Sabtu, 07 Mei 2022
Nyekah
Kertas Ulantaga
Rabu, 04 Mei 2022
Ciri Karang Panes - Lontar Bhama Kertih
Selasa, 03 Mei 2022
SEJARAH 17 GUNUNG BERAPI PULAU BALI
Oleh : I Nyoman Kurniawan
Senin, 02 Mei 2022
Malukat di Pancoran Solas, Sembuhkan Penyakit Kritis
Pancoran Solas yang terdapat di Banjar Guliang Kangin, Tamanbali, Bangli, diyakini punya tuah magis. Bila malukat di sebelas pancoran ini, orang yang mengidap penyakit kritis bisa diberkati kesembuhan.
Pemangku Pancoran Solas, Mangku I Nyoman Danu mengatakan, dinamai Pancoran Solas karena pancuran yang ada seluruhnya berjumlah sebelas. Warga sangat meyakini bila malukat (membersihkan diri dengan cara mandi di air suci) di Pancoran Solas akan dapat menghilangkan penyakit yang diakibatkan gangguan non medis.
“Kalau sejarahnya kurang tau persis. Saya hanya mengetahui pancuran tersebut memang ada sejak dulu. Difungsikan msyarakat sebagai tempat mlasti dan digunakan untuk malukat saat rahinan,” terang Mangku I Nyoman Danu yang kerap dipanggil Jro Hyang Danu, ketika ditemui Bali Express (Jawa Pos Group) di rumahnya, pekan kemarin.
Dikatakannya, pamedek yang datang malukat tak jarang yang menghubunginya dari luar daerah Bangli. Bahkan, sempat juga ada yang berasal dari luar Bali. “ Banyak yang malukat dikarenakan mengalami sakit yang parah. Orang yang sakit stroke bias diberkati kesembuhan setelah malukat,” ujarnya.
Pelaksanaan malukat di Pancoran Solas bisa dilaksanakan pagi,siang, atau malam hari, tergantung dari pamedek yang dating. Bahkan lebih sering yang mengalami sakit, malukat pada malam hari. Biasanya bertepatan dengan rerahinan Bali seperti Kajeng Kliwon, Purnama, dan Tilem. “Sempat ada yang datang dari luar Bali, mereka datang karena ada seseorang yang menyarankan agar malukat di Pancoran Solas, karena sudah lama menderita stroke. Bahkan orang tersebut sudah pasrah dengan hidupnya, lantaran sakitnya tak kunjung sembuh,” terang Jro Hyang Danu.
Dikatakan Jro Hyang, kedatangan yang kedua kalinya, orang stroke tersebut, ternyata sudah bisa berjalan seperti biasa. Jro Hyang Danu juga mengaku awalnya tidak percaya akan khasiat pancoran tersebut. ‘Di samping tuah dari malukat, kesembuhan juga tergantung karma seseorang,” ungkapnya.
Ditambahkannya, sempat ada yang karauhan (kesurupan) sambil berteriak-teriak di areal panglukatan, tepat berada di bawah pancoran yang nomor tiga dari utara. Sebab, pada pancuran tersebut sebagai tirta yang menghilangkan penyakit non medis.
Ditegaskannya, pancoran yang digunakan untuk malukat berjumlah 10 pacuran. Sedangkan lagi satu pancoran, terdapat pada areal palinggih di atas pancuran, yang kerap digunakan untuk prosesi upacara ke Dewa Yadnya.
Dijelaskan Jro Hyang Danu, kalau terkena penyakit bebai (ilmu hitam), setelah malukat akan sembuh total. “Biasanya bila ada penyakit, yang malukat akan muntah-muntah. Sehingga dapat langsung diobati dengan cara dilukat terus pada pancuran tersebut,” terangnya.
Selain untuk yang menangani sakit non medis, Jro Hyang Danu juga mengungkapkan sempat juga ada pamedek yang datang untuk malukat dengan tujuan agar diberikan keturunan. Dikarenakan sudah lama menikah, namun tak kunjung memiliki keturunan. “Sama seperti orang yang dari luar Bali itu, yang datang itu ditunjukkan oleh kerabatnya. Bahkan, ketika datang kembali ke dua kalinya sudah mengajak anak,” terang pria 60 tahun tersebut.
Sarana yang harus dibawa saat malukat, lanjut Jro Hyang Danu, harus menggunakan sebuah canang. Jika akan ke palinggih yang ada di atas pancoran mesti menggunakan sebuah pajati. Prosesnya adalah menghaturkan canang satu per satu pada setiap pancoran. Kemudian melakukan panglukatan dari pancoran yang paling Utara ke Selatan. Pada saat malukat juga harus disirat sebanyak 11 kali, kemudian diminum tiga kali, dan untuk cuci muka sebanyak tiga kali. Setelah itu, baru melakukan panglukatan ke semua badan, terutama pada bagian tubuh yang mengalami sakit.
Setelah selesai, dilanjutkan dengan menghaturkan sebuah pajati di palinggih pancoran yang berbentuk sebuah Padmasana. Pajati tersebut akan dihaturkan pemangku beji, yaitu Jro Hyang Danu sendiri, sebab yang boleh ke areal palinggih hanya pemangkunya saja. Setelah menghaturkan pajati dan nunas tirta yang ada pada Padmasana, dilanjutkan dengan melaksanakan persembahyangan, memohon agar apa dari tujuan malukat diberkati.
Khusus pada pancoran yang nomor tiga, lanjut Jro Hyang Danu, diyakini sebagai tirta penyembuh berbagai macam penyakit. Sedangkan sisanya sebagai panglebur mala. “Jika tidak kuat malukat pada pancoran nomor tiga itu, pasti akan muntah-muntah. Bahkan di sana juga kerap orang yang mengalami karauhan,” terang pria asli Guliang Kangin tersebut.
Pada areal panglukatan, ada pamedek yang telah selesai malukat. Komang Ayu Bagi Widiarsini ini, mengaku baru pertama kali dating karena dikasitau rekannya. “Suasananya sangat indah sekali, terlebih juga airnya yang segar. Lokasinya di bawah tebing, mengakibatkan sedikit capek. Namun, ketika malukat capek itu terbayarkan dengan segarnya air pancoran,”papar perempuan dari Singaraja tersebut.
“Saya datang agar diberkati keturunan karena sempat juga keguguran, mudahan mendapat restu,” harapnya.
Jika penasaran dengan pancuran tersebut, tidaklah susah mencarinya. Hanya memerlukan waktu sekitar 15 menit dari Lapangan Astina Gianyar, menuju ke timur melewati lampu traffic light Sidan, perbatasan Klungkung, Bangli dan Gianyar.
Sesampai di Lapangan Tulikup belok ke kiri, menuju tempat wisata Taman Nusa. Dari Taman Nusa hanya sekitar 900 meter saja, maka akan sampai di Banjar Guliang Kangin, Tamanbali, Bangli. Di pinggir jalan terdapat papan nama yang bertuliskan Pancoran Solas. Dari papan nama masih harus berjalan ke timur sekitar 300 meter unutk sampai di tempat parkir. Namun, untuk sampai di pancoran, harus menuruni tangga sekitar 200 anak tangga. Bila merasa ragu, bisa menghubungi jro mangku dan bendesa adat setempat, yang nomornya sudah ada tertera di papan, dan rumahnya juga tidak jauh dari parkiran.
(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber
Jumat, 29 April 2022
Buda Kliwon Matal dan Kajeng Kliwon
Kamis, 28 April 2022
Pengertian Asta Aiswarya
Pengertian Asta Aiswarya dan Bagian-bagianya
HINDUALUKTA-- Asta Aiswarya berasal dari bahasa sansekerta, yang terdiri dari kata "asta" yang berarti delapan dan kata "aiswarya" yang berarti kemahakuasaan. Jadi asta aiswarya yaitu delapan sifat kemahakuasaan dari Ida Sang Hyang Widhi.
Asta Aiswarya juga biasa disebut sebagai bentuk dan sifat ke-Maha-Kuasa-an Sanghyang Widhi skala dan niskala, yang terdiri dari delapan kekuatan, sehingga Aiswarya sering pula disebut Asta Aiswarya. Adapun dari kedelapan bagian tersebut yakni sebagai berikut:
Anima: sangat halus
Laghima: sangat ringan
Mahima: sangat besar dan sangat luas, tak terbatas
Prapti: dapat mencapai segala tempat
Isitwa: melebihi segala-galanya
Prakamya: kehendak-Nya selalu tercapai
Wasitwa: sangat berkuasa
Yatrakamawasayitwa: kodrati tidak dapat diubah
Dalam Hindu, dari kedelapan bentuk dan sifat ini dipercaya bersemayam pada-Nya yang dilambangkan sebagai Singhasana meliputi seluruh alam semesta, terpusat pada empat kekuatan aktif, yaitu: Dharma (hukum), Jnyana (pengetahuan), Wairagya (kesempurnaan), dan Aiswarya atau kekuasaan.
Niyasa (lambang) Singhasana (singa) ini disebut pula Catur Aiswarya karena dihubungkan dengan empat jenis bentuk Sakti-Nya yang berkedudukan disetiap sudut Anantasana, yaitu:
Dharma berkedudukan di tenggara (agneya) sebagai singa putih
Jnyana berkedudukan di barat-daya (nairity) sebagai singa merah
Wairagya berkedudukan di barat-laut (wayabya) sebagai singa kuning
Aiswarya berkedudukan di timur-laut (airsaniya) sebagai singa hitam
Mengapa menggunakan niyasa Singha? Karena Singha (singa) adalah mahluk alam yang paling kuat dan berkuasa. Sehingga niyasa singha berarti pula symbol kekuatan dan kekuasaan.
Keempat niyasa shakti-shakti Sanghyang Widhi itu akan membawa kebaikan bagi manusia bila dalam pemujaan menggunakan mudra dan bija- mantra yang tepat yakni Untuk singha putih dengan mudra Sara, dan bija-mantra Reng, menimbulkan perasaan mendalam dan aktif. Untuk singha merah dengan mudra Sikha, dan bija-mantra Rreng, memberi kepuasaan. Untuk singha kuning dengan mudra Kawaca, dan bija-mantra Leng, memberi kesejahteraan seluruh alam
Untuk singha hitam dengan mudra Parasu, dan bija-mantra Ling, menimbulkan rasa kagum.Yang dimaksud dengan kebaikan bagi manusia, seperti yang disebutkan di atas, adalah perasaan yakin dan dekat kepada Sanghyang Widhi, sehingga dapat mengharapkan Aiswarya Atman pada diri manusia setidak-tidaknya menyerupai atau mendekati kesamaan dengan Aiswarya Brahman (Sanghyang Widhi).