Pura Melanting terletak di desa Banyupoh, Kec. Grokgak, Kab. Buleleng, termasuk kawasan Bali Utara. Sekitar 50 km sebelah Barat kota Singaraja, lokasinya cukup berdekatan dengan Pura Pulaki termasuk juga Pura Pabean, Ida Mutering Jagat di Pemuteran dan Kerta Kawat, yang mana dalam sejarah berdirinya pura-pura tersebut memiliki kaitan erat satu dengan lainnya.
Pura Melanting adalah salah satu pura Kahyangan Jagat di Bali, menempati posisi penting dalam deretan nama-nama pura yang ada di Bali, sebagai masyarakat yang religius dan percaya dengan adanya satu Tuhan yaitu Ida Sang Hyang Widi Wasa, namun manifestasi-Nya dengan banyak nama sesuai fungsi dan sifatnya. Seperti halnya dengan Pura Melanting ini, merupakan pura yang bersifat fungsional karena sebagai tempat untuk memuja Ida Bhatari Melanting atau Dewi Melanting memohon kemakmuran, kesuburan, keselamatan dan agar dilancarkan dalam usaha dagang. Pura Melanting sangat berkaitan dengan usaha dagang agar dilancarkan, itulah sebabnya setiap pasar didirikan pura Melanting. Pemujaan Dewi Melanting di Pura Melanting bisa disejajarkan dengan Bhatara Rambut Sedana atau Dewa Kwera sebagai dewanya uang.
Keberadaan Pura Melanting dan pura pesanakan lainnya berkaitan erat dengan perjalanan Pendeta suci Dang Hyang Nirartha dari tanah Jawa ke Bali dalam menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai luhur agama Hindu kepada masyarakat Bali.
Sejarah Pura Melanting
Dalam perjalanan berat Dang Hyang Nirartha dikenal juga dengan gelar Dang Hyang Dwijendra dan Pedanda Sakti Wawu Rauh di bumi Bali, istri beliau, Danghyang Biyang Ketut atau disebut juga Danghyang Biyang Patni Keniten dari Belambangan, yang saat itu sedang hamil tua merasa kelelahan, persendian kakinya bengkak dan ngilu, tak kuasa rasanya mengangkat kaki untuk melanjutkan perjalanan ke arah Timur yang masih jauh. Karena hal tersebut Dang Hyang Nirartha merasa bimbang, apakah menemani istri sampai melahirkan atau melanjutkan perjalanan suci tersebut.
Malang benar, Dang Hyang Nirartha yang bijak itu sempat terbimbang sesaat hatinya, ingin direlakannya mengorbankan waktu menemani, tetapi mengingat pentingnya perjalanan dilanjutkan menuju ke timur secepatnya, maka diputuskanlah untuk meninggalkan belahan jiwanya sementara di tempat itu, ditemani salah satu putrinya, Dyah Ayu Swabawa. Putra-putrinya yang lain diajaknya serta karena mereka masih cukup kuat berjalan. Kelak sesampainya perjalan Danghyang di tujuan, akan diutusnya pengikutnya menjemput mereka.
Jadilah Peranda istri ditemani sebagian pengikutnya, melepaskan lelah sampai sehat benar, membangun huma, berladang dan bersawah, sambil mengajar ilmu-ilmu kehidupan dan menjadi suri tauladan masyarakat di daerah itu. Lama kelamaan warganya pun makin banyak, sampai ribuan orang semua setia kepadanya. Karena kesaktian dan kearifannya, warga menggagapnya sebagai Mpu Biyang, ibu seluruh masyarakat di daerah itu. Beliau melahirkan seorang putra yang tampan, diberi nama Bagus Bajra, sesuai pesan ayahndanya.
Putrinya, Dyah Ayu Swabawa pun semakin besar dan tumbuh menjadi putri yang sangat cerdas, bijak dan penuh pesona, dari wajahnya memancar wibawa kepemimpinan yang lebih dewasa dari umurnya. Di tangannya yang lembut, segala hal akan menjadi jauh lebih baik dan berguna. Jadilah beliau kesayangan masyarakat, tempat orang bertanya-tanya. Kecerdasannya nampak dalam ilmu berdagang. Salah satu nasihatnya ialah memikat pembeli dengan membantu mereka memilihkan barang-barang, hanya yang terbaik untuk pembeli, bahkan sebelum pembeli itu datang dan sebelum barang itu dibelinya, niscaya mereka akan kembali lagi, dan menjadi pelanggan yang setia.
Daerah tempat Dyah Ayu Swabawa dan ibundanya tinggal itu kian ramai dikunjungi saudagar dari tempat lain, jadilah tempat itu marak dengan perniagaan karena masyarakat senang berbelanja di tempat itu. Namun harapan akan kedatangan utusan ayahnya menjemput tak kunjung kesampaian, walau Dyah Ayu hampir tiap hari memanjat pohon yang tinggi berayun-ayun menerawang tempat yang jauh menantikan munculnya utusan itu. Akhirnya orang-orang memberinya sebutan yang hormat dan sayang dengan Dyah Ayu Melanting, sedang ibundanya, tempat orang bermohon nasihat dan pertolongan disebut dengan Empu Alaki, artinya orang arif yang bersuami, walau suaminya sedang bepergian jauh.
Waktu terus berlalu, rupanya terjadi salah paham. Peranda Istri putus asa menantikan pertemuannya kembali dengan tambatan hatinya, suami dan putra-putrinya yang lain, yang sangat dicintainya. Tak juga ada kabar berita. Beliau sangat menyesalkan perpisahan yang telah lalu, sehingga pada puncaknya, beliau menangis di sanggar pemujaan sambil mohon kepada Dewata agar dirinya bersama seluruh warganya diperbolehkan menunggu tanpa termakan usia, walau Dewata memberi persyaratan yang berat. Peranda Istri Mpu Alaki dan seluruh warganya dibebaskan dari perjalanan sang kala, luput dari penuaan dan kematian karena tua, namun tidak akan dapat dilihat orang lain. Dewata menjelaskan, persyaratan itu untuk menjaga agar umat yang lain tidak iri hati melihatnya abadi.
Kilat menyambar dan guruh menggelegar di saat itu walau tidak ada hujan dan tidak ada badai, warga Mpu Alaki lenyap dari pandangan, demi menjaga kesetiaan dan kasih sayang. Demi penantian yang panjang dan dibayar dengan keabadian.
Ida Peranda Sakti Wawu Rauh yang mengira istri dan putrinya telah moksah baru menyadari hal ini setelah beliau juga moksah di Ujung Selatan pulau Bali, di hulu batu yang sepi... Belahan jiwanya, Danghyang Patni Keniten menyusul moksah bersama sang putri yang bijak tanpa cela, Dyah Ayu Swabawa Melanting. Diikuti kemudian oleh adindanya yang termuda, pangeran Bajra sang Ratu Samar. Tempat itu kini terkenal dengan nama Pulaki, Dyah Ayu Melanting berstana di pura Melanting, Pangeran Bajra di pura Kerta Kawat sebagai Pangeran Mentang Yuda yang adil dalam memutuskan perkara.
Ketiganya juga dipuja dan dilinggihkan di banyak pura sebagai Ratu Niyang Lingsir yang pemurah, Dewayu Melanting yang bijak dan Ida Bagus Ratu Samar.
Walau telah moksah, Dyah Ayu Melanting tetap menyayangi dan melimpahi berkat untuk para pedagang yang mau memilihkan barang dagangan terbaik untuk pelanggan dan calon pelanggannya, di mana pun mereka berjualan, dibantu oleh Batari Manik Muncar yang melindungi kejujuran transaksi. Untuk pedagang yang melanggar hukum itu, walau tak pernah tertulis, jangan harap akan mendapat kasih dan karunia dari beliau.
Parama Suksma Hyang Widhi
Dumogi Sareng Sami Ngemanggihang Kerahayuan lan Kesukertan
Reference
1. Image : https://www.google.com/maps/ dan @ 2020 Google Earth Pro
2. Pura Melanting Pulaki @ http://www.babadbali.com/