Minggu, 12 Juni 2022

KESUSASTRAAN SEBAGAI LANDASAN KEMBALI PADA DRESTA BALI DAN NUSANTARA

 



Om Hyang Buddha Tampahi Ciwa Rajadewa
Rwanekadhatu Winuwus, Wara Budhha Wicwa.
Bhinneki Rakwa Ring apan Kena Parwwanosen
Mangka Jinatwa Lawan Ciwatattwa Tunggal,
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.
Tidaklah mungkin mampu membangkitkan spirit tanpa tapa,
Tidaklah mungkin mampu mewujudkan tapa tanpa brata,
Tidaklah mungkin mampu mempraktekkan brata tanpa Yoga,
Tidaklah mungkin mampu melaksanakan yoga tanpa Samadhi,
Tidaklah mungkin mampu melaksanakan samadhi tanpa tuntunan guru penuntun……dan memulai dengan tapa lagi, begitu dan begitu seterusnya sebagai wujud yoga cakra mangilingan, yang tak pernah putus putus…
Tidaklah mungkin mampu menggelar yoga cakra mangilingan dengan tanpa sadhana, pembangkitannya dengan ritual, mengindahkan dengan yantra, dengan komunikasi mantra.
Yoga cakra mangilingan adalah kalacakra sejatinya, sadhana kepada bhumi sebagai tempat tumbuhnya seluruh mahluk hidup untuk berkehidupan yang masuk dalam kelompok bhuta yajnya.
Yoga Mandala adalah pembangkitan energi melalui pemahaman empat dunia rohani yang dikenal catur bavana. Salah satunya adalah sunya bavana yang hanya dapat dimasuki dengan penggabungan tri bavana atau triwikrama. Dalam olah yoga aksara dikenal sanghyang catur aksara.
Sunya bavana adalah sumber kehidupan yang absolut, dialah cahaya kehidupan yang tersembunyi, cahaya ini hanya terbangun dari yoga, diburu dengan perangkap ritual, diumpan pakai yantra dan dipanggil melalui mantra, tempat pelaksanaan seluruh kegiatan ini selalu dibungkus dengan bingkai permainan rohani dalam wujud sadhana upacara.
Keniscayaan,kesucian, kenirmalaan dan keindahan pada sunya bavana hanya mampu diwujudkan dengan api suci yang keluar dari bhumi sebagai sumbernya, dinamakan HOMA.

Tujuan dari perburuan ini adalah untuk membangkitkan benih-benih kemurnian ajaran kapurusan ( kabrahmanan ), untuk dapat menarik seluruh mamfaat hidup didunia, bahagia, damai dan surga itu, yang dimiliki oleh ajaran kemurnian kapradanan, dikenal shakti.
Lompatan ajaran dari kapurusan menuju kapradanan itulah tantrayana dan praktek-prakteknya diselipkan pada hampir seluruh kegiatan beragama hindu nusantara umumnya dan bali khususnya, namun tidak banyak yang mampu melihatnya, karena telah mengabaikan yoga.
Dalam kontek ajaran filsafat, keseluruhan ajaran tantrayana ini diaplikasikan dalam sebuah teks lontar yang sangat terkenal pada jaman majapahit, disaat agama siwa dan budha duduk bersama memikirkan kebahagiaan lahir bathin, bahkan diwujudkan dalam bentuk siwa budha manunggal, bhineka tunggal ikka tan hana dharma mangruwa, dikenal dengan lontar SutaSoma, buah karya Mpu Tantular.
Sebuah lontar yang berisikan permutasian semesta, formulasi bathin para brahmana saat itu, serta realitas tuhan sebagai buah cipta karsa manusia yang dinyatakan sebagai DIVA RUPA.
Kemudian diwujudkan sebagai bentuk surat, rajah dan gambar yang kita warisi sampai hari ini, sebagai bentuk BUDHA-YA.
Bahasa sastra jnana yang paling tepat untuk mengungkap proses ini tiada lain adalah KE SUSASTRA-AN, yang berisikan dasar penggalian pada aksara, penganalisaan serta pengembangan lebih lanjut dengan yoga aksara ( nyastra ) pada kelompok-kelompok sangga tertentu yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat, yang dinyatakan sebagai Pesantian.
Budaya pesantian inilah yang melahirkan pundi-pundi kesepakatan ( sidhantta ) antar masyarakat, sehingga melahirkan konsep seni sastra yang tiada banding ( sundharam ) seperti kelompok kesusastraan, kelompok seni drama dan tari, kelompok seni rupa, kelompok seni suara dan masih banyak lagi kelompok budaya yang berlandaskan bhakti atau wujud pelayanan pada alam semesta sebagai wujud upakara yajnya yang tertinggi.
Ilustrasi kesejagatan dengan paradigma baru sebagai masyarakat moderen tidak mampu memahami budaya sastra sebagai sebuah tradisi leluhur yang bersumber pada bhakti yaitu wujud Yajnya Sastra kepada alam, malah dijadikan ajang atau modus mencari ketenaran dengan cara eksplorasi bathin tanpa batas, sehingga menyebabkan penderitaan, penyakit kronis bahkan kematian.....maka disaat ini baru menyadari, tidaklah mungkin obat mujarab akan datang, kecuali penyesalan dan mau tidak mau liang kubur telah menunggu sebagai peristirahatan lama niraka bavana.
Semoga tulisan ini menjadikan kita mulai sadar dan mulai khawatir tentang keadaan dunia sudah semakin rawan kehancuran, sehingga kita semua seharusnya mewaspadainya dengan kesadaran rohani yang lebih matang dalam bingkai pengetahuan siwa budha manunggal dalam penggalian pada kelompok-kelompok sangga sastra yang tetap dituntun oleh seorang guru yang mumpuni di bidangnya.
Rahayu Rahayu Rahayu.

Nawa gempang caru penglukatan karang panes

 



wenten ring lontar lebur sangsa dan gong wesi.
Caru ayam berwarna 5 manut urip seperti caru manca sata,dan bebek putih di olah menjadi 9 karangan ,dan 9 tanding semua berisi sate 9 biji nasi 9 kepel ,kulit bebek putih di tutup kan di tengah metatakan ngiu / nyiru. Dan selanjut nya caru bhuta slurik.......
Banten dan caru ini biasanya di buat saat sebagai perlengkapan UPAKARA YADNYA : Manusa Yadnya , Butha yadnya , Rsi Yadnya , Dewa Yadnya , Pitra Yadnya .
Di buat dari jaja suci yg di buat menyerupai simbol simbol ALAM SEMESTA /Bhuwana Agung , biasa di sebut BANTEN PULA GEMbAL .
BANTEN PULA GEMbAL di tujukan kepada BHATARA GANA yaitu DEWA yg melindungi manusia dari godaan bhatara KALA .
Banten Pula Gempal biasanya di buat bersama Banten BEBANGKIT .
Banten Pula Gembal dan Banten Bebangkit tergolong Banten TATABAN .
Banten Bebangkit dan Banten Pula Gempal selalu di sertai Banten Sekar Taman.
Banten Bebangkit adalah di tujukan pada DEWI DURGA pengendali semua BHUTA KALA.
Banten Sekar Taman di tujukan pada DEWA SEMARA RATIH .
Banten bebangkit adalah simbol ALAM BHUANA AGUNG YANG DAHSYAT KEKUATANNYA .
ALAM ini bisa menjadi musuh juga sekalian menjadi sahabat umat manusia .
Karena di alam inilah manusia dan mahluk lainnya lahir , hidup dan mati ....juga ALAM adalah sumber penyakit juga sumber semua obat dari penyakit .
Banten Bebangkit untuk memuja DEWI DURGA ...DEWI DURGA adalah perwujudan KRODA/KEMARAHAN dari DEWA SIWA . Tetapi DEWI DURGA juga penguasa semua aspek BHUTA KALA dari alam itu sendiri .



BHUTA = RUANG , KALA =WAKTU ...tidak ada mahluk yg tidak berada di RUANG dan WAKTU .
Kalo manusia tidak bisa menata dirinya dengan benar di ruang dan waktu (bersinergi dengan ALAM SEMESTA ) ...maka BHUTA KALA(RUANG dan WAKTU ) menjadi sumber kesengsaraan dalam hidupnya .
Itu sebabnya tubuh kita yg merupakan BHUANA ALIT harus di selaraskan dengan ALAM SEMESTA yg merupakan BHUANA AGUNG di bantu dengan BANTEN TATAPAN yg terdiri dari BANTEN BEBANGKIT dan BANTEN PULA GEMBAL .
Dewi Durga adalah perwujudan KRODA/KEMARAHAN DEWA SIWA , haruslah di SOMIA menjadi perwujudan asli BELIAU yaitu DEWI UMA PARWATI .
Ketiga Banten inilah yaitu Banten Bebangkit , Banten Pula Gempal dan Banten Sekar Taman sarana YADNYA untuk mengubah Dahsyatnya Kekuatan BHUANA AGUNG/ALAM SEMESTA menjadi ALAM yg memberi CINTA KASIH pada manusia .
Bhatara GANA yg merupakan pemujaan yg di tujukan dengan Banten Pula Gempal yg memiliki peranan untuk menetralkan pengaruh ALAM NEGATIF menjadi Positif .
Simbolnya adalah DEWI DURGA yang KRODA/MARAH akan di redakan kemarahannya oleh Putra tercintanya DEWA GANA yg lebih di kenal dengan sebutan Dewa GANESHA .
Caru nawa gempang ?
Kitab lebur gangsa
Caru nawa gempang merupakan sebuah prosesi upacara buta yadnya untuk tempat tinggal dan tegalan yg angker . di sumber tanah angker itu harus di buatkan padma indrabelaka , bila tidak di isi padma maka caruu pun tiada guna sekalipun 100x mengadakan upacara buta Yadnya . apabila persyaratan itu tidak di patuhi maka muncul durga dari dalam tanah untuk memberi anugrah wewenang kepada sang kala maya untuk menyebarkan penyakit , di pinjam raga pemilik tanah sehingga dilihat berubah wujud jadi liak desti , boros , susah rejeki , sering ribut di keluarga .
Kalau ada kesulitan seperti itu , carilah di rumah tangga ( nyiksik bulu 😀😀)
Adapun caruu mawa gempang merupakan caru tertimgg ( widining caruu menurut kitab lebur gangsa ) yg cukup sederhana dan biaya yg murah cukup dg ayam empat warna sesuai warna pengurus mata angin di tengah sebagai pancer di ganti dg bebek pitih .
Ritual ini di lakukan bila si pemilik tidak mampu melakukan jenana tertinggi ( manunggal / ardenareswari / linuwih ) itupun sebatas hidupnya sang linuwiih karena mereka bisa membersihkan dg jenana nya .

Copas w sudika
Om Sastyastu
Om Awighnam astu namah siddham
Om Ano badrah kratawo yantu wiswatah 🙏
Dumadak tan kakeneng sot-sot upadrawa / cakrabawan Ida Sang Hyang Aji Saraswati, Sang Hyang Kawiswara ,Sang Hyang Guru Reka
Isi Tutur Gong Besi dan lanjut ke Tutur Lebur Gangsa.
Bagian- bagian isi Tutur Gong Besi yaitu Bagian 1. mengenai Betara Dalem / Dalem Kawi ..............
Bagian 2 dan 3 mengenai Keputusan Sang Hyang Wimbayagni serta Tutur Pematuh Ndewasraya dan juga Ajaran Sanghyang Dharmatattwa ,, bagian- bagian ini tidak bisa disampaikan/bahas, oleh karena mengandung sastra dan mantra-mantra yang sangat sakral dan pingit, hanya boleh disampaikan dalam hal aguron-guron.
Untuk Bagian-bagian 4 dan 5 mengenai pedewasan, hari baik dan buruk ( wariga ) dapat disampaikan bertahap karena menyangkut banyak materi seperti ; wewaran, neptu/urip wewaran, wuku, penanggal pangelong, sasih, dawuh dan pedewasan bersifat tenung,prathiti samutpada, wewatekan,lanang wadon,pengunya-unyaan saptawara dll lagi.
Lanjut ke Tutur Lebur Gangsa ( disampaikan isi secara ringkas ).
Tutur Lebur Gangsa adalah mengenai Durmanggala ( kedurmanggalan ) yaitu tanda -tanda yang membawa bahaya dalam bentuk yang aneh-aneh kadang2 diluar nalar.
Beberapa yang dapat disebut Durmanggala :
1. Kageni bhaya, kebakaran rumah
2. Karang panes ;
a.karipu bhaya, adanya pohon tumbang penyebabnya kurang jelas menimpa pekarangan/rumah
b.kalebon amuk,adalah orang mati karena jatuh
c. kalulut bhaya, adalah adanya lulut dipekarangan, baik lulut emas, lulut perak lulut besi.
d. keraja bhaya,adalah ada darah dipekarangan/rumah.
e. raga bhaya/ulah pati, adalah bila ada orang menusuk dirinya sendiri/bunuh diri.
f. kerare bhaya, meninggal karena melahirkan.
g. salah pati ,, mati dibunuh orang .
h. rumah tumbak rurung.
i. raga sesa adalah menambah dan mengurangi/memotong rumah.
dan banyak lagi yang dapat digolongkan Durmanggala tergantung dari sumber sastranya...dari masing2 sumber sastra tidak ada yang salah, menurut penulis semuanya benar ( sastra pinaka Sang Pencipta ).
Untuk menetralisir atau " melakukan pembersihan dan penyucian kembali/somya" dapat dilakukan dengan upakara Caru, sebagai pemahayu karang panes dan kedurmanggalan/durbhiksa.
Sepatutnya mendirikan pelinggih Antasana bagi Rumah Tumbak Rurung.
Beberapa Caru yang dapat dilaksanakan adalah, caru bhuta slurik, caru nawa gempang dan caru asu bang bungkem.
Apabila telah nampak ciri-ciri atau tanda2 Durmanggala dan Durbhiksa (buruk dan paceklik),yang sebutkan dalam Ajaran Aji Lebur Gangsa, sepatutnya mendirikan tempat suci yaitu Antasana adalah Pelinggih / Stana Sang Hyang Tiga Wisesa, yaitu Sang Hyang Indra Belaka, Sang Hyang Durgha Maya, dan Sang Hyang Kala Maya, ApabilaBeliau bertiga ini dibuatkan pelinggih Antasana maka Beliau bertiga manunggal mengeluarkan kekuatan /kehebatan menjadi Durgha Manik.
Disamping melakukan upakara Caru sebaiknya buat Pelinggih Antasana. Banyak lagi rumah pekarangan disebut kadurmanggalan, yaitu nguluning tempat suci/pura,, nguluning bale banjar,, apit rurung,,negen telabah,, rumah perempatan dll......patut dilakukan pemahayu pekarangan/rumah .
Apabila ada orang bunuh diri dalam satu pekarangan/rumah sepatutnya dilakukan pembersihan/penyucian dengan Caru Pamurna Nawa Gempang dan Caru Bhuta Slurik.
Demikian yang tersurat,tersirat dalam Ajaran / Tutur Lebur Gangsa



Rabu, 01 Juni 2022

Makna Hari Raya Soma Ribek

 


Tanggal 16 Oktober merupakan hari pangan yang diperingati oleh dunia internasional.  Umat Hindu Bali juga memiliki peringatan hari pangan yakni hari raya Soma Ribek. Hari raya Soma Ribek jatuh pada Soma (Senin) Pon wuku Sinta, dua hari setelah hari raya Saraswati.

Mengapa Soma Ribek diidentikkan sebagai hari pangan ala Bali? Menurut lontar Sundari Agama, teks tradisional yang dijadikan salah satu rujukan hari-hari raya suci Hindu. Soma Ribek adalah hari pemujaan Sri Amerta (manifestasi Hyang Widhi Wasa yang memberikan kemakmuran berupa bahan makanan, seperti beras dan lainnya. Awam biasa menyebut Soma Ribek sebagai hari piodalan (peringatan kelahiran) beras sebagai sumber pangan utama.

Maka dari itu, saat Soma Ribek, umat Hindu Bali akan menghaturkan sesaji di tempat-tempat yang memiliki kaitan erat dengan beras, seperti lumbung atau jineng (tempat penyimpanan padi) serta pulu (tempat penyimpanan beras). Sesaji yang dihaturkan lazimnya berupa banten khusus yang berisi nyanyah geti-geti, gringsing, raka-raka (buah-buahan), pisang emas, dan bunga-bunga harum. Dalam masyarakat Hindu Bali, seperti lazimnya masyarakat di Nusantara, padi atau beras memang memiliki makna khusus. Buktinya, banyak daerah di Nusantara memiliki cerita rakyat tentang asal mula padi atau beras. Masyarakat Nusantara melihat padi atau beras sebagai simbol kemakmuran.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Pada hari Soma Ribek, umat Hindu Bali disadarkan tentang betapa pentingnya pangan dalam kehidupan ini. Tanpa pangan manusia tidak bisa hidup dan menjalani kehidupannya. Karenanya, manusia pantas berterima kasih dan mengucap syukur ke hadapan Sang Pencipta atas karunia pangan yang melimpah.

Pantangan menumbuk padi serta menjual padi dan beras ini tersurat dalam lontar Sundarigama yang secara tradisi selama ini menjadi rujukan pelaksanaan hari raya Hindu di Bali. Para petani Bali yang masih taat pada tradisi yang bersumber pada teks biasanya akan menghentikan segala kegiatan bertani di sawah saat hari Soma Ribek. Mereka berkonsentrasi memuja Sang Hyang Sri Amertha, manifestasi Tuhan sebagai pemberi anugerah kemakmuran, segala jenis pangan.

Penyusun buku Rerahinan Hari Raya Umat Hindu, Wayan Budha Gautama menyebutkan ada tiga kegiatan utama yang dipantangkan saat hari Soma Ribek, yaitu mengetam padi dan memetik buah-buahan, menumbuk padi dan menyosoh gabah, serta menjual hasil pertanian termasuk tidak menjual beras. “Apabila hal-hal tersebut dilanggar, umat manusia akan dikutuk Batari Sri dan akan senantiasa mendapat kesulitan di bidang pangan,” tulis Budha Gautama.

Pantangan menumbuk padi serta menjual padi dan beras merupakan cara manusia Bali menghormati serta memuliakan Batari Sri yang telah menganugerahkan pangan bagi umat manusia. Dalam tradisi Bali, cara yang lazim ditempuh untuk menghormati atau memuliakan dengan jalan brata (berpantang). Tengok saja brata atau pantangan membaca dan menulis saat hari Saraswati untuk memuliakan Sang Hyang Aji Saraswati yang memberikan anugerah ilmu pengetahuan kepada umat manusia. Begitu juga pantangan bertransaksi tunai atau sehari tanpa uang saat hari Buda Wage Kelawu untuk menghormati dan memuliakan Sri-Sadhana yang menganugerahkan kemakmuran berupa dana (uang). Bahkan, manusia Bali menandai pergantian tahun Saka dengan menghentikan segala aktivitas melalui catur brata penyepian dalam Nyepi. –sumber


Mahakali : Menyeramkan Namun Penuh Kasih

 


Dewi yang paling ditakuti adalah Mahakali, yang merupakan perwujudan kemarahan Dewi Parvati atau Dewi Uma. Kali merupakan shakti Dewa Shiwa yang diyakini sebagai penghuni tempat kremasi atau setra.

Dewi Kali adalah penguasa waktu, berasal dari bahasa sansekerta Kaal yang berarti waktu. Kehadiran Dewi Kali tidak bisa dihindari karena merupakan bagian dari perjalanan waktu.

Kali digambarkan sebagai sosok dewi yang menggunakan kalung tengkorak manusia dengan aksesorisnya, sementara senjatanya adalah tri sula dengan menghunus pedang untuk siap menebas segala kejahatan dunia.

Mahakali dalam sastra Hindu diwujudkan sebagai kemarahan Dewi Parvati. Munculnya kekuatan Kali yang setara dengan Dewa Siwa tidak ada yang bisa mengalahkan. Mahakali dengan kemarahannya menumpas kejahatan para asura atau kaum raksasa.


Disisi lain, Mahakali dengan wujud bengis menyeramkan merupakan sosok yang mahakasih. Memuja Mahakali diharapkan manusia mampu menumpas segala macam kejahatan dalam diri.

Mahakali penganugerah keselamatan  bagi pemuja-Nya. Wujud Mahakali dikisahkan kembali dari kemarahannya ketika Dewa Siwa yang tiada lain adalah suaminya berserah diri dengan penuh pengorbanan untuk diinjak oleh Mahakali.

Setelah tahu bahwa yang diijak adalah suaminya, Mahakali menjadi sangat bersedih dan merasa bersalah sehingga kembali berwujud Parvati. Pengorbanan Dewa Siwa sebagai simbol pengorbanan kasih mengembalikan kemarahan menjadi kasih dan juga simbol pengorbanan suami melayani istri. (SB-Skb)  –sumber


Senin, 30 Mei 2022

Bhagavadgita Sifat Rohani Dan Sifat Jahat





Bhagavadgita Bab XVI - Sifat Rohani Dan Sifat Jahat

Bhagavad-gita 16.1-3
16.1-3 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; kebebasan dari rasa takut; penyucian kehidupan; pengembangan pengetahuan rohani; kedermawanan; mengendalikan diri; pelaksanaan korban suci; mempelajari veda; pertapan; kesederhanaan; tidak melakukan kekerasan; kejujuran; kebasan dari amarah; pelepasan ikatan; ketenangan; tidak mencari-cari kesalahan; kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup; pembebasan dari loba; sifat lembut; sifat malu; ketabahan hati yang mantap; kekuatan; mudah mengampuni; sifat ulet; kebersihan; kebebasan dari rasa iri dan gila hormat- sifat-sifat rohani tersebut dimiliki oleh orang suci yang diberkati dengan sifat rohani, wahai putera Bharata.

Bhagavad-gita 16.4
16.4 Sikap bangga, sikap sombong, sikap tak peduli, amarah, sikap kasar, dan kebodohan-sifat-sifat ini dimiliki oleh orang yang bersifat jahat, wahai putera prtha.

Bhagavad-gita 16.5
16.5 Sifat rohani menguntungkan untuk pembebasan, sedangkan sifat jahat mengakibatkan ikatan. Wahai putera pandu, jangan khawatir, sebab engkau dilahirkan dengan sifat-sifat suci.

Bhagavad-gita 16.6
16.6 Wahai putera prtha, di dunia ini ada dua jenis makhluk yang diciptakan. Yang satu disebut suci dan yang lain jahat. Aku sudah menerangkan sifat-sifat suci kepadamu secara panjang lebar. Sekarang dengarlah dari-Ku tentang sifat-sifat jahat.




Bhagavad-gita 16.7
16.7 Orang jahat tidak mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak seharusnya. Kebersihan, tingkah laku yang pantas dan kebenaran tidak dapat ditemukan dalam diri mereka.

Bhagavad-gita 16.8
16.8 Mereka mengatakan bahwa dunia ini tidak nyata, tidak ada dasarnya dan tidak ada Tuhan yang mengendalikan. Mereka mengatakan bahwa dunia ini dihasilkan dari keinginan untuk hubungan kelamin, dan tidak ada sebabnya selain nafsu birahi.

Bhagavad-gita 16.9
16.9 Dengan mengikuti kesimpulan-kesimpulan seperti itu, orang-orang jahat, yang sudah kehilangan dirinya dan tidak memiliki kecerdasan sama sekali, menekuni pekerjaan yang tidak menguntungkan dan mengerikan dimaksudkan untuk menghancurkan dunia.

Bhagavad-gita 16.10
16.10 Dengan berlindung kepada hawa nafsu yang tidak dapat dipuaskan, terlena dalam rasa sombong dan kemasyuran yang palsu, orang jahat yang berkhayal seperti itu selalu bertekad melakukan pekerjaan yang tidak bersih, sebab mereka tertarik kepada hal-hal yang tidak kekal.

Bhagavad-gita 16.11
Bhagavad-gita 16.12
16.11-12 Mereka percaya bahwa memuaskan indria-indria adalah kebutuhan utama peradaban manusia. Karena itu, sampai akhir hidupnya, kecemasan mereka tidak dapat diukur. Mereka diikat oleh jaringan beratus-ratus ribu keinginan dan terikat dalam hawa nafsu dan amarah. Mereka mendapat uang untuk kepuasan indria-indria dengan cara-cara yang melanggar hukum.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Bhagavad-gita 16.13
Bhagavad-gita 16.14

Bhagavad-gita 16.15
16.13-15 Orang jahat berpikir; “Sekian banyak kekayaan kumiliki hari ini, dan aku akan memperoleh kekayaan lebih banyak lagi menurut rencana-Ku. Sekian banyak kumiliki sekarang, dan jumlah itu bertambah semakin banyak pada masa yang akan datang. Dia musuhku, dan dia sudah kubunuh, dan musuh-musuhku yang lain juga akan terbunuh. Akulah penguasa segala sesuatu. Akulah yang menikmati. Aku sempurna, perkasa dan bahagia. Aku manusia yang paling kaya, diiringi oleh keluarga yang bersifat bangsawan. Tiada seorang pun yang seperkasa dan sebahagian diriku. Aku akan melakukan korban suci, dan memberi sumbangan, dan dengan demikian aku akan menikmati” Dengan cara seperti inilah, mereka dikhayalkan oleh kebodohan.

Bhagavad-gita 16.16
16-16 Dibingungkan oleh berbagai kecemasan seperti itu dan diikat oleh jala khayalan, ikatan mereka terhadap kenikmatan indria-indria menjadi terlalu keras dan mereka jatuh ke dalam neraka.

Bhagavad-gita 16.17
16.17 Malas dalam diri sendiri dan selalu kurang sopan, berkhayal karena kekayaan dan penghormatan palsu, kadang-kadang mereka melakukan korban suci secara bangga hanya dalam nama saja, tanpa mengikuti aturan dan peraturan sama sekali.

Bhagavad-gita 16.18
16. 18 Orang jahat dibingungkan oleh keakuan palsu, kekuatan, rasa bangga, hawa nafsu dan amarah sehingga mereka menjadi iri terhadap kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, yang bersemayam di dalam badan mereka sendiri dan juga di dalam badan orang lain, dan mereka menghina dharma yang sejati.

Bhagavad-gita 16.19
16.19 Orang yang iri dan nakal, manusia yang paling rendah, untuk selamanya kubuang ke dalam lautan kehidupan material, di dalam berbagai jenis kehidupan yang jahat.

Bhagavad-gita 16.20
16.20 Setelah dilahirkan berulang kali di tengah-tengah jenis-jenis kehidupan yang jahat, orang seperti itu tidak pernah dapat mendekatiku, wahai putera Kunti. Berangsur-angsur mereka merosot hingga mencapai jenis kehidupan yang paling menjijikan.

Bhagavad-gita 16.21
16.21 Ada tiga pintu gerbang menuju neraka tersebut-hawa nafsu, amarah, dan loba. Setiap orang waras harus meninggalkan tiga sifat ini, sebab tiga sifat ini menyebabkan sang roh merosot.

Bhagavad-gita 16.22
..16.22 Orang yang sudah bebas dari tiga gerbang neraka tersebut melakukan perbuatan yang menguntungkan untuk keinsafan diri dan dengan demikian berangsur-angsur ia mencapai tujuan yang paling utama, wahai putera Kunti.

Bhagavad-gita 16.23
16.23 Orang yang meninggalkan aturan kitab suci dan bertindak menurut kehendak sendiri tidak mencapai kesempurnaan, kebahagiaan maupun tujuan tertinggi.

Bhagavad-gita 16.24
16.24 Karena itu, seharusnya seseorang mengerti apa itu kewajiban dan apa yang bukan kewajiban menurut peraturan kitab suci. Dengan mengetahui aturan dan peraturan tersebut, hendaknya ia bertindak dengan cara supaya berangsu-angsur dirinya maju ke tingkat yang lebih tinggi.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Minggu, 29 Mei 2022

Makna dan Ritual Saat Hari Pemacekan Agung

 



BALI EXPRESS, DENPASAR – Pemacekan Agung adalah hari raya umat Hindu sebagai pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Prameswara, yang dirayakan setiap Soma Kliwon Wuku kuningan. Hal itu dilaksanakan dengan menghaturkan yadnya untuk memohon keselamatan.

“Sore hari (sandikala) menghaturkan segehan di halaman rumah dan di muka pintu pekarangan rumah yang ditujukan kepada Sang Kala Tiga Galungan beserta pengiringnya agar kembali dan memberi keselamatan,” ujar Dekan Fakultas Pendidikan Agama dan Seni UNHI, Dr. I Made Yudabakti, S.sp, M.Si yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group).

Lebih lanjut dijelaskan, kata Pemacekan Agung berasal dari kata Pacek yang dapat diberikan arti Tapa. Sedangkan kata Agung berarti kuat atau teguh. Dengan demikian, makna pelaksanaan hari suci Peemacekan Agung yakni karena telah kuat tapanya para umat Hindu terhadap godaan Sang Kala Tiga, sehingga Sang kala Tiga dapat di-somya dan kembali ke sumbernya.


Pemacekan Agung jatuh pada hari kelima setelah perayaan Hari Suci Galungan Pemacekan berarti ‘saat menancapkan sesuatu’ dan kata Agung berarti ‘besar, mulia, utama’. Secara filosofis Pemacekan Agung mengandung makna, bahwasanya hari ini manusia diingatkan agar ‘kemenangan’ yang telah ia peroleh melalui pertempuran melawan adharma dijadikan sebagai ‘tonggak’ kebangkitan kesadaran diri, sebagai ‘pengukuhan’ komitmen untuk selalu menjaga martabat kemanusiaan, dan menghindarkan diri dari ‘momo angkara’.

Di lain pihak, Ida Pedanda Gde Menara Putra Kekeran yang saat walaka bernama Drs Ida Bagus Sudarsana, menjelaskan, pada hari Suci Pemacekan Agung umat Hindu melaksanakan upacara kecil, berupa menghaturkan banten soda pada masing-masing palinggih dan melaksanakan persembahyangan sampai selesai metirtha. Sesudah selesai metirtha sebagian tirtha tadi diperciki ke seluruh pekarangan pemerajan dan perumahan.

Hal itu tiada lain adalah untuk menetralisir pengaruh Sang Kala Tiga. Etika dalam melaksanakan Pemacekan Agung adalah dengan memerciki tirtha ke arah Ngider Kiwa. Kemudian menghaturkan segehan agung di lebuh yang disertakan dengan api takep, tetabuhan arak berem. Dengan demikian selesailah pelaksanaan Hari pemacekan Agung.

Dalam lontar Dharma Kahuripan disebutkan: “Pamacekan Agung nga, panincepan ikang angga sarira maka sadhanang tapasya ring Sanghyang Dharma” (Pemacekan Agung, namanya demikian adalah pemusatan diri dengan sarana tapa kepada Sanghyang Dharma). Pemacekan Agung adalah sebuah ‘tapasya’ atau janji diri untuk selalu mengedepankan dharma dalam setiap tindak-tanduk kita mengisi hidup-sehingga kemenangan yang telah kita raih tidak tersapu oleh godaan ahamkara.

Pemacekan Agung adalah saat dimana panji-panji dharma ditancapkan dan ditegakkan. “Sehingga semua bentuk musuh baik yang berasal dari luar diri, pun yang bersumber dari dalam diri tidak memiliki kesempatan dan kekuatan melemahkan jati diri kita sebagai manusia (manusa sane masesana),” katanya.

(bx/gus /ima/yes/JPR) –sumber


Jumat, 27 Mei 2022

Sistem Ulu Apad

 

adalah pembagian tugas adat yang terdiri dari 6 tingkatan yang terbagi menjadi dua sisi yaitu sisi kanan dan sisi kiri atau Kebot Tengawan. Sistem ini dipimpin oleh Jero Kubayan .
Jero Kubayan yang bertugas sebagai pemimpin segala upacara Jero Kebawu tugasnya sama seperti Jero Kubayan menghaturkan persembahyangan hanya sifatnya sebagai pengganti apabila Jero Kubayan berhalangan,
Jero Singgukan sebagai asisten Jero Kubayan dalam jalannya upacara,
Juru Saih Nem (Ke-6 juru).
Selanjutnya 3 di bawahnya ini ada
Jero Penyarikan mengurus ternak-ternak peliharaan,
Juru Pemalungan sebagai juru balungan,
Juru Penguan bertugas membuat sarana upakara di Pura,
Hal yang menarik dari Sistem Ulu Apad ini adalah sistem pergantian jabatan yang ditentukan apabila salah satu pewaris ke-6 Ulu Apad tersebut menikah,


Contohnya :apabila putra dari Jero Kubayan menikah maka Jero Kebawu naik tingat menjadi Jero Kubayan, dan putra dari Jero Kubayan sebelumnya yang mengisi posisi paling bawah, begitu juga berlaku untuk putra-putra dari ke-6 Ulu Apad tersebut, jadi dapat dikatakan tugas seorang Jero Kubayan berakhir apabila anaknya sudah menikah.
pada sistem Ulu Apad jika anaknya sudah menikah maka yang orang tua anak tersebut akan pensiun, jika sudah menikah jero yang dibawah naik menjadi Jero Kubayan begitu seterusnya diikuti dengan kedudukan – kedudukan dibawahnya, bisa juga berganti jika salah satunya meninggal,