Rabu, 13 Juli 2022

Makna dan Tujuan Manuk Dewata Digunakan Dalam Prosesi Ngaben

 


Saat melaksanakan upacara Ngaben, sarana upakara seperti Manuk Dewata atau Burung Cendrawasih berperan sangat vital. Apa sejatinya fungsi burung langka asal Indonesia Timur ini?

Manuk Dewata yang memiliki bulu indah berwarna-warni ini, digunakan saat prosesi palebon di atas bade atau wadah.

Manuk Dewata merupakan sekumpulan spesies burung yang dikelompokkan dalam famili Paradisaeidae. Burung yang hanya terdapat di Indonesia bagian timur, Papua Nugini dan Australia timur ini terdiri atas 14 genus dan sekitar 43 spesies. 30-an spesies di antaranya ditemukan di Indonesia.

Menurut Ketut Agus Nova, S.Fil.H, M.Ag, yang akrab disebut Jro Anom, penggunaan Manuk Dewata ketika upacara Ngaben sangat diwajibkan. Sebab, secara filosofis, Manuk Dewata adalah wahana sang Atman menuju alam Swah Loka agar perjalanannya lancar tanpa hambatan. Burung Cendrawasih sendiri dalam mitologi Hindu Bali dianggap sebagai burungnya para dewa atau disebut Manuk Dewata.

“Manuk Dewata itu wajib ada saat upacara pangabenan. Manuk Dewata itu sebagai burung kadewatan yang menjadi wahana untuk mengantarkan Sang Atman dari berbagai rintangan untuk menuju Swah Loka. Ini hanya khusus ngaben saja penggunaan Manuk Dewata, ” ujar Jro Anom kepada Bali Express (Jawa Pos Group), akhir pekan kemarin di Singaraja.

Dikatakannya, hakikat digelarnya upacara Ngaben adalah untuk melepaskan unsur-unsur Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra dari badan kasar manusia yang meninggal. Sehingga nantinya setelah diaben, Atma tersebut benar-benar terlepas dari unsur Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra sebagai sumber kehidupan.
“Kelima unsur ini yang sebelumnya menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh Atma (roh). Ketika manusia meninggal, yang mati adalah badan kasar saja. Sedangkan Atmanya tidak,” terangnya.



Nah, upacara Ngaben, lanjutnya, merupakan proses penyucian Atma saat meninggalkan badan kasar. “Burung Cendrawasih ini sebagai simbol pelepasan roh dari Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra untuk menuju sumbernya masing-masing,” bebernya.

Kalaupun saat Ngaben tidak menggunakan bade atau wadah, lanjut Jro Anom, penggunaan Manuk Dewata juga tetap diperlukan. Sebab, sesuai esensinya, Manuk Dewata inilah yang mengantarkan sang Atman menuju alam Swah Loka. Dan, saat berangkat ke setra itulah Manuk Dewata digunakan. Pada umumnya orang yang naik wadah atau bade tersebut merupakan keluarga terdekat orang yang meninggal, baik itu anak, cucu, kerabat, maupun saudara. Kerabat mendiang inilah yang akan membawa ubes-ubes yang bermahkotakan Burung Cendrawasih atau Manuk Dewata.

“Saat itulah ubes-ubes yang merupakan sebuah tongkat dan bermahkotakan Burung Cendrawasih atau Manuk Dewata dipergunakan. Manuk Dewata ini diminta pula sebagai pemandu bagi arwah mendiang untuk pergi ke alam sana,” ujar Dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja.

Lalu, mengapa mesti Burung Cendrawasih yang dipergunakan? Jro Anom menegaskan jika Burung Cendrawasih merupakan burung Surga. Sebab keindahan yang dimiliki burung tersebut tiada duanya. Terutama yang jantan, memiliki bulu-bulu yang indah, layaknya bidadari yang turun dari Surga (kayangan).

“Karena keindahan yang tiada tandingannya ini membuat Burung Cendrawasih dinobatkan sebagai burung Surga,” terangnya. Ditekankannya, dalam filosofi Hindu banyak menggunakan simbol yang dijadikan sarana upakara sebuah yadnya. Salah satunya adalah Burung Cendrawasih yang merupakan simbol dari penunjuk jalan Atma menuju Surga.

Lebih lanjut pria asal Desa Kekeran, Kecamatan Busungbiu ini, memaparkan, penggunaan sarana Burung Cendrawasih sebagai sarana upakara sebenarnya sudah tersurat dalam kitab Manawadharmasastra V.42.




“Tuhan itu menciptakan binatang dan tumbuhan untuk tujuan upacara-upacara kurban, dengan maksud untuk kebaikan bumi. Jadi, penggunaan Manuk Dewata atau Burung Cendrawasih untuk sarana upakara memang dibenarkan dalam ajaran Hindu,” ungkapnya.

Meski sangat dibutuhkan dalam upacara Ngaben, namun tidak semua orang bisa memiliki Manuk Dewata karena satwa yang dilindungi. “Karena ini burung langka dan dilindungi, jadi tidak semua bisa memiliki Manuk Dewata. Selain langka juga harganya sangat mahal. Paling didominasi oleh griya khususnya para sulinggih. Nanti jika ada pengabenan barulah umat bisa meminjam untuk sarana upakara. Tempat menyimpan Manuk Dewata pun harus dibuat khusus, tidak sembarangan,” katanya.

Jro Anom menambahkan, tak jarang Manuk Dewata dihias dengan berbagai aksesoris sesuai dengan kebutuhan. Bahkan, aksesoris emas di badan burung kerap dipasang agar mempercantik tampilan dari Manuk Dewata ini sebagai pengantar roh yang telah meninggal.

(bx/dik/yes/JPR) –sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar