Minggu, 12 Juni 2022
KESUSASTRAAN SEBAGAI LANDASAN KEMBALI PADA DRESTA BALI DAN NUSANTARA
Nawa gempang caru penglukatan karang panes



Rabu, 01 Juni 2022
Makna Hari Raya Soma Ribek
Tanggal 16 Oktober merupakan hari pangan yang diperingati oleh dunia internasional. Umat Hindu Bali juga memiliki peringatan hari pangan yakni hari raya Soma Ribek. Hari raya Soma Ribek jatuh pada Soma (Senin) Pon wuku Sinta, dua hari setelah hari raya Saraswati.
Mengapa Soma Ribek diidentikkan sebagai hari pangan ala Bali? Menurut lontar Sundari Agama, teks tradisional yang dijadikan salah satu rujukan hari-hari raya suci Hindu. Soma Ribek adalah hari pemujaan Sri Amerta (manifestasi Hyang Widhi Wasa yang memberikan kemakmuran berupa bahan makanan, seperti beras dan lainnya. Awam biasa menyebut Soma Ribek sebagai hari piodalan (peringatan kelahiran) beras sebagai sumber pangan utama.
Maka dari itu, saat Soma Ribek, umat Hindu Bali akan menghaturkan sesaji di tempat-tempat yang memiliki kaitan erat dengan beras, seperti lumbung atau jineng (tempat penyimpanan padi) serta pulu (tempat penyimpanan beras). Sesaji yang dihaturkan lazimnya berupa banten khusus yang berisi nyanyah geti-geti, gringsing, raka-raka (buah-buahan), pisang emas, dan bunga-bunga harum. Dalam masyarakat Hindu Bali, seperti lazimnya masyarakat di Nusantara, padi atau beras memang memiliki makna khusus. Buktinya, banyak daerah di Nusantara memiliki cerita rakyat tentang asal mula padi atau beras. Masyarakat Nusantara melihat padi atau beras sebagai simbol kemakmuran.
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI
Pada hari Soma Ribek, umat Hindu Bali disadarkan tentang betapa pentingnya pangan dalam kehidupan ini. Tanpa pangan manusia tidak bisa hidup dan menjalani kehidupannya. Karenanya, manusia pantas berterima kasih dan mengucap syukur ke hadapan Sang Pencipta atas karunia pangan yang melimpah.
Pantangan menumbuk padi serta menjual padi dan beras ini tersurat dalam lontar Sundarigama yang secara tradisi selama ini menjadi rujukan pelaksanaan hari raya Hindu di Bali. Para petani Bali yang masih taat pada tradisi yang bersumber pada teks biasanya akan menghentikan segala kegiatan bertani di sawah saat hari Soma Ribek. Mereka berkonsentrasi memuja Sang Hyang Sri Amertha, manifestasi Tuhan sebagai pemberi anugerah kemakmuran, segala jenis pangan.
Penyusun buku Rerahinan Hari Raya Umat Hindu, Wayan Budha Gautama menyebutkan ada tiga kegiatan utama yang dipantangkan saat hari Soma Ribek, yaitu mengetam padi dan memetik buah-buahan, menumbuk padi dan menyosoh gabah, serta menjual hasil pertanian termasuk tidak menjual beras. “Apabila hal-hal tersebut dilanggar, umat manusia akan dikutuk Batari Sri dan akan senantiasa mendapat kesulitan di bidang pangan,” tulis Budha Gautama.
Pantangan menumbuk padi serta menjual padi dan beras merupakan cara manusia Bali menghormati serta memuliakan Batari Sri yang telah menganugerahkan pangan bagi umat manusia. Dalam tradisi Bali, cara yang lazim ditempuh untuk menghormati atau memuliakan dengan jalan brata (berpantang). Tengok saja brata atau pantangan membaca dan menulis saat hari Saraswati untuk memuliakan Sang Hyang Aji Saraswati yang memberikan anugerah ilmu pengetahuan kepada umat manusia. Begitu juga pantangan bertransaksi tunai atau sehari tanpa uang saat hari Buda Wage Kelawu untuk menghormati dan memuliakan Sri-Sadhana yang menganugerahkan kemakmuran berupa dana (uang). Bahkan, manusia Bali menandai pergantian tahun Saka dengan menghentikan segala aktivitas melalui catur brata penyepian dalam Nyepi. –sumber
Mahakali : Menyeramkan Namun Penuh Kasih
Dewi yang paling ditakuti adalah Mahakali, yang merupakan perwujudan kemarahan Dewi Parvati atau Dewi Uma. Kali merupakan shakti Dewa Shiwa yang diyakini sebagai penghuni tempat kremasi atau setra.
Dewi Kali adalah penguasa waktu, berasal dari bahasa sansekerta Kaal yang berarti waktu. Kehadiran Dewi Kali tidak bisa dihindari karena merupakan bagian dari perjalanan waktu.
Kali digambarkan sebagai sosok dewi yang menggunakan kalung tengkorak manusia dengan aksesorisnya, sementara senjatanya adalah tri sula dengan menghunus pedang untuk siap menebas segala kejahatan dunia.
Mahakali dalam sastra Hindu diwujudkan sebagai kemarahan Dewi Parvati. Munculnya kekuatan Kali yang setara dengan Dewa Siwa tidak ada yang bisa mengalahkan. Mahakali dengan kemarahannya menumpas kejahatan para asura atau kaum raksasa.
Disisi lain, Mahakali dengan wujud bengis menyeramkan merupakan sosok yang mahakasih. Memuja Mahakali diharapkan manusia mampu menumpas segala macam kejahatan dalam diri.
Mahakali penganugerah keselamatan bagi pemuja-Nya. Wujud Mahakali dikisahkan kembali dari kemarahannya ketika Dewa Siwa yang tiada lain adalah suaminya berserah diri dengan penuh pengorbanan untuk diinjak oleh Mahakali.
Setelah tahu bahwa yang diijak adalah suaminya, Mahakali menjadi sangat bersedih dan merasa bersalah sehingga kembali berwujud Parvati. Pengorbanan Dewa Siwa sebagai simbol pengorbanan kasih mengembalikan kemarahan menjadi kasih dan juga simbol pengorbanan suami melayani istri. (SB-Skb) –sumber
Senin, 30 Mei 2022
Bhagavadgita Sifat Rohani Dan Sifat Jahat

Bhagavadgita Bab XVI - Sifat Rohani Dan Sifat Jahat
Bhagavad-gita 16.1-3
16.1-3 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; kebebasan dari rasa takut; penyucian kehidupan; pengembangan pengetahuan rohani; kedermawanan; mengendalikan diri; pelaksanaan korban suci; mempelajari veda; pertapan; kesederhanaan; tidak melakukan kekerasan; kejujuran; kebasan dari amarah; pelepasan ikatan; ketenangan; tidak mencari-cari kesalahan; kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup; pembebasan dari loba; sifat lembut; sifat malu; ketabahan hati yang mantap; kekuatan; mudah mengampuni; sifat ulet; kebersihan; kebebasan dari rasa iri dan gila hormat- sifat-sifat rohani tersebut dimiliki oleh orang suci yang diberkati dengan sifat rohani, wahai putera Bharata.
Bhagavad-gita 16.4
16.4 Sikap bangga, sikap sombong, sikap tak peduli, amarah, sikap kasar, dan kebodohan-sifat-sifat ini dimiliki oleh orang yang bersifat jahat, wahai putera prtha.
Bhagavad-gita 16.5
16.5 Sifat rohani menguntungkan untuk pembebasan, sedangkan sifat jahat mengakibatkan ikatan. Wahai putera pandu, jangan khawatir, sebab engkau dilahirkan dengan sifat-sifat suci.
Bhagavad-gita 16.6
16.6 Wahai putera prtha, di dunia ini ada dua jenis makhluk yang diciptakan. Yang satu disebut suci dan yang lain jahat. Aku sudah menerangkan sifat-sifat suci kepadamu secara panjang lebar. Sekarang dengarlah dari-Ku tentang sifat-sifat jahat.
Bhagavad-gita 16.7
16.7 Orang jahat tidak mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak seharusnya. Kebersihan, tingkah laku yang pantas dan kebenaran tidak dapat ditemukan dalam diri mereka.
Bhagavad-gita 16.8
16.8 Mereka mengatakan bahwa dunia ini tidak nyata, tidak ada dasarnya dan tidak ada Tuhan yang mengendalikan. Mereka mengatakan bahwa dunia ini dihasilkan dari keinginan untuk hubungan kelamin, dan tidak ada sebabnya selain nafsu birahi.
Bhagavad-gita 16.9
16.9 Dengan mengikuti kesimpulan-kesimpulan seperti itu, orang-orang jahat, yang sudah kehilangan dirinya dan tidak memiliki kecerdasan sama sekali, menekuni pekerjaan yang tidak menguntungkan dan mengerikan dimaksudkan untuk menghancurkan dunia.
Bhagavad-gita 16.10
16.10 Dengan berlindung kepada hawa nafsu yang tidak dapat dipuaskan, terlena dalam rasa sombong dan kemasyuran yang palsu, orang jahat yang berkhayal seperti itu selalu bertekad melakukan pekerjaan yang tidak bersih, sebab mereka tertarik kepada hal-hal yang tidak kekal.
Bhagavad-gita 16.11
Bhagavad-gita 16.12
16.11-12 Mereka percaya bahwa memuaskan indria-indria adalah kebutuhan utama peradaban manusia. Karena itu, sampai akhir hidupnya, kecemasan mereka tidak dapat diukur. Mereka diikat oleh jaringan beratus-ratus ribu keinginan dan terikat dalam hawa nafsu dan amarah. Mereka mendapat uang untuk kepuasan indria-indria dengan cara-cara yang melanggar hukum.
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI
Bhagavad-gita 16.13
Bhagavad-gita 16.14
16.13-15 Orang jahat berpikir; “Sekian banyak kekayaan kumiliki hari ini, dan aku akan memperoleh kekayaan lebih banyak lagi menurut rencana-Ku. Sekian banyak kumiliki sekarang, dan jumlah itu bertambah semakin banyak pada masa yang akan datang. Dia musuhku, dan dia sudah kubunuh, dan musuh-musuhku yang lain juga akan terbunuh. Akulah penguasa segala sesuatu. Akulah yang menikmati. Aku sempurna, perkasa dan bahagia. Aku manusia yang paling kaya, diiringi oleh keluarga yang bersifat bangsawan. Tiada seorang pun yang seperkasa dan sebahagian diriku. Aku akan melakukan korban suci, dan memberi sumbangan, dan dengan demikian aku akan menikmati” Dengan cara seperti inilah, mereka dikhayalkan oleh kebodohan.
Bhagavad-gita 16.16
16-16 Dibingungkan oleh berbagai kecemasan seperti itu dan diikat oleh jala khayalan, ikatan mereka terhadap kenikmatan indria-indria menjadi terlalu keras dan mereka jatuh ke dalam neraka.
Bhagavad-gita 16.17
16.17 Malas dalam diri sendiri dan selalu kurang sopan, berkhayal karena kekayaan dan penghormatan palsu, kadang-kadang mereka melakukan korban suci secara bangga hanya dalam nama saja, tanpa mengikuti aturan dan peraturan sama sekali.
Bhagavad-gita 16.18
16. 18 Orang jahat dibingungkan oleh keakuan palsu, kekuatan, rasa bangga, hawa nafsu dan amarah sehingga mereka menjadi iri terhadap kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, yang bersemayam di dalam badan mereka sendiri dan juga di dalam badan orang lain, dan mereka menghina dharma yang sejati.
Bhagavad-gita 16.19
16.19 Orang yang iri dan nakal, manusia yang paling rendah, untuk selamanya kubuang ke dalam lautan kehidupan material, di dalam berbagai jenis kehidupan yang jahat.
Bhagavad-gita 16.20
16.20 Setelah dilahirkan berulang kali di tengah-tengah jenis-jenis kehidupan yang jahat, orang seperti itu tidak pernah dapat mendekatiku, wahai putera Kunti. Berangsur-angsur mereka merosot hingga mencapai jenis kehidupan yang paling menjijikan.
Bhagavad-gita 16.21
16.21 Ada tiga pintu gerbang menuju neraka tersebut-hawa nafsu, amarah, dan loba. Setiap orang waras harus meninggalkan tiga sifat ini, sebab tiga sifat ini menyebabkan sang roh merosot.
Bhagavad-gita 16.22
..16.22 Orang yang sudah bebas dari tiga gerbang neraka tersebut melakukan perbuatan yang menguntungkan untuk keinsafan diri dan dengan demikian berangsur-angsur ia mencapai tujuan yang paling utama, wahai putera Kunti.
Bhagavad-gita 16.23
16.23 Orang yang meninggalkan aturan kitab suci dan bertindak menurut kehendak sendiri tidak mencapai kesempurnaan, kebahagiaan maupun tujuan tertinggi.
Bhagavad-gita 16.24
16.24 Karena itu, seharusnya seseorang mengerti apa itu kewajiban dan apa yang bukan kewajiban menurut peraturan kitab suci. Dengan mengetahui aturan dan peraturan tersebut, hendaknya ia bertindak dengan cara supaya berangsu-angsur dirinya maju ke tingkat yang lebih tinggi.
Sumber : cakepane.blogspot.com
Minggu, 29 Mei 2022
Makna dan Ritual Saat Hari Pemacekan Agung
BALI EXPRESS, DENPASAR – Pemacekan Agung adalah hari raya umat Hindu sebagai pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Prameswara, yang dirayakan setiap Soma Kliwon Wuku kuningan. Hal itu dilaksanakan dengan menghaturkan yadnya untuk memohon keselamatan.
“Sore hari (sandikala) menghaturkan segehan di halaman rumah dan di muka pintu pekarangan rumah yang ditujukan kepada Sang Kala Tiga Galungan beserta pengiringnya agar kembali dan memberi keselamatan,” ujar Dekan Fakultas Pendidikan Agama dan Seni UNHI, Dr. I Made Yudabakti, S.sp, M.Si yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group).
Lebih lanjut dijelaskan, kata Pemacekan Agung berasal dari kata Pacek yang dapat diberikan arti Tapa. Sedangkan kata Agung berarti kuat atau teguh. Dengan demikian, makna pelaksanaan hari suci Peemacekan Agung yakni karena telah kuat tapanya para umat Hindu terhadap godaan Sang Kala Tiga, sehingga Sang kala Tiga dapat di-somya dan kembali ke sumbernya.
Pemacekan Agung jatuh pada hari kelima setelah perayaan Hari Suci Galungan Pemacekan berarti ‘saat menancapkan sesuatu’ dan kata Agung berarti ‘besar, mulia, utama’. Secara filosofis Pemacekan Agung mengandung makna, bahwasanya hari ini manusia diingatkan agar ‘kemenangan’ yang telah ia peroleh melalui pertempuran melawan adharma dijadikan sebagai ‘tonggak’ kebangkitan kesadaran diri, sebagai ‘pengukuhan’ komitmen untuk selalu menjaga martabat kemanusiaan, dan menghindarkan diri dari ‘momo angkara’.
Di lain pihak, Ida Pedanda Gde Menara Putra Kekeran yang saat walaka bernama Drs Ida Bagus Sudarsana, menjelaskan, pada hari Suci Pemacekan Agung umat Hindu melaksanakan upacara kecil, berupa menghaturkan banten soda pada masing-masing palinggih dan melaksanakan persembahyangan sampai selesai metirtha. Sesudah selesai metirtha sebagian tirtha tadi diperciki ke seluruh pekarangan pemerajan dan perumahan.
Hal itu tiada lain adalah untuk menetralisir pengaruh Sang Kala Tiga. Etika dalam melaksanakan Pemacekan Agung adalah dengan memerciki tirtha ke arah Ngider Kiwa. Kemudian menghaturkan segehan agung di lebuh yang disertakan dengan api takep, tetabuhan arak berem. Dengan demikian selesailah pelaksanaan Hari pemacekan Agung.
Dalam lontar Dharma Kahuripan disebutkan: “Pamacekan Agung nga, panincepan ikang angga sarira maka sadhanang tapasya ring Sanghyang Dharma” (Pemacekan Agung, namanya demikian adalah pemusatan diri dengan sarana tapa kepada Sanghyang Dharma). Pemacekan Agung adalah sebuah ‘tapasya’ atau janji diri untuk selalu mengedepankan dharma dalam setiap tindak-tanduk kita mengisi hidup-sehingga kemenangan yang telah kita raih tidak tersapu oleh godaan ahamkara.
Pemacekan Agung adalah saat dimana panji-panji dharma ditancapkan dan ditegakkan. “Sehingga semua bentuk musuh baik yang berasal dari luar diri, pun yang bersumber dari dalam diri tidak memiliki kesempatan dan kekuatan melemahkan jati diri kita sebagai manusia (manusa sane masesana),” katanya.
(bx/gus /ima/yes/JPR) –sumber
Jumat, 27 Mei 2022
Sistem Ulu Apad