Raja ini terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem.

.
Masih berada sangat dekat dengan Kompleks pura Besakih. Pura Goa Raja merupakan stana dari Ida Batara Rambut Sedana.
.
Di pura ini terdapat sebuah sungai dan pada tebingnya ada sebuah goa besar. Tapi sekarang goa tersebut sudah tertimbun runtuhan tanah longsor pada saat Gunung Agung meletus 1962.
.
PASAMUHAN SANG HYANG NAGA TIGA
Pura Goa Raja diyakini merupakan tempat bertemunya Sang Hyang Naga Tiga yaitu Hyang Naga Ananthaboga, Sang Hyang Naga Basuki dan Sang Hyang Naga Taksaka.
.
Di dalam Lontar Prekempa Gunung Agung ditulis Sang Hyang Tri Murti untuk menjaga bumi menjelma menjadi Sang Hyang Naga Tiga.
.
Dimana Dewa Brahma turun menjelma menjadi Naga Ananta Bhoga. Dewa Wisnu menjelma sebagai Naga Basuki. dan Dewa Iswara menjadi Naga Taksaka.
.
Naga Basuki bagian kepalanya ke laut menggerakan samudara agar menguap menjadi hujan, Ekornya menjadi gunung dan sisik ekornya menjadi pohon-pohonan yang lebat di hutan.
.
Kepala Naga Basuki itulah yang disimbolkan dengan Pura Goa Lawah dan ekornya menjulang tinggi sebagai Gunung Agung. Pusat ekornya itu di Pura Goa Raja.

.
STANA BHATARA RAMBUT SEDANA
.
Pura Goa Raja merupakan stana dari Ida Batara Rambut Sedana atau Bhatara Sri Sedana. Ide dipuja sebagai Dewi Kesejahteraan
.
Ide diyakini sebagau yang menganugerahkan harta kekayaan. emas-perak (sarwa mule), permata dan uang (dana) kepada manusia.
.
Piodalan di pura Goa Raja pada hari Buda Wage Klawu atau Buda Cemeng Klawu pada hari itu masyarakat Hindu sesuai tradisi Bali (entah yang sudah gengsi mempraktikkan Bali) melakukan pemujaan kepada Tuhan sebagai wujud syukur atas harta yang diberikan sebagai hasil kerja keras yang sudah dilakukan.
Fb.wayan abian

Siwa Nataraja Tarian Kosmis Dewa Siwa

 


Dewa Siwa yang diberi gelar Mahadewa sebagai dewa tertinggi tidak hanya dikenal sebagai Dewa yang memiliki tugas prelina (dalam Tri Murti), tetapi juga sebagai dewa tarian kosmis yang dibergelar Siwa Nataraja.

Secara harafiah, Siwa Nataraja sendiri berarti Siwa sebagai raja, Nata artinya raja. Siwa Natha raja yang menggambaran tarian kosmis merupakan bentuk kesadaran Siwa dalam aspek kesenian spiritual yang di dalamnya terdapat unsur Sattwam, Siwam dan Sundaram.

Sattwam merupakan kebenaran, dimana menujukan kesenian sebagai bentuk pengejewantahan kebenaran yang diwujudkan dalam sebuah tarian. Siwam berarti kesucian yang merupakan wujud kosmis sebagai kekuatan Siwa Mahasuci, dan Sundaram berarti keindahan dimana Siwa Nataraja yang memiliki unsur sattwam, siwam sehingga memunculkan keindahan kosmis.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Siwa Nataraja dalam aspek ini dalam kegiatan berkesenian khususnya tari juga dijadikan sebagai pedoman dalam mewujudkan sattwam, siwam, sundaram itu. Siwa Natharaja dipuja dan dihormati sebagai dewa tarian.

Siwa Nataraja dalam berkesenian di Bali juga disimbolkan dalam bentuk lambang Pesta Kesenian Bali yang digelar dalam pergelaran kesenian sebulan penuh oleh Pemerintah Provinsi Bali. Ini menujukan Siwa Nataraja sebagai bentuk kesenian tertinggi yang dipuja dan dihormati dalam berkesenian. (SB-Skb) –sumber


Jumat, 13 September 2024

Siwa sebagai Nawa Sanggha

 



▪️ *Siwa sebagai Nawa Sanggha* :
Om Siwa Iswara ya Namaha di Timur
Om Siwa Maheswara ya Namaha Tenggara
Om Siwa Prajapati ya Namaha di Selatan
Om Siwa Rudraa ya Namaha Barat Daya
Om Siwa Mahadewa ya Namaha di Barat
Om Siwa Sangkara ya Namaha Barat Laut
Om Siwa Pasupate ya Namaha di Utara
Om Siwa Sambhu ya Namaha di Timur Laut
Om Siwa Isyaana ya Namaha di Tengah
▪️ *Siwa sebagai Panca Dewata*
Om Siwa Sadyojata ya Namaha di Timur
Om Siwa Bamadewa ya Namaha di Selatan
Om Siwa Tatpurusa ya Namaha di Barat
Om Siwa Aghora ya Namaha di Utara
Om Siwa Isyaana ya Namaha di Tengah


▪️ *Siwa sebagai Panca Aksara*
Na-Ma-Si-Wa-Ya.
Menyebut-nyebut sampai 10 putaran aksamala nama Dewa Siwa, japa "Om Nama Siwa Ya" meditasi dengan membayangkan 8 wujud Dewa Siwa dalam wujud Linggam, akan mencapai pembebasan (moksa).
Oleh karena itu, pada setiap Maha Sivaratri mesti ada Lingga Yoni (Linggam) untuk diabisekam.
Saat Maha Sivaratri, mesti ada:
1. Tantra
2. Yantra
3. Mantra
Pada saat pemujaan sehari-hari bagi penganut Siwaisma mesti juga memuja Keluarga Siwa dengan mengunakan Gayatri Mantram.
1. Dewi Durgha
2. Dewa Siwa
3. Dewa Ganesha
4. Dewa Kartekia
5. Nandi
Di Alam Kematian [Mrityun Loka] yaitu dimensi halus Alam Marcapada.
Atman di alam ini berbadan Lingga Sarira.
Setelah sadar bahwa kita sudah mati, secepatnya mencari jalan untuk menuju Alam-alam Suci, karena tidak banyak waktu agar terhindar dari kemungkinan buruk.
Kemungkinan buruk yang dialami Atman di Alam Kematian [Mrityun Loka] ini, karena kebodohan (Avidya) Sang Atman, artinya Sang Atman tidak memiliki pengetahuan dharma dan tidak memiliki pengetahuan tentang kematian.
Menyebabkan Atman terombang-ambing di Alam Kematian [Mrityun Loka]].

Ada 3 (tiga) kemungkinan buruk yang terjadi pada Sang Atman:
1. Atman menjadi *hantu* dalam *waktu* *lama*
Penyebabnya:
(1). Tidak menyadari bahwa dirinya sudah mati.
(2). Menyadari dirinya mati, tetapi tidak rela mati karena masih memiliki ikatan duniawi yang sangat kuat.
Ada menjadi hantu sampai puluhan bahkan ratusan tahun.
2. Atman ditangkap orang jahat yang memiliki kekuatan supranatural
Karena kebodohan Sang Atman, menyebabkan Atman dengan mudah ditangkap oleh orang jahat yang memiliki kekuatan supranatural.
Di Alam Kematian [Mrtyun Loka] ini, valamnya sangat liar dan bebas. Di alam ini berlaku hukum rimba, siapa kuat itu yang berkuasa.
Atman yang tertangkap ini dijadikan budak atau diperalat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan niskala (gaib) yang jahat.
3. Atman ditarik masuk ke Alam Bawah untuk dijadikan budak
Bila tidak ada ajaran Dharma, tidak ada ajaran Siva, tidak ada ajaran Tantra-Yantra-Mantra, dan tidak ada ajaran Dharma, atau orang tidak begitu paham ajaran Dharma yang mendalam, maka di tempat itu akan ada banyak hantu atau makhluk-makhluk liar alam bawah.
Atman dipancing dengan suara dari orang-orang yang dicintainya, sehingga Atman bergerak ke arah itu, lalu dijerumuskan ke alam bawah untuk dijadikan budak