Senin, 23 September 2024

Pura Luhur Pucak Rsi Bukit Sangkur

 


Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur terletak Desa Pakraman Kembang Merta, Kecamatan Baturiti, Tabanan di salah satu bukitnya terdapat pura yang disebut Pura Luhur Puncak Sangkur yang juga disebut Pura Puncak Resi. Mengapa disebut Pura Pucak Sangkur karena pura itu berdiri di Bukit Sangkur. Yang dipuja di Pura Pucak Sangkur ini adalah Ida Batara Hyang Pasupati atau Batara Siwa. Dengan tanpa banyak mengubah kondisi alas (hutan) disana, menambah keheningan dan keangkeran Pura Puncak Sangkur.
Sejarah Pura Luhur Puncak Bukit Sangkur
Pura ini sendiri di Bukit Sangkur yang merupakan kawasan hutan yang kental dengan aura magis, yang digunakan oleh Rsi Segening, melakukan yoga, tapa dan samadhi sehingga dikenal dengan hutan Tapa Wana. Konon di sinilah beliau mencapai kesempurnaan dan moksa ke jalan Tuhan.
Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur merupakan kawasan tapa wana, dilestarikan sehingga tidak ada bangunan lain di lokasi ini kecuali terkait dengan pemujaan. Lokasi pura ini dulunya dikenal dengan tempat pertapaan Resi Segening. Seringkali orang datang memohon jabatan ataupun taksu sebagai pemimpin. Seorang spiritual yang betul-betul mendambakan suasana sunyi dan damai, Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur bisa menjadi salah satu tempat pilihan untuk melaksanakan tapa yoga semedhi. Keunikan dari pura ini adalah keberadaan Juuk Linglang (sejenis jeruk). Jeruk ini konon sudah tumbuh ratusan tahun dan diyakini memiliki khasiat tertentu yang ajaib, jarang sekali orang yang bisa mendapatkan buahnya.
Pura Pucak Bukit Sangkur ini ada kaitannya dengan berbagai Pura Kahyangan Jagat di Bali. Dalam Lontar Tantu Pagelaran diceritakan secara mitologis Gunung Maha Meru di India, puncaknya menjulang sangat tinggi hampir menyentuh langit. Kalau langit sampai tersentuh oleh puncak Gunung Maha Meru itu maka alam ini pun akan hancur lebur. Saat itu Jawa dan Bali dalam keadaan guncang atau disebut enggang enggung.
Hyang Pasupati memotong puncak Maha Meru tersebut terus dibawa ke Jawa. Pecahan puncak tersebut ditaburkan dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Pecahan Maha Meru itulah yang menjadi gunung-gunung yang berderet dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Di Jawa Timur puncak Maha Meru itulah menjadi Gunung Semeru. Setelah itu Pulau Jawa menjadi tenang. Tetapi Bali masih enggang-enggung atau guncang. Karena itu, Hyang Pasupati terbang ke Bali membawa puncak Gunung Maha Meru tersebut.


Puncaknya sekali menjadi Gunung Agung, bagian tengahnya menjadi Gunung Batur dan dasarnya menjadi Gunung Rinjani di Lombok. Serpihan-serpihannya menjadi gunung-gunung kecil dan bukit-bukit yang mengelilingi Pulau Bali. Setelah itu Bali menjadi tenang. Gunung-gunung kecil itu antara lain menjadi puncak Mangu, Teratai Bang, Gunung Tampud, Lempuhyang, termasuk Bukit Pucak Sangkur tempat didirikannya Pura Pucak Resi itu.
Dalam Lontar Purana Pura Pucak Resi diceritakan di zaman dahulu ada seorang suci bernama Ida Sang Resi Madura berasal dari Gunung Raung, Jawa Timur. Beliau Sang Resi juga disebut sebagai Acarya Kering. Ida Sang Resi Madura ini sering mengadakan perjalanan bolak-balik Jawa-Bali. Suatu hari dalam Yoga Semadinya Sang Resi mendapatkan suara niskala yang menugaskan Sang Resi agar menuju Danau Beratan. Sang Resi pun mengikuti suara gaib tersebut. Sang Resi diiringi oleh pembantunya bernama I Patiga. Sampai di Bali, Sang Resi menuju puncak bukit.
Di puncak bukit itulah Ida Sang Resi Madura membangun pura dengan nama Parhyangan Pucak Resi sebagai pemujaan Batara Hyang Siwa Pasupati. Setelah itu Sang Resi Madura ini mengadakan perjalanan menuju ke puncak Teratai Bang, Bukit Watusesa sampai ke Bukit Asah.
Diceritakan I Ratu Ayu Mas Maketel di Nusa Penida saat mengadakan upacara Ngeraja Sewala mendatangkan seorang pandita dari Maja Langu untuk memimpin upacara tersebut. Pandita ini bernama Ida Resi Sagening ke daratan Bali dan bermukim di Munduk Guling Klungkung. Di tempat ini beliau banyak punya pengikut. Sang Resi kena fitnah dan dikatakan akan merebut kekuasaan raja di Linggarsapura. Sang Resi pun mau dihukum mati.
Untuk menghindari hukuman itu, Ida Resi Sagening pindah ke Bukit Asah diiringi oleh sisya-sisya (murid-murid-red)-nya. Di Bukit Asah inilah beliau membangun pasraman. Atas petunjuk niskala yang diterima oleh Ida Ratu Ngurah Wayan Sakti agar Pura Puncak Asah di-pralina. Karena demikian halnya Ida Resi Sagening mohon dibuatkan Siwapakarana dan disimpan di Pasraman Taman Sari. Di pura inilah juga Ida Resi Sagening mencapai moksha.
Di sini ada bentang persekutuan gugusan kelompok Gunung Sanghyang-Gunung Lesong-Gunung Pucuk serta gugusan kelompok Gunung Adeng-Gunung Pohen – Gunung Tapak yang berada di sisi selatan Danau Tamblingan dan Danau Buyan. Lalu ada lagi persekutuan gugusan kelompok Gunung (Pucak) Bon-Gunung (Pucak) Mangu/Pangelengan – Gunung (Pucak) Sangkur berada di sebelah barat Danau Buyan.
Pucak Mangu sendiri memiliki pasanakan (berkerabat) dengan Pucak Sangkur dan Terate Bang. Uniknya, masing-masing gugusan kelompok gunung itu memiliki satu palinggih pangayatan (semacam perwakilan) di Pura Pucak Mangu di ujung ketinggian puncak Gunung Mangu.
Hal yang unik dan menarik dari kawasan ini adalah keberadaan juuk linglang (sejenis jeruk) yang terletak di utama mandala. Jeruk yang konon keberadaannya telah ratusan tahun ini memiliki cerita tersendiri. Untuk saat ini juuk linglang hanya menjadi legenda yang sering diceritakan dalam drama gong. Namun, legenda itu dianggap nyata oleh masyarakat setempat.
Sebelum dilakukan rehab pura sekitar tahun 2004-2005 lalu, jeruk dengan ukuran batang besar ini berada peResis di tebing pada bagian samping lokasi pura yang saat itu masih sempit. Namun, ketika dilakukan penimbunan timbul pawisik agar jeruk ini tidak dimatikan. Akhirnya dibuatkan lubang yang bertrali agar jeruk ini dapat terus tumbuh. Uniknya batang kecil yang muncul sering hilang dan timbul kembali pada waktu tertentu.

Masyarakat sangat meyakini juuk linglang memiliki khasiat tertentu yang sifatnya ajaib. Dari buah, daun hingga kulit batang diyakini ampuh menyembuhkan berbagai penyakit, baik medis maupun nonmedis. Penanganan penyakit nonmedis paling banyak. Namun buah dari jeruk ini sukar untuk didapatkan dan konon tidak semua orang bisa mendapatkan sebagaimana halnya memetik buah jeruk biasa. Diyakini orang yang bisa memiliki buah jeruk ini merupakan orang pilihan.
Para pemedek biasanya merasa sangat beruntung ketika melihat batang kecil dengan beberapa helai daun menyembul ke permukaan. Sebab, tidak semua pemedek beruntung melihat keberadaannya yang sering hilang tersebut. Masyarakat setempat yang sering mengamati keberadaannya pada mulanya merasa heran ketika jeruk itu hilang. Saat tertentu jeruk ini menghilang dan dalam waktu yang sulit diketahui muncul kembali dengan posisi dan kondisi yang sama ketika menghilang.
Pangider Penataran Beratan Penataan bangunan pura sudah terlihat bagus. Dari wantilan, berjalan menaiki tangga yang cukup panjang barulah memasuki jaba tengah pura. Dari sini terlihat pohon besar dalam (di jeroan) pura, tak lain adalah pohon bunut dengan bentuk unik, seolah-olah menyerupai goa pada bagian batangnya.
Sesekali terlihat sekelompok kecil kera bergelantungan di diantara ranting pohon yang kokoh. Di bawah pohon ini terdapat pelinggih merupakan pelinggih pertama yang ditemukan di pura ini. Sementara pada palinggih utama di areal pura ini terdapat patung Siwa Pasupati dengan menggunakan busana kuning.
Puja wali ring Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur,ring rahina Buda Kliwon Sinta/ Pagerwesi.
Semoga berkenan, kurang lebihnya mohon dimaklumi…Ampura Suksma Rahayu…
Info kontak jero mangku ring Pura Puncak Sangkur 087860328004
Reference
2. Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur @ https://yanartha.wordpress.com/

Minggu, 22 September 2024

Mandala Pertama - Pura Penataran Agung Besakih

 


Secara filsafat Mandala Pertama ini melambangkan dunia kebendaan yang harus kita tinggalkan -- walau pun dengan susah payah -- agar kita dapat menapaki dunia kesucian. Pintu menuju ke kepada alam rohani ini menunjukkan batas- batas yang jelas dan dimuati dengan banyak lambang yang bertujuan mengingatkan kita bahwa langkah kita ke depan adalah langkah spiritual, dan harus diperjuangkan, tidak datang tanpa upaya, jadi kita harus suci, membebaskan diri kita sendiri dari kebohongan, kepalsuan dan kegelapan.
Mandala Pertama ini dicapai melalui rangkaian anak tangga yang cukup tinggi dan di pagari oleh dua baris patung- patung tokoh wayang. Di sebelah kiri adalah para tokoh pahlawan dari Mahabharata, sedangkan di sebelah kanan adalah pahlawan- pahlawan dari Ramayana. Patung- patung indah ini diukir sekitar tahun 1935 oleh sekelompok pematung dari desa Sukawati yang dipimpin oleh I Kolok.
Selanjutnya, unsur- unsur dari Mandala Pertama ini di antaranya adalah:
A. Candi Bentar
Candi Bentar, yaitu pintu gerbang utama.
01. Bale Pegat
Bale yang terputus di tengah. Mulai titik ini, pengunjung diminta untuk memutuskan hubungan dengan kehidupan kebendaan atau keduniawian. Bale ini bentuknya unik, tampak seperti dua buah bale dengan atap yang yang menyatu. Pertama dibuat, seperti diceritakan dalam babad warga Tutuan, sebagai lambang perpisahan, putusnya hubungan yang sudah sekian lama.
02 & 03. Bale Kulkul
Bale kentongan. Ada dua di sebelah kiri dan kanan pintu masuk, setelah kita berada di dalam. Kentongan ini dibunyikan pada saat ada upacara.
04. Bale Pelegongan
Bale panjang tempat digelarnya kesenian Legong pada saat upacara tertentu.
05. Bale Pegambuhan
Bale panjang tempat digelarnya kesenian Legong pada saat upacara tertentu.
06. Bale Mundar-mandir atau Bale Ongkara.
Bale Mundar-mandir atau Bale Ongkara terletak di sebelah kanan kiri Candi Kurung, dimaksudkan sebagai pengingat kepada umat yang akan memasuki Kori Agung untuk terlebih dahulu mengheningkan pikiran sejenak menyatukan konsentrasi pada kesucian, karena ia akan mulai masuk ke halaman Pura Penataran Agung. Bangunan Bale ini bersaka tunggal, sangat artistik.
------------------------------------------------------------


”Omkara”, Panggilan Tuhan yang Pertama
Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?
Swami Dayananda Saraswati, pendiri Arya Samad di India, menyataan bahwa panggilan Tuhan yang pertama-tama dan yang tertua adalah dengan mengucapkan Omkara. Tuhan memang tanpa nama, tanpa rupa karena pada hakikatnya semuanya yang nyata ini adalah perwujudan Tuhan. Artinya apa pun yang ada ini sesungguhnya adalah ciptaan Tuhan. Karena tidak bernama maka manusia ciptaan Tuhan diteladani oleh para resinya memanjatkan doa pujian pada Tuhan dengan ucapan Omkara.
Tuhan pada hakikatnya maha-tahu. Pengucapan Omkara sebagai media pemanggilan Tuhan bukanlah untuk Tuhan, tetapi untuk mereka yang memanggil Tuhan agar merasa bahwa Tuhan sudah mereka puja dengan pengucapan Omkara tersebut. Saat manusia berniat saja untuk memanggil-Nya, Tuhan sudah maha-tahu sebelumnya.
Demikianlah menurut keyakinan Hindu. Dalam Manawa Dharmasastra II.83 dan 84 dinyatakan bahwa Eka Aksara Om adalah Brahman yang tertinggi. Ketahuilah bahwa Omkara itu kekal abadi dan itu adalah Brahman penguasa semua ciptaan. Dalam Manawa Dharmasastra II.76 dinyatakan bahwa Aksara Omkara itu berasal dari aksara, A-U-M. dari suara tiga Veda dan inti dari Vyahrti Mantra.
Yang dimaksud dengan Vyahrti Mantra itu adalah Bhur, Bhuwah dan Swah. Yang mengupas tiga Veda dan Vyahrti Mantra menjadi aksara A, U dan M itu adalah Prajapati yaitu Tuhan sebagai rajanya makhluk hidup. Yang dimaksud dengan ketiga Veda itu adalah Reg, Sama dan Yajur Veda. Dari penyatuan aksara, A, U dan M itulah bersenyawa menjadi aksara Omkara yang juga disebut Pranava Mantra.
Karena itu, Omkara itu juga disebut Vijaksara Mantra artinya biji aksara asal mulanya Mantra Veda. Kata Aksara dalam bahasa Sansekerta artinya yang kekal abadi. Ini berarti tujuan Tuhan menurunkan Aksara adalah untuk menyebarkan ajaran suci Tuhan yang kekal abadi itu.
Pura Besakih adalah media sakral untuk mencapai anugerah Tuhan berupa kehidupan yang bahagia Sekala dan Niskala. Dalam Vedanta Sutra I.1-4 ada dinyatakan bahwa untuk meraih anugrah Tuhan itu hanya dapat dilakukan berdasarkan tuntunan kitab suci Veda. Karena itu penempatan Balai Omkara simbol Vijaksara Mantra di kiri-kanan Candi Kurung atau Kori Agung Pura Penataran Agung Besakih sudah sangat sesuai dengan petunjuk ajaran suci Veda. Meskipun penempatan Balai Omkara itu tidak terlalu khusus, tetapi pada tempat yang sangat strategis.
Untuk memasuki Mandala kedua Penataran Agung Besakih harus melalui salah satu dari dua Candi Bentar yang mengapit Candi Kurung. Saat melalui salah satu dari pintu masuk tersebut pasti akan melihat salah satu dari Balai Omkara tersebut. Mengapa ada dua Balai Omkara yang mengapit Candi Kurung itu. Karena manusia dalam hidupnya ini tentu berharap senantiasa mendapatkan tuntunan Tuhan baik dalam kehidupan Sekala maupun dalam kehidupan Niskala. Pertimbangan untuk memperoleh kehidupan yang seimbang itulah nampaknya sebagai dasar pemikiran mengapa Balai Omkara itu didirikan kembar mengapit Candi Kurung tersebut.
Penempatan Balai Omkara pada tempat yang sangat strategis tetapi pada tempat yang sederhana itu patut menjadi renungan kita bersama. Hal ini bermaksud agar umat tidak terlalu sulit menjumpai Balai Omkara tersebut. Karena Omkara itu adalah simbol tersuci dalam ajaran Veda. Untuk itu umat jangan dipersulit untuk menjumpai simbol tersebut. Karena yang lebih sulit nantinya adalah bagaimana merealisasikan simbol suci itu dalam kehidupan sehari-hari.
Pengucapa Omkara Mantra itu sebagai doa untuk memperoleh tuntutan Tuhan agar dinamika Utpati, Stithi dan Pralina hidup manusia itu berjalan dengan sebaik-baiknya. Mereka lahir (Utpati) dengan selamat. Dalam menjalankan kehidupan (Stithi) pun juga dengan selamat. Kembali ke asal atau Pralina pun agar mereka dapat dengan selamat. Dalam Lontar di Bali disebut ”mati bener”. Itulah dambaan manusia yang lahir ke dunia ini.

Omkara juga dinyatakan sebagai sebutan Tuhan jiwa agung dari Bhur. Bhuwah dan Swah Loka. Memahami hal ini berarti manusia seharusnya menjaga perilakunya agar tidak berbuat yang dapat mencemari Tri Loka tersebut. Karena perbuatan yang buruk di Bhur Loka dapat merusa juga Bhuwah dan Swah Loka. Secara ilmu pengetahuan modern hal itu sudah dapat dibuktikan dengan ilmiah.
Penempatan Balai Omkara di Pura Besakih itu sebagai upaya untuk menggemakan suara suci Veda agar terserap dengan baik ke dalam lubuk hati setiap umat. Dengan terserapnya nilai-nilai suci Veda ke dalam lubuk hati setiap umat maka umat Hindu diharapkan dapat menyucikan hati nuraninya dari kabut kegelapan pengaruh Rajah Tamah yang negatif. Kalau Guna Rajah dan Tamah dapat dikuasai oleh Guna Satwam maka gema suara hati nurani pun akan dapat lebih mengendalikan perilaku.
Orang yang berperilaku sesuai dengan suara hati nuraninya yang suci itu akan dapat lebih mudah mencapai karunia Tuhan. Salah satu tujuan yang paling utama umat ke pura adalah untuk memperoleh karunia Tuhan. Karena itu sudah sangat tepatlah pendirian Balai Omkara di kiri dan kanan Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih.
Aksara suci Omkara dalam Manawa Dharmasastra II.75 dinyatakan sebagai media meditasi disertai dengan melakukan Pranayama dan Tirtha Pawitra. Omkara juga dijadikan pengantar dalam mengucapkan Vyahrti Savitri Mantra. Di Bali lebih terkenal dengan Mantra Gayatri. Tri Sandhya setiap pagi yang diawali dengan Mantram Gaya Tri itu sebagai mantram pertama.
Mantra pertama Tri Sandya itu sesungguhnya terdiri atas tiga jenis mantram yaitu: Omkara Mantra, Vyahrti Mantra (Bhur, Bhuwah dan Swah) dan Tri Pada Mantram terdiri atas 24 kata. Tiga jenis mantram itulah yang populer dengan Gayatri Mantram. Inilah yang disebut Mantram Veda yang paling universal. Nampaknya itulah tujuan utama didirikannya Balai Omkara di Pura Penataran Agung Besakih.
* wiana
--------------------------------------------------------------
Balai Omkara Kembar di Besakih
Brahmana pranava
Kurya dadavante sa carvada
Sravatyani krtam puvam
Purastasca visiryati.
(Manawa Dharmasastra, II.74)
Maksudnya:
Hendaknya pengucapan pranava (aksara Om) dilakukan pada permulaan dan penutupan dalam mempelajari Veda. Kalau tidak didahului pengucapan Om maka pelajaran Veda itu akan tergelincir menyasar. Kalau tidak ditutup dengan Om maka pengetahuan Veda itu akan menghilang.
Di Mandala pertama dari Pura Penataran Agung Besakih terdapat dua pelinggih kembar yang disebut oleh masyarakat sebagai Balai Mundar-Mandir. Sesungguhnya pelinggih itu adalah Balai Omkara sebagai simbol sakral dari Aksara Omkara yang juga disebut Pranava Mantra. Pelinggih ini memang kelihatan sangat sederhana terletak di kiri-kanan Candi Kurung memasuki Mandala ketiga Penataran Agung di mana terdapat pelinggih Padma Tiga sebagai pelinggih yang paling utama di Pura Besakih.
Bangunan suci ini bertiang satu dengan atap yang sederhana. Omkara ini memang disebut Bijaksara yang artinya benih asal-usul dari semua Aksara. Mengapa simbol sakral yang menggambarkan kesucian Tuhan tidak ditempatkan di Mandala kedua dari Pura Penataran Agung Besakih ini.
Di Mandala kedua ini terdapat Pelinggih Padma Tiga, Balai Gajah atau Balai Pawedaan, Bale Panjang dengan 24 tiang, Meru Tumpang Sebelas dan Tumpang Sembilan, dst. Bentuk dan penempatan Balai Omkara yang sederhana ini saya yakin sudah mendapat pertimbangan mendalam daripada leluhur umat Hindu di Bali yang mendirikan Pura Besakih ini. Kemewahan bukan cara pendekatan yang harus dilakukan untuk mencapai pendekatan spiritual pada Tuhan. Justru dalam Markandeya Purana dinyatakan bahwa kesederhanaan adalah awal kebijaksanaan.
Balai Omkara di kiri-kanan Candi Kurung Mandala pertama Penataran Agung Besakih ini adalah sebagai simbol Omkara sebagai suatu cara pendekatan mencapai pencerahan rohani pada Tuhan yang diajarkan oleh Veda. Di Mandala pertama ini dilukiskan dengan simbol sakral bagaimana konsep untuk mencapai pendekatan diri pada Tuhan dengan simbol Omkara itu.

Di kiri-kanan tangga Candi Bentar menuju Mandala Pertama Penataran Agung Besakih terdapat arca yang melukiskan tokoh-tokoh pelaku Ramayana dan Mahabharata. Menurut Vayu Purana I.201 dan juga Sarasamuscaya 39 menyatakan bahwa untuk mencapai kesempurnaan Veda hendaknya terlebih dahulu mendalami Itihasa dan Purana. Ini artinya arca di kiri-kanan menuju Candi Bentar Penataran Agung Besakih sebagai tonggak spiritual untuk mengingatkan umat Hindu agar senantiasa mendalami secara terus-menerus Itihasa dan Purana seperti Ramayana dan Mahabharata tersebut. Dengan demikian umat akan terus-menerus mendapatkan inspirasi untuk mengaplikasikan ajaran Veda dalam kehidupan sehari-hari dalam segala aspeknya.
Dari Candi Bentar ini kita memasuki Mandala Pertama dari Pura Penataran Agung Besakih. Kita akan ketemu tiga bangunan yaitu Balai Pegat yang diapit oleh dua Balai Kulkul Kembar. Di depan Balai Pegat ada di kiri dan di kanan areal Mandala Pertama ini balai kesenian yang disebut Balai Pelegongan dan Balai Pegambuhan. Bangunan-bangunan ini memiliki nilai yang sangat dalam dan mengacu pada ajaran suci Veda. Ada Balai Pegat yaitu balai berbentuk segi empat panjang bertiang delapan, dengan ruang dalamnya dibagi atas dua bagian terpisah.
Balai ini sebagai media untuk memercikan Tirtha pengelukatan sebagai sarana untuk memohon perlindungan Tuhan dari berbagai halangan dalam menuju jalan spiritual mencapai Omkara simbol Hyang Widhi Wasa itu. Balai Pegat ini dapat dijadikan sarana untuk bermeditasi memusatkan pikiran pada Omkara sebagai kesadaran rohani dengan memutuskan kesadaran duniawi. Karena itu namanya Balai Pegat. Kata Pegat artinya putus.
Balai Kulkul di kiri-kanan Balai Pegat ini juga sebagai simbol untuk mengembangkan rasa aman pada diri umat baik sebagai individu maupun dalam kehidupan bersama. Kulkul adalah simbol raksanam. Artinya sebagai sarana doa untuk memotivasi umat mendapatkan rasa aman. Dalam Manawa Dharmasastra I.89 ada dinyatakan beberapa kewajiban para ksatria atau pemerintah, di antaranya ada dinyatakan bahwa menciptaan Raksanam dan Danam.
Maksudnya mengupayakan adanya suasana hidup yang mampu memberikan rasa aman (raksanam) dan sejahtera (danam) pada masyarakat. Jadi fungsi kulkul itu bukan dibunyikan untuk membuat kerusuhan. Dengan kata lain adanya kulkul kembar yang mengapit Balai Pegat itu sebagai media untuk memberikan inspirasi kepada umat untuk membangun suasana aman. Suasana aman itu meliputi aman secara duniawi dan aman secara rokhani. Karena itu kulkul-nya dibuat kembar.
Di depan Balai Kulkul kembar itu ada Balai Kesenian yang disebut Balai Pelegongan dan Balai Pegambuhan. Ini juga mengandung makna bahwa untuk mencapai kesucian Hyang Widhi dengan jalan Veda hendaknya melalui proses yang indah atau Sundaram. Mantra Veda itu sebagai sumber kebenaran dan kesucian atau Satyam dan Siwam harus diwujudkan menjadi keharmonisan atau Sundaram.
Dengan kata lain keharmonisan akan dapat memberi kontribusi positif pada kehidupan bersama apabila keharmonisan itu sebagai perwujudan Satyam dan Siwam. Kalau ada keharmonisan yang diwujudkan dengan pelaksanaan kekuasaan yang ketat dan keras dan tidak demokratis, keharmonisan itu adalah suatu stabilitas hidup yang palsu. Karena keharmonisan itu dengan menekan kemerdekaan rakyat untuk berkreasi.
Berbagai wujud bangunan suci di Mandala pertama Penataran Agung Besakih sebagai visualisasi ajaran suci Veda untuk menuntun umat dalam melakukan bakti pada Tuhan. Dari arca Ramayana dan Mahabharata amat sesuai dengan ajaran Vayu Purana dan Sarasamuscaya. Demikian juga tentang adanya Balai Pegat sebagai visualisasi intisari dari ajaran Yoga yang mengajarkan tentang pemusatan pikiran (Dhyana) pada Tuhan Siwa.
Demikian juga tentang adanya balai kesenian sebagai visualisasi bahwa untuk mencapai kesucian dan kebenaran Tuhan haruslah dengan cara yang indah atau seni. Bukan dengan cara-cara kekerasan. Dengan tahapan itulah umat manusia baru bisa berkonsentrasi pada Tuhan yang disimbolkan dengan Omkara.
* I Ketut Gobyah

Benarkah Sugihan Jawa-Bali Terkait Asal Orang Bali?

 





BALI EXPRESS, DENPASAR – Enam hari menjelang Hari Raya Galungan, umat Hindu mengadakan upacara yang disebut Sugian. Dalam pelaksanaannya, Sugihan dibagi menjadi dua waktu berbeda, yakni Sugihan Jawa pada Wheraspati wage sungsang, sedangkan Sugihan Bali pada Jumat kliwon wuku sungsang. Lantas, benarkah yang merayakan Sugihan Bali adalah keturunan Bali asli, sedangkan yang melaksanakan Sugihan Jawa keturunan pelarian Majapahit?

Secara umum Sugihan Jawa dan Bali, pelaksanaannya dilakukan sebagai simbolisasi pembersihan alam semesta (Bhuana Agung) hingga Bhuana Alit, sehingga pelaksanaan Galungan berjalan sesuai dengan harapan, terwujudnya harmonisasi alam semesta beserta isinya.

Jika dilihat dari arti katanya, Sugian Jawa berasal dari urat kata Sugi, yang artinya membersihkan, dan Jawa artinya luar. Jadi, Sugihan Jawa dapat diartikan sebagai suatu upacara yang berfungsi untuk membersikan Bhuana Agung atau alam semesta (makrokosmos), baik sekala maupun niskala. Sedangkan Sugihan Bali, disebutkan berasal dari kata ‘wali’ yang artinya ‘bagian dalam’. Secara harfiah, artinya ‘pembersihan bagian dalam diri manusia’ (pembersihan dari dalam diri sendiri).



Dalam Lontar Sundarigama dijelaskan, ketika Wuku Sungsang, yakni Kamis Wage Sungsang dinamakan Parerebwan atau disebut juga Sugihan Jawa. Dalam lontar tersebut juga dijelaskan pula mengapa hari itu disebut Sugihan Jawa. “Mitos yang selama ini berkembang di masyarakat itu, tidak sepenuhnya benar. Bukan karena hari khusus bagi mereka yang berasal dai Jawa Majapahit,” ujar Sastrawan yang juga Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr.Drs.I Nyoman Suarka, M. Hum, ketika ditemui Bali Express ( Jawa Pos Group) di sela – sela seminar Calonarang di Art Center pekan lalu.

Dijelaskan Suarka, latar belakang dinamakan Sugihan Jawa karena merupakan hari suci bagi para Bhatara untuk melakukan rerebu di Sanggar dan di Parhyangan, disertai pangraratan dan pangresikan untuk Bhatara serta kembang wangi.

Menurutnya, hari yang jatuh pada Kamis Wage, Wuku Sungsang tersebut sangat baik digunakan untuk kegiatan spiritual. “Hari itu adalah hari di mana para Bhatara dan Sasuhunan kita pulang, dan turun ke dunia. Bagi yang mengetahui, pasti mereka akan memanfaatkannya untuk melaksanakan meditasi dan kegiatan spiritual lainnya. Karena secara niskala dalam lontar dikatakan itu adalah hari yang sangat baik,” ujar Suarka.

Bahkan, dalam Lontar Sundarigama dipaparkan, Sungsang, wrehaspati wage ngaran parerebwan, sugyan jawa kajar ing loka, katwinya sugyan jawa ta ngaran, apan pakretin bhatara kabeh arerebon ring sanggar mwang ring parhyangan, dulurin pangraratan, pangresikan ring bhatara, saha puspa wangi. Kunang wwang wruh ing tatwa jnana, pasang yoga, sang wiku anggarga puja, apan bhatara tumurun mareng madyapada, milu sang dewa pitara, amukti banten anerus tekeng galungan

“ Jelas diuraikan, tentang betapa murninya hari itu. Karena Bhatara turun ke dunia diiringi dewa serta leluhur untuk ikut menikmati sesajen persembahan umat, hingga sampai pada hari Galungan,” ujarnya.


Ia juga menjelaskan, dalam Lontar Sundarigama, Sugihan Jawa diartikan sebagai pasucian dewa kalinggania pamrastista Bhatara kabeh (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua Bhatara). Sedangkan Sugihan Bali bermakna, Kalinggania amrestista raga tawulan, yang artinya oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing (mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan atau panglukatan.

Jika ditarik garis perbedaannya, Sugihan Jawa dan Bali sama – sama hari yang dtujukan sebagai hari pembersihan dalam rangka menyambut Hari Raya Galungan sebagai hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Perbedaannya terletak dalam filosofi maknanya.

“Jadi, di hari Sugihan Jawa kita semua diajarkan untuk melakukan ritual pembersihan di eksternal diri kita, pembersihan palinggih atau tempat-tempat suci yang digunakan sebagai tempat pemujaan,” ungkapnya.

Selain itu, ia menambahkan, pembersihan bisa dilakukan dengan melakukan pacaruan ekasata di rumah masing-masing. Bila tidak sempat melakukan pacaruan, maka cukup dengan bungkak nyuh gading yang dipercikkan ke semua penjuru rumah atau pekarangan yang sebelumnya sudah dihaturkan agar dapat menjadikan rumah dan lingkungan menjadi bersih.

Sedangkan Sugihan Bali adalah panyucian Bhuana Alit atau diri sendiri (mikrokosmos), sehingga bersih dari perbuatan-perbuatan yang ternoda atau pembersihan lahir dan batin. Pembersihan dapat dilakukan dengan panglukatan, sarananya dapat menggunakan bungkak nyuh gading. Dengan adanya kesucian lahir dan batin itu, umat lebih bisa memaknai Hari Suci Galungan, sebagai kemenangan dharma. Umumnya Sugihan jatuh pada hari yang berbeda. Sugihan Bali dilaksanakan keesokan hari setelah Sugihan Jawa.

Ketika ditanya, Apakah dilaksanakan salah satu atau keduanya secara bergiliran? Sastrawan Jawi Kuno ini mengatakan, dalam mitologi Bhutakala diceritakan bahwa dalam menyambut hari Raya Galungan, Dewa Siwa menugaskan para Bhuta untuk menggoda manusia. Untuk mencegah hal itu, disarankan untuk melakukan pembersihan Bhuana Agung pada Sugihan Jawa dan pembersihan diri sendiri (Bhuana Alit) pada Sugihan Bali. Dengan begitu, akan mampu lebih menjauhkan diri dari godaan para Bhuta yang dapat merugikan diri.

Sehingga, pada Hari Galungan nanti akan lebih mampu memahami akan arti kemenangan dharma melawan adharma. “ Ya sebaiknya dilaksanakan keduanya. Ini kan pembersihan Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Jika hanya dilaksanakan salah satunya, tentu akan terasa kurang. Ini bukan lagi soal asal usul kita, tapi soal pembersihan kita menyambut Hari Raya Galungan,” ujarnya.

Bebantenan dan Tatacara Upacara Sugihan

Berdasarkan Lontar Sundarigama, Sugihan Jawa diartikan sebagai pasucian dewa, yakni hari panyucian semua Bhatara. Apa saja bebantenan yang digunakan dalam melaksanakan Sugihan Jawa?

Dalam Lontar Sundarigama dijelaskan bebantenan yang digunakan adalah Banten Pangresikan, yaitu Pabyakaonan, Durmanggala, Prayascita dan Pangulapan. Banten Pasucian, Wangi – wangian,Tigasan, Toya(Tirta), Sesayut,Tutwan, Sodan (Rayunan).

Sesuai Lontar Sundarigama, banten tersebut dihaturkan di merajan serta lingkungan rumah tempat tinggal.

“Banten itu sesungguhnya sebagai simbolis saja, simbol dari pembersihan Bhuana Agung, yang dilanjutkan dengan malukat keesokan harinya. Sebagai simbol dari pembersihan bhuana Alit. Jadi baiknya harus dilakukan keduanya secara beriringan,” ujar Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr.Drs.I Nyoman Suarka, M. Hum.

(bx/tya/yes/JPR) –sumber

BHIKSU SIWA Dan Siwa Budha di Bali sejak Tahun 804

 


Sugra Pekulun
Sejak kapan Paham Siwa Budha masuk ke Bali ? Memang sulit untuk ditelusuri. Tapi bukti tertulis menyebutkan bahwa Siwa Budha di Bali sudah ada sejak tahun 804. Tapi temuan Tablet - tablet Tanah Liat yang disimpan di Stupika - stupika dari Tanah Liat pula di daerah Pejeng Gianyar berisikan mantra yang sangat terkenal dalam paham Budha yaitu “ Ye Te Mantra “ dan menurut Para Ahli berasal dari tahun 700 an atau abad 8. Dan mengindikasikan bahwa Paham Budha sudah ada sejak abad 8.
Istilah “ Agama “ tidak ada disebutkan dalam Prasasti Bali Kuno, tapi kepercayaan terhadap Tuhan sudah sangat lama di Bali, paling tidak diawal Masehi walau diawali oleh Penyembahan terhadap Roh Nenek Moyang. Tetapi tempat Suci untuk Persembahan sudah disebutkan dalam Prasasti Bali Kuno sejak tahun 804 yang disebut dengan Ulan, Kuil Hyang Api dan lain - lain.
Paham Siwa Budha sebenarnya istilah kepercayaan atau mashab yang dipeluk oleh Masyarakat Bali Kuno termasuk juga Raja, disamping juga tentunya Kepercayan terhadap Roh Leluhur.
Bhiksu Siwa
Ada yang unik tentang gelar Pemuka Agama masa Bali Kuno.
Pertama - tama, sebutan Pemuka Agama yang tercatat dalam Prasasti Bali Kuno yang tertua yang berangka tahun 804 adalah Bhiksu Siwa. Hali ini tercatat dalam Prasasti No. 001 Sukawana A I Halaman 1b yang mana kutipannya sebagai berikut :
“ ........ tua hetu syuruhku senāpati danda kumpi marodaya me bhikṣu çiwakangçi ṇ
ta, çiwanirmmala, çiwaprajñā, banguněn partapānān satra di kathan buru, ........ “.
Terjemahan :
“ ........ Itulah sebabnya aku suruh Senapati Danda yang bernama Kumpi Mardaya dan Bhiksu Siwakangsitan
(Bhiksu) Siwanirmala, Bhiksu Siwa Prajna, agar membangun pertapaan (dan) pesanggrahan di daerah perburuan. ........ “.
Kutipan diatas menyebut Bikshu Siwa dan bukan Utusan ( Bhiksu ) Budha dan Utusan Siwa. Berarti sebutan untuk Satu Orang yang menyandang gelar Bhiksu Siwa.
Tapi setelah beberapa tahun pemerintah Raja - raja Bali Kuno, Bhiksu Siwa tidak disebut lagi sebagai gelar yang disandang oleh Satu Tokoh dan mulailah Bhiksu Siwa
disebut tersendiri yaitu Bhiksu dan Pendeta Siwa.
Bhiksu
Setelah Prasasti Sukawana A I Tahun 804, Sebutan Bhiksu Siwa tidak tercatat lagi. Dan yang muncul yaitu sebutan untuk Rohaniawan adalah Bhiksu dan Prasasti yang mencatat adalah Prasasti No. 002 Bebetin A I berangka tahun 818.
Sama seperti Prasasti Sukawana A I yang tidak nenyebut nama raja, tapi sama - sama menyebut Titah Raja Turun di Panglapuan di Singhamandawa. Dalam Prasasti Bebetin AI Halaman 1b. Bhiksu yang disebut adalah Bhiksu Widya Ruwana.

Raja yang pertama yang tercatat dalam Prasasti Bali Kuno adalah Sri Kesari Warmadewa. Beliau memerintah Tahun 835. Dalam beberapa prasasti masa Beliau kebanyakan memuat Kemenangan Sang Raja yaitu Prasasti Tugu Batu yang sering juga disebut Jayacihna atau Jaya Stambha. Prasati yang dimaksud adalah Prasasti Blanjong, Prasasti Penembahan, Prasasti Malet Gede dan tetakhir yang baru baru ini ditemukan yaitu Prasasti Pukuh. Sangat sulit mengetahui gelar kependetaan saat Beliau memerintah.
Bikshu juga tercatat dalam Prasasti No. 102 Babahan Kelompok I Lempeng 1b. Berangka tahun 839, Raja yang bertahta adalah Sang Ratu Sri Ugrasena. Saat itu Beliau melakunan perjalanan ke Buwunan dan Songan. Bhiksu saat itu bernama
Bhiksu Dharmmeṡwara dan Bhiksu Dharmmacchāya.
Pendeta Siwa
Sang Ratu Sri Ugrasena digantikan oleh Sang Ratu Sri Haji Tabanendra Warmmadewa dan Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmmadewi yang menerintah dari Tahun 887 - 889. Raja dan Ratu ini tercatat dalam Prasasti No. 206 Kintamani Kelompok Pertama berangka Tahun 889. Di Halaman 1a, tertulis Ṡiwasangkara dan Ṡiwaprasuti. Bisalah disebut bahwa sebutan itu untuk Rohanian Siwa. Dan didalam prasasti ini juga penyebutan Mpu untuk pertama kalinya, bahkan ditulis sebelum penyebutan Ṡiwasangkara dan Ṡiwaprasuti. Nama Rohaniawan atau Pandita Mpu saat itu adalah Mpu Darana.
Aliran Siwa dan Aliran Budha
Dalam Prasasti Kintamani Kelompok Empat Halaman 4b. mulai tertulis Beliau dari Aliran Siwa dan Beliau dari Aliran Budha yang semacam Utusan dari beberapa daerah yaitu :
Beliau dari aliran Siwa di Dharmmahañar Dang Acaryya Jiwajaya, yang berasal dari Lokeswara Dang Acaryya Dirasanaka, Beliau dari aliran Budha di Kadikaran Dang Upadhyaya Sawkas, dari Ku tihañar Dang Upadhyaya
Dalam prasasti - prasasti Bali Kuno selanjutnya perubahan juga dilakukan yang mana penyebutan Pendeta Siwa dan Pendeta Budha disebutkan dengan Pendeta Kasiwan dan Pendeta Kasogatan.
Yang unik
Adalah bahwa Tempat - tempat Suci yang berhubungan dengan Pendeta saat itu, kental dengan istilah Bali Asli seperti Bangunan Suci Ulan, Kuil Hyang Api dan lain - lain. Ini mengindikasikan bahwa Beliau - beliau Sang Pendeta dari awal disebutkan merupakan Tokoh Bali Asli dan bukan dari Manca Negara.
Dan
Apa yang menjadi tradisi di Bali Ribuan Tahun yang lalu, tetap ada di Bali seperti adanya Pedanda Budha begitu juga Orang Bali, kebanyakam beragama Hindu tapi banyak juga beragama Budha dan menjadi Anggota Banjar bersama - sama. Dan dalam Bangunan Suci Pura , banyak juga terdapat Bangunan Suci untuk Umat Budha. Dan masih banyak juga keharmonisan yang lainnya.
Cukup sekian dulu nggih
Agak panjang kalau diteruskan
Jukut kangkung misi sambel sera
Kirang langkung tiang nunas gengerena sinempura
Disarikan dari :
- Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Bali - Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1978
- Alih Aksara dan Alih Bahasa Prasasti Sukawana
- Prasasti Bali I - Lembaga Bahasa Dan Budaja Universitas Indonesia. NV Masa Baru Bandung 1958
- Alih Bahasa Prasasti Babahan
- Alih Bahasa Prasasti Kintamani
- Dan lain - lain
Dumogi Makasami ngemanggihin kerahayuan