Rabu, 22 Juni 2022

MANDALA KEDUA - PURA PENATARAN AGUNG BESAKIH

 


Mandala kedua ini adalah tempat umat berinteraksi dengan Tuhan. Umat mempersembahkan ketulusan bakti, dan Tuhan akan menerima persembahan itu. Karena itu segala bentuk upacara dipusatkan di sini. Inilah Mandala yang menggambarkan peradaban (social life) manusia.
Unsur- unsur dari Mandala Kedua ini anatara lain adalah:
A. Kori Agung - Gelung Agung
Gelung Agung atau Kuri Agung, yaitu pintu untuk keluar masuk ke Mandala Kedua dan mandala- mandala di atasnya.
B. Bale Mundar-mandir atau Bale Ongkara.
Bale Mundar-mandir atau Bale Ongkara terletak di sebelah kanan kiri Candi Kurung, dimaksudkan sebagai pengingat kepada umat yang akan memasuki Kori Agung untuk terlebih dahulu mengheningkan pikiran sejenak menyatukan konsentrasi pada kesucian, karena ia akan mulai masuk ke halaman Pura Penataran Agung. Bangunan Bale ini bersaka tunggal, sangat artistik.
08. Bale Pawedaan
Bale Gajah atau Bale Pawedaan, yaitu tempat yang disediakan bagi para sulinggih yang akan melakukan pemujaan.
09. Bale Agung
Bale Agung, yaitu sebuah Balai Panjang yang disediakan untuk tempat paruman atau bersidang dan pare rohaniawan yaitu para sulinggih dan para walaka.
10. Bale Kawas
Bale Kawas atau Gedong Kawas, penyimpanan sementara untuk bahan baku sesajen.
11. Bale Pesamuan Agung
Pesamuan Agung, ialah sebuah balai panjang dimana terdapat Çiwa Lingga dan tempat stana arca arca prelingga. Di tempat ini Ida Bhatara berstana bersama dalam interaksi dengan umat. Di sebelah kiri Balai Pesamuan terdapat Pelinggih Sang Hyang Ider Bhuwana. Dua pelinggih ini memiliki hubungan yang sangat erat dalam menggambarkan keberadaan kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa di alam semesta ini.


Di Balai Pesamuan itu sebagai tempat upacara yang melukiskan berkumpul dan bersatunya semua dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang dipuja di kompleks Pura Besakih, baik yang ada di Pelinggih Soring Ambal-Ambal maupun di Pelinggih Luhuring Ambal-Ambal. Upacara yang melukiskan semua Dewa manifestasi Tuhan berkumpul di Balai Pesamuan itu umumnya dilakukan saat ada upacara Batara Turun Kabeh.
Kata Batara Turun Kabeh artinya semua Dewa manifestasi Tuhan yang disebut Batara itu turun dan bersatu untuk memberikan anugerah kepada umatnya yang berbakti kepada Tuhan. Upacara Batara Turun Kabeh ini dilakukan setiap tahun pada Sasih Kedasa.
Saat dilangsungkan upacara Batara Turun Kabeh itu simbol-simbol sakral yang utama yang ada di semua kompleks Pura Besakih itu diusung secara ritual dan distanakan di Balai Pesamuan. Hal ini menggambarkan bahwa para Dewa bersatu untuk memberikan karunia pada umat sesuai dengan kadar karma dan baktinya. Hal ini sesungguhnya sangat menarik untuk dipahami secara teologi Hindu.
Agama Hindu mengajarkan bahwa Tuhan itu esa tetapi kemahakuasaan Tuhan itu tiada terbatas. Manusia tidak mungkin dapat memahami dan mampu memuja Tuhan dengan semua kemahakuasaan-Nya. Dalam ajaran Hindu Kemahakuasaan Tuhan itu disimbolkan ada di seluruh penjuru. Artinya ada di delapan penjuru angin dan tiga di tengah yaitu bawah, tengah, dan atas. Tidak ada penjuru alam ini tanpa kehadiran Tuhan. Seluruh penjuru itu dilambangkan menjadi sebelas penjuru tersebut.
Seluruh penjuru itu kalau dihubungkan dengan suatu garis akan melingkar bulat. Karena itu Bhuwana Agung itu dilukiskan sebagai Pelinggih Ider Bhuwana stana Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu di kiri Balai Pesamuan ada Pelinggih Ider Bhuwana di Penataran Agung Besakih. Seluruh dewa manifestasi Tuhan itulah yang dipuja di Balai Pesamuan saat ada upacara Batara Turun Kabeh. Hal ini sebagai suatu upacara untuk mengingatkan umat Hindu agar dalam segala aspeknya kehidupannya selalu berpedoman pada penguatan spiritual yang bersumber dari ajaran agama sabda Tuhan.
Balai Pesamuan juga sebagai simbol Ida Batara turun menjumpai umatnya. Melakukan pesamuan agar sweca yang dianugerahkan sesuai dengan baktinya umat dan masineb untuk kembali ke Luhuring Akasa.
Pelinggih Ider Bhuwana itu melukiskan bahwa di bumi yang bulat inilah Tuhan itu maha ada. Karena itu, bumi yang bulat ini harus dijaga kelestariannya dengan berbuat suci agar bumi ini tidak kotor.
12. Bale Papelik
Bale Papelik, yaitu tempat menaruh sesaji. Persembahan untuk Ida Bhatara Ider Bhuana, manifestasi Ida Hyang Widdhi Wasa sebagai kekuatan yang melingkupi seluruh jagad raya.
13. Padmasana Tiga
Yaitu Kahyangan Tri Purusa masing-masing Çiwa, SadaÇiwa dan ParamaÇiwa. Padma Sana Tiga ini inilah pusat dari seluruh aktifitas dan kemulyaan di Pura Penataran Agung Besakih.
14. Bale Tegeh Linggih Mpu Pradah
Bale Tengah, tempat pemujaan pada Mpu Peradah atau Mpu Baradah, seorang pendeta suci dari abad XI. Disebut juga Rabut Peradah.
15 Bale Pepelik Sang Hyang Siyem
Bale Pepelik, tempat pemujaan-pada Ida Ratu Sanghyang Siyem, junjungan para penolak hujan (juru terang).


16. Meru Tumpang 11
Meru tumpang 11 tempat pemujaan pada Ida Bhatara Manik Makentel atau Ratu Manik Maketel, sebagai penguasa daya penggerak atau enerji.
17. Meru Tumpang 9
Meru tumpang 9, tempat pemujaan Ida Bhatara Bagus Kubakal. Beliau adalah pelindung kesucian bahan baku sesajen dan sarana upacara.
18. Piasan Alit
Piasan alit tempat sesaji.
19. Palinggih Bebaturan
Palinggih Bebaturan tempat pemujaan kepada Bhatara Sila Majemuh, penguasa atas musim dan keteraturan cuaca.
20. Bale Panggungan Kembang Sirang
Panggungan, yaitu tempat sesaji atau bebanten. Sebuah bale besar bersaka 16 tempat dilakukannya upacara Mapeselang.
21. Bale Gong
Bale Gong, balai tempat menabuh gambelan. Dulu tempat ini dipakai untuk menjamu raja, keluarganya atau pangreh praja yang lain. saat mereka berkunjung ke pura.
Bale Piasan
Bale Piasan, tempat menghias pretima-pretima.
Lain-lain
------------------------------------------
Pelinggih Tiga Pandita di Pura Besakih
Sang Hyang Brahma Aji maputra tetiga, panua Sang Siwa, pamadya Sang Bodha, pamitut Sang Bujangga, Sang Siwa kapica Agninglayang amrestista akasa, Sang Bodha kapica Agnisara amrestista pawana, Sang Bujangga kapica Agni Sinararasa Mratista sarwaprani, iti ngaran Sang Tri Bhuwana Katon.
(Dipetik dari Lontar Ekapratama)
Maksudnya:
Hyang Brahma berputra tiga yaitu tertua Sang Siwa, yang kedua Sang Bodha dan yang terkecil Sang Bujangga. Sang Siwa diberi senjata Agni Ngelayang untuk menyucikan akasa, Sang Bodha diberi senjata Agnisara untuk menyucikan atmosfir dan Sang Bujangga diberi senjata Agni Sinararasa untuk menyucikan sarwaprani. Beliau ini disebut Sang Tri Bhuwana Katon.
Di jajaran belakang Padma Tiga dan di depan Balai Pesamuan terdapat tiga pelinggih berjejer. Pelinggih itu umum menyatakan berbentuk gedong, tetapi menurut pendapat penulis itu adalah Pelinggih Meru Tumpang Siki. Pelinggih yang di tengah sebagai pemujaan Mpu Beradah, di kirinya Pelinggih Sang Hyang Siem dan yang di kanan untuk Danghyang Markandia. Tiga pandita ini berbeda paksa, sampradaya atau sektanya.
Mpu Beradah sebagai Pandita Siwa, Sang Hyang Siem adalah dari Budha dan Resi Markandia adalah Bujangga Waisnawa. Tiga pandita atau resi ini nampaknya sebagai perwujudan konsep Sang Tri Bhuwana Katon yang dinyatakan dalam Lontar Eka Pratama. Maksud Sang Tri Bhuwana Katon ini adalah beliau yang suci yang nampak di bumi ini untuk memimpin umat manusia.
Kemungkinan besar konsep Sang Tri Bhuwana Katon ini yang disebut Tri Sadhaka. Kata ''sadhaka'' artinya orang yang mampu melakukan sadhana yaitu merealisasikan atau mewujudkan kesucian dharma pada dirinya. Kata sadhaka berasal dari kata sadhana yang artinya kegiatan merealisasikan dharma dalam diri. Kalau sudah berhasil barulah disebut sadhaka.


Kalau kita perhatikan makna yang terkandung dalam Lontar Ekapratama tersebut bahwa keberadaan tiga pandita Siwa, Budha dan Bujangga Waisnawa itu sebagai ciptaan Tuhan untuk memimpin umat manusia memelihara kelestarian tiga lapisan bhuwana ini yaitu Bhur, Bhuwah dan Swah Loka.
Pada zaman modern sekarang ini tiga lapisan alam itu setiap hari dijejali oleh perbuatan manusia yang dapat mengotori tiga lapisan alam tersebut. Di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya setiap Sasih Kesanga ada upacara Melasti dan upacara Tawur Kesanga di selenggarakan oleh umat Hindu. Upacara tersebut untuk mengingatkan umat agar dalam hidupnya ini senantiasa menegakkan upaya memuja Tuhan untuk menegakan Rta dan Dharma.
Kalau keberadaan alam selalu sesuai dengan Rta maka alam itu akan menjadi sumber penghidupan umat manusia sepanjang zaman. Demikian pula kalau dharma selalu tegak sebagai dasar kehidupan bersama dalam masyarakat maka manusia pun akan selalu dapat mewujudkan kebersamaan yang baik sebagai lingkungan sosial yang dinamis, harmonis dan sinergis. Pemujaan Tuhan untuk tegaknya Rta dan dharma inilah sesungguhnya aplikasi Tri Hita Karana.
Pemujaan Tuhan untuk tegaknya Rta menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alamnya. Sedangkan pemujaan Tuhan untuk tegaknya dharma akan menciptakan hubungan harmonis antara manusia dengan sesama manusia. Artinya pemujaan Tuhan yang menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan itu untuk Rta dan dharma.
Saat diselenggarakannya Tawur Kesanga untuk ditingkat propinsi ada tiga pandita yang mapuja. Tiga pandita inilah yang disebut oleh masyarakat umum Tri Sadaka. Pandita Siwa memuja untuk memohon kepada Tuhan agar umat dituntun untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat mengotori akasa. Pandita Budha memuja untuk memohon kepada Tuhan demi kebersihan lapisan atmosfir. Sedangkan Pandita Bujangga memuja Tuhan untuk kesejahteraan sarwaprani.
Tiga lapisan alam ini sesungguhnya tidak terpisah-pisah adanya satu sama lain saling tergantung. Kalau salah atau lapisan yang rusak akan dapat merusak lapisan yang lain. Nampaknya pembuatan pelinggih untuk pemujaan tiga pandita ini didasarkan oleh Lontar Eka Pratama yang dikutip di atas.
Dari penempatan tiga pelinggih untuk tiga resi atau pandita itu dapat diambil sebagai suatu teladan bagi umat Hindu terutama yang ada di Bali bahwa tiga resi itu sebagai penuntun umat dalam mengembangkan pembinaan kehidupan alam dan manusia secara seimbang. Tiga pandita resi itu adalah sebagai Adi Guru Loka artinya sebagai guru yang utama dari masyarakat.
Pemujaan pada tiga sadhaka inilah sebagai suatu peringatan pada umat untuk berguru dalam menjaga kelestarian ibu pertiwi dengan enam hal. Enam hal yang harus dilakukan untuk menjaga tegaknya kelestarian ibu pertiwi dinyatakan dalam Atharvaveda XII.1.1.Ena hal itu adalah ''Satya. Rta, Tapa, Diksa, Brahma dan Yadnya. Umat pada umumnya dalam melakukan upaya melakukan enam hal menjaga ibu pertiwi atau Sad Pertiwi Daryante. Hendaknya senantiasa memohon tuntunan tiga macam pandita tersebut. Memohon tuntutan untuk menjaga kelestarian akasa, kebersihan udara dari polusi (amratistha pawana) dan menjaga kelestarian sarwaprani.
Satya adalah adalah sikap hidup yang konsisten dan konsekuen bertindak berdasarkan kebenaran dan kejujuran (Satya). Rta adalah perilaku yang menjaga kesejahteraan alam, Tapa adalah perilaku membina ketahanan diri untuk melawan binakinya hawa nafsu. Diksa adalah suatu upaya untuk terus berupaya mencapai kehidupan suci sampai mencapai status Dwijati.
Artinya tidak hanya lahir dari rahim ibu saja, tetapi bisa lahir dari rahimnya Weda melalui tuntunan pandita atau resi. Brahma artinya selalu berdoa dan belajar dengan tekun. Doa dengan mengucapkan mantra-mantra Veda tersebut dapat menguatkan eksistensi Dewi Sampad atau kecenderungan kedewaan.
Yadnya adalah sikap hidup yang senantiasa tulus dan ikhlas untuk rela berkorban demi tujuan yang lebih mulia. Enam hal itulah yang wajib dilakukan oleh umat atas tuntunan tiga pandita resi untuk menjaga agar Sad Pertiwi Daryante itu terlaksana dengan baik. *I Ketut Gobyah
Semoga berkenan, kurang lebihnya mohon dimaklumi…Ampura…Suksma …Rahayu…🙏🕉️🙏
Reference
1. Image : https://www.google.com/ dan dxt visual art
3. Koerniatmanto S., 2019. KAHYANGAN IDA SANG HYANG WIDHI WASA: Petunjuk Arah Tirthayatra Pura dan Bangunan Suci Hindu di Pulau Bali. IHDN Press.
4. Idedhyana, Ida Bagus, Sueca, Ngakan Putu, Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin, and Wibawa, Ida Bagus Wira. (2020), The Function and Typology of the Padmasana Tiga Architecture in Besakih Temple, Bali Indonesia. In: Journal of Social and Political Sciences, Vol.3, No.2, 291-299


𝐒𝐢𝐦𝐛𝐨𝐥 𝐃𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐤𝐧𝐚 𝐏𝐞𝐫𝐥𝐞𝐧𝐠𝐤𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐧𝐣𝐨𝐫

 

Fungsi atau makna penjor Galungan dalam kegiatan upacara dan hari raya agama Hindu di Bali, berkaitan erat dengan Galungan melambangkan pertiwi bhuwana Agung dan simbol gunung yang memberikan kesejahteraan dan keselamatan. Lambang pertiwi digambarkan sebagai bentuk wujud naga Basuki dan Ananta Boga. Jadi Penjor di Bali berfungsi sebagai sarana perlengkapan upakara yang memiliki nilai sakral dan dalam pembuatannya harus memperhatikan unsur-unsur ataupun alat-alat yang dipakai melengkapi penjor tersebut. Penjor bisa dibuat seindah atau seseni mungkin sesuai dengan kemampuan, atau bahkan dibuat dengan sederhana sesuai kemampuan, situasi dan kondisi, namun yang tidak bisa dikurangi adalah unsur perlengkapannya.
Penjor sendiri dibuat menggunakan alat atau unsur-unsur dari alam semesta, seperti batang bambu, jenis daun (plawa) seperti janur, cemara, pakis aji dan andong, untuk buah-buahan dan umbi-umbian yang digolongkan sebagai pala bungkah (umbi-umbian) seperti umbi ketela, pala gantung seperti buah kelapa, pisang, mentimun atau jambu dan pala wija (buah berbiji) seperti jagung dan padi juga dilengkapi dengan kue, tebu dan uang kepeng. Semua hasil bumi atau hasil dari alam semesta tersebut juga memberikan arti sebagai rasa bakti dan ucapan terima kasih atas segala kemakmuran yang diberikan oleh Ida Sang Hyang Widi Wasa pada umat manusia.


Unsur-unsur pada penjor merupakan simbol-simbol sebagai berikut:
Bambu, adalah simbol gunung dan gunung tempat stana para Ida Sang Hyang Widi dan juga sebagai simbol kekuatan Hyang Brahma
Bambu (tiying) dibungkus ambu/kasa, simbol kekuatan Dewa Maheswara
Kain putih kuning, simbol kekuatan Dewa Iswara
Sampian, simbol kekuatan Dewa Parama Siwa
Janur, simbol kekuatan Dewa Mahadewa
Kue (jaja uli +gina), simbol kekuatan Dewa Brahma
Kelapa, simbol kekuatan Dewa Rudra
Pala bungkah, pala gantung, simbol kekuatan Dewa Wisnu
Tebu, sebagai simbol kekuatan Dewa Sambu
Plawa, simbol kekuatan Dewa Sangkara
Sanggah Cucuk, simbol kekuatan Dewa Siwa
Lamak, simbol Tribhuana
Banten Upakara sebagai simbol kekuatan Dewa Sadha Siwa
Klukuh berisi pisang, tape dan jaja, simbol kekuatan Dewa Boga
Ubag-abig, simbol Rare Angon
Hiasan cili, gegantungan, simbol widyadari
Tamiang, sebagai simbol penolak bala atau kejahatan
Unsur-unsur tersebut diatas diperlukan saat pembuatan penjor upacara di Bali karena melambangkan simbol-simbol suci atas dasar atau landasan dari implementasi ajaran kitab suci weda, yang berkaitan erat dengan nilai-nilai dan etika agama Hindu. Sedangkan penjor dekorasi tidak perlu melengkapi dengan semua unsur tersebut di atas, cukup agar penjor tersebut tampil menarik dan indah. Penjor adalah sebuah bagian warisan dan budaya dan tradisi agama Hindu di Bali.
Penjor Galungan ini sendiri dicabut genap setelah 35 hari Raya Galungan atau dikenal dengan Budha Kliwon Pahang. Dengan banten Tumpeng Puncak Manik, peralatan penjor dibakar, kemudian abunya dimasukkan ke klungah nyuh (kelapa) gading dan kemudian ditanam di hulu pekarangan rumah ataupun bisa dihanyut ke laut.
Rahajeng Nyangre Rahina Galungan kan Kuningan...Dumogi Sami Rahayu 🙏🙏🙏

galungan dan kuningan

 


Dalam sebuah cerita mitologi Hindu Bali dikisahkan bahwa di Pulau Bali terdapat seseorang raksasa yang sangat sakti dan ditakuti oleh semua masyarakat. Raksasa itu bernama Mayadenawa. Mayadenawa melarang semua masyarakat hindu bali untuk melakukan persembahyangan ke pura untuk memuja Dewa-dewa, karena Mayadenawa ingin semua masyarakat menyembahnya. Karena merasa sangat geram terhadap tingkah laku Mayadenawa tersebut, maka diutuslah Bhatara Indra untuk turun ke mercepade (Dunia) untuk menemui dan menghabisi raksasa Mayadenawa tersebut. Diceritakan bahwa Ide Bhatara Indra sudah berada di sebuah tempat yang memiliki tingkat kemiringan yang cukup terjal, disanalah beliau berhasil menjumpai Mayadenawa. Ide Bhatara Indra mengatakan kepada Mayadenawa bahwa tindakannya salah dan tidak patut untuk dilakukan. Namun Mayadenawa sangat angkuh dan sombong, bahkan dia mulai melawan. Karena melawan maka Ide Bhatara Indra pun bergegas menyerang Mayadenawa, karena kehebatan dan kesaktian yang dimiliki oleh Ide Bhatara Indra maka Mayadenawa kewalaham dibuatnya. Lalu ia berlari berusaha menjauhi Ide Bhatara Indra. Berbagai penjuru daerah sudah dikepung oleh pasukan Ide Bhatara Indra, Mayadenawa sangat merasa terancam dan ia memilih berubah bentuk menjadi seekor ayam manuk(Jantan) untuk mengelabui Ide Bhatara Indra beserta pasukannya. Namun sayangnya usaha Mayadenawa tersebut tidak berhasil karena Ide Bhatara Indra sudah mengetahuinya dan disanalah akhirnya raksasa Mayadenawa tewas ditangan Ide Bhatara Indra. Untuk memperingati kemenangan Ide Bhatara Indra (Dharma) melawan raksasa Mayadenawa (Adharma) maka diperingati sebagai Hari Raya Galungan.


Rangkaian Hari Raya Galungan:
𝐓𝐮𝐦𝐩𝐞𝐤 𝐖𝐚𝐫𝐢𝐠𝐚
Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Wariga disebut Tumpek Wariga, atau Tumpek Bubuh, atau Tumpek Pengatag, atau Tumpek Pengarah jatuh 25 hari sebelum Galungan. Pada hari Tumpek Wariga Ista Dewata yang dipuja adalah Sang Hyang Sangkara sebagai Dewa Kemakmuran dan Keselamatan Tumbuh-tumbuhan. Adapun tradisi masyarakat untuk merayakannya adalahh dengan menghaturkan banten (sesaji) yang berupa Bubuh (bubur) Sumsum yang berwarna seperti:
1. Bubuh putih untuk umbi-umbian
2. Bubuh bang untuk padang-padangan
3. Bubuh gadang untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara generatif
4. Bubuh kuning untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara vegetatif Pada hari Tumpek Wariga ini semua pepohonan akan disirati tirta wangsuhpada/air suci yang dimohonkan di sebuah Pura/Merajan dan diberi banten berupa bubuh tadi disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh dan diisi sasat. Setelah selesai kemudian pemilik pohon akan menggetok atau mengelus batang pohon sambil berucap sendiri (bermonolog):
“𝘿𝙖𝙙𝙤𝙣𝙜- 𝘿𝙖𝙙𝙤𝙣𝙜 𝙄 𝙋𝙚𝙠𝙖𝙠 𝙖𝙣𝙖𝙠 𝙠𝙞𝙟𝙖 𝙄 𝙋𝙚𝙠𝙖𝙠 𝙮𝙚 𝙜𝙚𝙡𝙚𝙢 𝙄 𝙋𝙚𝙠𝙖𝙠 𝙜𝙚𝙡𝙚𝙢 𝙖𝙥𝙖 𝙙𝙤𝙣𝙜? 𝙄 𝙋𝙚𝙠𝙖𝙠 𝙜𝙚𝙡𝙚𝙢 𝙣𝙜𝙚𝙙 𝙉𝙜𝙚𝙙, 𝙣𝙜𝙚𝙙, 𝙣𝙜𝙚𝙙”
Dialog di atas bermakna harapan si pemilik pohon agar nantinya pohon yang diupacarai dapat segera berbuah/menghasilkan, sehingga dapat digunakan untuk upacara hari raya Galungan. Peringatan hari ini merupakan wujud Cinta Kasih manusia terhadap tumbuh-tumbuhan.
𝐒𝐮𝐠𝐢𝐡𝐚𝐧 𝐉𝐚𝐰𝐚
Sugihan Jawa berasal dari 2 kata: Sugi dan Jawa. Sugi memiliki arti bersih, suci. Sedangkan Jawa berasal dari kata jaba yang artinya luar. Secara singkat pengertian Sugihan Jawa adalah hari sebagai pembersihan/penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia (Bhuana Agung).
Pada hari ini umat melaksanakan upacara yang disebut Mererebu atau Mererebon. Upacara Ngerebon ini dilaksanakan dengan tujuan untuk nyomia/menetralisir segala sesuatu yang negatif yang berada pada Bhuana Agung disimbolkan dengan pembersihan Merajan, dan Rumah. Pada upacara Ngerebon ini, dilingkungan Sanggah Gede, Panti, Dadya, hingga Pura Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa akan menghaturkan banten semampunya. Biasanya untuk wilayah pura akan membuat Guling Babi untuk haturan yang nantinya setelah selesai upacara dagingnya akan dibagikan kepada masyarakat sekitar. Sugihan Jawa dirayakan setiap hari Kamis Wage wuku Sungsang.
𝐒𝐮𝐠𝐢𝐡𝐚𝐧 𝐁𝐚𝐥𝐢
Sugihan Bali memiliki makna yaitu penyucian/pembersihan diri sendiri/Bhuana Alit (kata Bali=Wali=dalam). Tata cara pelaksanaannya adalah dengan cara mandi, melakukan pembersihan secara fisik, dan memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih sebagai simbolis penyucian jiwa raga untuk menyongsong hari Galungan yang sudah semakin dekat. Sugihan Bali dirayakan setiap hari Jumat Kliwon wuku Sungsang.


𝐇𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐲𝐞𝐤𝐞𝐛𝐚𝐧
Hari Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk “nyekeb indriya” yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama.Hari Penyekeban ini dirayakan setiap Minggu Pahing wuku Dungulan.
𝐇𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐲𝐚𝐣𝐚𝐧
Penyajan berasal dari kata Saja yang dalam bahasa Bali artinya benar, serius. Hari penyajan ini memiliki filosofis untuk memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan. Menurut kepercayaan, pada hari ini umat akan digoda oleh Sang Bhuta Dungulan untuk menguji sejauh mana tingkat pengendalian diri umat Hindu untuk melangkah lebih dekat lagi menuju Galungan. Hari ini dirayakan setiap Senin Pon wuku Dungulan.
𝐇𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐚𝐦𝐩𝐚𝐡𝐚𝐧
Hari Penampahan jatuh sehari sebelum Galungan, tepatnya pada hari Selasa Wage wuku Dungulan. Penampahan atau Penampan mempunyai arti Nampa yang berarti 'Menyambut'. Pada hari ini umat akan disibukkan dengan pembuatan [penjor] sebagai ungkapan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugrah yang diterima selama ini, penjor ini dibuat dari batang bambu melengkung yang diisi hiasan sedemikian rupa. Selain membuat penjor umat juga menyembelih babi yang dagingnya akan digunakan sebagai pelengkap upacara, penyembelihan babi ini juga mengandung makna simbolis membunuh semua nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Kepercayaan masyarakat Bali pada umumnya, pada hari Penampahan ini para leluhur akan mendatangi sanak keturunannya yang ada di dunia, karena itulah masyarakat juga membuat suguhan khusus yang terdiri atas nasi, lauk-pauk, jajanan, buah, kopi, air, lekesan (daun sirih dan pinang) atau rokok yang ditujukkan kepada leluhur yang "menyinggahi" mereka di rumahnya masing-masing.
𝐇𝐚𝐫𝐢 𝐑𝐚𝐲𝐚 𝐆𝐚𝐥𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧
Pagi hari umat telah memulai upacara untuk Galungan ini. Dimulai dari persembahyangan di rumah masing-masing hingga ke Pura sekitar lingkungan. Tradisi yang kerap kita jumpai pada Galungan adalah Tradisi “Pulang Kampung” , umat yang berasal dari daerah lain, seperti perantauan akan menyempatkan diri untuk sembahyang ke daerah kelahirannya masing-masing. Bagi umat yang memiliki anggota keluarga yang masih berstatus [Makingsan di Pertiwi] (mapendem/dikubur), maka umat tersebut wajib untuk membawakan banten ke kuburan dengan istilah Mamunjung ka Setra, banten tersebut terdiri atas punjung seperti telah disebutkan di atas, disertai tigasan/kain saperadeg (seadanya) dan air kumkuman (air bunga).Persembahan pada saat Hari Raya Galungan.
𝐇𝐚𝐫𝐢 𝐔𝐦𝐚𝐧𝐢𝐬 𝐆𝐚𝐥𝐮𝐧𝐠𝐚𝐧
Pada umanis Galungan, umat akan melaksanakan persembahyangan dan dilanjutkan dengan Dharma Santi dan saling mengunjungi sanak saudara atau tempat rekreasi. Anak-anak akan melakukan tradisi ngelawang pada hari ini. Ngelawang adalah sebuah tradisi, di mana anak-anak akan menarikan barong disertai gambelan dari pintu rumah penduduk satu ke yang lainnya (lawang ke lawang), penduduk yang mempunyai rumah tersebut kemudian akan keluar dari rumah sambil membawa canang dan sesari/uang, penduduk percaya bahwa dengan tarian barong ini dapat mengusir segala aura negatif dan mendatangkan aura positif. Umanis Galungan jatuh pada hari Kamis Umanis wuku Dungulan.


𝐇𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐚𝐫𝐢𝐝𝐚𝐧 𝐆𝐮𝐫𝐮
Kata Pemaridan Guru berasal dari kata Marid dan Guru.Memarid sama artinya dengan ngelungsur/nyurud (memohon) , dan Guru tiada lain adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dapat diartikan bahwa hari ini adalah hari untuk nyurud/ngelungsur waranugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Guru. Dirayakan pada Sabtu Pon wuku Galungan.
𝐔𝐥𝐢𝐡𝐚𝐧
Ulihan artinya pulang/kembali. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah hari kembalinya para dewata-dewati/leluhur ke kahyangan dengan meninggalkan berkat dan anugrah panjang umur. Dirayakan pada Minggu Wage wuku Kuningan.
𝐇𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐦𝐚𝐜𝐞𝐤𝐚𝐧 𝐀𝐠𝐮𝐧𝐠
Kata pemacekan berasal dari kata pacek yang artinya tekek (Bhs Bali.) atau tegar. Makna pemacekan agung ini adalah sebagai simbol keteguhan iman umat manusia atas segala godaan selama perayaan hari Galungan. Dirayakan pada Senin Kliwon wuku Kuningan.
𝐇𝐚𝐫𝐢 𝐊𝐮𝐧𝐢𝐧𝐠𝐚𝐧
Hari Suci Kuningan dirayakan umat dengan cara memasang tamiang,kolem, dan endong.Tamiang adalah simbol senjata Dewa Wisnu karena menyerupai Cakra, Kolem adalah simbol senjata Dewa Mahadewa, sedangkan Endong tersebut adalah simbol kantong perbekalan yang dipakai oleh Para Dewata dan Leluhur kita saat berperang melawan adharma. Tamiang kolem dipasang pada semua palinggih, bale, dan pelangkiran, sedangkan endong dipasang hanya pada palinggih dan pelangkiran. Tumpeng pada banten yang biasanya berwarna putih diganti dengan tumpeng berwarna kuning yang dibuat dari nasi yang dicampur dengan kunyit yang telah dicacah dan direbus bersama minyak kelapa dan daun pandan harum. Keunikan hari raya Kuningan selain penggunaan warna kuning adalah yaitu persembahyangan harus sudah selesai sebelum jam 12 siang (tengai tepet), sebab persembahan dan persembahyangan setelah jam 12 siang hanya akan diterima Bhuta dan Kala karena para Dewata semuanya telah kembali ke Kahyangan. Hal ini sebenarnya mengandung nilai disiplin waktu dan kemampuan untuk memanajemen waktu. Warna kuning yang identik dengan hari raya Kuningan memiliki makna kebahagiaan,keberhasilan, dan kesejahtraan.
𝐇𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐠𝐚𝐭 𝐖𝐚𝐤𝐚𝐧
Hari ini adalah runtutan terakhir dari perayaan Galungan dan Kuningan. Dilaksanakan dengan cara melakukan persembahyangan, dan mencabut penjor yang telah dibuat pada hari Penampahan. Penjor tersebut dibakar dan abunya ditanam di pekarangan rumah. Pegat Wakan jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Pahang, sebulan setelah galungan.


Selasa, 21 Juni 2022

KLAKAT SUDHAMALA

 



Pancak ini juga terbuat dari bambu, berbentuk segi empat bujur sangkar tetapi ukurannya lebih kecil dengan ukuran sisinya 10 - 15 cm. Namun anyamannya agak berbeda memakai tangkai, dan bentuk ini dibuat bentuk feminim dan maskulin ( laki - laki atau perempuan ). Pancak Shudamala yang laki - laki, padalubang tengahnya berisi tanda silang, sedangkan untuk yang perempuan hanya lubang bersudut delapan. Dibuat lubang bersudut delapan mengndung makna delapan kemahamulian Sang Hnyang Widhi ( Asta Aiswarya ) yaitu :
*Anima  Sang Hyang Widhi bersifat kecil, sekecil - kecilnya.
*Laghima  Sang Hyang Widhi bersifat ringan, seringan - ringannya.
*Mahima  Sang Hyang Widhi maha besar
*Prapti  Sang Hyang Widhi dapat mencapai segala - galanya
*Prakamya  Sang Hyang Widhi dapat mencapai segala yang dikehendaki
*Isitwa  Sang Hyang Widhi merajai segalanya
*Wasitwa  Sang Hyang Widhi memiliki sifat Maha Kuasa
Yatrakamawasayitwa : Sang Hyang Widhi memiliki sifat wyapi wyapaka

Panca Sudhamala pada lubang tengah memakai tanda silang, mengandung simbul Swastika memiliki maksud empat kemahakuasaan Sang Hyang Widhi yg disebut Chadu Sakti, yaitu :
*Wibhu Sakti  Maha besar
*Sadu Sakti  Maha ada
*Jnana Sakti  Maha tahu
*Krya Sakti  Maha kerja
Dengan demikin Pancak Sudamala merupakan simbul dua kemahakuasaan Sang Hyang Widhi yang bersifat Purusa-Prakerti dengan kemahakuasaan sebagai Cadhu Sakti dan delapan sifat kemahamuliaan-Nya.



Apa yang kita bawa menuju ke Alam Kematian?

 



Jawab:
Dibawa ke Alam Kematian (Mrityun Loka) adalah:
▪️semua karma yang telah dilakukan selama hidup.
▪️ melaksanakan ajaran Dharma, ajaran Tantra- Yantra- Mantra, dan ajaran Siwa.
Penjelasan:
Karma yang dibawa menuju Alam Kematian adalah:
Karma dari ajaran Dharma, ajaran Tantra-Yantra-Mantra, dan karma dari ajaran Siwa.



1. Ajaran dharma
Dharma adalah:
▪️ ajaran yang dipakai untuk mencapai tujuan tertinggi (moksa)
▪️ jalan untuk mencapai Surga, ibarat perahu yang digunakan pedagang untuk mengarungi lautan.
▪️ ajaran kesusilaan dan rohani yang terdiri dari 7 cara:
1). Sila : melakukan kebiasaan baik/rahayu
2). Yadnya : persembahan satwika (suci).
3). Tapa : secara terus-menerus menahan diri dari hal-hal tidak baik.
4). Dana : membangun sifat suka memberi.
5). Wiku : harus punya guru penuntun.
6). Diksa : selalu melakukan pensucian- pensucian.
7). Yoga : melakukan meditasi sampai ke tingkat samadhi yaitu penyatuan Atman dengan Paramatman.

2. Menghidupkan ajaran Tantra, Yantra, dan Mantra di dalam diri (Bhuwana Alit) dan Bhuwana Agung.
1). Bhuwana Alit
Tantra ada di hati (guhatrini), Yantra ada di tubuh/fisik, dan Mantra ada di nafas. Kita bernafas 21.300 kali setiap hari. Isilah sebagian kecil dari jumlah nafas itu dengan mengucap nama suci Tuhan atau Dewa-Dewi sebagai Idola.
Begitu juga fisik/tubuh sebagai Yantra sangat penting disucikan dengan melakukan yoga, melukat dengan air kelapa
gading/air suci di pancuran, dan saucam di laut.
Bhudi yang letaknya di hati (guhatrini) sangat penting disucikan dengan ilmu pengetahuan suci, dengan selalu membaca Veda dan Susastra suci lainnya.
Bhudi yang suci akan mampu menyelamatkan Atman dan mampu mengendalikan pikiran yang liar, sehingga mampu mengendalikan sifat-sifat buruk.

2). Bhuwana Agung
Kekuatan (Tantra) di Bhuwana Agung sumbernya adalah kekuatan Tuhan (Narayana, Brahman, Hyang Widhi) dan kekuatan Dewa-Dewi.
Kekuatan ini dapat diturunkan dengan mengunakan Yantra (banten, arca, gambar, dll) dan menggunakan Mantra.
3. Melaksanakan Ajaran Siwa
Mengapa dalam ajaran Siwa ada Yantra berupa Lingga Yoni?
Saat awal mula Dewa Siwa diminta bhaktanya saat memuja agar menggunakan seni musik (menggunakan alat sitar dan tarian nataraja), tetapi umat lambat laun tidak banyak melakukannya.
Akhirnya, Dewa Siwa meminta para bhaktanya agar menggunakan Lingga Yoni (Linggam). Lingga Yoni (Yoni lambang Ibu Pertiwi dan Lingga lambang Akasa).
Barang siapa melakukan pemujaan dengan menstanakan Linggam dan melakukan persembahan yadnya, dan memanggilNya, maka mereka akan diselamatkan oleh Dewa Siwa saat mengalami kematian.

Pura Pangsong/Pengsong Desa Kuranji Lobar.

 


Tiap hari raya / hari besar agama Hindu, Pura Pangsong/Pengsong di puncak Gunung Pangsong, Desa Kuranji,Lombok Barat selalu ramai dikunjungi Umat Hindu. Mereka datang dari seluruh pelosok pulau Lombok untuk bersembahyang, termasuk ketika merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan. Umat Hindu dari Bali pun sering melakukan tirta yatra di Pura Pangsong. Pura Gunung Pangsoing disungsung 44 banjar, di wilayah pagesangan, Batu Dawa, Dusun Sengkongo, komplek perumahan BTN Telaga Waru dan BTN Gunung Pangsong Indah. Pada hari Raya Galungan  ratusan Umat Hindu melakukan patirtan diteduhi pohon beringin yang berdaun lebat di bagian selatan pelataran Gunung Pangsong.  Mereka lalu menuju Melanting, dan terakhir menuju tangga naik mengarah ke Pura Pangsong/Pengsong di puncak gunung. Saat malam hari ada juga yang mekemit di pura. Mereka yang datang silih berganti. Pura Gunung Pansong menjadi salah satu pura yang wajib dikunjungi Umat Hindu di pulau Lombok. Menurut sejarah, Pura Gunung Pangsong merupakan tempat Ida Ketut Subali mendarat pertama di Padang Rea, tepi pantai Kuranji Lombok Barat. Ida Ketut Subali dengan 200 pasukannya dari Karangasem Bali, ketika berjalan masuk pulau Lombok sampai di kawasan gunung. Mereka tersesat oleh lebatnya pepohonan. Diatas puncak gunung yang disebut “Mur”, ida mendapat petunjuk bahwa gunung tersebut merupakan tempat suci, yang dipuncaknya harus berdiri sebuah pura.  Pura Pangsong tersebut dibangun kakaknya  yang benama Ida Wayan Subali.

Gunung Pangsong/Pensong dengan ketinggian sekitar200 meter merupakan sebuah bukit (namun lebih dikenal dengan sebutan gunung) berada di wilayah Lombok Barat. Dipuncak gunung terdapat Pura Gunung Pangsong, dan ditengah pura tersebut terdapat sebuah batu ceper berukuran besar. Batu tersebut  menunjukkan posisi tertinggi Gunung Pangsong, yang dulunya tempat duduk Ida Ketut Subali. Naik ke puncak Gunung Pangsong pengunjung harus mendaki 275 anak tangga. Jalan kecil sempit dan menanjak diantara bebatuan sejauh 25 meter ditempuh, barulah tiba di puncak gunung, tempat Pura Gunung Pangsong berdiri. Disepanjang jalan menuju puncak, banyak terdapat satwa kera, merupakan penguhuni Gunung Pangsong sejak dahulu. Kera-kera ini dikeramatkan dengan sebutan “Jro Sedahan”. Dari puncak Gunung Pangsong tampak pemandangan kota Mataram, kawasan Lombok Barat dan sekitarnya. Di arah utara bagian timur nampak Gunung Rinjani di Lombok Timur yang juga menjadi tempat suci bagi Umat Hindu. Di pojok selatan bagian timur agak kebawah, terlihat goa raksasa yang diatasnya terdapat pelinggih Gunung Sari dan Betara Bagus Jawa (Majapahit). Hal ini diterangkan dalam buku Kupu-kupu Kuning. Dari puncak tampak pula Pura Gunung Kuripan, di Gunung Sasak Kuripan Lombok Barat. Di bagian selatan arah barat bawah, tampak pelinggih ukir kawah. Dari sini akan terlihat Pura Singaji yang ada di dusun Sengkongo, Kuranji, dan Pura Song Landak di wilayah Sekotong Barat, dusun Medang Lombok Barat. Di arah barat puncak gunung terlihat pelinggih Gunung Agung dan dikejauhan tampak pula Gunung Agung di pulau Bali.  Di Gunung Pansong inilah diyakini tempat pelinggih Gunung Pangsong, Gunung Agung, Meranggu, Gunung Rinjani, Gunung Sari, Betara Bagus Jawa (Majapahit). Keramaian di Pura Gunung Pansong juga terjadi saat pujawali, “Anggarakasih/Anggara keliwon wuku Prangbakat”.  Saat itu ada kegiatan pemotongan khewan yang akan dijadikan sesajen.  Pemotongan dan memasaknya langsung dilakukan di puncak Gunung Pangsong. Setelah memandikan kerbau sebagai ternak yang akan dijadikan sesajen di Pura Rambut Diwi, Punia Mataram pada hari H pujawali, umat Hindu berkumpul di pura Penataran Agung Mumbul untuk berangkat ke Gunung Pangsong. Kemudian sebelum ke Gunung Pangsong/Pensong kerbau itu dimandikan lagi di kali babak, di bagian selatan dusun Sengkongo Kuranji, barulah dinaikkan ke puncak gunung untuk dipotong.-    


Gunung Pengsong hanya sebuah bukit batu hitam dengan rindang pepohonan, dengan ketinggian puncak sekitar 200 meter diatas permukaan laut (mdpl). Tapi yang menarik, dari puncak Gunung Pengsong, kita bisa melihat dan menikmati panorama indah Kota Mataram dan Lombok Barat dari berbagai arah.


Di puncak ini pula, terdapat sebuah tempat peribadatan umat Hindu, Pura Gunung Pangsong, yang konon merupakan Pura pertama dan tertua di Pulau Lombok. 


Gunung Pengsong terletak di Desa Kuripan, Kecamatan Labuapi, Lombok Barat, berjarak sekitar 10 Km ke arah Selatan dari Bandara Selaparang, Mataram. Menggunakan taksi hanya sekitar 15 menit dari bandara, dengan biaya sekitar Rp50ribu.
Kawasan seluas lebih dari 11 hektare yang ditetapkan sebagai salah satu objek wisata sejak tahun 1996 ini, ibarat miniatur hutan. Banyak jenis pohon rindang, mulai albasiah hingga beringin berusia ratusan tahun. Kawanan kera coklat keabu-abuan, berhabitat di sini, dengan segala tingkah laku mereka yang menggoda pengunjung yang datang.
Teduh dan sejuk, adalah kesan pertama ketika masuk ke kawasan wisata Gunung Pengsong. Beragam jenis pohon tumbuh rindang, beberapa diantaranya beringin berusia ratusan tahun dengan akar-akar gantung yang tebal.
Ada mata air yang bisa dijumpai sebelum mulai mendaki. Lokasi mata air ”Tirta Mumbul Sari” biasanya digunakan umat Hindu tahapan pertama beribadah, sebelum ke tempat suci Melanting, dan Pura Gunung Pangsung yang letaknya lebih tinggi.
Meski sepanjang pendakian sudah tersedia undak-undak dari batu dan plesteran semen, untuk mencapai puncak Gunung Pengsong ternyata bukan hal mudah bagi yang tidak biasa mendaki.
Toh setelah mencapai puncak, rasa lelah pasti terobati dengan panorama indah yang bisa dinikmati. Bangunan Pura Gunung Pangsong/Pengsong nampak anggun dengan relief-relief uniknya. Pura nampak bersih terawat, meski pun sudah berusia ratusan tahun.
Dari puncak ini, pemandangan persawahan dan pemukiman hingga perairan teluk Lembar bisa terlihat di sisi Selatan. Ke arah Timur, puncak Rinjani bisa terlihat jika cuaca sedang cerah bersahabat, begitu pun ke arah Barat pesona Gunung Agung di Bali tak luput dari pandangan.
Gunung Pengsong sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya sejak 1996 silam. Sejak saat itu pula Pemerintah Lombok Barat menetapkannya menjadi salah satu objek wisata alam daerah.
Menurut Pemangku Pura Gunung Pangsung, Jero Mangku Semadiyatna, Pura ini berdiri sekitar tahun 1514 oleh Ida Betara Wayan Sebali, seorang pandita Hindu dari Geria Pendem, Karangasem, Bali.
”Kalau dari sisi sejarah, Pura ini merupakan yang paling tua di Lombok,” katanya.
Hingga kini, umat Hindu yang ngaturang atau beribadah di tempat suci ini bukan hanya datang dari Lombok, tetapi juga dari Bali, Yogyakarta, dan Jakarta.
Ada yang unik saat beribadah di Pura ini. Umat yang datang membawa banten (sesajian sembahyang) untuk ngaturang, harus jeli jika tak ingin isi banten direbut kawanan kera sebelum dipersembahkan.
Konon, nama Gunung Pengsong diambil dari akronim Kepeng Song atau uang bolong. Ini uang logam yang digunakan sebagai alat tukar di zaman penjajahan dulu.
”Dulu saat tentara Jepang pergi, uang bolongnya konon banyak ditanam di kawasan ini. Makanya namanya Gunung Pengsong dari kata Kepeng Song,” kata Jero Mangku.
Lokasi Gunung Pengsong yang dekat dengan kawasan wisata pantai Kuranji - salah satu objek wisata pantai di Lombok Barat - membuat banyak pengunjung pantai yang turut mampir ke Gunung Pengsong.
”Kalau dipikirkan berat juga tugas kami ini, membersihkan kawasan yang luasnya lebih dari 11 hektare ini. Sampai sekarang kami yang membersihkan, tidak ada petugas kebersihan khusus dari Pemda. Kami pun bekerja hanya berbekal bhakti saja, tidak ada perhatian Pemda, meskipun kami diberi tugas ini sejak 2002 silam,” katanya.
Seingat Jero Mangku, Bupati Lombok Barat H Zaini Arony pernah menjanjikan bantuan biaya untuk kawasan wisata ini, ketika Bupati Zaini syuting film ”Misteri Gunung Rinjani”, awal tahun 2010 lalu. Tapi, entah kenapa, sampai sekarang janji itu belum terwujud juga.
”Padahal kami hanya meminta empat buah tempat sampah besar saja, untuk menampung sampah-sampah pengunjung,” katanya.
Lombok memang pulau indah dengan beragam objek wisata yang bisa dinikmati. Mulai dari pantai Senggigi, gunung Rinjani, rangkaian Gili-Gili, bahkan banyak bangunan Pura indah seperti Pura Batu Bolong di Senggigi, Pura Lingsar di Lombok Barat, dan juga Pura Gunung Pengsong ini.

Sumber  >>http://wisata.kompasiana.com


Senin, 20 Juni 2022

Pernikahan Ideal Menurut Agama Hindu

 



BALI EXPRESS, DENPASAR – Dalam kitab suci Weda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda menjelaskan,makna perkawinan juga tertulis jelas dalam Manawa Dharmasastra IX. Yang berbunyi:

“Anyonyasyawaya bhicaro ghaweamarnantikah

Esa dharmah samasenajneyah Stripumsayoh parah”

Artinya:

“Hendaknya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, Hal itu harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”

Perkawinan dalam Agama Hindu dianggap suci dan sakral. Lantas perkawinan seperti apa yang dianggap ideal dalam ajaran Agama Hindu? Dalam Kitab Manawa Dharmasastra III disebutkan ada empat bentuk perkawinan yang dapat dikatagorikan ideal yaitu:

· Brahma Wiwaha : adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada laki – laki yang berkelakuan baik dan dapat mengerti ajaran Weda.


· Daiwa Wiwaha : adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan menikahkan anak perempuannya dengan seorang pendeta yang biasa memimpin upacara keagamaan.

· Prajapatya Wiwaha : adalah bentuk perkawinan yang menyerahkan seorang putri dengan didahului restu dari sang ayah. Sang ayah biasanya memberikan restu, doa dan wejangan kepada kedua mempelai dan mengucapkan “Semoga kalian berdua dapat melaksanakan dharma dalam menjalani hidup”.

· Gandharva Wiwaha : Adalah bentuk perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan cinta sama cinta. Dimana pihak orang tua hanya mengetahui dan merestui dan tidak ikut campur dalam pernikahan tersebut.

“Tentu pada kenyataannya yang saat ini sering terjadi adalah Perkawinan Gandharva. Perkawinan yang terjadi karena sama sama cinta. Sudah jarang orang tua mau melakukan perjodohan kepada anaknya. Bahkan anak muda sekarang relatif lebih berani. Buktinya banyak yang isi duluan saking sama sama cintanya,” sindirnya.

(bx/tya/adi/yes/JPR) –sumber