KURMA: Perwujudan Dewa Wisnu sebagai Kurma atau Kura-kura yang memiliki lidah berupa senjata cakra menaklukan Watugunung. (ISTIMEWA)
Hari Suci atau rerahinan di Bali cukup banyak. Bahkan, hampir setiap minggu pada kalender Bali terdapat hari penting bagi umat Hindu. Namun, ada yang spesifik, salah satunya adalah Kajeng Kliwon Pamelastali atau Watugunung Runtuh. Bagaimana kisahnya?
Watugunung adalah nama wuku terakhir dari perhitungan pawukon di Bali. Nama Watugunung berasal dari cerita Watugunung. Konon Watugunung adalah sesorang yang kuat dan sakti. Wuku ini memiliki Urip 8 dan berada pada urutan ke-30. Banyak cerita yang berkembang tentang Watugunung. Dalam lontar Medang Kemulan disebutkan bahwa Watugunung merupakan putra Dewi Sintakasih yang merupakan permaisuri Kerajaan Kundadwipa.
Disebutkan Raja Kulagiri yang memerintah di Kundadwipa memiliki dua orang istri, yaitu Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia. Suatu ketika Raja Kulagiri sedang bertapa di Gunung Semeru, meninggalkan istrinya Dewi Sintakasih yang sedang mengandung. Semakin lama, perut Dewi Sintakasih kian membesar. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul Raja Kulagiri ke Gunung Semeru. Ternyata, di tengah perjalanan menuju puncak gunung, Dewi Sintakasih melahirkan tepat di atas batu besar yang datar. Tanpa disadari, sang bayi yang dilahirkan terjatuh.
Anehnya, sang bayi tak cacat sedikitpun. Yang lebih aneh lagi, batu besar yang ditimpa bayi tersebut malah terbelah menjadi dua bagian.
Atas anugerah Dewa Brahma, bayi Dewi Sintakasih tersebut diberikan nama I Watugunung. Dewa Brahma bersabda, bahwa Watugunung akan menjadi seseorang yang sakti dan terkenal, serta tidak akan mati terbunuh oleh Dewa, Detya, Denawa, Asura, maupun manusia. Namun, Watugunung dapat dikalahkan dan dibunuh oleh Dewa Wisnu yang berwujud sebagai kura-kura (Kurma).
Seiring berjalannya waktu,Watugunung mengalami pertumbuhan sangat pesat, nafsu makannya pun tinggi dan membuat ibunya kewalahan. Suatu hari, Watugunung meminta makan dan ibunya sudah kewalahan dan tidak mampu menahan emosinya. Akibatnya, kepala Watugunung dipukul oleh ibunya dengan sendok nasi, sehingga kepala Watugunung luka dan berdarah. Akibat kejadian itu, Watugunung pergi meninggalkan istana.
Konon, dalam perjalananya pergi meninggalkan kerajaan, ia menjadi seorang perampok. Semua kerajaan mampu ditaklukan Watugunung, termasuk Kerajaan Kundadwipa yang merupakan kerajaannya dahulu. Di sana ia menikahi Dewi Sintakasih yang tak lain adalah ibunya sendiri. Namun, suatu ketika, Dewi Sintakasih sedang mencari kutu di kepala Watugunung. Dilihatlah luka bekas pukulan sendok nasi di kepala Watugung. Akhirnya, karena merasa berdosa dan ingat bahwa yang bisa mengalahkan Watugunung hanya Dewa Wisnu, maka Dewi Sintakasih memohon kepada Watugunung agar menjadikan Dewi Sri Laksmi yang tak lain adalah istri Dewa Wisnu untuk dijadikan madu.
Kinginan itu membuat Dewa Wisnu menjadi marah besar. Namun, kemarahan Dewa Wisnu tidak membuat Watugunung takut, tetapi malah menantang Dewa Wisnu untuk berperang. Peperangan pun tidak dapat dihindari, Dewa Wisnu menjelma menjadi seekor Kurma atau kura-kura bersenjatakan cakra. Dan, sejurus kemudian Watugunung mampu dikalahkan oleh Dewa Wisnu. Dan, hari itu bertepatan dengan kekalahan Watugunung disebut sebagai Hari Watugunung Runtuh atau Kajeng Kliwon Pemelastali.
"Kajeng Kliwon Pamelastali juga diambil dari cerita Watugunung. Di mana, Watugunung sebagai orang yang sakti, namun tidak memiliki kepintaran. Hal inilah yang menjadi awal dari urutan Hari Suci Saraswati yang diyakini sebgai hari turunnya ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, yang mampu memerangi kebodohan adalah ilmu pengetahuan,” ujar Dosen Universitas Hindu Indonesia I Kadek Satria, S.Ag. M.Si. kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Jumat (13/1) lalu.
Dijelaskan Satria, Pamelas artinya melepaskan, dan tali memiliki arti sarana mengikat. Jadi, Pamelastali memiliki makna melepaskan ikatan. Ikatan apa yang dilepas? Yaitu ikatan kebodohan dan sifat buruk dari Watugunung.
Nah, setelah Watugunung kalah dalam peperangan dengan Dewa Wisnu, keesokan harinya ia menjadi mayat atau orang Bali menyebutnya dengan watang. “Sehingga, hari Senin setelah Watugunung Runtuh dinamakan Soma Candung Watang. Hari itu untuk memperingati bahwa Watugunung telah mati dan menjadi mayat,” ujar pria yang juga pimpinan Pasraman Pasir ukir di Buleleng ini.
Sedangkan keesokan harinya, mayat Watugunung diseret atau bahasa balinya dipaid oleh Dewa Wisnu, sehingga pada hari Selasa disebut sebagai hari Anggara Paid-paidan. Pada saat Watugunung diseret oleh Dewa Wisnu, ditemukanlah oleh Bhagawan Boda. Atas permohonan Bhagawan Boda, Dewa Wisnu mengizinkan agar Watugunung dihidupkan kembali. Oleh karena itu, pada hari Rabu dikenal dengan sebutan Budha Urip.
Setelah hidup kembali, Watugunung metegtegan (istirahat sejenak) terlebih dahulu, bagaimana halnya seperti orang baru bangun. Sehingga hari itu dinamakan hari Wraspati Panegtegan. Setelah itu, pada hari Jumat, Watugunung menyadari bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah kesalahan yang besar, sehingga ia harus memohon kepada Tuhan agar diberikan pengampunan. Dan, hari itu dikenal dengan sebutan Sukra Pangredanan.
Selanjutnya, puncak dari Wuku Watugunung adalah hari suci Saraswati, pada hari itu diyakini sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan yang dapat mengalahkan kebodohan. “Jadi, pada hari Minggu yang merupakan awal wuku Watugunung hendaknya kita melepaskan ikatan atau sifat buruk Watugunung, dan pada akhir wuku Watugunung kita memuja Tuhan sebagai anugerah atas ilmu pengetahuan,” tutup Satria.
https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/11/05/24602/begini-sejarah-kajeng-kliwon-pemelastali-dan-runtuhnya-watugunung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar