Sabtu, 22 Juni 2024

Memaknai Rahina Tumpek Landep

 



Sublimasi Pasu, Pasa Jadi Pasupati. Hari Raya Tumpek Landep akan dirayakan pada Saniscara Kliwon wuku Landep. “Tumpek” diambil dari kata “Tampa” berarti turun. Dalam kamus Jawa Kuno - Indonesia “Tampa” mendapat sisipan kata “Um”, sehingga menjadi kata “Tumampak” menurut Lontar Sundarigama berarti dekat. Kata “Tumampak” kemudian mengalami persenyawaan huruf “M” sehingga berubah menjadi “Tumpek”.
Maka Hari Raya Tumpek Landep dapat diartikan sebagai hari peringatan turunnya manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa ke Bumi. Hari Raya Tumpek Landep dapat juga diartikan sebagai upacara yadnya selamatan terhadap semua jenis alat yang tajam serta memohon kepada Bhatara Shiva dan Sang Hyang Pasupati agar semua alat / senjata tetap bertuah yang perayaannya dilakukan setiap 210 hari setiap Saniscara, Kliwon wuku Landep.
Di Bali sesuai siklus hitungan panca wara dan sapta wara ditemukan 6 (enam) kali Saniscara Kliwon dalam durasi 210 hari. Diawali perayaan Tumpek Landep. Kemudian Tumpek Wariga, dengan dengan Ista Dewata Sanghyang Sangkara. Selanjutnya, Tumpek Kuningan, dengan Ista Dewata Sanghyang Mahadewa, lalu Tumpek Krukut Sanghyang Semara Ratih, Tumpek Uye, disana dipuja Sanghyang Rare Angon,Sanghyang Iswara.
Nah pada Saniscara Kliwon umat Hindu menggelar pujawali Tumpek Landep. “Kunang ring wara Landep saniscara Kliwon pujawalin Bhatara Siwa Sambada,Muang yoganira Sang Hyang Pasupati pujawalinira Bhatara Siwa,”
Lalu bagaimana kita memaknai hari Tumpek Landep itu? Dalam afirmasi pujaan idealnya diarahkan kepada dewa pelebur dalam trinitas, yakni Shiva sebagai Hyang Pasupati. Mengacu ajaran Siwasidanta ditekankan adanya tiga tatwa pokok yakni Pasu, Pasa dan Pasupati. Nah, Pasu (binatang) dimaknai sebagai manusia yang masih dibungkus oleh awidya dan maya, ilusi, harus dengan tekad kuat, senantiasa menghilangkan sifat sifat binatang seperti marah, loba, iri, dengki , yang masih melekat pada diri kita.

Untuk mendapat anugerah Shiva, maka Pasa, (pengikat) harus dilepaskan, sehingga mencapai kesadaran Shiva. Ikatan yang dimaksud, berupa kecendrungan, hal hal duniawi, kemelekatan material. Itulah harus dilepaskan ikatannya (pasa) nya. Dengan melepaskan Pasa itu, maka secara gradual diharapkan menyadari hakekat shiva itu sendiri yakni Pasupati (Sanghyang Widhi).
Jadi untuk menghilangkan Pasu dan Pasa itu tidak mudah. Karena itu, di hari baik Tumpek Landep ini, Kita memohon dengan khusuk anugerah kepada Shiva Pasupati, sehingga bisa menghilangkan awidya dan kenikmatan ragawi, duniawi yang berkelebihan itu.
Nah terkait upakara banten sebagai simbolisasi tumpek Landep, maka disiapkan upakara atau bebantenan antara lain Sesayut Pasupati. Diaplikasikan untuk upacara semua jenis (Sarwa) senjata lelandeping perang yang tajam.
“Kalingania ikang Wang apasupati lelandeping idep,”
Nah, Lelandeping idep dalam menapak kehidupan ini, dengan menggunakan ketajaman pikiran. Itulah sebagai senjata utama konsentrasi, ekagrata, hening dalam hakekat Shiva Pasupata. Pikiranlah yang mesti diasah agar fokus, kosentrasinya tajam. Pikiran senantiasa disucikan dengan perbuatan kebenaran. Sedangkan jiwa dimurnikan dengan pengendalian diri.
Itulah makna simbolis sayut Pasupati. Bukan saja sesayut pasupati, ada juga sesayut Jayeng Perang dan sesayut kusumayudha.
Melalui ritual Tumpek Landep diharapkan kita senantiasa mendapat tuntunan ajaran suci untuk menegakkan dharma. Menjalankan shadana - disiplin - mengendalikan, mengkosentrasikan pikiran yang tajam mencapai kesadaran Shiva. Hal hal kontraproduktif yakni nafsu nafsu rendah, sifat sifat binatang, dalam diri harus dienyahkan, dipupus habis.
Bila kecendrungan tak baik itu tidak dikendalikan, maka itulah akan berubah menjadi “musuh” yang justru dapat menyesatkan, menenggelamkan sang jiwa.
“Tan Hana satru mengeluwihaning Hana geleng ri hati,”
Bagaimanapun kita harus senantiasa bisa menang dalam pertarungan panjang melawan musuh musuh , sifat sifat buruk yang melekat dalam diri. Itulah makna yang disimbolisasi menggunakan sayut Jayeng Perang, jaya, menang dalam perang kehidupan.
Jikapun toh setelah berjuang all out harus kalah dalam perang kehidupan ini, maka jadilah pahlawan sejati. Bukan justru mati sebagai budak nafsu. Hal itu disimbolkan dalam sayut Kusumayudha, tetap wangi , harum ia sebagai pahlawan.
Lalu bagaimana caranya memenangkan peperangan abadi itu ?
Mau tidak mau, kita harus membatasi keinginan, buat standar hidup yang mengkonstruksikan dharma, kejujuran dan kedamaian hati, dan mengaplikasikan kasih sayang secara membumi, kepada semua mahluk, dengan senantiasa laku agawe sukaning wong len, serta jangan biarkan mata dan telinga tanpa kontrol. 🌸

Tidak ada komentar:

Posting Komentar