Rabu, 27 September 2023

PAHAM KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU

 


DEWA BUKANLAH TUHAN
Sampai sekarang paham Ketuhanan dalam agama Hindu masih belum dimengerti benar. Telah lama agama Hindu menjadi bulan-bulanan sebagai agama polytheis. Agama Hindu sebagaimana halnya dengan agama lainnya, adalah agama yang monotheis. Kadang-kadang tampak kepada kita bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Hindu pun menunjukkan ajaran yang monistis.
Sangat disayangkan hal-hal yang dimaksud itu disalah mengertikannya dan karena itu telah mengakibatkan tumbuhnya pengertian yang salah dan pemahaman yang keliru, dengan menganggap agama Hindu sebagai agama yang polytheis.
Menurut agama Hindu, Tuhan adalah "Esa", Maha Kuasa dan Maha Ada dan menjadi sumber dari segala yang ada dan tiada. Dewa-dewa adalah ciptaan-Nya.
Dewa berasal dari bahasa Sanskerta, urat kata "DIV" yang berarti sinar cahaya (sinar suci Tuhan). Sampai sekarang masih banyak yang salah mengartikannya dan beranggapan Dewa adalah Tuhan. Ajaran filsafat ketuhanan dalam agama Hindu hendaknya jangan mempersamakan kedua pengertian itu karena di dalam filsafat (Darsana), jangankan Dewa-dewa, semua ini tentu adalah Brahman (Tuhan), ini adalah konsepsi ajaran monitis di dalam agama Hindu.
Segala yang diciptakan ini bukan Tuhan. Dewa-dewa diciptakan sebagaimana alam semesta ini, untuk mengendalikan alam semesta itu. Dewa bukanlah Tuhan.
Dewa-dewa dihubungkan untuk satu aspek tertentu dan khusus dari phenomena alam semesta ini. Tiap aspek dikuasai oleh satu Dewa atau lebih dengan ciri-ciri atau lambang-lambang yang khusus pula.
Perbedaan Dewa dengan Brahman (Tuhan). Selama ini banyak orang sulit membedakan antara Dewa dengan Tuhan. Dewa keberadaannya dialam material, Dewa ditugaskan oleh Tuhan sebagai administrator alam material. Mengatur segala sesuatu dialam material. Alam Tuhan kekal, tidak pernah pralaya, sedangkan alam Dewa pralaya secara periodik. Tuhan pengendali alam rohani dan material, Dewa administrator alam material, Dewa tidak dapat memberi pembebasan, Tuhan dapat memberikan pembebasan. Tuhan adalah yang Maha Kuasa, Pengendali Tertinggi, sebab dari segalanya, tidak ada awal tidak ada akhir, bentuk yang kekal, penuh pengetahuan dan kebahagiaan. Memang masih banyak yang masih tidak paham perbedaan Dewa dengan Tuhan.

Tiap Dewa mempunyai "Sakti" yang tidak terpisah dari padanya sebagaimana halnya antara suami dengan istri. Sakti inilah yang diwujudkan dalam bentuk Dewi, dianggap sebagai istri Dewa. Hubungan antara Dewa saktinya banyak merupakan pokok dalam agama Hindu dan karena itu janganlah cepat menyimpulkan bahwa kepercayaan tentang ke-Tuhanan dalam agama adalah berkisar pada kepercayaan pada dewa-dewa dan dewi-dewi saja.
Tuhan menurut Hindu itu tidak laki maupun tidak perempuan dan juga tidak banci. Kita tidak bisa mengukur Tuhan yang bersifat tidak terbatas dengan ukuran-ukuran yang terbatas. Laki, perempuan dan banci itu hanya ukuran makhluk nyata dan terbatas. Ukuran itu hanyalah untuk membantu manusia dalam memahami sesuatu yang abstrak dan tak terbatas. Sebenarnya kekuatan hakikih Tuhan itu adalah purusa dan prakerti. Maka Tuhan juga dikatakan sebagai Ardhanareswari.
Sifat-sifat dan karakter Tuhan itu sangat banyak. Kalau dalam kenyataan bahwa kisah Dewa dalam Hindu ada laki atau perempuan itu hanyalah metode awam untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak dan tak terbatas. Malah dalam Upanisad dikatakan bahwa Tuhan itu Neti-neti yang artinya bukan ini dan bukan itu. Atau Tuhan itu jauh tetapi juga dekat. Tuhan itu memenuhi segala ruang. Beliau bersifat Wyapi Wyapaka, meresapi segala. Tidak ada suatu tempatpun yang Beliau tiada tempati. Beliau berada di sini dan berada di sana. Tuhan itu ada di mana-mana.

Tuhan yang di dalam agama Hindu merupakan Acintya (tak terpikirkan oleh akal manusia) melalui Nyasa (simbolisme) wujud-Nya dapat dihayalkan menurut fantasi manusia. Melalui Nyasa inilah idealisasi untuk tidak terhayalkan. Sifat rahasia karena esensi-Nya diluar kemampuan pikir manusia ia tersembunyi dalam kabut rahasia pengetahuan manusia. Sifat-sifat rahasia itu dipikirkan ke dalam bentuk Nyasa dengan cara-cara simbolis yang disebut Maya Sakti.
Mencapai yang tak terpikirkan sangat sulit bagi kita yang terbatas ini. Sedangkan wujud-Nya tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu mencapai-Nya dan kata-kata tak dapat menerangkan-Nya. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata hanyalah produk pikiran hingga tak dapat digunakan untuk menggambarkan kebenaran-Nya. Karena Tuhan sifatnya Acintya (tak terpikirkan dan tak berwujud). Sehingga kita membutuhkan simbol dan makna dari fungsi Tuhan itu sendiri untuk memudahkan pemahaman.
Tuhan Yang Maha Kuasa juga disebut " Hana Tan Hana" yaitu wujud yang ada tetapi tidak ada. Karena kita tidak mampu melihat wujud Tuhan. Namun sebenarnya Tuhan itu ada. Beliau disebut Sang Hyang Acintya artinya Tuhan tak dapat dibayangkan oleh manusia.
Tuhan itu tidak nampak oleh mata, namun dirasakan, diyakini ada, seperti nafas di dalam tubuh kita sendiri. Ia ada namun, bagaimana rupanya?


Sampai saat ini belum ada wujud patung dari Tuhan atau Brahman atau Sang Hyang Widhi, karena Beliau sifatnya Acintya (tak terpikirkan dan tak berwujud) yang ada adalah patung dari sinar suci Brahman (Tuhan) yang disebut dengan Dewa.
Patung Dewa-dewi itu menandakan bahwa fungsi Tuhan yang disebut Dewa berasal dari kata "DIV" yang artinya sinar. Sinar inilah yang digambarkan sesuai dengan fungsi Beliau.
Tuhan (Parama Siwa, Sang Hyang Widhi, Sang Sangkan Paraning Dumadi, Sang Hyang Titah, Sang Hyang Licin, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Acintya, dan sebutan lain) dipuja dalam manifestasi-manisfestasi tertentu sesuai dengan keinginan pemujanya (bhakta). Dewa-dewa yang dipuja dan ingin dihadirkan saat pemujaan tersebut disebut Ista Dewata. Banyaknya sebutan bukanlah cermin politheisme. Seperti halnya seseorang mempunyai sebutan lebih dari satu, misalnya sebutan di rumah, di kantor, di masyarakat, nama kecil, nama samaran, dan sebagainya bukanlah berarti orangnya banyak, melainkan hanya satu.
Bagi seorang yang masih sederhana jalan pikirannya tidaklah mungkin dengan mudah dapat mengenal-Nya. Lain halnya dengan menambahkan, tetapi namanya apa? Setiap orang akan memberi nama dan gelar kepada-Nya dengan nama-nama pilihan secara subyektif.
Mulai dari saat manusia menginginkan dan menghayalkan-Nya Ia diberi nama menurut pikiran manusia.
Yatrakama Wasayitwa adalah nama sifat Tuhan Yang Maha Kuasa itu juga. Yatrakama Wasayitwa artinya kehendak dan sifat kemahakuasaannya itu tidak dapat dihitung banyaknya. Pendeknya sifat dan kodratnya sangat banyak sehingga manusia tidak dapat menyebutkan satu persatu.
Dari uraian diatas jelas bahwa sifat Tuhan itu banyak. Tuhan Yang Maha Esa dengan sifat yang amat banyak. Manusia memberi nama sifat-sifat itu menurut pengertian manusia. Para Maha Rsi yang mula-mula memberi nama sifat-sifat itu. Nama-nama itu diberikan oleh para Maha Rsi pada zaman dahulu. Sejak Wahyu diturunkan. Waktu wahyu diturunkan manusia tidak dapat memberi nama kepada-Nya. Baru kemudian saja para Maha Rsi memberi nama kepada Tuhan yang tak bernama.
Kalau kita menamakan Tuhan itu warnanya merah tidak berarti Tuhan tidak mempunyai warna lain. Ia juga mempunyai warna yang putih. Ia juga mempunyai warna jingga. Ia juga mempunyai warna hijau. Semua warna ada padanya. Begitulah akhirnya Ia memiliki banyak nama. Apakah dengan nama yang banyak berarti Tuhan itu banyak? Tentu tidak bukan. Ia tetap Esa. Yang Maha Tunggal.
Sistem pemberian banyak nama kepada Tuhan sesuai peranan-Nya, dalam agama Hindu disebut "Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti" artinya "Tuhan itu satu tetapi para bijak menyebut-Nya dengan banyak nama".
Demikian Para Rsi menamakan Tuhan itu. Para Rsi itu disebut Vipra. Orang yang arif bijaksana. Orang yang ahli dan pandai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar