BALI EXPRESS, DENPASAR – Enam hari menjelang Hari Raya Galungan, umat Hindu mengadakan upacara yang disebut Sugian. Dalam pelaksanaannya, Sugihan dibagi menjadi dua waktu berbeda, yakni Sugihan Jawa pada Wheraspati wage sungsang, sedangkan Sugihan Bali pada Jumat kliwon wuku sungsang. Lantas, benarkah yang merayakan Sugihan Bali adalah keturunan Bali asli, sedangkan yang melaksanakan Sugihan Jawa keturunan pelarian Majapahit?
Secara umum Sugihan Jawa dan Bali, pelaksanaannya dilakukan sebagai simbolisasi pembersihan alam semesta (Bhuana Agung) hingga Bhuana Alit, sehingga pelaksanaan Galungan berjalan sesuai dengan harapan, terwujudnya harmonisasi alam semesta beserta isinya.
Jika dilihat dari arti katanya, Sugian Jawa berasal dari urat kata Sugi, yang artinya membersihkan, dan Jawa artinya luar. Jadi, Sugihan Jawa dapat diartikan sebagai suatu upacara yang berfungsi untuk membersikan Bhuana Agung atau alam semesta (makrokosmos), baik sekala maupun niskala. Sedangkan Sugihan Bali, disebutkan berasal dari kata ‘wali’ yang artinya ‘bagian dalam’. Secara harfiah, artinya ‘pembersihan bagian dalam diri manusia’ (pembersihan dari dalam diri sendiri).
Dalam Lontar Sundarigama dijelaskan, ketika Wuku Sungsang, yakni Kamis Wage Sungsang dinamakan Parerebwan atau disebut juga Sugihan Jawa. Dalam lontar tersebut juga dijelaskan pula mengapa hari itu disebut Sugihan Jawa. “Mitos yang selama ini berkembang di masyarakat itu, tidak sepenuhnya benar. Bukan karena hari khusus bagi mereka yang berasal dai Jawa Majapahit,” ujar Sastrawan yang juga Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr.Drs.I Nyoman Suarka, M. Hum, ketika ditemui Bali Express ( Jawa Pos Group) di sela – sela seminar Calonarang di Art Center pekan lalu.
Dijelaskan Suarka, latar belakang dinamakan Sugihan Jawa karena merupakan hari suci bagi para Bhatara untuk melakukan rerebu di Sanggar dan di Parhyangan, disertai pangraratan dan pangresikan untuk Bhatara serta kembang wangi.
Menurutnya, hari yang jatuh pada Kamis Wage, Wuku Sungsang tersebut sangat baik digunakan untuk kegiatan spiritual. “Hari itu adalah hari di mana para Bhatara dan Sasuhunan kita pulang, dan turun ke dunia. Bagi yang mengetahui, pasti mereka akan memanfaatkannya untuk melaksanakan meditasi dan kegiatan spiritual lainnya. Karena secara niskala dalam lontar dikatakan itu adalah hari yang sangat baik,” ujar Suarka.
Bahkan, dalam Lontar Sundarigama dipaparkan, Sungsang, wrehaspati wage ngaran parerebwan, sugyan jawa kajar ing loka, katwinya sugyan jawa ta ngaran, apan pakretin bhatara kabeh arerebon ring sanggar mwang ring parhyangan, dulurin pangraratan, pangresikan ring bhatara, saha puspa wangi. Kunang wwang wruh ing tatwa jnana, pasang yoga, sang wiku anggarga puja, apan bhatara tumurun mareng madyapada, milu sang dewa pitara, amukti banten anerus tekeng galungan
“ Jelas diuraikan, tentang betapa murninya hari itu. Karena Bhatara turun ke dunia diiringi dewa serta leluhur untuk ikut menikmati sesajen persembahan umat, hingga sampai pada hari Galungan,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan, dalam Lontar Sundarigama, Sugihan Jawa diartikan sebagai pasucian dewa kalinggania pamrastista Bhatara kabeh (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua Bhatara). Sedangkan Sugihan Bali bermakna, Kalinggania amrestista raga tawulan, yang artinya oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing (mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan atau panglukatan.
Jika ditarik garis perbedaannya, Sugihan Jawa dan Bali sama – sama hari yang dtujukan sebagai hari pembersihan dalam rangka menyambut Hari Raya Galungan sebagai hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Perbedaannya terletak dalam filosofi maknanya.
“Jadi, di hari Sugihan Jawa kita semua diajarkan untuk melakukan ritual pembersihan di eksternal diri kita, pembersihan palinggih atau tempat-tempat suci yang digunakan sebagai tempat pemujaan,” ungkapnya.
Selain itu, ia menambahkan, pembersihan bisa dilakukan dengan melakukan pacaruan ekasata di rumah masing-masing. Bila tidak sempat melakukan pacaruan, maka cukup dengan bungkak nyuh gading yang dipercikkan ke semua penjuru rumah atau pekarangan yang sebelumnya sudah dihaturkan agar dapat menjadikan rumah dan lingkungan menjadi bersih.
Sedangkan Sugihan Bali adalah panyucian Bhuana Alit atau diri sendiri (mikrokosmos), sehingga bersih dari perbuatan-perbuatan yang ternoda atau pembersihan lahir dan batin. Pembersihan dapat dilakukan dengan panglukatan, sarananya dapat menggunakan bungkak nyuh gading. Dengan adanya kesucian lahir dan batin itu, umat lebih bisa memaknai Hari Suci Galungan, sebagai kemenangan dharma. Umumnya Sugihan jatuh pada hari yang berbeda. Sugihan Bali dilaksanakan keesokan hari setelah Sugihan Jawa.
Ketika ditanya, Apakah dilaksanakan salah satu atau keduanya secara bergiliran? Sastrawan Jawi Kuno ini mengatakan, dalam mitologi Bhutakala diceritakan bahwa dalam menyambut hari Raya Galungan, Dewa Siwa menugaskan para Bhuta untuk menggoda manusia. Untuk mencegah hal itu, disarankan untuk melakukan pembersihan Bhuana Agung pada Sugihan Jawa dan pembersihan diri sendiri (Bhuana Alit) pada Sugihan Bali. Dengan begitu, akan mampu lebih menjauhkan diri dari godaan para Bhuta yang dapat merugikan diri.
Sehingga, pada Hari Galungan nanti akan lebih mampu memahami akan arti kemenangan dharma melawan adharma. “ Ya sebaiknya dilaksanakan keduanya. Ini kan pembersihan Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Jika hanya dilaksanakan salah satunya, tentu akan terasa kurang. Ini bukan lagi soal asal usul kita, tapi soal pembersihan kita menyambut Hari Raya Galungan,” ujarnya.
Bebantenan dan Tatacara Upacara Sugihan
Berdasarkan Lontar Sundarigama, Sugihan Jawa diartikan sebagai pasucian dewa, yakni hari panyucian semua Bhatara. Apa saja bebantenan yang digunakan dalam melaksanakan Sugihan Jawa?
Dalam Lontar Sundarigama dijelaskan bebantenan yang digunakan adalah Banten Pangresikan, yaitu Pabyakaonan, Durmanggala, Prayascita dan Pangulapan. Banten Pasucian, Wangi – wangian,Tigasan, Toya(Tirta), Sesayut,Tutwan, Sodan (Rayunan).
Sesuai Lontar Sundarigama, banten tersebut dihaturkan di merajan serta lingkungan rumah tempat tinggal.
“Banten itu sesungguhnya sebagai simbolis saja, simbol dari pembersihan Bhuana Agung, yang dilanjutkan dengan malukat keesokan harinya. Sebagai simbol dari pembersihan bhuana Alit. Jadi baiknya harus dilakukan keduanya secara beriringan,” ujar Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr.Drs.I Nyoman Suarka, M. Hum.
(bx/tya/yes/JPR) –sumber