Senin, 26 Agustus 2024

CERITA RAKYAT BALI Ni Sewagati Kembang Desa

 


Suara embo-emboan (ruas batang padi yang telah menguning dibuat mirip suling) terdengar di lembah sana, di sawah yang luas dengan padi yang mulai menguning. Pemuda-pemuda tani sedang menjalani musim mengaso, menunggu datangnya musim panen, di mana nanti mereka
mulai giat bekerja lagi. Di sore hari di suatu tempat yang rindang teduh, berkumpullah 4-6 orang pemuda, asyik dengan obrolan remaja mereka, yang kadang-kadang diselingi tiupan
embo-emboan, yang menimbulkan nada-nada lagu rindu sebagai ilustrasi dari keindahan alam pedesaan dengan segala keunikannya.Di kala itu di desa yang sama, yaitu di desa Banjar Sari, ada seorang gadis, bagaikan bunga baru mekar, Ni Ketut Sewagati namanya. Sudah
menjadi kebiasaan dikalangan masyarakat desa,dimana hubungan seorang dengan yang lainnya sangat erat. Dengan keadaan seperti ini sudah barang tentu, nama Ni Ketut Sewagati dalam waktu yang singkat tersebar ke seluruh pelosok desa. Tiap pemuda desa sudah merasa bangga,
kalau dapat menyebut namanya. Demikian pula bagi setiap pemuda yang berkumpul di desa itu yang menjadi pokok pembicaraan hanyalah Ni Sewagati. Ada yang mengkhayalkan, mungkin
cantiknya bidadari sebagai Ni Sewagati.
Bagi pemuda yang berhati kecil, bertekur sapa saja sudah merasa rendah diri, karena telah terlebih dulu dibayangi hal-hal yang tidak mungkin. Tidak beda baginya si bongkok ingin mencapai bulan. Demikianlah Ni Ketut Sewagati
menjadi pujaan seluruh pemuda di desanya. I Jero Dukuh, julukan orang sekampungnya yang diberikan terhadap ibu Ni Sewagati. Ibunya ini
sangat bangga dengan keayunan putrinya, yang tak ada duanya. Karena itu I Jero Dukuh, setiap ada kesempatan selalu ingin menonjolkan anaknya.
Tetapi lain dengan Ni Sewagati sendiri, ia tidak mabuk akan kecantikannya, ia tetap sederhana tidak mau melebihi teman-teman sekampungnya, tidak pilih kasih dalam bergaul, tiap pemuda, yang berkunjung ke rumahnya disapa dengan ramah. Para pemuda tidak habis-habisnya bertanya dalam hatinya, pemuda siapa
gerangan yang berbahagia dapat mempersunting kembang desa itu. Namun tidak disangka-sangka secara diam-diam seorang pemuda miskin beruntung dapat memikat hati Ni Sewagati.
I Ratna Semara, demikianlah nama pemuda yang bahagia itu. Hubungan di antara dua remaja ini sangat rahasia, kecuali Kati (perantara antara keduanya) sajalah yang tahu. Kalau sampai bocor, berarti bahaya. Demikian ketat sangsi adat di desanya. Mereka jarang sekali dapat bertemu langsung. Hanya sekali-kali dalam
upacara di Pura atau dalam upacara adat lainnya mereka dapat bertemu. Kendatipun demikian tiada menyebabkan cinta dua remaja itu menjadi
berkurang, bahkan sebaliknya semakin tumbuh dengan subur. Mereka telah bertekad bulat untuk sehidup semati apapun nanti yang akan
terjadi.Memang pasangan mereka ini sangat serasi, I Ratna Semara seorang jejaka sederhana, tetapi tampan dan sangat rajin. Terhadap kawan-kawannya sangatlah ramah dan kepada yang tua
sangat hormat. Oleh karenanya kendatipun penghidupannya sederhana, tetapi ia sangat dipandang dan disegani oleh temannya. Demikian pula para gadis sangatlah gembira bila mana dapat sekedar ngobrol saja dengan I Ratna
Semara. Tetapi I Ratna Semara tidak mau
tergoda oleh gadis lain. Hanya satulah pilihannya ialah Ni Sewagati.
Kendatipun cintanya telah disambut hangat oleh Ni Sewagati, tetapi hal itu bukan berarti jalan untuk ujian berat. Inilah yang menggelisahkan hati Ratna Semara, karena sedikit sekali kemungkinan pepadikannya (pinangannya diterima oleh orang tua) Ni Sewagati. Hal inilah
yang selalu menjadi pemikiran sang pemuda yang sedang di mabuk asmara. Di dalam menekan kegelisahannya sang pemuda tadi meniup seruling bambunya melengking-lengking di tengah malam, menembangkan semaradhana,
seolah-olah jeritan jiwanya yang penuh rasa rindu dengan ditumpahkan melalui nada-nada seruling. Lain halnya dengan Jero Dukuh, Jero Dukuh mencita-citakan agar anaknya mendapat pinangan (jodoh) pemuda kaya.
Pada saat itu ada seorang pemuda terkaya di desanya, I Mudalara namanya. Dengan
mengandalkan kekayaannya ia banyak
mempunyai kawan-kawan pembantu. Pemuda inilah yang tergila-gila terhadap Ni Sewagati.Namun Ni Sewagati sangat benci terhadap I Mudalara. Kebenciannya itu bukan saja disebabkan oleh mukanya yang bopeng bekas korban cacar, perut gendut dengan kepala kecil,rambut sosoh, tetapi juga oleh ulahnya yang
sombong dan angkuh. Tetapi akibat kelihaian para pembantunya, sudah barang tentu dengan banyak sogok, Jero Dukuh dapat menerima pepadikan (lamaran) I Madulara.Kebetulan musim panen, maka kesempatan inilah digunakan oleh I Mudalara untuk menunjukkan jasa-jasa baik terhadap calon mertuanya. Ia bersama puluhan kawan-kawannya, beramai-ramai mengangkut hasil
panen Ni Sewagati. Sudah menjadi kebiasaan di desa setipa mengangkut hasil panen, diadakan makan-makan kecil (nguun). Demikianlah pula
halnya Jero Dukuh, setelah semua padinya tiba di rumah, disiapkanlah makanan untuk teman- teman I Mudalara, calon mantunya. Dalam hal ini tentu saja Jero Dukuh menyuruh anaknya yang
mempersiapkan makanan. Nak siapkanlah
makanan untuk semua teman kakakmu Gede Mudalara, karena padi telah habis diangkut.
Menjawab Ni Sewagati dengan halus. Silahkan Ibu sendiri yang menyiapkan, nanda kebetulan sedang tidak enak badan.
Di waktu rombongan pengangkut padi datang kebetulan Ni Sewagati sedang nyanyi-nyanyi kecil, dengan tembang malat, tentang Galuh Rangkasari, sehingga terharu dan terpesonalah hati para anggota rombongan ketika
mendengarnya, lebih-lebih setelah sekilas
mereka dapat melihat wajah sang gadis.
Diantara anggota rombongan itu ada yang
berbisik kepada I Mudalara, Saut Gede, siapa yang tidak bangga mempersunting gadis yang demikian ayu, lebih-lebih Gede, cocok sekali berpasangan dengannya. Mendengar pujian itu I Mudalara sangat bangga, sambil memutar-mutar
kumisnya yang jarang, ia menjawab, "Wah jangan khawatir kawan, kini tinggal menunggu/menentukan waktunya saja. Pokoknya semua beres. Kalian tahu berapa kerbau harus
dipotong, jangan dihitung babi, apalagi ayam.Tari-tarian untuk menambah meriahnya pesta pernikahan saya, kalian tinggal cari sendiri,berapa saja kemauan kalian, saya tanggung semua. Semua kawan-kawannya bertepuk tangan
gembira.Melihat suasana yang demikian, I Mudalara seolah-olah seperti di rumah sendiri, terhadap ibu-bapaknya. Ni Sewagati, bukan main sakit
hatinya. Ia sangat menyesal kelakuan orang tuanya, yang hanya menilai dari sudut harta saja, yang sama sekali tidak memberi kesempatan kepada anaknya untuk menentukan sendiri
pilihannya. Mengapa nasibku jadi begini,
demikianlah Ni Sewagati menyesali nasibnya.Sedang ia termenung-menung ibunya datang terus menegur. Nak mengapa kau acuh tak acuh
terhadap kakakmu Gede Mudalara. Bukankah ia telah membantu kita dalam mengangkut padi dan lain sebagainya? Sungguh ibu malu sekali,
terutama terhadap teman-temanya. Mengapa anak seolah-olah tidak menghargai orang tua
lagi ? Ni Sewagati menjawab tegas. "Oh ibu, dalam hal ini janganlah ibu dan ayah salah terima. Bukan karena ananda berani dan mendurhakai terhadap
orang tua, sama sekali tidak. Bu Janganlah ibu menganggap anak anda silau akan kekayaan I Mudalara. Sekali-kali tidak, bu. Biarlah ibu saja yang ngiler terhadap sawah ladang berpuluh hektar dan silau terhadap ringgitnya I Mudalara.Janganlah anak anda diturut sertakan." Ibunya
tidak berani melanjutkan perkacapannya lagi, karena selain takut didengar tamu, juga jangan- jangan anaknya nanti bisa lari tak menentu.Ibunya beranggapan, anaknya lambat-laun pasti dapat ditundukkan.





Sehabis makan minum, setelah padi semua
masak lumbung, I Mudalara beserta teman-temannya pamit. Di jalan waktu pulang tak habis-habisnya teman-temannya memuji kecantikan Ni Sewagati, dan membayangkan kebahagian I Mudalara nanti di samping istri yang demikian ayu. I Mudalara semakin bangga akan dirinya. Ingin ia memperpendek waktu yang
sebulan menjadi sehari. Ia selalu membayangkan kebahagiaannya nanti dengan Ni Sewagati. Ia nanti hanya sebagai tukang hitung-hitung ringgit saja dari hasil sawah ladang, katanya kepada kawan-kawannya yang memang sangat
pandai memuji-muji I Mudalara.
Waktu berjalan-jalan I Ratna Semara tahu, bahwa tambatan hatinya dalam keadaan bahaya. Ia selalu gelisah, apa yang harus dibuatnya. Kebetulan di suatu sore dimana Ni Sewagati biasa mandi dan mengambil air, I Ratna Semara dapat bertemu. Kebetulan pula pada sore itu di
sungai tidak ada orang lain yang mandi. Maka kesempatan yang baik inilah digunakan oleh I Ratna Semara, "Oh adik Ketut, mungkin sekali ini saja ada kesempatan kakak bertemu langsung
dengan adik. Karena sempitnya waktu dan takut diketahui orang, kakak tidak banyak bercakap dengan adik. Kakak tahu adik telah ada yang meminang. Pinangan itu menurut berita yang kakak terima telah diterima pula dengan baik oleh ayah bundamu." "Demi kebahagiaanmu, turutilah kehendak orang tuamu, Biarlah kakak menderita perasaan sendiri!" Belum lagi selesai I Ratna Semara melanjutkan kata-katanya sudah keburu dijawab
oleh Ni Sewagati. "Oh kakak, mengapa kakak sampai hati berkata demikian. Apakah kakak tidak percaya ketulusan hati adik? Apakah kakak kira adik gembira dengan peristiwa ini!" "Oh
kakak kalau memang kakak menyayangi adik, bawalah adik lari. Kalau tidak, lebih baik adik mati dari pada bersanding dengan manusia semacam I Mudalara." Maka akhirnya mufakatlah dua sejoli itu untuk kawin lari, dan ditentukan
pula malam kawin lari itu (negerangkat).
Setelah selesai ketentuan-ketentuan yang
dipermufakatan, segeralah dua sejoli itu
berpisah untuk menghindari jangan sampai
bocor. Masing-masing dengan khayalannya
sendiri. Orang tuanya sama kecil tidak
menyadari bahwa anaknya telah memadu janji untuk kawin lari. Khayalannya tetap meyakinkan mempunyai menantu kaya ialah I Mudalara. Maka sampailah kini malam yang telah ditentukan I
Ratna Semara dengan beberapa teman setianya mengendap-endap dalam kegelapan malam masuk dengan sangat hati-hati dipekarangan Jero Dukuh. Demikian hati-hatinya sehingga
anjing pun tidak menggonggong.
Setelah dapat mendekati kamar Ni Sewagati,kemudian dibunyikan kode yang telah ditentukan, maka didoronglah pintu kamarnya dan Ni Sewagati telah siap. Maka diambillah tangan kiri Ni Sewagati oleh I Ratna Semara, terus dituntutnya keluar. Kendatipun hal ini telah menjadi keputusan, namun Ni Sewagati
dengan sifat kewanitaannya, waktu tangannya diambil, juga mengadakan perlawanan ringan seolah-olah beratlah meninggalkan orang tua yang dicintainya. Perlawanan ini tidaklah berlaku
lama karena lekas sadar, dimana hutang janji tidak mungkin bisa diganti dengan benda lain, melainkan harus dibayar dengan budi atau ketaatan. Akhirnya keluarlah mereka dengan berhati-hati sekali, sehingga selamat sampailah
mereka di rumah pihak si laki dan disambut oleh orang tua si laki dengan beberapa angota keluarga.
Besok paginya ributlah dirumah Jero Dukuh dengan hilangnya Ni Sewagati. Sedang suasana sedih, datanglah pejati (utusan) dari phak keluarga I Ratna Semara dengan penuh hormat menyampaikan kepada Jero Dukuh. "Mohon
maaf Jero Dukuh, saya utusan dari I Ratna
Semara untuk menyampaikan bahwa ni Ketut Sewagati anak Jero Dukuh telah kawin dengan dasar saling cinta-mencintai. Demikianlah agar Jero Dukuh menjadi maklum." Baru Jero Dukuh menerima laporan utusan itu, sedikit agak marah
dengan berkata tegas, "Ih Gede utusan I Ratna Semara, berarti Gede turut membantu I Ratna Semara. Membuat aku malu bukan main. "Di manakah anakku sekarang? Aku ingin langsung
bertemu dengan anakku. Apakah memang karena cinta atau dipaksa." Menjawab sang utusan."Kalau memang Jero Dukuh ingin tahu silahkan datang, kami siap menunggu.Kemudian tidak lama siaplah Jero Dukuh berangkat dengan rombongan. Tapi sayang Perbekel (Kepala Desa) untuk ajeg-ajeg (saksi) menemui pengantin tidak ada karena kebetulan pergi. Maka untuk penggantinya agar bisa jalan digunakan Pemangku (Pimpinan Upacara dalam
pura). Setelah sampai di tempat pengantin,diadakan janji-janji menurut adat antara lain;tidak membawa senjata tajam. Kemudian ditemuilah penganten perempuan dengan ayah ibunya. Dan dengan segara dimulai pembicaraan
oleh Jero Dukuh. "Anakku Sewagati, ayah datang dengan maksud ingin tahu secara kenyataan, karena kamu kawin secara tidak wajar, yaitu kawin lari. Apakah hal ini memang kehendakmu?"
Menjawab Ni Sewagati dengan hormat,
"Maafkanlah anak anda ayah, Kepergian anak anda ini memang atas kemauan anak anda, sama sekali tidak dengan paksaan." Belum lagi selesai Ni Sewagati menjawab pertanyaan ayahnya,ibunya yang tidak bisa menahan emosi, dengan tidak memperdulikan yang lain, berkatalah ibunya dengan lantang, "Kamu
Sewagati, yang membuat malu ibu bapakmu,karena dengan ulahmu ini, kamu seolah-olah menyeret ibu bapakmu ke jalan umum.""Oh ibu berikan anak anda ampun, ibu. Bukankah maksud anak anda mempermalu ibu maupun bapak, sama sekali tidak. Ibarat benang yang
putih, kadung telah tercelup menjadi hijau, tidak mungkin bisa dibuat putih lagi, bu. Maafkanlah segala kesalahan anak anda, bu. Karena sudah tidak mungkin anak anda untuk diboyong kembali." Maka berkatalah Jero Dukuh, "Siapakah orang tua dari I Ratna Semara?"Menjawab ayah I Ratna Semara, "Saya Jero Dukuh."
"Kalau demikian saya telah puas, tetapi anak saya, saya jual dengan harga 1.000 ringgit tidak boleh kurang, dan harus dibayar sekarang juga, dan dengan demikian berarti persoalan selesai."
Demikianlah penjelasan Jero Dukuh. Orang tua I Ratna Semara dengan gembira membayar tuntutan Jero Dukuh yang memang uangnya telah dipersiapkan lebih dulu, karena sudah diramalkan yakin demikianlah nanti jadinya.
Setelah uang dihitung dan memenuhi yang
ditentukan kembalilah rombongan Jero Dukuh dengan lesu dan kecewa. Setelah berita ini sampai pada I Gede Mudalara, bukan main kecewanya. Ia bukan main marahnya. Ingin mengamuk dan sebagainya. Tetapi untunglah
kawan-kawannya dengan susah payah dapat meredakan. Yang lain membenarkan tindakan Ni Sewagati dengan I Ratna Semara sebagai protes terhadap kawin paksa.Akhirnya berbahagialah kedua sejoli itu, kendatipun proses perkawinan itu melalui jalan yang kurang wajar, tetapi cukup membuat pukulan terhadap orang tua yang masih kolot,dan hanya memandang harta saja.

Sumber : Bunga Rampai Ceritera Rakyat Bali oleh Ida Bagus Sjiwa & A.A. Gde Geria




CERITA RAKYAT BALI I GEDE BASUR

 



I Gede Basur seorang kaya raya yang tinggal di Banjaran Santun. Ia menjadi sangat terkenal karena menguasai ilmu pengiwa atau ilmu aliran hitam. I Wayan Tigaron adalah satu-satunya putra dan merupakan kesayangan I Gede Basur.
Namun sifat I Wayan Tigaron tidak begitu baik,kebiasaan berjudi, mabuk minuman keras dan mempermainkan wanita adalah hal yang biasa dalam kesehariannya. Sebagai orang tua, I Gede Basur selalu menuruti setiap permintaan anak
kesayangannya. Namun demikian, I Gede Basur pun sudah tidak sabar ingin memiliki seorang menantu, menimang seorang cucu. Tiada kebahagiaan yang ia inginkan saat ini selain menjadi seorang kakek, melewati masa tua diganggu oleh tingkah lucu menggemaskan dari sang cucu. I Gede Basur tahu bahwa anaknya telah jatuh cinta pada Ni Nyoman Sukasti dan
iapun teringat bahwa I Wayan Tigaron sempat memberitahunya untuk melamar ke Banjaran Sari. Segera I Gede Basur mempersiapkan segala sesuatu untuk melamar ni nyoman sukasti di
Banjaran Sari. Perlengkapan dipersiapkan, segala jenis perhiasan dan kekayaan dunia akan diberikan sebagai bukti keseriusan lamaran kali ini.

Lamaran yang Ditolak :
I Gede Basur dan I Nyoman Karang saling beramah tamah. Sudah sekian lama mereka tidak bertemu, rasa kangen telah ditumpahkan kedua anak manusia itu. Penuh percaya diri karena merasa yakin akan lamarannya, I Gede Basur secara langsung menyampaikan bahwa anaknya,
I Wayan Tigaron, sudah beranjak dewasa,
demikian juga dengan Ni Nyoman Sukasti, sudah saatnyalah untuk mencari pendamping hidupnya. Yang diharapkan adalah kebahagiaan, karena harta benda, kekayaan duniawi yang dimiliki
tiada arti kalau rasa persaudaraan yang telah diciptakan oleh para leluhur dahulu terputus begitu saja. Alangkah baiknya jika rasa persaudaran yang telah terjalin ini dipertegas kembali. Salah satunya adalah dengan menikahkan I Wayan Tigaron dengan Ni Nyoman Sukasti. Karena dengan demikian bukan hanya dua keluarga yang akan menjadi satu tapi rasa kekeluargaan kedua banjaran pun akan terbina dengan baik. 




Ini tentu akan memberikan dampak yang baik bagi kedua belah pihak. Demikian perasaan I Gede Basur dengan senangnya. I nyoman karang menyambut baik keinginan I Gede Basur. Ia pun merasa berbahagia akan kepercayaan yang diberikan I Gede Basur terhadapnya. Seperti seorang yang haus,diberikan seteguh air untuk melepas dahaga
selama ini. Namun karena ini adalah masalah pernikahan anaknya, ia tidak mau memutuskan. I Nyoman Karang menyerahkan segala keputusan
ini kepada anaknya karena memilih pendamping untuk menemani seumur hidup adalah mutlak menjadi keputusan Ni Nyoman Sukasti.Ni Nyoman Sukasti, wanita cantik berpengetahuan, menolak pelamaran.Pendamping seumur hidup haruslah dipilih berdasarkan cinta, karena kekayaan duniawi bersifat semu. Ia akan pudar seiring berjalannya waktu. Walau seorang yang lahir dari kemiskinan, kalau ia memiliki cinta sejati maka
seseorang itulah yang disebut kaya. Kekayaan yang tidak semu adalah kebahagiaan dan kebahagiaan dalam rumah tangga akan hadir bila
kedua pasangan itu memiliki cinta sejati.. cinta sejati itu ada pada I Wayan Tirta. Itulah yang Ni Nyoman Sukasti inginkan.
I Gede Basur yang keinginannya selalu
terpenuhi, kali ini harus pulang dengan tangan hampa. Dalam hatinya ia merasa sakit luar biasa, pelamaran yang telah dipersiapkan dengan begitu mewah harus diakhiri oleh kegagalan.
Namun I gede basur sadar kebenaran upacan Ni Noman Sukasti. Pernikahan haruslah didasar atas rasa cinta, bukan oleh harta dunia. I Gede Basur
menemui I Wayan Tigaron. Sebagai orang tua, ia meminta maaf atas kegagalannya untuk membawa Ni Nyoman Sukasti sebagai calon memantu. I Wayan Tigaron yang memang memiliki sifat kurang baik, tidak peduli, ia kukuh bahwa Ni Nyoman Sukasti harus menjadi istrinya.
Ia menyalahkan ayahnya karena telah gagal, ia juga mempertanyakan kemampuan ilmu hitam yang dimiliki ayahnya. Seraya, mengungkit-ungkit, memanas-manasi, merasa sia-sia
memiliki kekayaan yang berlimpah, kalau hanya melamar seorang Ni Nyoman Sukasti saja tidak mampu. I Gede Basur merasa terhina kembali,kemarahannya memuncak hingga timbullah
kebencian dalam dirinya. Rasa benci ini harus dihapus oleh kematian I Nyoman Karang dan Ni Nyoman Sukasti.

Bencana Banjaran Sari :
I Gede Basur berangkat ke kuburan, memohon anugrah Bhatari Durga, agar dapat membuat wabah di Banjaran Sari. Semua muridnya dikerahkan, para leak diundang untuk ikut membantu menjalankan niat jahatnya,menghancurkan Banjaran Sari. Satu persatu warga Banjaran Sari menjadi korban akibat kekejaman I Gede Basur. Setiap saat selalu ada warga yang sakit dan tak berselang lama meninggal. Para ahli pengobatan dikerahkan untuk menyelesaikan permasalahan ini justru menjadi korban keganasan wabah penyakit yang digelar I Gede Basur.
Keresahan masyarakat diketahui oleh seorang Jro Balian. Jro Balian yang memiliki kemampuan dengan pengetahuan tinggi mampu mengetahui sebab wabah di Banjaran Sari. Ia yang telah belajar ilmu aliran kanan atau penengen akan
berupaya dengan semua kemampuan untuk melenyapkan ilmu pengleakan / pengiwa I Gede Basur. Berangkatlah Jro Balian ke kediaman I Gede Basur untuk meminta pertanggungjawaban
karena telah membuat wabah / gerubug di
Banjaran Sari. Tak mendapatkan titik temu,
keduanya sama-sama kukuh akan pendapat masing-masing. Akhirnya saling adu kemampuanlah yang menjadi titik
penyelesaiannya.

Sumber : http://yannusa.blogspot.com/.../i-gede-basur-penguasa...



CERITA RAKYAT BALI I KAMBING TAKUTIN I MACAN

 



Om swastyastu :

Kacerita ada kambing madan Ni Mésaba ngajak
Ni Wingsali. Ia luas ka alasé, ngalih amah-
amahan ané nguda-nguda.
Panakné Ni Wingsali masih bareng ka alasé. Tan
kacerita di jalan, teked ajak dadua di alasé. ”bih,
demené Ni Mésaba ajak Ni Wingsali, nepukin
amah-amahan ané nguda-nguda.
Sedeng itehe ngamah, Ni Wingsali makasiab
nepukin buron tawah. Melaib Ni Wingsali di durin
méméné, sambilanga matakon.
”Mémé….mémé….ade buron tawah, to to ya
mémé…..! ”ikuhné lantang, gubané aéng”, nyeh
tiyang mémé..!
Mesaut lantas Ni Mésaba,
”ento madan I Macan”, nah kéné jani cening,
entegang sebengé apang care anak sakti,
anggon nayanin I Macan, ané malaksana corah”.
I Macan masih ngon nepukin Ni Mésaba ngajak
pianakné Ni Wingsali. I Macan ngomong,
”Ih, buron apa saja iba bani mai ka alasé? kai
ané kuasa di alasé ené”!.





Mesaut Ni Mésaba, ”Ih iba macan. Iba mirib
tusing nawang, uli awak kainé bisa pesu api. Di
tanduk kainé Ida Sang Hyang Siwa ané malinggih.
Kai kaliwat sakti, tusing buungan iba amah kai.
Sambilanga Ni Mésaba ngéngkotang tandukné
tur mekecos.
I Macan lantas malaib. tepukina tekén i Bojog. i
Bojog matakon”, Beli, apa krana beli malaib?”.
I Macan masaut, ”beli jejeh nepukin buron
tawah. Awakné poléng tandukné lanying”.
Raris, seanturnyane .. ”Ento sing je lénan tekén
I Kambing. Tiang mamusuh tekén ia. Jalan jani
malipetan bareng-bareng alih!”.
Masaut I Macan,
”béh, yén beli kema tusing buungan beli mati.
Cai gancang menék kayu, élah makecos”.
I Bojog buin ngomong, ”yén beli sangsaya, jalan
tegul bangkiangé. Kantétang ikuhé”.
Munyin i Bojogé lantas guguna tekén I Macan.
Ditu pada ngilitang ikuh, pada negul bangkiang.
Kacrita jani suba neked di arepan Ni Mésaba. Ni
Mésaba masebeng égar tur mamunyi
”Uh, cai Bojog teka. Dugas cainé kalah matoh-
tohan,
cai majanji nyerahang macan patpat. Ané jani cai
mara ngaba aukud.
Nah kanggoang embok masih. sedeng melaha
embok ngidamang bé macan.
Mara kéto munyiné Ni Mésaba, I Macan kaliwat
jejeh.
”Béh, i déwék bayahange utang tékén i Bojog, ”
kéto kenehné.
Ditu lantas ia jeg malaib patipurug. i Bojog
bragedega. Ulian keliwat jejehné I Macan, lantas
maka dadua ulung di jurangé tepén batu.
Pamuputné mati I Macan tekén I Bojog.
Nah kéto tuah, amun apa ja wanéné wiadin
kerengné, yéning belog sinah lakar nepukin
sengkala buka I Macan.
Om santhi santhi santhi om

sumber : www.cakrawayu.org