Rabu, 13 Juli 2022

Pura Perjuangan,Tonggak Sejarah Perjuangan Warga Sumberklampok






PALINGGIH: Pura Perjuangan di Desa Sumberklampok, Buleleng, dan Jro Mangku Ketut Kasih. (Dian Suryantini/Bali Express)

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

SINGARAJA, BALU EXPRESS-Berdirinya Pura Perjuangan pada tahun 1991 di Banjar Sumberbatok, Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, tidak terlepas dari sejarah terbentuknya desa.


Sejauh yang bisa ditelusuri, Desa Sumberklampok disebut berawal dari tahun1922. Ketika itu kawasan tersebut masih hutan belantara dan belum berpenghuni.




Playvolume00:00/03:19Truvid







DI masa penjajahan Belanda kala itu, datang orang Belanda benama AW Remmert bermaksud membuka hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa di hutan Bali Barat.


“Awalnya AW Remmert terdampar di sebuah pulau yang bernama Pulau Menjangan dan berlabuh ke teluk yang kemudian disebut dengan Teluk Terima,” tutur Jro Mangku Ketut Kasih, Pemangku Pura Perjuangan Desa Sumberklampok, kemarin.

AW Remmert yang dibantu para pekerjanya dari Pulau Madura sebanyak sekitar 62 orang pekerja, lanjutnya, kemudian membuka hutan. Setelah hutan dibuka, lalu ditanami kelapa, pisang, dan tanaman rempah. Daerah itu pun diberi nama Gedebung Bunyu.

Ternyata tidak hanya AW Remmert yang membuka hutan, Johan J.Powneel dan Gerrit Van Schermbeek, juga ikut membuka hutan untuk menjadikan kawasan tersebut areal perkebunan kelapa dan kapuk.

Kemudian sekitar tahun 1930, izin perkebunan (Persil Onderneming) pun diberikan Pemerintah Belanda. “Pada saat Jepang menjajah Indonesia setelah Belanda, dan merusak semua tatanan pemukiman yang ada. Bahkan, diharuskan menggunakan karung goni, sampai mengonsumsi singkong setiap harinya, dan saat itu juga terjadi wabah malaria hebat,” tuturnya.

Kondisi tersebut tidak jauh berubah setelah Indonesia merdeka, semua perkebunan dikuasai perusahaan-perusahaan perkebunan yang mengelola, dan beberapa pergantian perusahaan perkebunan, hingga yang terakhir mengelola yakni PT Margarana dan Dharma Jati.

Kondisi itu akhirnya membuat masyarakat merasa terusir secara pelan-pelan, serta dibatasinya lingkup jangkauan masyarakat, seperti pada bidang pertanian dan kesejahteraannya. Terlebih setelah Indonesia merdeka, semakin tahun akhirnya banyak penduduk berdatangan, seperti dari daerah Madura, Banyuwangi, Pulau Nusa, dan Karangasem. 



Terkait perubahan nama Gedebung Bunyu menjadi Sumberklampok, dikatakan Jro Mangku Ketut Kasih, itu terkait dengan nama Gedebung Bunyu yang dinilai tidak membawa berkah, dan dirasa akan memengaruhi kehidupan masyarakatnya.

Sedangkan pemilihan nama Sumberklampok sebagai pengganti nama desa sebelumnya, dikarenakan banyaknya pohon Jambu Klampoak yang tumbuh, dan dibawahnya terdapat sumber mata air yang sering dikonsumsi warga, serta digunakan untuk keperluan sehari-hari, walaupun rasa airnya agak payau.

Penghapusan nama Gedebung Bunyu itu terjadi pada tahun 1991, saat kepemimpinan Gubernur Bali Ida Bagus Oka. Sedangkan seluruh masyarakat yang tidak berasal dari desa tersebut, diminta untuk kembali ke daerah asalnya.

Saat itu, tanah peninggalan Belanda yang sudah dikuasai masyarakat, juga diajukan ke Agraria Pusat. “Dahulu yang asalnya dari luar desa dikembalikan. Yang dari Madura, pulang ke Madura. Yang dari Nusa balik ke Nusa. Karena tanah peninggalan Belanda atau tanah AGEO ini sudah dikuasai warga desa,” jelasnya.

Karena itulah, keberadaan Pura Perjuangan disebut menjadi bukti perjuangan masyarakat Desa Sumberklampok untuk memperjuangkan tanah yang mereka tempati hingga kini.

Menariknya, disebutkan jika dahulunya dalam satu banjar, warga di Sumberklampok terdata di dua desa berbeda, yakni Desa Sumberkima dan Pejarakan. Untuk warga yang beragama Hindu, mereka masuk ke dalam Desa Sumberkima. Sedangkan warga beragama Islam masuk ke Desa Pejarakan.

Namun, dengan berjalannya waktu, dan atas saran pemuka masyarakat, maka pada tahun 1967 untuk pertama kalinya diadakan pemilihan kepala desa. Bahkan, pada 1 Juni 1967, Desa Sumberklampok diakui menjadi sebuah desa, dengan kepala desa pertama bernama Pawiro Sentono.

Sejak saat itu mulai dibangun gedung sekolah dasar, kantor desa, tempat ibadah dan fasilitas umum lainnya. Selain itu, sejak saat itu pula, pemerintah mulai melihat keberadaan Desa Sumberklampok dengan mendatangkan sumbangan untuk pembangunan desa.

Sedangkan saat ini secara administratif Desa Sumberklampok dibagi menjadi tiga dusun, yakni Tegal Bunder, Sumberklampok, dan Sumberbatok. Sedangkan satu banjar, yaitu Teluk Terima menjadi satu dusun dengan Sumberbatok.

(bx/dhi/rin/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2020/11/15/224798/pura-perjuangantonggak-sejarah-perjuangan-warga-sumberklampok

Makna dan Tujuan Manuk Dewata Digunakan Dalam Prosesi Ngaben

 


Saat melaksanakan upacara Ngaben, sarana upakara seperti Manuk Dewata atau Burung Cendrawasih berperan sangat vital. Apa sejatinya fungsi burung langka asal Indonesia Timur ini?

Manuk Dewata yang memiliki bulu indah berwarna-warni ini, digunakan saat prosesi palebon di atas bade atau wadah.

Manuk Dewata merupakan sekumpulan spesies burung yang dikelompokkan dalam famili Paradisaeidae. Burung yang hanya terdapat di Indonesia bagian timur, Papua Nugini dan Australia timur ini terdiri atas 14 genus dan sekitar 43 spesies. 30-an spesies di antaranya ditemukan di Indonesia.

Menurut Ketut Agus Nova, S.Fil.H, M.Ag, yang akrab disebut Jro Anom, penggunaan Manuk Dewata ketika upacara Ngaben sangat diwajibkan. Sebab, secara filosofis, Manuk Dewata adalah wahana sang Atman menuju alam Swah Loka agar perjalanannya lancar tanpa hambatan. Burung Cendrawasih sendiri dalam mitologi Hindu Bali dianggap sebagai burungnya para dewa atau disebut Manuk Dewata.

“Manuk Dewata itu wajib ada saat upacara pangabenan. Manuk Dewata itu sebagai burung kadewatan yang menjadi wahana untuk mengantarkan Sang Atman dari berbagai rintangan untuk menuju Swah Loka. Ini hanya khusus ngaben saja penggunaan Manuk Dewata, ” ujar Jro Anom kepada Bali Express (Jawa Pos Group), akhir pekan kemarin di Singaraja.

Dikatakannya, hakikat digelarnya upacara Ngaben adalah untuk melepaskan unsur-unsur Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra dari badan kasar manusia yang meninggal. Sehingga nantinya setelah diaben, Atma tersebut benar-benar terlepas dari unsur Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra sebagai sumber kehidupan.
“Kelima unsur ini yang sebelumnya menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh Atma (roh). Ketika manusia meninggal, yang mati adalah badan kasar saja. Sedangkan Atmanya tidak,” terangnya.



Nah, upacara Ngaben, lanjutnya, merupakan proses penyucian Atma saat meninggalkan badan kasar. “Burung Cendrawasih ini sebagai simbol pelepasan roh dari Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra untuk menuju sumbernya masing-masing,” bebernya.

Kalaupun saat Ngaben tidak menggunakan bade atau wadah, lanjut Jro Anom, penggunaan Manuk Dewata juga tetap diperlukan. Sebab, sesuai esensinya, Manuk Dewata inilah yang mengantarkan sang Atman menuju alam Swah Loka. Dan, saat berangkat ke setra itulah Manuk Dewata digunakan. Pada umumnya orang yang naik wadah atau bade tersebut merupakan keluarga terdekat orang yang meninggal, baik itu anak, cucu, kerabat, maupun saudara. Kerabat mendiang inilah yang akan membawa ubes-ubes yang bermahkotakan Burung Cendrawasih atau Manuk Dewata.

“Saat itulah ubes-ubes yang merupakan sebuah tongkat dan bermahkotakan Burung Cendrawasih atau Manuk Dewata dipergunakan. Manuk Dewata ini diminta pula sebagai pemandu bagi arwah mendiang untuk pergi ke alam sana,” ujar Dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja.

Lalu, mengapa mesti Burung Cendrawasih yang dipergunakan? Jro Anom menegaskan jika Burung Cendrawasih merupakan burung Surga. Sebab keindahan yang dimiliki burung tersebut tiada duanya. Terutama yang jantan, memiliki bulu-bulu yang indah, layaknya bidadari yang turun dari Surga (kayangan).

“Karena keindahan yang tiada tandingannya ini membuat Burung Cendrawasih dinobatkan sebagai burung Surga,” terangnya. Ditekankannya, dalam filosofi Hindu banyak menggunakan simbol yang dijadikan sarana upakara sebuah yadnya. Salah satunya adalah Burung Cendrawasih yang merupakan simbol dari penunjuk jalan Atma menuju Surga.

Lebih lanjut pria asal Desa Kekeran, Kecamatan Busungbiu ini, memaparkan, penggunaan sarana Burung Cendrawasih sebagai sarana upakara sebenarnya sudah tersurat dalam kitab Manawadharmasastra V.42.




“Tuhan itu menciptakan binatang dan tumbuhan untuk tujuan upacara-upacara kurban, dengan maksud untuk kebaikan bumi. Jadi, penggunaan Manuk Dewata atau Burung Cendrawasih untuk sarana upakara memang dibenarkan dalam ajaran Hindu,” ungkapnya.

Meski sangat dibutuhkan dalam upacara Ngaben, namun tidak semua orang bisa memiliki Manuk Dewata karena satwa yang dilindungi. “Karena ini burung langka dan dilindungi, jadi tidak semua bisa memiliki Manuk Dewata. Selain langka juga harganya sangat mahal. Paling didominasi oleh griya khususnya para sulinggih. Nanti jika ada pengabenan barulah umat bisa meminjam untuk sarana upakara. Tempat menyimpan Manuk Dewata pun harus dibuat khusus, tidak sembarangan,” katanya.

Jro Anom menambahkan, tak jarang Manuk Dewata dihias dengan berbagai aksesoris sesuai dengan kebutuhan. Bahkan, aksesoris emas di badan burung kerap dipasang agar mempercantik tampilan dari Manuk Dewata ini sebagai pengantar roh yang telah meninggal.

(bx/dik/yes/JPR) –sumber

Selasa, 12 Juli 2022

Mesatua Bali – I Siap Selem

 


Ada katuturan satua I Siap Selem ngelah pianak pepitu. Ane paling cerika tusing ngelah bulu madan I Doglagan. Sawai-wai I Siap Selem ngalih amah nganti ke dauh pangkunge. Sedek dina anu ritatkala I Siap Selem teken panak-panakne ngalih amah dauh pangkunge, lantas langite megerudug nyihnayang lakar ujan.

“Me, lan jani mulih. Ento guleme gede gati” keto pianakne kelihan ngomong.

“Ao me yang takut nyanan iraga ujanan dini” pianakne lianan milu masaut

“Cening jak mekejang, lan jani ditu di umahe ento malu maembon. Yen jani iraga mulih pedas iraga ujanan. Tolih ento adine, I Doglagan. Ia tusing ngelah bulu. Yen ia ujanan pepes bisa mati” keto I Siap Selem  maorahan teken pianak-pianakne. Lantas I Siap selem teken pianakne makapitu ngungsi keumahe ane ada di sisin pangkunge ento.

“Jero jero sane madue  pondok niki, dados ke tiang milu maembon?” keto I Siap Selem metakon.

Lantas pesu ane ngelah umahe ento boya ja sios wantah meong lua madan Meng Kuuk.

“Ngeong ngeong.. ih cai Siap Selem ngujang cai mai?”

“Jero Meong, tiang mriki jagi maembon mawinan tiang madue pianak-pianak kari alit. Tusing melah keneh tiange ngajakin ngrobok ujan”.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

“Nah lamun buka keto, lan mai macelep ka tengah” ditu lantas Meng Kuuk ngajakin I Siap Selem tekening pianakne mulihan. Sajaan lantas tuun ujan bales pesan ngaenang pangkunge blabar. Meng Kuuk nanjenin I Siap Selem apanga nginep di umahne. I Siap Selem nyak nginep kerana ia pedalem teken pianakne. Petengne I Siap Selem tusing ngidayang pules. Ditu lantas ia ningeh Meng Kuuk mererembug ajaka pianak-pianakne.

“Cening ajak mekejang, petenge ene iraga lakar pesta besar. Ne meme ngelah siap pengina ngajak pianak makapitu” keto munyine Meng Kuuk.

“Tiang baang kibulne me!” keto pesaut panakne

“Tiang baang kampidne me!” pianakne len milu mesaut

Ningeh tutur Meng Kuuke teken pianak-pianakne buka keto, lantas I Siap Selem nundunin pianak-pianakne

“Ning bangun ning. Ento Meng Kuuk nagih ngamah iraga. Mai jani iraga megedi uling dini. Cening malu mekeber nyanan Meme ngemilunin”. Lantas seka besik pianak I Siap Seleme makeber ngecosin pangkung.

Brrr.. Burr.. Suuak… Keto pianakne ane paling keliha makeber.

“Apa ento Siap Selem?” metakon Meng Kuuk

“Ento don timbule ulung” keto I Siap Selem nyautin

Brrr.. Burr.. Suuak… keto pianakne lenan makeber

“Apa ento Siap Selem?” Meng Kuuk buin mtakon

“Ento don tiinge ulung” pesautne Siap Selem.

Lantas seka besik pianakne I Siap Selem mekeber ngentasin pangkung. Jani enu I Siap Selem teken I Doglagan dogen ditu di umahne Meng Kuuk. Mabesen lantas I Siap Selem teken I Doglagan.

“Cening Doglagan, jani Meme lakar ngalahin cening dini. Nyanan yen lakar amaha teken I Meng Kuuk, duegang bane madaya. Orahang eben caine nu pait, nu belig, sing pantes daar malu. Tunden Ia ngubuhin cai nganti tumbuh bulu. Yen suba tumbuh bulun caine, ditu lantas cai keberang ibane mulih”.

Lantas I Siap Selem makeber ngentasin pangkung. Brrr.. Burr.. Suuak… keto munyin pakeber I Siap Seleme.

“Apa ento Siap Selem?” mtakon lantas I Meng Kuuk. Tusing ada ne nyautin. Ditu lantas I Meng Kuuk nelokin pedemane I Siap Selem. Mekesiab lantas ia mare dapetanga tuah ada I Doglagan ditu.

“Beh, pasti busan ane orahange don-donan ulung ento boya ja len wantah I Siap Selem teken pianak-pianakne”

“Meme kanggoang dogen suba pitike cenik ene daar” keto panakne mamunyi.

“Duh jero para meong sinamian, sampunang tiang ajenga mangkin. Tiang konden tumbuh bulu sinah eben tiange pait, belig, miwah ten jaan ajeng. Pinih becik ubuhin dumun tiang nganti tumbuh bulu, drika wawu dados ajeng tityang” I Doglagan mautsaha madaya upaya apang sing amaha teken I Meng Kuuk lan pianak-pianakne. I Meng Kuuk kena baana kabelog-belog baan I Doglagan. Ia nyak ngubuhin I Doglagan. I Doglagan wadahina guungan lan sabilang wai baanga ngamah. Gelising satua jani bulun I Doglagane suba tumbuh. Meng Kuuk lan pianakne pada repot ngae lakar basa anggona ngolah ben Doglagane.

“Eh cai Doglagan, jani cai lakar amah kai”

“Nggih dados nika jero. Nanging apang eben tiange jaanan, keburang dumun tiang ping telu”

Meng Kuuk lantas ngeburang I Doglagan. Prrrr. Prrrr. Prrrr. Pas keburane ping telu mekeber lantas I Doglagan. Joh pakeberne lantas ngenceg duur batune. Meng Kuuk nguber I Doglagan lan tingalina ia ngenceg duur batune. Meng Kuuk nyagrep nanging I Doglagan ngenggalang makeber. Ane sagrepa I Meng Kuuk boya ja len tuah batu ane ngranaang gigine pungak. I Doglagan makeber sambilanga ngendingin I Meng Kuuk.

“Ngik ngak ngik nguk gigi pungak nyaplok batu. Ngik ngak ngik nguk gigi pungak nyaplok batu.”

Keto suba upah anake ane demen mebikas corah. Iraga mangda setata madaya upaya yening nepukin unduk lan ngelawan sane mabikas jele. –sumber

Ahimsa Parama Dharma









Ahimsa Parama Dharma ("Ahimsaya paro dharma") artinya tidak membunuh adalah dharma yg tertinggi.

Namun dalam hidup ini, kita pasti pernah membunuh baik sengaja maupun tidak.Seperti halnya :

Untuk dimakan, binatang tersebut dalam ajaran agama Hindu (lontar Wrtti sesana) dijelaskan tentang Himsa (perbuatan membunuh ) yg dapat dilakukan,yaitu sbb :
Dewa Puja, membunuh binatang untuk dipersembahkan pada Dewa.
Pitra Puja, dipersembahkan pada Leluhur.
Atiti Puja, membunuh binatang untuk disuguhkan pd para tamu.
Dharma Wigata, membunuh binatang yg membawa penyakit.
Pembunuhan seperti diatas isebutkan dapat dibenarkan, tapi kita tidak boleh lupa mendoakan binatang tersebut dengan mantra menyemblih hewan/binatang sebelum dibunuh agar rohnya mendapat peningkatan.
Selain itu ada juga pembunuhan yg dibenarkan sebagaimana dijelaskan salah satu kutipan dalam forum diskusi jaringan hindu nusantara yaitu :
Pembunuhan yg dilakukan oleh para kesatria/prajurit di medan perang atas dasar dharma kebaikan;
Dimana dalam Catur Dharma disebutkan agar nantinya dapat mewujudkan Dharma Santosa yaitu : kedamaian, kesentosaan dalam keluarga, apalagi bangsa dan negara.
Dan sikap patriotisme demi membela Negara atau kerajaannya,
Oleh sebab itu orang meninggal dalam peperangan dimana diuraikan Stri Parwa Mahabharata, seseoang tersebut disebut dengan pahlawan.
Membrantas paham yang selalu menghasut orang untuk melakukan tindakan kekerasan sebagai wujud dari prilaku tidak baik asubhakarma seperti halnya kepada Terorisme yang dapat menyebabkan terancamnya keutuhan suatu negara.
Begitu juga disebutkan pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana upacara yadnya seperti halnya penggunaan untuk kurban suci dalam bentuk caru telah disebutkan dalam Manawa Dharmasastra V.40.
Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan berikutnya.
Karena setiap perbuatan yang membuat orang lain termasuk sarwa prani meningkat kualitasnya menjadi perbuatan yang sangat mulia. Perbuatan itu akan membawa orang melangkah semakin dekat dengan Tuhan.
dll.
Sebagai kewajiban suci yang tertinggi, agama atau pelaksanaan agama yang paling tinggi, hal ini ditegaskan berkali-kali di berbagai kitab suci Veda sebagaimana dijelaskan dalam kutipan HINDU DHARMA (pandangan hidup terhadap vegetarian), Ahimsa Parama Dharma dengan istilah-istilah yang sama atau juga dengan istilah-istilah yang berbeda, seperti :
Ahimsayah paro dharmah,
Ahimsa laksano dharmah,
Ahimsa parama tapa,
Ahimsa parama satya,
dan lain-lain.
Ini menunjukkan bahwa agama Hindu kita menaruh perhatian yang sangat penting pada ajaran tanpa kekerasan dan cara hidup vegetarian.




Kembali kita melihat penekanan paragraf di atas, bahwa Ahimsa parama dharma berarti pelaksanaan kewajiban-kewajiban suci yang tertinggi, atau pelaksanaan ajaran agama Hindu yang termurni atau tertinggi. Penjelasan ini secara langsung telah berarti bantahan terhadap anggapan-anggapan negatif terhadap para pelaku Ahimsa dan vegetarian.
Apalagi jika mempunyai kesempatan yang lebih lagi untuk melihat bukti-bukti keagungan ajaran Ahimsa dan vegetarian dalam literatur Veda, orang akan dipaksa menundukkan kepala diiringi rasa kagum terhadap ajaran-ajaran kitab suci Veda kita.

Alasan lain Ahimsa disebut sebagai Parama Dharma juga adalah karena Ahimsa dan vegetarian merupakan pintu gerbang pertama bagi orang untuk mendekati pembebasan (Ahara-suddhau …. sarva-granthinam vipra moksa).
Bukan hanya dalam literatur Veda kita dapat jumpai ajaran indah tentang Ahimsa dan vegetarian tetapi juga dalam lontar-lontar serta tradisi warisan leluhur kita.

Lontar Mahesvari Sastra menyebutkan: “Apan yan tan karaksang Ahimsa brata, maka nimitta kroddha, moha, mana, mada, matsarya, nguni-unin makanimittang kama, yeka panten dadanya”,
sebab jika ajaran-ajaran brata Ahimsa tidak dipelihara, maka ia akan menyebabkan berkembangnya sifat-sifat kemarahan, khayalan, kebanggaan, kebingungan, rasa iri hati, dan bahkan ia dapat menyebabkan tumbuh suburnya hawa nafsu yang menggebu-gebu, yaitu musuh di dalam diri setiap makhluk hidup yang paling sulit dikendalikan (kama-rupa durasadam).Selanjutnya lontar Mahesvari Sastra menunjukkan daftar nama-nama binatang, burung dan/atau bangsa burung yang tidak boleh dimakan.


Khususnya bagi para pendeta, berkali-kali diperingatkan: “Tan bhaksya ika de sang siddhanta brata, tan bhaksya nika, tan bhukti nika”, — tidak boleh dimakan semua itu oleh para pendeta (sulinggih) yang ingin mantap dalam pantangan-pantangan suci.
Kadang-kadang, orang berpendapat bahwa hanya para Vaisnava sajalah yang melaksanakan vegetarian atau pantangan-pantangan daging, ikan (telor, terasi, bawang merah, bawang putih dan lain-lain).

Di Bali lontar Vrhaspati Tattva dikenal sebagai lontar ke-Saiva-an. Ternyata, menurut lontar ini, para Saiva pun perlu melaksanakan ajaran Ahimsa, tidak membunuh-bunuh dan tentu pula tidak memakannya (Ahimsa ngaranya tan pamati-mati).Ajaran Saiva juga mengajarkan pengikutnya untuk maju terus dalam kerohanian. Semakin maju seseorang di dalam kerohanian biasanya semakin maju pula ia dalam hal berpantangan dan pelaksanaan kesucian. Lebih-lebih bagi mereka yang telah mampu mencapai meditasi tingkat pendeta, menurut lontar ajaran leluhur kita, adalah merupakan keharusan untuk meningkatkan kesucian dan tidak membunuh-bunuh makhluk lain.

(kadi buddhi sang pandita, sahisnu tan prana-ghata …. nguniweh tan hingsa-karma tan pamati-mati). Bahkan, ada pula ajaran-ajaran leluhur kita di dalam lontar bernada amat keras, seperti misalnya lontar kekawin Astikasraya dan kekawin Arjuna Vivaha.Demikian disebutkan beberapa hal tentang ahimsa parama dharma sebagai salah satu simbol dan istilah Hindu Dharma.


Senin, 11 Juli 2022

Mahabharata, Perang Nuklir zaman kuno


Mahabharata, adalah sebuah wiracarita India kuno yang terkenal, berbahasa Sansekerta, yang melukiskan tentang konflik keturunan Pandu dan Dritarastra dalam memperebutkan takhta kerajaan.

Bersama dengan Ramayana disebut sebagai 2 besar wiracarita India, yang ditulis pada tahun 1500 SM, dan hingga kini sudah sampai sekitar lebih dari 3.500 tahun. Fakta sejarah yang dicatat dalam buku tersebut, masanya juga lebih awal 2.000 tahun dibanding penyelesaian bukunya, artinya peristiwa yang dicatat dalam buku, kejadian nya hingga kini kira-kira telah lebih dari 5.000 tahun yang lalu.

Namun yang membuat orang tidak habis pikir, kenapa perang pada masa itu begitu dahsyat? Dengan menggunakan teknologi perang tradisional, tidak mungkin bisa memiliki kekuatan yang be gitu besar. Spekulasi baru dengan berani menyebutkan perang yang dilukiskan tersebut, kemungkinan adalah semacam perang nuklir!

Perang pertama kali dalam buku catatan dilukiskan seperti berikut ini: bahwa Arjuna yang gagah berani, duduk dalam Weimana (sarana terbang yang mirip pesawat terbang) dan mendarat di tengah air, lalu meluncurkan Gendewa, semacam senjata yang mirip rudal, roket yang dapat menimbulkan sekaligus melepaskan nyala api yang gencar di atas wilayah musuh, seperti hujan lebat yang kencang, mengepungi musuh, kekuatannya sangat dahsyat.


Matahari seolah-olah bergoyang diangkasa, panas membara yang mengerikan yang dilepaskan senjata ini, membuat bumi bergoncang, gunung bergoyang, di kawasan darat yang luas, binatang-binatang mati terbakar dan berubah ben tuk, air sungai kering kerontang, ikan udang dan lainnya semua nya mati.

Selain di India, Babilon kuno, gurun sahara, dan gurun Gobi di Mongolia juga telah ditemukan reruntuhan seolah bekas perang nuklir prasejarah. Batu kaca pada reruntuhan semuanya sama persis dengan batu kaca pada kawasan percobaan nuklir saat ini.

Semua temuan arkeologis ini sesuai dengan catatan sejarah yang turun-temurun, ilmuwan bisa mengetahui bahwa manusia juga pernah mengembangkan peradaban tinggi di India pada 5.000 tahun silam

Sumber: Analisa Daily
#misteri #sains #konspirasi #mahabharata #nuklir #nukewar #nuke

Sundarigama

 


BAB. II
PAWUKON
1. Uku Sinta :
Lain dari pada yang itu, ada juga menurut Pawukon, yakni pada Uku Sinta :
a. Coma Ribek :
Coma Pon disebut juga Coma Ribek, hari puja wali Sang Hyang Çri Amrta, tempat bersemayamannya adalah di Lumbung, Pulu, adapun upacara memujanya ialah :
Nyahnyah geti-geti, gringsing, raka pisang mas, disertai denga bunga serba harum.
Pada waktu itu, orang-orang tak diperkenankan menumbuk padi, demikian juga menjual beras, karena kalaupun dilakukan, maka dikutuklah oleh Bhatari Çri, sepatutnya orang memuja Sang Hyang Tri pramana ( bayu, sabda, idep ), serta membatinkan inti sari ajaran Agama ; karenanya pada hari itu, tidak diperkenankan tidur pada siang hari.
b. Sabuh Mas :
Pada Hari Anggara Wage, disebutlah sabuh mas, suatu hari yang disucikan untuk memuja Bhatara Mahadewa, dengan jalan melakukan upacara Agama, terhadap harta benda kakayaan, yaitu :
Manik dan segala manikam ; adapun upakara :
Suci, daksina, peras penyeneng, sesayut yang disebut Amrta sari, canang lenga wangi, burat wangi dan reresik.
Tempat melakukan upacara itu, ialah dibalai piyasan ( dan yang semacam itu). Bagi orang-orang , patutlah melakukan pembersihan diri dan janganlah takabur terhadap kesenangan yang bersifat kebendaan belaka, melainkan ratna mutu manikam yang ada dalam diri pun ( jiwa ), perlu dimuliakan. Demikianlah, setelah selesai menyuguhkan kepada Bhatara-Bhatari bebanten sesayut itu, patutlah diayap untuk diri kita.



c. Pager Wesi :
Pada hari Buda Kliwon ( Sinta ), disebutlah Pager Wesi, saat Sang Hyang Pramesti guru ( Çiwa ) dan diikuti oleh Dewata Nawasanga, yang bertujuan untuk menyelamatkan jiwa segala makhluk hidup yang ditakdirkanNya dialam ini semuanya ; karenanya patutlah para sulinggih memuja cipataan Bhatara Prameswara : Upakara nya, ialah :
Daksina, suci 1, peras panyeneng, sesayut, pancalingga, penek ajuman, serta raka-raka, wangi-wangi, dan perlengkapannya, yang dihaturkan (disuguhkan) di Sanggah kemulan. Adapun bebanten bagi orang-orang ialah :
Sesayut pageh hurip 1, serta prayascita, setelah tengah malam, dilakukan yoga samadi (renungan suci). Dan ada pula sesuguh kepada Panca mahabuta (lima unsur alam) yaitu :
Segehan berwarna, sesuai dengan neptu kelima arah, dan diselenggarakan di natar sanggah, dan disertai dengan segehan agung 1, (sebuah).
2. Tumpek Landep :
Juga pada wara Landep, yaitu hari Caniscara Kliwon, adalah puja wali Bhatara Çiwa, dan hari saat beryoganya Sang Hyang Pasupati Adapun untuk pujawali Bhatara Çiwa, ialah :
Tumpeng putih kuning satu pasang, ikannya ayam sebulu, grih terasi merah, pinang dan sirih, dan banten itu dihaturkan di Sanggah.
Adapun yoganya Sang Hyang Pasupati (Hyang Widhi dalam wujud Raja Alam semesta), ialah :
Sesayut jayeng perang, sesayut kusumayudha, suci, daksina peras, canang wangi-wangi, untuk memuja bertuahnya persenjataan.
Demikian juga menurut ajaran, dalam hubungannya dengan manusia ialah hal itu untuk menjadikan tajamnya pikiran ; karena hal yang demikian patut dilaksanakan dengan puja mantra sakti pasupati.
……………………..
3. Wuku Ukir :
Wuku Ukir, yakni pada Redite Umanis, adalah hari untuk melakukan pujaan kepada Bhatara Guru, adapun upakara bebantennya, ialah :
Pengambean, 1, sedah ingapon 25 ( sirih dikapuri ), kwangen 8 buah, bebanten mana semuanya itu dihaturkan si sanggar kemulan, namun dapat juga ditambahkan dengan pelaksanaan upakara sedemikian rupa menurut kemampuan ; demikianlah patutnya orang, dalam memuja Bhatara Guru, yang dipuja di sanggar kemulan.
4. Kulantir :
Uku Kulantir, yakni pada Anggara Keliwon adalah hari unuk memuja Bhatara mahadewa ; dengan Upakara serba berwarna kuning yakni :
Punjung kuning satu pangkon, ikannya ayam putih siungan di betutu, sedah woh (sirih dan pinag), yang berisi kapur, dan bebanten-bebanten itu dihaturkan disanggar.

5. Uku Wariga :
Uku wariga, yakni hari Saniscara keliwon, disebutlah hari Panguduh, suatu hari untuk memuja kepada Sang Hyang sangkara, sebab beliaulah yang menyebabkan menjadinya segala tumbuh-tumbuhan termasuk kayu-kayuan. Adapun upakaranya ialah :
Peras, tulung, sesayut, tumpeng bubur dan tumpeng Agung dengan ikan babi, atau itik diguling. Baik pula disertai dengan raka-raka, penyeneng, tetebus, dan sesayut cakragni. Adapun bebanten tersebut diatas, ialah mendoakan semoga atas rahmat Hyang Widhi maka segala tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur bersusun-susun dan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia dalam menentramkan hati, serta sejahteranya hubungan lahir bathin.
6. Warigadian :
Pada wuku warigadian, yakni pada hari coma pon, ialah hari untuk penghormatan kepada Bhatara Brahma, dengan mempergunakan bebanten sbb :
Sedah woh selengkapnya, dan menurut kemampuan, banten mana dihaturkan di Paibon, serta menghaturkan bunga harum, sebagai biasanya dilakukan.
7. Sungsang :
Uku Sungsang, yakni pada hari Wraspati wage, disebutlah hari Pararebon. Juga disebut hari Sugihan Jawa. Adapun hari tersebut, ialah untuk melaksanakan prayascita ( pensucian ), para Bhatara-Bhatara semuanya, yang disemayamkan di Prahyangan . Maka pada hari itu, dilakukanlah upacara pensucian Bhatara-Bhatara, kemudian dari pada itu dilanjutkan dengan upacara menghaturkan puspa harum. Lain dari pada itu, bagi orang yang membathinkan inti hakekat samadhi (meditasi), maka seyogyanyalah melaksanakan Yoga (renungan suci), sedangkan bagi para wiku (pedanda, Rsi, Empu, dsb), seyogyanya pula melakukan puja stuti, sebab pada hari itu para Bhatara turun kedunia disertai para Dewa pitara, untuk menikmati upacara pesucian, berlangsung sampai pada hari itu galungan. Oleh karena itu orang-ornag hendaknya melaksanakan upacara agama, dengan natab banten sesayut dan banten tutuan, yakni banten yang bersimbul penarik kebahagiaan lahir bathin, demikian patut dilaksanakan.
8. Dungulan :
a. Uku Dungulan, yakni pada hari Redite paing, disebutkan bahwa Sang Hyang Tiga Wisesa turun kedunia, dalam wujud kala, dan disebut Sang Bhuta Galungan, yang ingin memakan san minum didunia ini, oleh karena itu, orang-orang suci, demikian pula para sujana (bijaksana), hendaknya waspada serta mengekang / membatasi dirinya kemudian memusatkan pikirannya kearah kesucian, agar tiada kemasukan oleh sifat-sifat yang membahayakan dari pengaruh-pengaruh Sang Bhuta Galungan, dan hal yang demikian, disebutlah hari penyekeban.
b. Pada hari coma pon, adalah hari untuk melakukan yoga samadhi, dengan memusatkan pikiran untuk menunggalnya dengan para Bhatara-Bhatara. Itulah sebabnya, mengapa pada hari itu disebut :
Penyajaan oleh dunia ( Hindu ).
c. Pada hari Anggara Wage, disebutlah hari penampahan, Pada hari itulah waktunya Sang Bhuta Galungan memangan. Oleh karena itu, patutlah dilakukan penyelenggaraan hidangan oleh desa Adat, dengan korban caru kepada Bhuta –Bhuta, bertempat diperempatan Desa adat, adapun korban yang diberikan kepada Bhuta-Bhuta, bentuknya bermacam-macam, yakni dari bentuk yang sederhana, sedang, dan besar. Dan yang patut memuja, ialah para Sulinggih , unuk memohonkan kepada Hyang . Yang dimaksud Sulinggih, yakni : Pedanda Cwa Budha, karena beliaulah yang mempunyai wewenang dalam hal ini. (termasuk juga dalam golongan Sulinggih, yakni Pemangku).
Lain dari pada itu, segala senjata perang, patutlah semuanya itu diupacarai, dengan upacara pensucian oleh para Sulinggih. Tambahan pula bagi orang-orang kebanyakan ( Umat Hindu bersangkutan ), upacara-upacara tsb, bermanfaat untuk mendapat pahala kekuatan utama dalam perjuangan hidup yang patut disuguhkan di masing-masing pekarangan rumah ialah :
Segehan warna, 3. ditaburkan menurut neptu, yakni : putih, 5. hitam, 4. bang, 9. ikannya olahan babi, tetabuhan, disertai segehan Agung, 1. Adapun tempat melakukan caru, ialah di natah pekarangan rumah, di sanggah, dan dimuka pekarangan rumah, yang dihayat pada waktu menjalankan caru itu, ialah Sang Bhuta Galungan. Sedang yang patut dihayapkan oleh anggota keluarga, ialah banten pabyakala, prayascita, dan sesayut, untuk mendapat kesuksesan dalam perjuangan hidup, sekala niskala (lahir-batin).
d. Disebut Buda keliwon galungan, keterangannya, ialah, bahwa untuk memusatkan pikiran yang suci bersih, disertai dengan menghaturkan upacara persembahan kepada para Dewa-Dewa, di Sanggar parhyangan, tempat tidur, pekarangan, lumbung, dapur, dimuka karang perumahan, tugu, tumbal, pangulun Setra, pangulun Desa, pangulun sawah, hutan munduk, lautan, sampai pada perlengkapan rumah, semuanya itu diadakan persajian, dengan suguhan yang dilakukan di sanggar parhyangan, menurut besar kecilnya sbb :
Tumpeng payas, wangi-wangi, sesucen (pembersihan ), itulah yang disuguhkan di Sanggar. Adapun banten dibalai-balai, ialah : tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan, sodaan, dan perlengkapannya. Sedangkan ikannya, ilah jejatah babi, serta asap dupa harum. Setelah selesai itu semuanya diupacarakan, maka biarkanlah semalam, banten itu semuanya jejerang, sampai besoknya pagi-pagi.

9. Kuningna :
a. Pada redite wage, disebut pemaridan guru, pada hakekatnya ialah saat kembalinya para Dewata-Dewata semuanya, menuju kahyangan, jelasnya, bahwa para Dewata-Dewata pergi, dengan meninggalkan kesejahteraan panjang umur. Maka upacaranya :
ialah :
Menghaturkan ketipat banjotan, canang raka-raka, wangi-wangi, serta menikmati tirtha pebersihan.
b. Pada coma keliwon, disebutlah Pamacekan Agung. Pada sore harinya, patut melakukan segehan Agung dimuka halaman karang perumahan, dan memakai sambleh ayam semalulung yang disuguhkan kepada sang Bhuta Galungan dan para abdinya agar pergi.
c. Buda paing kuningan ialah hari pemujaan Bhatara Wisnu, maka upacaranya ialah:
Sirih dikapuri, putih, hijau, dan pinang, 26, disertai tumpeng hitam serta runtutannya. Menurut kemampuan, dan dihaturkan kepada Bhatara di paibon, dan disertai pula bunga-bunga harum sebagaimana mestinya.
d. Pada hari saniscara kliwon kuningan, turunlah lagi para Dewata sekalian, serta sang dewa pitara (leluhur) untuk melakukan pensucian, lalu menikmati upacara bebanten, yakni :
Sege dan selanggi, tebog, serta raka-raka selengkapnya, pebersihan, canang wangi-wangi dan runtutannya, dan menggantungkan sawen tamiang dan gegantungan caniga, sampai pada tempat / kandang segala binatang ternak. Janganlah menghaturkan bebanten setelah lewat tengah hari, melainkan seyogyanyalah pada hari masih pagi-pagi, sebab kalau pada tengah hari, Dewa-Dewa telah kembali ke sorga.
Lain dari pada itu, yang patut dipakai mendoakan manusia :
Sesayut prayascita luwih, yaitu segejenar, ikannya itik putih, panyeneng, tetebus, yang gunanya untuk mohon kesucian pikiran, yang suci bersih, dan tidak putus-putusnya melakukan semadhi, juga diletakkan pasegehan di natar, yakni segehan Agung, 1.
Don pepe