Senin, 05 April 2021

Cara Membuat Sampiyan Gebogan

  Klik Disini Cara Membuat Sampiyan Gebogan


Sampiyan (sampyan; sampian) adalah simbol senjata yang dipergunakan untuk memerangi Adharma dari muka bumi dan juga sebagai wujud persembahan dan bhakti kita kehadapan Tuhan sebagai pencipta alam semesta sebagaimana yang disebutkan dalam gebogan yang menjulang mirip seperti gunung.


Bentuk dan jenis sampiyan :
Sampian dalam beberapa simbol dan tradisi di Bali juga disebutkan sebagai berikut :
    • sebagai lambang senjata Dewa Wisnu, dan senjata ini dipergunakan untuk memerangi Adharma dari muka bumi.
    • Selain simbol perang terhadap kejahatan, siat sampian juga untuk merayakan bersatunya berbagai sekte keagamaan di Bali, disamping untuk memohon kesejahteraan lahir dan batin.
    • Pada abad ke-10 Masehi, di Pura ini digelar pertemuan besar antar berbagai sekte yang ada di Bali dengan mediator pemerintah yang berkuasa di Bali waktu itu dengan hadirnya konsep pura Tri Kahyangan Jagat di Bali, Tri Murti (Tiga Dewa Utama) di setiap desa yang ada di Bali.
    • yang “Pada intinya, Siat Sampian itu bermakna untuk menyucikan Bhuana Agung (alam semesta) dan Bhuana Alit.

Tutorial Cara membuat Tipat Pusuh

   

Klik Disini untuk Tutorial Cara membuat Tipat Pusuh


Tipat (Ketipat atau Ketupat) adalah hidangan khas Asia Tenggara berbahan dasar beras yang dibungkus dengan pembungkus terbuat dari anyaman daun kelapa (busung) yang masih muda.

Konsep didalam Agama Hindu di Bali khususnya biasanya beragam jenis ketupat dalam salah satu artikel Udayana disebutkan digunakan untuk perlengkapan upakara (banten) dan dalam budaya Bali, konsep ini kemudian dipraktekan dengan wujud seni sebagai simbol kemakmuran dan kelimpahan rejeki yang harus disyukuri tiap harinya;
Jika hari raya tiba, setelah bersembahyang di Pura mereka saling mengunjungi dan saling “ngejot” (berkirim makanan ke tetangga dan sanak saudara). 
Ketupat di Pulau Bali, juga sering dipersembahkan sebagai sesajian upacara, menggabungkan antara Agama Hindu dan Budaya Jawa, janur (busung) dibentuk beraneka ragam yang melambangkan simbol ritual acara persembahyangan.

Dan adapun tipat sebagai perlengkapan banten yang digunakan dalam upacara Agama Hindu yaitu :
  • Tipat Nasi, sebatang janur lidinya disisakan lebih kurang 3cm.
  • Tipat Sirikan, Janur dililitkan pada telapak tangan.
  • Tipat Gatep, Janur dibentuk lingkaran vertikal.
  • Tipat Taluh, dibentuk 2 buah lingkaran.
  • Tipat Kukur, berbentuk burung perkutut.
  • Tipat Sari, berbentuk segitiga membucu.
  • Tipat Dampulan, bentuk kura-kura yang terbuat dari janur
  • Tipat Gong, agar mendapatkan kesembuhan dari berbagai penyakit.
Menelusuri jejak sejarah ketupat memang unik dan menyenangkan, belum tahu persis siapa pencipta awal mula ketupat ini, jika melihat fakta kebudayaan Jawa sebagai pusat episentrum budaya, maka tak salah jika berasal dari Tanah Air, hasil kreasi asli anak Bangsa, sehingga bisa menyebar menjadi hidangan khas Asia Tenggara.

Dan sebagai tambahan :
  • Ketipat Kelanan merupakan lambang terkendalinya sad ripu sehingga ada keseimbangan hidup.
  • Tipat Bantal sebagai rasa bhakti untuk memuja Dewa Sangkara dalam hal perlindungan bagi tumbuh-tumbuhan.
  • Belajar mengenal beberapa jenis tipat (IG) :
    • 1. Tipat lepet
    • 2. Tipat taluh
    • 3. Tipat sari
    • 4. Tipat sidakarya
    • 5. Tipat lepas lanang istri
    • 6. Tipat bagia
    • 7. Tipat gatep
    • 8. Tipat sedayu
    • 9. Tipat gelatik
    • 10. Tipat dampulan
    • 11. Tipat manuk dewata
    • 12. Tipat sidapurna
    • 13. Tipat kukur
    • 14. Tipat cakra
    • 15. Tipat pengambean
    • 16. Tipat pagehan
    • 17. Tipat lawangan
    • 18. Tipat sesapi
    • 19. Tipat pusuh
    • 20. Tipat lojor
    • 21. Tipat sirikan


Tutorial Cara membuat Tipat Pengambean

  

Klik Disini untuk Tutorial Cara membuat Tipat Pengambean


Tipat (Ketipat atau Ketupat) adalah hidangan khas Asia Tenggara berbahan dasar beras yang dibungkus dengan pembungkus terbuat dari anyaman daun kelapa (busung) yang masih muda.

Konsep didalam Agama Hindu di Bali khususnya biasanya beragam jenis ketupat dalam salah satu artikel Udayana disebutkan digunakan untuk perlengkapan upakara (banten) dan dalam budaya Bali, konsep ini kemudian dipraktekan dengan wujud seni sebagai simbol kemakmuran dan kelimpahan rejeki yang harus disyukuri tiap harinya;
Jika hari raya tiba, setelah bersembahyang di Pura mereka saling mengunjungi dan saling “ngejot” (berkirim makanan ke tetangga dan sanak saudara). 
Ketupat di Pulau Bali, juga sering dipersembahkan sebagai sesajian upacara, menggabungkan antara Agama Hindu dan Budaya Jawa, janur (busung) dibentuk beraneka ragam yang melambangkan simbol ritual acara persembahyangan.

Dan adapun tipat sebagai perlengkapan banten yang digunakan dalam upacara Agama Hindu yaitu :
  • Tipat Nasi, sebatang janur lidinya disisakan lebih kurang 3cm.
  • Tipat Sirikan, Janur dililitkan pada telapak tangan.
  • Tipat Gatep, Janur dibentuk lingkaran vertikal.
  • Tipat Taluh, dibentuk 2 buah lingkaran.
  • Tipat Kukur, berbentuk burung perkutut.
  • Tipat Sari, berbentuk segitiga membucu.
  • Tipat Dampulan, bentuk kura-kura yang terbuat dari janur
  • Tipat Gong, agar mendapatkan kesembuhan dari berbagai penyakit.
Menelusuri jejak sejarah ketupat memang unik dan menyenangkan, belum tahu persis siapa pencipta awal mula ketupat ini, jika melihat fakta kebudayaan Jawa sebagai pusat episentrum budaya, maka tak salah jika berasal dari Tanah Air, hasil kreasi asli anak Bangsa, sehingga bisa menyebar menjadi hidangan khas Asia Tenggara.

Dan sebagai tambahan :
  • Ketipat Kelanan merupakan lambang terkendalinya sad ripu sehingga ada keseimbangan hidup.
  • Tipat Bantal sebagai rasa bhakti untuk memuja Dewa Sangkara dalam hal perlindungan bagi tumbuh-tumbuhan.
  • Belajar mengenal beberapa jenis tipat (IG) :
    • 1. Tipat lepet
    • 2. Tipat taluh
    • 3. Tipat sari
    • 4. Tipat sidakarya
    • 5. Tipat lepas lanang istri
    • 6. Tipat bagia
    • 7. Tipat gatep
    • 8. Tipat sedayu
    • 9. Tipat gelatik
    • 10. Tipat dampulan
    • 11. Tipat manuk dewata
    • 12. Tipat sidapurna
    • 13. Tipat kukur
    • 14. Tipat cakra
    • 15. Tipat pengambean
    • 16. Tipat pagehan
    • 17. Tipat lawangan
    • 18. Tipat sesapi
    • 19. Tipat pusuh
    • 20. Tipat lojor
    • 21. Tipat sirikan


Kamis, 25 Maret 2021

Dalam Bhagawad Gita, Makan Makanan Sukla, Sama dengan Pencuri

 






Mpu Jaya Prema (AGUNG BAYU/BALI EXPRESS)





BALI EXPRESS, BALI - Ketika umat muslim memiliki, halal dan haram. Di Bali muncul branding makanan sukla. Namun yang menjadi tidak nyambung, Hindu mengenal apa pun yang sukla dipersembahkan ke Ida Sang Hyang Widhi. Apakah kita makan yang sukla atau lungsuran (setelah dihaturkan)?


Menurut Mpu Jaya Prema, Sukla adalah istilah budaya dalam masyarkat Hindu Bali yang mengandung pengertian makanan atau persembahan yang suci. Kalau merujuk pada ajaran agama, makanan atau apa pun menurut Mpu Jaya Prema yang disebut sukla adalah hal-hal yang akan dipersembahkan kepada Tuhan, baik melalui dewa dewi (Istadewata) maupun persembahan kepada leluhur.





Setelah dihaturkan dilanjutkan Mpu Jaya Prema, maka jadilah makanan itu prasadam yang di dalam bahasa Bali dipakai kata lungsuran atau paridan.


“Inilah yang akan kita makan, bukan memakan yang masih sukla,” jelas wartawan senior Tempo ketika masih walaka.

Jadi menurut Mpu Jaya Prema, istilah sukla tersebut dipakai untuk menunjukkan bahwa itulah makanan yang “layak makan” secara agama sangat bertentangan. Bahkan dianggap melanggar ajaran Hindu itu sendiri. Karena ajaran Hindu menyebutkan bahwa makanan yang “layak makan” adalah makanan yang sudah dipersembahkan terlebih dahulu. Prasadam atau lungsuran, itulah makanan yang utama.

Terkait makanan sukla ini, Mpu Jaya Prema menyebutkan jika ketentuan untuk mengkonsumsi makanan yang layak makan sudah diatur dalam Bhagawad Gita IV-31 yang berbunyi: Yajna sistamrta bhujo – yanti brahma sanatanam – nayam loko sty ayajnasya – kuto nyah kuru-sattama. Terjemahan bebasnya: “Mereka yang makan makanan suci yang setelah melalui suatu persembahan atau pengorbanan akan mencapai Brahman Yang Abadi (Tuhan). Dunia ini bukan untuk orang yang tak mau mempersembahkan suatu pengorbanan atau yadnya,” urainya.

“Bahkan dalam sloka lainnya disebutkan, mereka yang makan makanan yang belum dipersembahkan tak ubahnya seorang pencuri,” sambungnya.

Salah satu contohnya adalah ketika selesai memasak di dapur, umat dikatakannya tidak perlu memboyong semua makanan ke pura. “Para leluhur kita sudah memberikan contoh yang praktis dengan cara selesai memasak ambil sejumput nasi dan lauk yang kita makan, lalu persembahkan dengan istilah yang biasa disebut mesaiban atau ngejot atau mungkin kata lain sesuai budaya setempat,” lanjutnya.

Sedangkan jika makan di restoran atau tempat makan lainya, jika umat tidak yakin dengan makanan tersebut sudah dipersembahkan atau belum, maka umat Hindu dikatakan Mpu Jaya Prema bisa mempersembahkan makanan tersebut di tempat itu juga dengan cara mengambil sejumput nasi dan lauk, taruh di pinggir piring dan dilanjutkan dengan berdoa pendek, “Om anugraha amertha di sanjiwani ya namah swaha. Artinya, mari kita persembahkan makanan yang sukla itu dan mari kita makan sisa makanan (prasadam) sebagai makanan yang suci,” kata Mpu Jaya Prema.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Menyangkut dengan makanan, sehat mengacu ke sastra Hindu, kata Mpu Jaya Prema, Bhagawad Gita menguraikan dari sisi kesehatan dan pengaruhnya terbagi dalam tiga jenis yakni satwika (sattvik), rajasika (rajasik) dan tamasika (tamasik).

Dalam Bagawad Gita Bab XVII-8 menyebutkan ciri makanan yang bersifat satwika yakni makanan yang memperpanjang hidup dan menunjang kesucian, tenaga, kesehatan, kebahagiaan, dan kegembiraan, yang manis, lembut, penuh dengan gizi. Di sloka 9, disebutkan yang bersifat rajasika yakni makanan yang pahit, asam, bergaram, terlalu pedas, berbau, kering dan membakar, yang menimbulkan penderitaan, kesusahan dan penyakit. Di bab sama sloka selanjutnya (sloka 10) disebutkan yang bersifat tamasika yakni makanan yang tak segar, tak berasa, basi, tidak bersih.

Lebih lanjut dipaparkan Mpu Jaya Prema, makanan sattvik, ini bisa menambah kewibawaan, intelektualitas, kekuatan, kesegaran, kesehatan, kenikmatan lahir dan batin, kegembiraan, dan kebahagiaan hidup. Jenis makanan ini antara lain beras, gandum, mentega, buah-buahan segar. Selanjutnya adalah makanan rajasik untuk mereka yang masih diliputi dengan nafsu dan keinginan duniawi. Misalnya daging dan makanan yang penuh rasa. “Sedang makanan tamasik adalah jenis makanan yang disukai oleh mereka yang hidup dalam kegelapan. Misalnya yang membuat mabuk dan malas,” paparnya.



(bx/gek/bay/art/yes/JPR)

Rabu, 17 Maret 2021

Pengobatan Tradisional Ulat Gigi, masih Ada dan Diminati

  

Pengobatan Tradisional Ulat Gigi, masih Ada dan Diminati

TRADISIONAL: Prosesi pengobatan sakit gigi secara tradisional dengan mengeluarkan ulat pada gigi yang berlubang. (DEWA RASTANA/BALI EXPRESS)


BALI EXPRESS, SEMARAPURA - Di jaman yang serba modern, tidak bisa dipungkiri pengobatan tradisional masih menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat di Bali. Pengobatan tradisional dinilai menjadi salah satu alternatif, ketika penanganan medis dinilai tak mampu mengatasi keluhan yang dialami.

Salah satu pengobatan tradisional yang mungkin terdengar asing namun unik, yakni pengobatan sakit gigi. Pengobatan tradisional ini memang jarang terdengar. Tapi kenyataannya, pengobatan tradisional sakit gigi itu memang ada dan diminati sebagian orang. Dan uniknya pengobatannya dilakukan dengan cara mengeluarkan ulat yang bersarang pada gigi yang bermasalah.

Pengobatan yang berada di Banjar Koripan Kangin, Desa Banjarangkan, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung ini sudah sejak lama dilakoni I Wayan Cepeg, 70. Mungkin pengobatan ini tidak begitu dikenal masyarakat. Namun setiap harinya ada saja masyarakat yang datang untuk mengobati gigi mereka yang sakit.

Saat ditemui beberapa waktu lalu, Cepeg menuturkan, praktek pengobatan tradisional tersebut sudah dia lakukan sejak tahun 1980an. Awalnya, dirinya mengalami sakit gigi yang tidak kunjung sembuh, hingga dirinya mencari cara untuk menyembuhkan sakit gigi yang dialaminya. “Saya coba cari cara dan ketemu cara seperti ini,” ujarnya.

Cara yang dimaksud yakni dengan mengeluarkan ulat kecil yang bersarang pada gigi yang bermasalah, pada umumnya gigi berlubang. Namun hal itu tentu tidak terlepas dari bantuan niskala, yakni sesuhunan yang disungsung Cepeg. Hanya saja dia tidak bisa menyebutkan secara pasti. Konon katanya, Cepeg mendapatkan ilham pengobatan itu dari sesuhunan yang ada di Tukad Bubuh. Sebuah sungai yang tepat berada di sisi timur rumahnya. “Ya saya dibantu sesuhunan driki (disini) agar mepaice tamba (mendapatkan berkah obat),” lanjutnya.

Adapun tamba (obat) yang diberikan berupa minyak, yang pertama-tama akan dioleskan pada gigi pasien yang berlubang. Setelah sebelumnya Cepeg melakukan pengecekan pada gigi pasien, untuk mengetahui, apakah gigi pasien itu memang berisi ulat atau tidak. Jika iya, maka proses pengobatan akan dilanjutkan.

“Dicek dulu giginya, berisi ulatnya atau tidak,” sambung kakek 7 orang cucu tersebut.

Setelah dicek, maka Cepeg akan mengoleskan minyak pada gigi yang bermasalah tersebut. Sembari dirinya memanaskan celebingkah (pecahan genteng) dengan bantuan strongking.

Menurutnya, kini memanaskan celebingkah sudah lebih mudah dibandingkan dulu yang tanpa bantuan strongking. “Dulu menghidupkan api cukup lama. Lalu ada yang menawarkan saya bantuan untuk memodifikasi strongking yang saya punya, untuk memudahkan memanaskan celebingkah itu. Jadi sekarang lebih cepat,” paparnya.

Sambil menunggu celebingkah panas, dirinya juga menyiapkan sebuah paso (gerabah) dari tanah liat yang diisi air sedikit. Kemudian dia meletakkan sebuah batu di dalamnya. Batu inilah yang digadang-gadang juga merupakan paica dari sesuhunan yang disungsung Cepeg. Selanjutnya setelah celebingkah panas, maka celebingkah diletakkan diatas batu, kemudian ditutup menggunakan kau (tempurung kelapa) yang diatasnya sudah dipasang selang plastik kecil. Dengan segera, pasien diminta meletakkan ujung selang pada gigi yang bermasalah, lalu ditiup hingga air pada paso bergelembung.

“Nanti akan keluar ulatnya berwarna putih yang langsung masuk air. Uap dari celebingkah yang panas itu yang diperlukan. Kalau uapnya sudah habis celebingkah itu dipanaskan lagi,” tuturnya.

Dan benar saja, saat wartawan koran ini menyambangi rumah Cepeg, kebetulan pula ada seorang pasien yang sedang berobat. Ternyata setelah meniup selang tersebut, satu per satu ulat kecil berwarna putih keluar dan ‘berenang’ di dalam air di paso tersebut.

Praktek pengobatan tradisional ini bisa dibilang cukup sederhana. Bahkan tempat pengobatannya pun hanya pada sebuah bedeng di sisi timur rumah Cepeg. Namun pasien yang datang untuk berobat berasal dari berbagai daerah di Bali. Meskipun terdengar masih asing, namun keampuhan pengobatan Cepeg tidak diragukan lagi.

Hal itu diakui salah seorang pasien yang sudah beberapa kali melakukan pengobatan tersebut. Pria yang mengaku bernama I Made Narta, 34, mengatakan, dirinya memang memiliki satu gigi berlubang, dan kadang kala kambuh. Sehingga sakit giginya tak tertahankan, meskipun sudah sempat dibawa ke dokter. “Kemudian ada teman yang menyarankan agar dicari saja ulat giginya. Awalnya saya terkejut, kok ada pengobatan seperti ini. Tetapi saya penasaran, akhirnya saya coba datang,” ujarnya.

Dan benar saja, setelah ulat gigi dikeluarkan, rasa sakit yang dialaminya langsung hilang dan jarang kambuh lagi. Bagi pasien yang ingin berobat, juga cukup membawa canang dan diisi sesari seikhlasnya.

(bx/ras/yes/JPR)


Sabtu, 13 Maret 2021

Hari Baik Menikah 2021

 






Penyusun Kalender Bali, Gede Marayana. (Putu Mardika/Bali Express)

Bila ingin melaksanakan Pawiwahan (menikah) di tahun 2021, ada sejumlah hari baik (Dewasa Ayu) yang bisa jadi pertimbangan.


Penyusun Kalender, Bali Gede Marayana merekomendasikan ada beberapa tanggal yang baik bagi umat Hindu untuk melaksanakan upacara Pawiwahan di tahun 2021 ini.





Ia menyebut, khusus di Bulan Januari dan Februari memang tidak ada padewasan yang sesuai dengan wewaran, pawukon, tanggal sasih, dauh. Sedangkan di bulan Maret, yang merupakan Sasih Kedasa, ia menyebut hanya ada pada tanggal 31 Maret. “Sasih baik, hari baik, wuku baik. Hanya saja pangelong,” jelasnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Kamis (3/4) siang.


Sedangkan di bulan April, dewasa Nganten ada pada tanggal 2 April. Dimana kasusnya sama seperti Maret. Wuku, hari, dan sasihnya baik. “Nanti bisa disempurnakan padewasaannya dengan banten Pamarisudha atau Carun Dewasa,” jelasnya.

Sedangkan untuk Mei, Juni dan Juli tahun 2021 disebutnya tidak ada satupun padewasaan yang disarankan. “Sasih Karo yang biasanya bulan Juli juga belum tepat untuk upacara Pawiwahan,” imbuhnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Lanjut di Bulan Agustus, dikatakan Marayana ada sejumlah padewasaan yang direkomendasikan. Diantaranya tanggal 9, 12, dan 20 Agustus 2021. Di tanggal tersebut dikatakan Marayana, memiliki unsur yang baik. “Hanya saja tanggal 20 Agustus itu ada Was Penganten,” bebernya.

Selanjutnya di bulan September atau sasih Kapat. Ia menyebut ada dua tanggal yang dianjurkan, yakni tanggal 9 dan 16 September. Kemudian di bulan Oktober ada tanggal 8 Oktober. “Sedangkan di bulan November itu sudah tidak ada. Memang sasihnya bagus. Hanya saja Nguncal Balung. Begitu juga Desember tidak ada dewasa Nganten,” katanya.

Namun, Marayana kembali menegaskan, tradisi padewasan di Bali tidaklah kaku. Tradisi padewasan bisa diberlakukan secara luwes, sesuai dengan kepentingan yang lebih besar. “Nanti akan menyesuaikan jika ada hal-hal yang sifatnya sangat mendesak. Kembali ke iksa (tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat), dan kala (waktu),” tutupnya.



Jumat, 12 Maret 2021

Jasa tukang bangunan dan borongan Denpasar

 






MENYEDIAKAN JASA BANGUNAN YANG PROFESIONAL & TERPERCAYA UNTUK KEBUTUHAN ANDA.
- RENOVASI RINGAN, SEDANG DAN BERAT
- BANGUN BARU RUMAH, KANTOR, KIOS, RUKO, APARTEMEN, GEDUNG BERTINGKAT, KONTRAKAN, KOST-KOSTAN, CLUSTER, KAVLING, PASAR.
- INSTALASI AC
- INSTALASI SISTEM PIPA DLL

Hubungi : 0821-4684-7793