Mandala kedua ini adalah tempat umat berinteraksi dengan Tuhan. Umat mempersembahkan ketulusan bakti, dan Tuhan akan menerima persembahan itu. Karena itu segala bentuk upacara dipusatkan di sini. Inilah Mandala yang menggambarkan peradaban (social life) manusia.
Unsur- unsur dari Mandala Kedua ini anatara lain adalah:
A. Kori Agung - Gelung Agung
Gelung Agung atau Kuri Agung, yaitu pintu untuk keluar masuk ke Mandala Kedua dan mandala- mandala di atasnya.
B. Bale Mundar-mandir atau Bale Ongkara.
Bale Mundar-mandir atau Bale Ongkara terletak di sebelah kanan kiri Candi Kurung, dimaksudkan sebagai pengingat kepada umat yang akan memasuki Kori Agung untuk terlebih dahulu mengheningkan pikiran sejenak menyatukan konsentrasi pada kesucian, karena ia akan mulai masuk ke halaman Pura Penataran Agung. Bangunan Bale ini bersaka tunggal, sangat artistik.
08. Bale Pawedaan
Bale Gajah atau Bale Pawedaan, yaitu tempat yang disediakan bagi para sulinggih yang akan melakukan pemujaan.
09. Bale Agung
Bale Agung, yaitu sebuah Balai Panjang yang disediakan untuk tempat paruman atau bersidang dan pare rohaniawan yaitu para sulinggih dan para walaka.
10. Bale Kawas
Bale Kawas atau Gedong Kawas, penyimpanan sementara untuk bahan baku sesajen.
11. Bale Pesamuan Agung
Pesamuan Agung, ialah sebuah balai panjang dimana terdapat Çiwa Lingga dan tempat stana arca arca prelingga. Di tempat ini Ida Bhatara berstana bersama dalam interaksi dengan umat. Di sebelah kiri Balai Pesamuan terdapat Pelinggih Sang Hyang Ider Bhuwana. Dua pelinggih ini memiliki hubungan yang sangat erat dalam menggambarkan keberadaan kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa di alam semesta ini.
Di Balai Pesamuan itu sebagai tempat upacara yang melukiskan berkumpul dan bersatunya semua dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang dipuja di kompleks Pura Besakih, baik yang ada di Pelinggih Soring Ambal-Ambal maupun di Pelinggih Luhuring Ambal-Ambal. Upacara yang melukiskan semua Dewa manifestasi Tuhan berkumpul di Balai Pesamuan itu umumnya dilakukan saat ada upacara Batara Turun Kabeh.
Kata Batara Turun Kabeh artinya semua Dewa manifestasi Tuhan yang disebut Batara itu turun dan bersatu untuk memberikan anugerah kepada umatnya yang berbakti kepada Tuhan. Upacara Batara Turun Kabeh ini dilakukan setiap tahun pada Sasih Kedasa.
Saat dilangsungkan upacara Batara Turun Kabeh itu simbol-simbol sakral yang utama yang ada di semua kompleks Pura Besakih itu diusung secara ritual dan distanakan di Balai Pesamuan. Hal ini menggambarkan bahwa para Dewa bersatu untuk memberikan karunia pada umat sesuai dengan kadar karma dan baktinya. Hal ini sesungguhnya sangat menarik untuk dipahami secara teologi Hindu.
Agama Hindu mengajarkan bahwa Tuhan itu esa tetapi kemahakuasaan Tuhan itu tiada terbatas. Manusia tidak mungkin dapat memahami dan mampu memuja Tuhan dengan semua kemahakuasaan-Nya. Dalam ajaran Hindu Kemahakuasaan Tuhan itu disimbolkan ada di seluruh penjuru. Artinya ada di delapan penjuru angin dan tiga di tengah yaitu bawah, tengah, dan atas. Tidak ada penjuru alam ini tanpa kehadiran Tuhan. Seluruh penjuru itu dilambangkan menjadi sebelas penjuru tersebut.
Seluruh penjuru itu kalau dihubungkan dengan suatu garis akan melingkar bulat. Karena itu Bhuwana Agung itu dilukiskan sebagai Pelinggih Ider Bhuwana stana Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu di kiri Balai Pesamuan ada Pelinggih Ider Bhuwana di Penataran Agung Besakih. Seluruh dewa manifestasi Tuhan itulah yang dipuja di Balai Pesamuan saat ada upacara Batara Turun Kabeh. Hal ini sebagai suatu upacara untuk mengingatkan umat Hindu agar dalam segala aspeknya kehidupannya selalu berpedoman pada penguatan spiritual yang bersumber dari ajaran agama sabda Tuhan.
Balai Pesamuan juga sebagai simbol Ida Batara turun menjumpai umatnya. Melakukan pesamuan agar sweca yang dianugerahkan sesuai dengan baktinya umat dan masineb untuk kembali ke Luhuring Akasa.
Pelinggih Ider Bhuwana itu melukiskan bahwa di bumi yang bulat inilah Tuhan itu maha ada. Karena itu, bumi yang bulat ini harus dijaga kelestariannya dengan berbuat suci agar bumi ini tidak kotor.
12. Bale Papelik
Bale Papelik, yaitu tempat menaruh sesaji. Persembahan untuk Ida Bhatara Ider Bhuana, manifestasi Ida Hyang Widdhi Wasa sebagai kekuatan yang melingkupi seluruh jagad raya.
13. Padmasana Tiga
Yaitu Kahyangan Tri Purusa masing-masing Çiwa, SadaÇiwa dan ParamaÇiwa. Padma Sana Tiga ini inilah pusat dari seluruh aktifitas dan kemulyaan di Pura Penataran Agung Besakih.
14. Bale Tegeh Linggih Mpu Pradah
Bale Tengah, tempat pemujaan pada Mpu Peradah atau Mpu Baradah, seorang pendeta suci dari abad XI. Disebut juga Rabut Peradah.
15 Bale Pepelik Sang Hyang Siyem
Bale Pepelik, tempat pemujaan-pada Ida Ratu Sanghyang Siyem, junjungan para penolak hujan (juru terang).
16. Meru Tumpang 11
Meru tumpang 11 tempat pemujaan pada Ida Bhatara Manik Makentel atau Ratu Manik Maketel, sebagai penguasa daya penggerak atau enerji.
17. Meru Tumpang 9
Meru tumpang 9, tempat pemujaan Ida Bhatara Bagus Kubakal. Beliau adalah pelindung kesucian bahan baku sesajen dan sarana upacara.
18. Piasan Alit
Piasan alit tempat sesaji.
19. Palinggih Bebaturan
Palinggih Bebaturan tempat pemujaan kepada Bhatara Sila Majemuh, penguasa atas musim dan keteraturan cuaca.
20. Bale Panggungan Kembang Sirang
Panggungan, yaitu tempat sesaji atau bebanten. Sebuah bale besar bersaka 16 tempat dilakukannya upacara Mapeselang.
21. Bale Gong
Bale Gong, balai tempat menabuh gambelan. Dulu tempat ini dipakai untuk menjamu raja, keluarganya atau pangreh praja yang lain. saat mereka berkunjung ke pura.
Bale Piasan
Bale Piasan, tempat menghias pretima-pretima.
Lain-lain
------------------------------------------
Pelinggih Tiga Pandita di Pura Besakih
Sang Hyang Brahma Aji maputra tetiga, panua Sang Siwa, pamadya Sang Bodha, pamitut Sang Bujangga, Sang Siwa kapica Agninglayang amrestista akasa, Sang Bodha kapica Agnisara amrestista pawana, Sang Bujangga kapica Agni Sinararasa Mratista sarwaprani, iti ngaran Sang Tri Bhuwana Katon.
(Dipetik dari Lontar Ekapratama)
Maksudnya:
Hyang Brahma berputra tiga yaitu tertua Sang Siwa, yang kedua Sang Bodha dan yang terkecil Sang Bujangga. Sang Siwa diberi senjata Agni Ngelayang untuk menyucikan akasa, Sang Bodha diberi senjata Agnisara untuk menyucikan atmosfir dan Sang Bujangga diberi senjata Agni Sinararasa untuk menyucikan sarwaprani. Beliau ini disebut Sang Tri Bhuwana Katon.
Di jajaran belakang Padma Tiga dan di depan Balai Pesamuan terdapat tiga pelinggih berjejer. Pelinggih itu umum menyatakan berbentuk gedong, tetapi menurut pendapat penulis itu adalah Pelinggih Meru Tumpang Siki. Pelinggih yang di tengah sebagai pemujaan Mpu Beradah, di kirinya Pelinggih Sang Hyang Siem dan yang di kanan untuk Danghyang Markandia. Tiga pandita ini berbeda paksa, sampradaya atau sektanya.
Mpu Beradah sebagai Pandita Siwa, Sang Hyang Siem adalah dari Budha dan Resi Markandia adalah Bujangga Waisnawa. Tiga pandita atau resi ini nampaknya sebagai perwujudan konsep Sang Tri Bhuwana Katon yang dinyatakan dalam Lontar Eka Pratama. Maksud Sang Tri Bhuwana Katon ini adalah beliau yang suci yang nampak di bumi ini untuk memimpin umat manusia.
Kemungkinan besar konsep Sang Tri Bhuwana Katon ini yang disebut Tri Sadhaka. Kata ''sadhaka'' artinya orang yang mampu melakukan sadhana yaitu merealisasikan atau mewujudkan kesucian dharma pada dirinya. Kata sadhaka berasal dari kata sadhana yang artinya kegiatan merealisasikan dharma dalam diri. Kalau sudah berhasil barulah disebut sadhaka.
Kalau kita perhatikan makna yang terkandung dalam Lontar Ekapratama tersebut bahwa keberadaan tiga pandita Siwa, Budha dan Bujangga Waisnawa itu sebagai ciptaan Tuhan untuk memimpin umat manusia memelihara kelestarian tiga lapisan bhuwana ini yaitu Bhur, Bhuwah dan Swah Loka.
Pada zaman modern sekarang ini tiga lapisan alam itu setiap hari dijejali oleh perbuatan manusia yang dapat mengotori tiga lapisan alam tersebut. Di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya setiap Sasih Kesanga ada upacara Melasti dan upacara Tawur Kesanga di selenggarakan oleh umat Hindu. Upacara tersebut untuk mengingatkan umat agar dalam hidupnya ini senantiasa menegakkan upaya memuja Tuhan untuk menegakan Rta dan Dharma.
Kalau keberadaan alam selalu sesuai dengan Rta maka alam itu akan menjadi sumber penghidupan umat manusia sepanjang zaman. Demikian pula kalau dharma selalu tegak sebagai dasar kehidupan bersama dalam masyarakat maka manusia pun akan selalu dapat mewujudkan kebersamaan yang baik sebagai lingkungan sosial yang dinamis, harmonis dan sinergis. Pemujaan Tuhan untuk tegaknya Rta dan dharma inilah sesungguhnya aplikasi Tri Hita Karana.
Pemujaan Tuhan untuk tegaknya Rta menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alamnya. Sedangkan pemujaan Tuhan untuk tegaknya dharma akan menciptakan hubungan harmonis antara manusia dengan sesama manusia. Artinya pemujaan Tuhan yang menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan itu untuk Rta dan dharma.
Saat diselenggarakannya Tawur Kesanga untuk ditingkat propinsi ada tiga pandita yang mapuja. Tiga pandita inilah yang disebut oleh masyarakat umum Tri Sadaka. Pandita Siwa memuja untuk memohon kepada Tuhan agar umat dituntun untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat mengotori akasa. Pandita Budha memuja untuk memohon kepada Tuhan demi kebersihan lapisan atmosfir. Sedangkan Pandita Bujangga memuja Tuhan untuk kesejahteraan sarwaprani.
Tiga lapisan alam ini sesungguhnya tidak terpisah-pisah adanya satu sama lain saling tergantung. Kalau salah atau lapisan yang rusak akan dapat merusak lapisan yang lain. Nampaknya pembuatan pelinggih untuk pemujaan tiga pandita ini didasarkan oleh Lontar Eka Pratama yang dikutip di atas.
Dari penempatan tiga pelinggih untuk tiga resi atau pandita itu dapat diambil sebagai suatu teladan bagi umat Hindu terutama yang ada di Bali bahwa tiga resi itu sebagai penuntun umat dalam mengembangkan pembinaan kehidupan alam dan manusia secara seimbang. Tiga pandita resi itu adalah sebagai Adi Guru Loka artinya sebagai guru yang utama dari masyarakat.
Pemujaan pada tiga sadhaka inilah sebagai suatu peringatan pada umat untuk berguru dalam menjaga kelestarian ibu pertiwi dengan enam hal. Enam hal yang harus dilakukan untuk menjaga tegaknya kelestarian ibu pertiwi dinyatakan dalam Atharvaveda XII.1.1.Ena hal itu adalah ''Satya. Rta, Tapa, Diksa, Brahma dan Yadnya. Umat pada umumnya dalam melakukan upaya melakukan enam hal menjaga ibu pertiwi atau Sad Pertiwi Daryante. Hendaknya senantiasa memohon tuntunan tiga macam pandita tersebut. Memohon tuntutan untuk menjaga kelestarian akasa, kebersihan udara dari polusi (amratistha pawana) dan menjaga kelestarian sarwaprani.
Satya adalah adalah sikap hidup yang konsisten dan konsekuen bertindak berdasarkan kebenaran dan kejujuran (Satya). Rta adalah perilaku yang menjaga kesejahteraan alam, Tapa adalah perilaku membina ketahanan diri untuk melawan binakinya hawa nafsu. Diksa adalah suatu upaya untuk terus berupaya mencapai kehidupan suci sampai mencapai status Dwijati.
Artinya tidak hanya lahir dari rahim ibu saja, tetapi bisa lahir dari rahimnya Weda melalui tuntunan pandita atau resi. Brahma artinya selalu berdoa dan belajar dengan tekun. Doa dengan mengucapkan mantra-mantra Veda tersebut dapat menguatkan eksistensi Dewi Sampad atau kecenderungan kedewaan.
Yadnya adalah sikap hidup yang senantiasa tulus dan ikhlas untuk rela berkorban demi tujuan yang lebih mulia. Enam hal itulah yang wajib dilakukan oleh umat atas tuntunan tiga pandita resi untuk menjaga agar Sad Pertiwi Daryante itu terlaksana dengan baik. *I Ketut Gobyah
Semoga berkenan, kurang lebihnya mohon dimaklumi…Ampura…Suksma …Rahayu…
Reference
1. Image : https://www.google.com/ dan dxt visual art
3. Koerniatmanto S., 2019. KAHYANGAN IDA SANG HYANG WIDHI WASA: Petunjuk Arah Tirthayatra Pura dan Bangunan Suci Hindu di Pulau Bali. IHDN Press.
4. Idedhyana, Ida Bagus, Sueca, Ngakan Putu, Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin, and Wibawa, Ida Bagus Wira. (2020), The Function and Typology of the Padmasana Tiga Architecture in Besakih Temple, Bali Indonesia. In: Journal of Social and Political Sciences, Vol.3, No.2, 291-299
Tidak ada komentar:
Posting Komentar