Sabtu, 12 November 2022

Anggar Kasih Tambir dan Kajeng Kliwon

 




Anggar Kasih Tambir merupakan hari suci yang sangat istimewa, karena pada hari itu bertepatan juga dengan hari suci Kajeng Kliwon Enyitan.
Anggar Kasih Tambir dirayakan setiap 6 bulan sekali atau setiap 210 hari sekali, tepatnya pada setiap sapta wara Anggara (Selasa) dan panca wara kliwon serta
wuku Tambir.
Dalam kutipan dari lontar Sundarigama disebutkan ; yang lain lagi yang perlu diperhatikan ketika Anggara bertemu Kliwon disebut sebagai Anggar Kasih.
Anggara Kasih atau Anggar Kasih, yang merupakan hari untuk mewujudkan cinta kasih
terhadap diri kita sendiri.
Pada hari suci Anggar Kasih itu hendaknya kita merawat diri kita sendiri, dengan jalan melakukan pembersihan atau peleburan dari segala kecemaran (mala)
dan bencana.
Dan hal yang paling utama adalah untuk melebur segala kecemaran yang ada pada pikiran yaitu, dengan jalan melakukan perenungan suci dan juga menghaturkan persembahan berupa banten wangi - wangi, Puspa wangi, Asep astangi dan dilanjutkan dengan metirta pembersihan serta pada malam harinya melakukan renungan 
suci atau semadhi.
Pada saat hari suci Anggar Kasih Tambir itu adalah merupakan hari dimana Sang Hyang Ludra untuk melaksanakan yoga dengan tujuan untuk memusnahkan ataupun untuk menghilangkan
segala kecemaran
di dunia ini.


Kajeng Kliwon juga merupakan salah satu hari suci bagi umat Hindu yang jatuhnya pada setiap15 hari sekali, hari suci Kajeng Kliwon merupakan pertemuan antara dua unsur triwara yang terakhir Kajeng dengan unsur pancawara yang
terakhir Kliwon.
Kajeng merupakan hari prabhawanya dari Sang Hyang Durga Dewi yang merupakan perwujudan dari Ahamkara yang merupakan manifestasi dari kekuatan Bhuta Kala dan Durga yang ada dimuka bumi. 
Sedangkan Kliwon merupakan hari prabawanya dari Sang Hyang Siwa sebagai kekuatan dharma yang merupakan manifestasi dari kekuatan Dewa.
Dan pada saat hari suci Kajeng Kliwon diyakini oleh umat Hindu sebagai harinya Sang Hyang Siwa untuk melaksanakan yoga samadhinya untuk keselamatan dunia.
#Mengenai hari suci Kajeng Kliwon dalam lontar Sundarigama disebutkan ; sementara itu pada hari raya Kajeng Kliwon untuk upakaranya sama seperti hari Kliwon hanya tambahannya yaitu segehan warna 
lima tanding.


Untuk itu setiap umat diharapkan pada saat hari suci Kajeng Kliwon untuk melakukan penyucian diri dan bersikap untuk lebih berhati - hati dalam bertindak, karena kekuatan negatif cenderung lebih besar dari pada kekuatan yang positif, dan itu semua akan dapat mempengaruhi kehidupan dari manusia yang ada dimuka bumi ini.
Pada hari suci Kajeng Kliwon ada beberapa umat yang meyakininya bahwa, Sang Tiga Bhucari memohon restu dari Sang Durga Dewi untuk membuat bahaya, mengundang semua desti, teluh terang jana dan juga untuk menggoda orang yang tidak berbuat baik atau orang yang berbuat adharma.
Dengan demikian sudah sepatutnya dan sudah menjadi suatu kewajiban kita sebagai umat Hindu untuk menghaturkan persembahan dimerajan, pura dan tempat
suci lainnya 
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. 
Yadnya atau Banten yang dipersembahkan berupa ; canang sari, canang raka, puspa harum, segehan kepelan, segehan putih kuning, segehan panca warna dsb. Didepan pintu pekarangan sebelah atasnya dihaturkan sesajen pada Sang Hyang Durga Dewi berupa canang wangi, burat wangi, canang yasa dan semua itu hendaknya disesuaikan dengan tempat atau keadaan serta kemampuan dari
setiap umat.
Dan dengan kita menghaturkan semua persembahan itu diharapkan agar bisa untuk mewujudkan keseimbangan alam Niskala dari alam bhuta menjadi
alam Dewa.

Semua jenis Banten (upekara) adalah merupakan simbul diri kita, lambang kemaha - kuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung.
(Lontar Yajna Prakrti)
Kata segehan berasal kata Sega yang berarti nasi, jika dalam bahasa Jawa disebut sego. Oleh sebab itu, banten segehan itu isinya di dominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. 
Bentuk nasinya ada yang berbentuk nasi kepelan (nasi dikepal)
wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti ; bawang merah, jahe, garam dan lain - lainnya dan dipergunakan juga api takep yang terbuat dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda tambah (+) atau swastika, bukan api dupa, disertai beras serta tetabuhan
berupa air, tuak, arak 
dan juga berem.


Makna dari Segehan
Segehan mempunyai arti suguh atau menyuguhkan dalam hal ini segehan
dihaturkan kepada para Bhuta kala agar tidak mengganggu dan juga Ancangan atau Iringan dari Para Bhatara dan Bhatari, yang tak lain adalah merupakan akumulasi dari limbah atau kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan juga perbuatan manusia dalam kurun
waktu tertentu.
Dan dengan sarana segehan itu diharapkan nantinya dapat untuk menetralisir dan dapat menghilangkan pengaruh negatip dari limbah tersebut. #Segehan juga dapat dikatakan sebagai lambang harmonisnya hubungan antara manusia dengan semua ciptaan dari Tuhan (palemahan).
Segehan ini biasanya dihaturkan setiap hari atau pada saat rerahinan dan hari - hari tertentu, dan penyajiannya itu diletakkan didepan pelinggih atau dinatar Merajan, Pura, halaman rumah, didepan pintu gerbang, pertigaan, perempatan
jalan dsb. 
Segehan dan Caru itu juga banyak disinggung dalam lontar Kala Tattva, lontar Bhamakertih, dan 
Susastra Smerti. 


Segehan nasi Kepel Putih merupakan segehan yang paling sederhana dan biasanya untuk dihaturkan setiap hari.
Segehan panca warna itu biasanya di letakkan atau dipersembahkan di natar merajan, halaman rumah, pintu keluar masuk pekarangan (lebuh, pemeda­l) dipertigaan, perempatan
jalan dsb.
Semua unsur dari Segehan itu sejatinya memiliki suatu
filosofi di dalamnya yaitu :
Alas dari daun atau taledan kecil yang berisi tangkih disalah satu ujungnya, taledan yang berbentuk segi empat yang merupakan lambang dari arah mata angin.
✓Nasi putih 2 kepal, yang melambangkan dari
Rwa bhineda
✓Jahe, secara ilmiah memiliki sifat panas, semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional.
✓Bawang, memiliki sifat dingin, manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tetapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek)
✓Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin)
✓Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol yang secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai macam kuman atau bakteri 
yang merugikan.
✓Dalam ilmu kedokteran alkohol digunakan juga untuk mensterilkan dari alat-alat kedokteran.
✓Metabuh pada saat masegeh bertujuan agar semua bakteri, Virus, kuman yang dapat merugikan
yang ada disekitar tempat itu akan menjadi hilang 
ataupun mati ...

Agung Saputra

Kamis, 10 November 2022

Pengertian, Makna Dan Tujuan Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan

Sebagian besar umat Hindu Indonesia belum memahami ajaran agama sesuai dengan kerangka dasar agama Hindu yakni tatwa (filsafat), susila (etika) dan upakara (upacara). Salah satu contoh misalnya jika ditanya mengenai apakah itu Hari Raya Galungan? Jawaban yang paling terbanyak adalah “kemenangan Dharma Melawan Adharma”. Namun jika ditanya lebih lanjut tentang apa yang dimaksud kalimat tersebut. Kemungkinan, sebagian besar tidak dapat menjelaskan secara rinci. Untuk itu, dalam postingan artikel ini, kami berusaha untuk mejelaskan mengenai apa itu Galungan, makna dan tujuannya. Berikut ulasannya;



Pura Aditya Jaya Rawamangun: (foto; Mutiarahindu.com)



Pengertian Hari Raya Suci Galungan


Secara etimologi Galungan artinya “Peperangan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Daring), Galungan adalah hari raya umat Hindu Dharma setiap 210 hari sekali, jatuh pada hari Rabu Kliwon, dua kali dalam satu Tahun (KBBI Daring. 2018. Diakses 26 April, jam 22:11). Kemudian dalam Website PHDI.or.id, Galungan adalah hari raya besar bagi umat Hindu yang diperingati setiap 210 hari. Peringatan hari raya galungan menggunakan perhitungan Pawukon yang jatuh pada Rabu Pancawara Kliwon, Wuku Dungulan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dikatakan juga bahwa “Galungan” dalam bahasa Jawa Kuno berarti “Menang / Bertarung”. Galungan juga sama penjelasannya dengan Dungulan yaitu Menang. Untuk itu wuku kesebelas di Jawa disebut Wuku Galunga dan di Bali disebut Wuku Dungulan.


Runtutan Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan



Galungan sudah diperingati sejak abad ke-XI, hal ini di dasarkan atas kidung panji Malat Rasmi dan Pararaton kerajaan Majapahit (Tim Penyusun, 1995:137). Kemudian di dalam Lontar Purana Bali Dvipa disebutkan bahwa Galungan pertama kali dirayakan pada hari rabu Kliwon, wuku dungulan sasih kapat tanggal 15 (purnama Tahun 804 saka, saat itu pulau bali bagaikan Indra Loka, (Punang Aci Galungan Ika Ngawit Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur Tanggal 25, isaka 804, bangun indra bhuwana ikang bali rajya). Pada saat itulah hari raya galungan terus dilaksanakan. Perayaan hari raya galungan memiliki Sembilan tahapan, adapun ke-9 runtutan tersebut yakni sebagai berikut:

Tumpek Warige
Hari Sugihan Jawa
Hari Raya Sugihan Bali
Hari Raya Penyekeban
Hari Penyajaan Galungan
Hari Penampahan Galungan
Hari Raya Galungan
Hari Pemaridan Guru, Ulihan dan Pemacekan Agung
Rabu Kliwon Pahang atau Upacara Akhir Galungan

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Dari ke Sembilan (9) rangkaian Hari Raya Suci Galungan diatas mengandung makna yang luhur dalam upaya meningkatkan pembinaan mental spiritual umat Hindu guna terwujudnya umat yang tangguh dan tahan uji serta penuh tanggung jawab dalam menunaikan dharama agama dan dharma negara (Susila. Dkk. 2009:238).


Makna Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan


Secara umum makna pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan adalah kemenangan dharama melawan adharma. Kemenanga dharma dapat berarti telah terlaksananya kewajiban dan pekerjaan-pekerjaan yang baik dalam upaya turut mensukseskann pembangunan Nasional (Susila. Dkk. 2009:236). Kemudian dalam lontar Sundarigama dijelaskan bahwa Hari Raya Suci Galungan umumnya dikaitkan kemenangan dharma (Kebaikan) melawan adharma (Ketidak Baikan), pandangan ini di kemungkinan didasarkan pada sarana upakara yang dipakai persembahan, terutama pada saat hari Panampahan, yakni adanya anjuran merapalkan japa mantra kekebalan (pragolan) dan mengenakan busana perang (saha bhusana ning paperangan) agar berhasil dalam peperangan (phalanya jaya prakoseng perang).


Ada kemungkinan peperangan yang dimaksud itu adalah peperangan kita melawan musuh-musuh di dalam diri kita, yang lasim disebut Sad Ripu yaitu enam musuh yang ada dalam diri manusia yakni Kama, Kroda, lobha, moha, mada dan matsarya sebagi wujud adharma. Dijelaskan juga bahwa:


“Galungan ngaran pabantenan, patitis ikang jnana galang apadang, muryakna sarwa byapara ning idep”


Artinya:

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

“Galungan adalah persembahan sesajen, pemusatan bathin menuju titik pusat yang terang benderang, melenyapkan segala kegalauan pikiran atau batin”


Dengan demikian, Makna pelaksanaan hari Raya Suci Galungan adalah melawan dan melenyapkan segala bentuk nafsu, kemarahan, kerakusan, kebingungan, kemabukan, irihari atau pun segala titah atau hendak (sakatuduh), cita-cita (saha citta), dan tindakan (saparikrama) dengan mengarahkan batin pada kebenaran tertinggi atau dharma (Suarka. 2014: 67-68).


Makna lain dari pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan adalah untuk mawas diri, kita harus terus merenungkan siapa diri kita sebenarnya karena rwa Bhineda akan selalu ada di dalam diri kita. Manusia akan selalu dilingkupi oleh sifat Deva ya, Manusa ya dan Bhuta ya. Untuk itu jiwa setiap manusia perlu di seimbangkan guna mencapai kehidupan anandam dan santi. Pada intinya, perayaan galungan merupakan bentuk keteguhan manusia untuk terus menegakkan kebenaran (dharma) dalam diri maupun di luar diri manusia.


Jika kita melihat sejarah, maka Galungan juga bermakna untuk memohon kebahagian, kesejahteraan dan panjang umur. Hal ini merujut pada kejadian Tahun 1103 -1126 Saka dimana ketika Galungan tidak dirayakan, maka para raja berumur pendek. Untuk Raja Sri Eka Jaya sebagai pemegang tahtah kerjaan selanjutnya merasa heran kenapa pejabat sebelumnya berumur pendek. Maka beliau kemudian bersemedi dan mendapatkan petunjuk dari Dewi Durga bahwa penyebab leluhurnya berumur pendek karena tidak Merayakan Hari Raya Suci Galungan. Saat itulah galungan kembali dilaksanakan dengan tradisi memasang penjor sebagai tegaknya dharma.


Tujuan Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan

Ada pun tujuan dari pelaksanaan Hari Suci Galungan adalah mengucapkan rasa syukur karena kita telah mampu melewati rangkain pelaksanaan hari raya galungan dan terbebas dari godaan Sanghyang Kala Tiga. Selain itu, perayaan hari raya galungan juga bertujuan untuk memuja para dewa dan leluhur, karena diyakini bahwa pada saat Galungan para Dewa dan Roh Leluhur turun ke dunia Beryoga di berbagai tempat, seperti sanggar, Pura, di halaman rumah, di lumbung, di dapur, di jalan masuk rumah, tugu, penghulu kuburan, penghulu desa, penghulu sawah, di hutan, di gunung, di laut dan lain sebagainya. Pada saat ini umat Hindu akan melakukan persembahyangan dan membuat sesajen persembahan (Suarka. 2014: 67).


Perayaan Hari Raya Galungan juga bertujuan menghanturkan rasa syukur dan terimah kasih kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa atas segala karunia-Nya kepada Umat. Baik itu berupa kehidupan, tempat tinggal, alam semesta, kebahagian dan lain sebagainya. Pada saat galungan juga sangat baik untuk memohon sesuatu terhadap para dewa dan leluhur serta mendoakan keluarga, saling mengunjungi satu sama lain, saling maaf memaafkan.


Kesimpulan


Inti dari pelaksanaan hari Raya Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani (dharma) agar terbebas dari pikiran tidak baik (adharma). Untuk itu pada saat galungan kita perlu mengarahkan pikiran ke hal-hal positif. Menjaga toleransi, dan mengendalikan enam musuh dalam diri manusia (Sad Ripu).


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/04/pengertian-makna-dan-tujuan-pelaksanaan.html
Ngurah Nala, I Gusti. Sudharta, Tjokorda Rai. 2009. Sanatana Hindu Dharma Ida Pedanda Gde Nyoman Jelantik Oka. Denpasar: Widya Dharma.
Tim Penyusun. 1995. Buku Pedoman Dosen Agama Hindu. Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha.
Suarka, I Nyoman. 2014. Sundarigama. Denpasar: ESBE
Susila, I Nyoman. Dkk. 2009. Materi Pokok Acara Agama Hindu. Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu

GAYAH simbolik penciptaan semesta dan perlindungan dari energy Bhuta

 


simbolik penciptaan semesta dan perlindungan dari energy Bhuta
*Beranda Info Budaya
Info BudayaWarisan Budaya Takbenda Indonesia
Sate Renteng, Rangkaian olahan daging Babi
Penulis ditwdb -Oktober 31, 201902459
Sate renteng merupakan rangkaian olahan daging babi yang disuusun menyerupai gunungan yang dipergunakan sebagai sarana upacara agama Hindu di Bali, khususnya di Kota Denpasar. Sate renteng ditelisik dari etimologi katanya terbentuk dari dua kata, yaitu sate dan renteng. Istilah renteng berarti rangkaian (bahasa Jawa Kuno), seperti Renteng Bonang (rangkaian bonang), renteng perkara (rangkaian perkara), gedang renteng (pohon papaya yang bunganya terangkai), tanggung renteng (materi yang terkait satu sama lainnya).
Bentuk susunan sate yang disebut dengan sate renteng ini termuat dalam beberapa karya sastra yang penyebutan namanya berbeda-beda, seperti: Tattwa Empu Kuturan, Dharma Caruban, Lontar Widhi Sastra, Nyang Durgha, dan Sukat Gayah.



Sate renteng merupakan salah satu pelengkap upakara (banten) yang dipergunakan dalam upacara Yadnya. Sate renteng adalah sebutan untuk Gayah yang memiliki kekhasan tersendiri dari sate-sate yang lain, seperti adanya ornamen atau kreatifitas dalam merangkai daging babi. Renteng adalah jenis sate yang setelah ditata dominan menunjukkan bentuk yang bergelantungan (ngelenteng/ngerenteng). Sedangkan Gayah merupakan kesatuan dengan bebangkit yang terdiri dari tulang seekor babi dan dagingnya merupakan pelengkap banten bebangkit. Gayah adalah tatanan beberapa jenis tulang-tulang hewan yang dagingnya dijadikan bahan bebangkit. Tulang-tulang hewan tersebut hampir semuanya digunakan, antara lain: tulang rawan penghubung/penyambung paha, tulang paha, tulang ekor, tulang lutut, dan lain sebagainya.
Bentuk sate renteng ataupun Gayah muncul berdasarkan latar belakang mithologi terjadinya penyerangan terhadap dewa-dewa di Kahyangan oleh raksasa yang bernama Detya Kala Dwija. Kesaktian Detya Kala Dwija, membuat para dewa berlarian untuk menyelamatkan diri. Dalam pelariannya para dewa menemui sebatang pohon yang menyerupai jaring, yaitu pohom uli kipas dan pohon itulah yang menyelamatkan para dewa dari kejaran Datya Kala Dwija. Dewa Siwa pun merasa prihatin melihat keberadaan para dewa yang ketakutan, seraya meminta semua senjata yang dimiliki oleh para dewa untuk memerangi Detya Kala Dwija. Dewa Siwa berubah wujud menjadi Sate Renteng/Gayah utuh dengan bersenjata Dewata Nawa Sanga. Akhirnya Detya Kala Dwija terbunuh oleh Dewa Siwa, tetapi beberapa pengikut Datya Kala Dwija yang masih hidup memohon agar tuannya dihidupkan kembali, Dewa Siwa menghidupkan kembali Detya Kala Dwija menjadi bah-bangun atau Sate Renteng/Gayah Pusupusan.
Masyarakat Bali memiliki kebudayaan bernilai tinggi dengan sifat religiusnya, menciptakan alat-alat upacara dan upakara khusunya sate renteng/Gayah sebagai pelengkap dalam prosesi ritual yadnya, Sate renteng/Gayah mempunyai isyarat-syarat tertentu dan memiliki kekuatan gaib serta dikaitkan dengan berbagai sarana upacara sebagai saksi dari unsur kekuatan bersifat religius yang selalu menyertai kekuatan dalam upacara yadnya di Kota Denpasar. Masyarakat Bali, khususnya masyarakat Kota Denpasar mengenal sate renteng/Gayah Durga Dewi yang ada hubungannya dengan mithologi sebagai berikut:

“tatkala Siwa bersama saktinya dalam menciptakan dunia yang sedang menari-nari (Natha Raja), maka kekuatan-kekuatan pada prinsipnya berasal daripada saktinya yaitu Dewi Uma (Dewi Kesejahteraan) yang dalam bentuk kehebatannya yang disebut Bhatari Durga (Dewi Durga). Dengan dasar ini sate renteng/Gayah Durga Dewi itu adalah perlambang penciptaan dunia oleh Bhatara Siwa beserta saktinya. Menelisik dari bentuknya, sate renteng/Gayah Durga Dewi beserta kelengkapannya adalah simbolis daripada makrokosmos karena salah satu perlengkapannya menunjukkan senjata dari Dewata Nawa Sanga. Disebut sebagai lambang makrokosmos berarti pula lambang mikrokosmos karena bahan-bahannya merupakan bagian daripada seluruh bagian binatang yang dipergunakan.
Jenis dan Bentuk Sate Renteng/Gayah Durga Dewi
a. Gayah untuk upacara dengan banten babangkit tidak dengan titi mamah kerbau.
b. Sate Renteng/Gayah Sari
Untuk membuat sate renteng/Gayah Sari menggunakan berjenis-jenis tulang yang puncaknya tidak memakai kekuwung, melainkan menggunakan Bagia, yang bentuknya seperti bunga meduri. Sate renteng/Gayah Sari dipergunakan pada bebangkit Bugem atau Bebangkit Cagak.
c. Sate renteng/Gayah Utuh
Dalam membuat sate renteng/Gayah Utuh menggunakan seekor babi, hampir semua bagian-bagian dari babi itu dipergunakan, misalnya: empedu, usus, paru-paru, ekor, keempat kakinya, kepala dan bagian-bagian lainnya.
d. Sate renteng/Gayah Agung
Sate renteng/Gayah Agung memiliki alas sebagai badan bukur memakai 33 pepalihan. Jumlah jatah pengidernya masing-masing dikalikan 11, dan masing-masing arah memakai simbar, di masing-masing sudut memakai karang paksi serta karang aksi, kepala gayah dipakai daging babi berbentuk karang boma, memakai jatah gunting sebanyak 108 katih ditancapkan di sekeliling jatah pengideran sebagai lambang hutan. Sedangkan jatah bagiannya bertumpang 11 sebagai lambang tingkatan alam sunia, Jatah ini dibuat sehubungan dengan tingkat Upacara Yadnya yang dilaksanakan.
Bahan Sate Renteng/Gayah Durga Dewi
Bahan untuk membuat sate renteng/Gayah Durga Dewi adalah daging babi, yang meliputi pepusuh (jantung), hati, ungsilan, nyali, tulang iga, dan kulit. Selain daging babi, digunakan juga bahan-bahan lain seperti: bambu, kulit kelapa,dan buah kelapa utuh.
Teknik dan Pengolahan Bahan Sate Renteng
Sate Renteng memiliki bahan dasar dari daging babi, karena daging babi sangat gampang untuk diolah dan memiliki simbol bahwa babi adalah salah satu Awatara Dewa Wisnu untuk menyelamatkan dunia ini dari kehancuran. Jenis daging babi yang digunakan adalah jantung, hati, ungsilan, nyali, tulang iga, dan kulit. Selain daging babi digunakan juga bambu, buah kelapa, dan cabai.
Segala jenis daging babi harus direbus terlebih dahulu, setelelah itu kulit dibentuk (diringgit) untuk membentuk simbar-simbar di tusuk pada sebuah bambu kecil-kecil yang ujungnya diisi potongan hati berbentuk segitiga atau menggunakan cabai. Ketika semua sudah ditusuk-tusuk pada bambu kecil, semuanya itu kemudian ditusuk menyusun menyerupai gunungan dengan media dasarnya adalah buah kelapa.
Makna dan Nilai Sate Renteng
Sate Renteng berdasarkan bentuk dan kegunaannya memiliki beberapa makna dan nilai seperti: religius, estetika, dan sosial.
a. Religius, Sate Renteng dianggap memiliki makna atau nilai religius karena dianggap sakral dan memiliki simbol-simbol tertentu dengan dibuatkan sesaji pemlaspasan pada saat akan dipajangkan serta merupakan media bagi dunia sekala dan niskala terutama pada bentuk Gayah Durga Dewi yang difungsikan sebagai simbol rasa bhakti umat ke alam niskala.
Sate Renteng digunakan sebagai media keagamaan mulai dari upacara kecil hingga besar (karya agung), karena digunakan sebagai persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi yang dipercayai memiliki kekuatan 108 mudra.
b. Estetika, Sate Renteng memiliki nilai estetika nampak ketika pembuatnya tidak hanya termotivasi terhadap pelaksanaan Upacara Yadnya semata, tetapi juga digerakkan oleh keinginan menciptakan karya seni (estetika) dalam dirinya.
c. Sosial, Sate Renteng memiliki makna atau nilai sosial yang dapat dilihat dari keterlibatan sosial Upacara Yadnya, yang dapat dijadikan sebagai wadah interaksi sosial. Sate Renteng sebagai saranaa pelengkap

Rabu, 09 November 2022

Lontar BHUWANA KOSA

Adapun ajarannya dapat dijelaskan sebagai berikut : Tuhan dalam Bhuwana Kosa disebut Bhatāra Śiwa, yaitu :
Beliau Maha Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak bergerak, tak terbatas dan sebagainya. 
Ia yang tak terbatas digambarkan secara terbatas, karena itu Ia sering disebut dengan nama yang berbeda, seperti : Brahma, Wisnu, Iswara / Rudra, sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Dalam Lontar Bhuwana Kosa ini Bhatāra Śiwa dijelaskan juga bersifat immanent dan transcendent.


Immanent, Ia meresapi segalanya, hadir pada segala termasuk meresap pada pikiran dan indriya (sira wyapaka).
Transcendent, Ia meliputi segalanya, tetapi Ia berada di luar batas pikiran dan indriya.
Meskipun Ia Immanent dan Transcendent pada semua makhluk, tetapi Ia tidak dapat dilihat dengan kasat mata, karena Ia bersifat sangat rahasia, abstrak. Karena kerahasiaannya Ia digambarkan bagaikan api dalam kayu, minyak dalam santan. Dan Ia ada dimana-mana, pada semua yang ada ini. 
Ia tidak tampak, 
tetapi Ia ada. 
Sungguh sangat rahasia adanya. Alam semesta (Bhuwana Agung) dengan segala isinya dan manusia adalah ciptaanNya juga.
Semua ciptaanNya itu merupakan wujud mayanya yang bersifat tidak kekal, karena dapat mengalami kehancuran dan pada saat mengalami kehancuran semua ciptaanNya itu akan kembali kepadaNya, karena Ia adalah asal dan tujuan.



Demikian juga disebutkan dalam beberapa petikan mantra dalam Tattwa III referensi Lontar Bhuwana Kosa yang sebagaimana dijelaskan Berkedudukan di alam Satya Loka, Bhatara Siva Maha gaib, tanpa awal, tanpa pertengahan, tanpa akhir, amat suci:
“Keadaan Sang Hyang Siva berada di hati semua mahluk, tanpa awal, tanpa pertengahan dan tanpa akhir, Keberadaan Beliau kekal berwujud seperti putaran air".
Berkedudukan di alam Tapa Loka, Beliau Bhatara Siwa menguasai semua pengetahuan dan  selalu terhindar dari ketuaan dan kematian.

Macam-Macam Jenis Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu

dalam Lontar Adi Parwa dikatakan bahwa tirta Amrta adalah air suci kehidupan yang abadi yang muncul dari Ksirarnawa ketika perputaran Gunung Mandara Giri. Air tirta ini memiliki fungsi masih-masing sesuai dengan jenisnya seperti dalam penyucian, pengurip alam ciptaan, tirta sebagai pemelihara dan lain sebagainya. Apa pun jenis-jenis tirta tersebut adalah sebagai berikut:




Foto: Mutiarahindu.com
Jenis-Jenis Air Suci Tirta


Dilihat dari cara memperolehnya, tirta dapat dibedakan menjadi dua macam. Ada pun kedua macam tirta tersebut adalah sebagai berikut:

Tirta atau air suci yang dibuat sendiri oleh Pandita atau Sulinggih
Tirta atau air suci yang diperoleh melalui memohon oleh pemangku/ dalang/ balian atau Sang Yajmana.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Jika kita perhatikan dalam kaitanya dengan Panca Yajna, maka jenis-jenis tirta dapat dibedakan menjadi enam macam yaitu:

Tirta pembersihan yaitu air suci yang digunakan untuk mensucikan atau membersikan sarana (bebanten) upakara dan diri manusia sebelum melakukan persembahyangan. Pada umumnya di pura-pura tirtah pembersihan diletakkan di depan pintu masuk atau di dekat tempat dupa dan sentang.
Tirta pengelukatan yaitu air suci yang fungsinya digunakan pada penglukatan atau pensucian alat upacara, bangunan atau diri manusia. Selain itu tirtha ini, biasanya dipergunakan untuk mensucikan canang dan banten dengan cara percikan tiga kali. Tirta ini pada umumnya di dapat dari para pandita dan telah di pasupati.
Tirta Wangsuhpada juga disebut dengan banyun cokor atau kekuluh yaitu jenis tirta yang digunakan pada akhir persembahyangan. Tirta ini sebagai simbol sembah dan bhakti kita kepada Tuhan agar diberikan anugra berupa air suci kebahagian.
Tirta Pemanah yaitu yaitu jenis tirta yang digunakan pada saat memandikan jenazah. Tirta ini diperoleh dari air suci pada saat upakara Ngening.
Tirta Penembak yaitu jenis tirta air suci yang digunakan saat memandikan jenazah yang maknanya mensucikan badan jenazah secara lahir dan batin.
Tirta Pengentas yaitu tirta yang fungsinya untuk memutuskan hubungan roh orang yang meninggal dengan badannya agar cepat melupakan keduniawian. Tirta ini merupakan penentu utama berhasilnya suatu upacara ngaben. Tirta Pengentas pada umumnya dibuat oleh sulinggih.



Kalau dilihat dari penggunaannya pada persembahyangan agama Hindu sehari-hari, tirta dapat dibedakan menjadi tiga jenis diantanya:

Tirtha Kundalini yaitu tirta yang dipercikan ke badan sebanyak tiga kali ketika persembahyangan.
Tirtha Kamandalu yaitu tirta yang diminum.
Tirtha Pawitra Jati yaitu tirta yang diraup ke muka atau kepala sebanyak tiga kali.

Kemudian dalam pustaka Purwa Bhumi, ada disebutkan lima jenis Tirtha yang terdapat di lima gunung atau Panca Giri, sebagai berikut:

Tirtha Sveta Kamandalu di Gunung Indrakila, dijaga oleh Indra dan Sang Hyang Iswara atau Sadyijata
Tirtha Ganga Hutasena di Gunung Gandharnadana, dijaga oleh Barna Dewa
Tirtha Ganga Sudha-Mala di Gunung di Gunung Pgat atau Udaya, dijaga oleh Tatpurusa
Tirtha Ganga Amrta-Sanjivani di Gunung Rsymukka di jaga oleh Aghora
Tirtha Ganga Amrta-Jiva di Gunung Kailasa dijaga bersama Ardhanareswari.

Panca Tirtha tirta diatas dapat diperoleh di lereng Panca Giri. Ada pun fungsinya adalah digunakan untuk menyucikan Bhuta dan Kala, terutama pada hari Raya Nyepi, dan juga dilakukan menjelang upacara-upacara penting lainya dalam rangkaian pelaksanaan Yajna umat Hindu.

Reff: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/macam-macam-jenis-air-suci-tirta-dalam.html
Tim Penyusun dan Peneliti Naskah. _.Weda Kuning 100-101.
Susila, I Nyoman, dkk. 2009. Materi Acara Agama Hindu. Jakarta: Depag RI Dirjen Bimas Hindu

RELATED:
Jenis-Jenis Uang Kepeng dan Fungsinya
Pengertian dan Makna Matur Piuning
Makna dan Fungsi Bunga Dalam Upacara Yajna Agama Hindu

Tradisi Ngerebeg, Hindari Gangguan Wong Samar

 


Tradisi ngerebeg, diselenggarakan sehari sebelum piodalan di Pura Duur Bingin, Desa Tegallalang. Tradisi itu dilaksanakan oleh anak-anak, sampai sekaa teruna. Sebagai pertanda rencangan (penjaga) yang ada di sana sangat senang dengan anak-anak.

Hal itu diungkapkan oleh Bendesa Parakaman Tegallalang, I Made Jaya Kesuma saat pelaksanaan ngrebeg, Rabu kemarin (6/12). Menurutnya, jika anak yang berkeinginan ngayah harus diizinkan. Jika tidak, maka akan menjadikan sebuah mala petaka.

Tradisi itu bersamaan dengan rentetan pujawali di Pura Duur Bingin. Jaya Kesuma mengatakan pengamong pujawali dilakukan secara bergilir. Tetapi dalam tradisi ngerebeg tersebut, bisa seluruh warga desa. Bahkan luar desa juga diperbolehkan.

“Pelaksanaan piodalan di sini diselenggarakan secara berputar. Ketika satu banjar melaksanakan piodalan di Pura Dalem Kangin, maka piodalan di Pura Duur Bingin banjar tersebut juga yang ngamong,” terang Kesuma ketika diwawancarai Rabu kemarin (7/12).

Dalam kesempatan itu, dirinya juga menjelaskan bahwa di Desa Pakraman Tegallalang sendiri memiliki dua pura dalem. Terdapat Pura Dalem Kangin, dan Pura Dalem Kauh. Maka dalam prosesi pelaksanaan di Pura Duur Bingin diamong secara bergantian. Meskipun secara bergantian, Kesuma menerangkan yang ikut ngerebeg tidak pernah dengan pengayah yang sedikit.

Diakarenakan setiap pelaksanaan ngerebeg, ia mengatakan bahwa harus dijalankan dengan keinginan sendiri. Terlebih memang dari keinginan anak-anak yang mau ngayah.

“Sebab dulu pernah ada yang melarang untuk ikut ngerebeg, karena dianggap masih kecil. Sehingga beberapa hari setelah piodalan di sini, orang tersebut masuk ke dalam jerami yang dibakar. Karena tempatnya yang seperti lubang di areal persawahan. Bahkan mengakibatkan kulitnya melepuh mengalami luka bakar,” papar pensiunan guru tersebut.

Maka sampai saat ini, Jaya Kesuma mengakui tidak ada yang berani lagi untuk menghalangi kemauan anaknya untuk ngayah ngerebeg.

Sebelum pelaksanaan negerebeg dimulai, prosesi pecaruan dilakukan terlebih dulu. Yang ia katakan sebagai pembersih secara niskala di areal pura. Setelah itu baru sasuhunan yang ada di sana dilinggihkan pada gedong. Bahkan pujawali di sana nyejer salama tiga hari.



Setelah pecaruan selesai, dilanjutkan untuk nunas pica alit. Yang berisi nasi dan lawar saja, di mana dibungkus menggunakan daun pisang. Kesuma juga menerangkan, selesai nunas pica alit ada yang disebut dengan nunas pica ageng. Yang berisi adonan lawar saja, namun dengan porsi yang lebih banyak. Alasnya digunakan sebauh klakat (bambu yang dirangkai) dan daun pisang. Baru saat itu dilakukan magibung dengan serentak pada penataran pura.

Selesai magibung, Jaya Kesuma juga menjelaskan ada pelaksanaan malukat terlebih dahulu. Sambil mempersiapkan pelaksanaan tradisi ngerebeg tersebut. Yang ia katakan berawal dari jaba pura, menuju ujung desa pakraman Tegallalang. Melewati Obyek Wisata Ceking, kemudian ke barat menuju Pura Dalem Kauh. Di sana akan melewati sebuah persawahan, yang akan sampai Pura Duur Bingin kembali.

Disinggung Sasuhunan yang malinggih di sana, Jaya Kesuma mengaku hanya terdapat tiga Sasuhunan saja. Yang pertama ada Sasuhunan berupa rangda, dan Sasuhunan berupa barong landung lanang – istri. Bahkan ia juga mengaku, kalau pecaruan yang diselenggarakan saat ini menggunakan seekor anak sapi (godel). Di mana yang dilaksanakan setiap tiga tahun sekali.

“Pecaruan yang menggunakan sarana anak sapi ini, bertujuan untuk menyelenggarakan sebuah taur. Yaitu suatu upakara terkait status Gunung Agung saat ini. Semoga dari pecaruan yang diselenggarakan di sini, sebagai salah satu langkah untuk membuat situasi tetap kondusip. Agar bencana ini tidak sampai memakan korban satu pun,” tandas Jaya Kesuma.

Ditemui di jaba pura, salah satu pemangku, Jero Mangku I Made Muda menerangkan rentetan upakara yang akan berlangsung. Setelah ngerebeg dilaksanakan, maka ada yang disebut dengan malasti. Yaitu Sasuhunan lunga ke beji yang ada di wilayah desa setempat. Sedangkan keesokan harinya, dilaksanakan prosesi pujawali di Pura Duur Bingin. Yang bertepatan pada Umanis Buda Kliwon Pegat Uwakan.

“Saat piodalan berlangsung, dilakukan upacara ngingsah dan nyangling. Yang merupakan suatu prosesi menggunakan sebuah beras untuk dibersihkan. Pertanda bahwa pujawali akan segera dilaksanakan,” terang pria 40 tahun tersebut.

Ditanya apa saja yang dibawa saat ngerebeg, Jero Mangku Muda menjelaskan hanya membuat hiasan pada diri nampak seperti wong samar. Dan membawa sebuah penjor dari pohon enau dihiasi juga dengan bunga dan janur. Penjor tersebut ia terangkan sebagai senjata rencangan tersebut ketika malancaran (bepergian). Dan itu diselenggarakan agar rencangan di sana tidak ngera bedha (mengganggu) masyarakat.

Salah satu peserta yang ikut ngerebeg, I Gede Pasek Manik Pradana mengaku sudah ikut tradisi itu sejak dirinya TK. Bahkan setiap enam bulan sekali ia selalu mengikuti tradisi tersebut. Pasek juga mengatakan, makna dari nunas pica alit itu merupakan persembahan kepada anak-anak yang ikut ngerebeg. Dikarenakan wong samar sangat menyukai sosok anak-anak.

“Maka saat anak-anak sudah berkumpul di pura, terlebih itu akan mengikuti ngerebeg. Semua pasti akan merasakan sebuah kegembiraan. Saat macaru juga sambil bersorak-sorak menunjukkan kebahagiaan,” urai pemuda 25 tahun tersebut.

Selesai melakukan teradisi ngerebeg, Pasek juga mengaku akan kembali ke pura untuk melakukan persembahyangan lagi. Sebab selama ikut ngerebeg dianggap masih sebagai tapakan wong samar. Sehingga ke pura lagi untuk mengembalikan tapakan tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan membersihkan diri ke sungai, yaitu di beji Pura Taman desa setempat.

Ditanya dengan pewarna yang digunakan pada tubuhnya, Pasek mengaku menggunakan cat air yang sangat gampang dibersihkan dengan air. Bahkan Pasek juga mengaku tidak merasakan gatal pada kulitnya. Sebab sudah terbiasa menggunakan cat tersebut, terlebih yang ia gunakan pada tubuhnya setiap ngerebeg berlangsung.

Jika penasaran dengan berlangsung dengan tradisi tersebut, bisa datang langsung ke Desa Tegallalang, Gianyar. Yang ditempuh dari Kota Denpasar memerlukan waktu sekitar 45 menit saja. Menuju arah Pasar Sukawati ke utara, maka akan sampai di Patung Arjuna Ubud. Dari sana hanya lurus ke utara lagi tiga kilometer, maka akan sampai di Desa Tegallalang.

Sampai di sana, hanya belok kiri di utara Balai Banjar Penusuan, Tegallalang. Maka akan sampai di Jaba Pura Duur Bingin Desa Adat Tegallalang. Sedangkan tradisi tersebut berlangsung pada pukul 12.00 sampai sore hari. Kalau memang berminat, siapa saja boleh ngayah berhias seram tersebut.

(bx/ade/bay/yes/JPR) –sumber