Kamis, 23 Juni 2022

PURA MELANTING PULAKI

 


Pura Melanting terletak di desa Banyupoh, Kec. Grokgak, Kab. Buleleng, termasuk kawasan Bali Utara. Sekitar 50 km sebelah Barat kota Singaraja, lokasinya cukup berdekatan dengan Pura Pulaki termasuk juga Pura Pabean, Ida Mutering Jagat di Pemuteran dan Kerta Kawat, yang mana dalam sejarah berdirinya pura-pura tersebut memiliki kaitan erat satu dengan lainnya.
Pura Melanting adalah salah satu pura Kahyangan Jagat di Bali, menempati posisi penting dalam deretan nama-nama pura yang ada di Bali, sebagai masyarakat yang religius dan percaya dengan adanya satu Tuhan yaitu Ida Sang Hyang Widi Wasa, namun manifestasi-Nya dengan banyak nama sesuai fungsi dan sifatnya. Seperti halnya dengan Pura Melanting ini, merupakan pura yang bersifat fungsional karena sebagai tempat untuk memuja Ida Bhatari Melanting atau Dewi Melanting memohon kemakmuran, kesuburan, keselamatan dan agar dilancarkan dalam usaha dagang. Pura Melanting sangat berkaitan dengan usaha dagang agar dilancarkan, itulah sebabnya setiap pasar didirikan pura Melanting. Pemujaan Dewi Melanting di Pura Melanting bisa disejajarkan dengan Bhatara Rambut Sedana atau Dewa Kwera sebagai dewanya uang.
Keberadaan Pura Melanting dan pura pesanakan lainnya berkaitan erat dengan perjalanan Pendeta suci Dang Hyang Nirartha dari tanah Jawa ke Bali dalam menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai luhur agama Hindu kepada masyarakat Bali.
Sejarah Pura Melanting
Dalam perjalanan berat Dang Hyang Nirartha dikenal juga dengan gelar Dang Hyang Dwijendra dan Pedanda Sakti Wawu Rauh di bumi Bali, istri beliau, Danghyang Biyang Ketut atau disebut juga Danghyang Biyang Patni Keniten dari Belambangan, yang saat itu sedang hamil tua merasa kelelahan, persendian kakinya bengkak dan ngilu, tak kuasa rasanya mengangkat kaki untuk melanjutkan perjalanan ke arah Timur yang masih jauh. Karena hal tersebut Dang Hyang Nirartha merasa bimbang, apakah menemani istri sampai melahirkan atau melanjutkan perjalanan suci tersebut.


Malang benar, Dang Hyang Nirartha yang bijak itu sempat terbimbang sesaat hatinya, ingin direlakannya mengorbankan waktu menemani, tetapi mengingat pentingnya perjalanan dilanjutkan menuju ke timur secepatnya, maka diputuskanlah untuk meninggalkan belahan jiwanya sementara di tempat itu, ditemani salah satu putrinya, Dyah Ayu Swabawa. Putra-putrinya yang lain diajaknya serta karena mereka masih cukup kuat berjalan. Kelak sesampainya perjalan Danghyang di tujuan, akan diutusnya pengikutnya menjemput mereka.
Jadilah Peranda istri ditemani sebagian pengikutnya, melepaskan lelah sampai sehat benar, membangun huma, berladang dan bersawah, sambil mengajar ilmu-ilmu kehidupan dan menjadi suri tauladan masyarakat di daerah itu. Lama kelamaan warganya pun makin banyak, sampai ribuan orang semua setia kepadanya. Karena kesaktian dan kearifannya, warga menggagapnya sebagai Mpu Biyang, ibu seluruh masyarakat di daerah itu. Beliau melahirkan seorang putra yang tampan, diberi nama Bagus Bajra, sesuai pesan ayahndanya.
Putrinya, Dyah Ayu Swabawa pun semakin besar dan tumbuh menjadi putri yang sangat cerdas, bijak dan penuh pesona, dari wajahnya memancar wibawa kepemimpinan yang lebih dewasa dari umurnya. Di tangannya yang lembut, segala hal akan menjadi jauh lebih baik dan berguna. Jadilah beliau kesayangan masyarakat, tempat orang bertanya-tanya. Kecerdasannya nampak dalam ilmu berdagang. Salah satu nasihatnya ialah memikat pembeli dengan membantu mereka memilihkan barang-barang, hanya yang terbaik untuk pembeli, bahkan sebelum pembeli itu datang dan sebelum barang itu dibelinya, niscaya mereka akan kembali lagi, dan menjadi pelanggan yang setia.
Daerah tempat Dyah Ayu Swabawa dan ibundanya tinggal itu kian ramai dikunjungi saudagar dari tempat lain, jadilah tempat itu marak dengan perniagaan karena masyarakat senang berbelanja di tempat itu. Namun harapan akan kedatangan utusan ayahnya menjemput tak kunjung kesampaian, walau Dyah Ayu hampir tiap hari memanjat pohon yang tinggi berayun-ayun menerawang tempat yang jauh menantikan munculnya utusan itu. Akhirnya orang-orang memberinya sebutan yang hormat dan sayang dengan Dyah Ayu Melanting, sedang ibundanya, tempat orang bermohon nasihat dan pertolongan disebut dengan Empu Alaki, artinya orang arif yang bersuami, walau suaminya sedang bepergian jauh.


Waktu terus berlalu, rupanya terjadi salah paham. Peranda Istri putus asa menantikan pertemuannya kembali dengan tambatan hatinya, suami dan putra-putrinya yang lain, yang sangat dicintainya. Tak juga ada kabar berita. Beliau sangat menyesalkan perpisahan yang telah lalu, sehingga pada puncaknya, beliau menangis di sanggar pemujaan sambil mohon kepada Dewata agar dirinya bersama seluruh warganya diperbolehkan menunggu tanpa termakan usia, walau Dewata memberi persyaratan yang berat. Peranda Istri Mpu Alaki dan seluruh warganya dibebaskan dari perjalanan sang kala, luput dari penuaan dan kematian karena tua, namun tidak akan dapat dilihat orang lain. Dewata menjelaskan, persyaratan itu untuk menjaga agar umat yang lain tidak iri hati melihatnya abadi.
Kilat menyambar dan guruh menggelegar di saat itu walau tidak ada hujan dan tidak ada badai, warga Mpu Alaki lenyap dari pandangan, demi menjaga kesetiaan dan kasih sayang. Demi penantian yang panjang dan dibayar dengan keabadian.
Ida Peranda Sakti Wawu Rauh yang mengira istri dan putrinya telah moksah baru menyadari hal ini setelah beliau juga moksah di Ujung Selatan pulau Bali, di hulu batu yang sepi... Belahan jiwanya, Danghyang Patni Keniten menyusul moksah bersama sang putri yang bijak tanpa cela, Dyah Ayu Swabawa Melanting. Diikuti kemudian oleh adindanya yang termuda, pangeran Bajra sang Ratu Samar. Tempat itu kini terkenal dengan nama Pulaki, Dyah Ayu Melanting berstana di pura Melanting, Pangeran Bajra di pura Kerta Kawat sebagai Pangeran Mentang Yuda yang adil dalam memutuskan perkara.
Ketiganya juga dipuja dan dilinggihkan di banyak pura sebagai Ratu Niyang Lingsir yang pemurah, Dewayu Melanting yang bijak dan Ida Bagus Ratu Samar.
Walau telah moksah, Dyah Ayu Melanting tetap menyayangi dan melimpahi berkat untuk para pedagang yang mau memilihkan barang dagangan terbaik untuk pelanggan dan calon pelanggannya, di mana pun mereka berjualan, dibantu oleh Batari Manik Muncar yang melindungi kejujuran transaksi. Untuk pedagang yang melanggar hukum itu, walau tak pernah tertulis, jangan harap akan mendapat kasih dan karunia dari beliau.
Parama Suksma Hyang Widhi ๐Ÿ™❤️๐Ÿ™
๐Ÿ’˜Dumogi Sareng Sami Ngemanggihang Kerahayuan lan Kesukertan๐Ÿ’˜

Pura Kayangan Jagat Pajinengan Gunung Tap Sai

 


Pura Pajinengan Tap Sai terletak di Lereng Gunung Agung rute Jalan Rendang menuju Tianyar di Br. Dinas Puragai, Desa Pempatan, Rendang – Karangasem. Sepanjang jalan menuju pura dengan nuansa pegunungan dengan udara yang sejuk memberi rasa tenang dan nyaman. Berdasarkan Lontar Kuntara Bhuana Bangsul disebutkan Pura Pajinengan Tap Sai terletak dikawasan lereng Gunung Tohlangkir atau Gunung Agung, tepatnya di Puncak Bukit Jineng.
Pura Tap Sai merupakan pura yang dinamai dari kebiasaan bhakta (umat) yang tangkil (datang) ke pura untuk meminta keselamatan dan penganugerahan. Tap Sai berasal dari kata matapa saisai (bertapa atau semedi setiap hari) meminta amertha.


Pura Tap Sai di-empon oleh krama dari Banjar Adat Puragai Rendang. Oleh karena pura ini adalah linggih atau stana Tri Upa Sedana, maka pura ini memiliki 3 hari besar upacara piodalan. Pada Rahina Buda Cemeng Klawu, piodalan Ida Bhatara Rambut Sedhana (piodalan utama). Pada Sukra Umanis Klawu, piodalan Ida Bhatara Sri, dan Saniscara Umanis Watugunung piodalan Ida Bhatara Saraswati. Namun, pura ini dinyatakan selalu saja dikunjungi bhakta untuk sembahyang tatkala hari Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon dan hari tertentu lainnya.
Menurut penuturan Jro Mangku Pura Tap Sai, Mangku Kariasa, pura tersebut belum diketahuinya secara persis kapan kemunculannya. Sebab, diketahuinya pura tersebut sudah lama berdiri sejak kakek buyutnya ada. Namun, dari beberapa sumber, utamanya dari Lontar Kuntara Bhuana Bangsul, dipaparkan Pura Tap Sai adalah pura yang terletak di kawasan lereng Gunung Toh Langkir atau Gunung Agung, tepatnya di puncak bukit Jineng.
Dalam lontar tersebut disebutkan bahwa ada 3 dewi yang berstana di dalam Pura Tap Sai, yaitu Ida Dewi Saraswati, Ida Dewi Sri dan Ida Dewi Laksmi. Ketiganya disebut dengan Bhatara Rambut Sedana atau Tri Upa Sedana atau tiga dewi pemberi kesuburan dan penganugerahan. Dalam manifestasinya, Bhatara Rambut Sedana menjelma menjadi Dewi Laksmi yaitu dewa dari sawah dan tegalan. Sementara dalam wujud dewi sandang, papan dan makanan, Bhatara Rambut Sedana bermanifestasi sebagai Dewi Sri.
Berikut adalah urutan persembahyangan di Pura Tap Sai:
1. Dimulai dari Nista Mandala ( Jaba Sisi ) pelinggih paling bawah yaitu palinggih Ratu Penyarikan Pengadang-adang, kemudian berlanjut ke palinggih Ratu Gede Mekele Lingsir, palinggih ini berupa sebuah batu besar dengan tulisan aksara (huruf) Bali kuno yang di belakangnya terdapat sebuah pohon besar yang disakralkan, Pelinggih batu tersebut diibaratkan “protokoler” dari Ida Ratu Gede Mekele Lingsir yang mengkomandoi rerencang Ida Bhatara selaku “satpam” dari Gunung Puncak Mundi. Dilanjutkan lagi ke palinggih berikutnya yaitu palinggih Widyadara-widyadari. Berlanjut ke palinggih Pengayengan Ratu Dalem Ped, persembahyangan berlanjut lagi ke Pura Beji dan melukat dengan tirta yang dikenal dengan Tirta Bang. Di kawasan Pura Pajinengan Gunung Tap Sai ada tiga buah sumber tirta yaitu Tirta Bang, Tirta Putih dan Tirta Selem, Tirta Bang bisa ditemukan di pura Beji, sedangkan jika anda ingin nunas Tirta Putih, karena belum dialirkan ke bawah sehingga anda harus mendaki, tetapi Tirta Selem bisa ditemukan di utama mandala pura.


2. Setelah rangkaian persembahyangan dan melukat di beji, barulah anda sampai di Memasuki kawasan madya mandala, terdapat sebuah palinggih Ganesha yang berstana Ida Bhatara Sanghyang Ganapati (Ganesha) selaku perwujudan Ida Bhatara Rambut Sedana yang memberikan perlindungan dan pemusnah rintangan bagi umat manusia. Letak bangunan tersebut agak menyamping di sebelah kiri pura dengan di belakangnya juga terdapat pohon besar yang disakralkan. Serta beberapa buah bale pesanekan.
3. Setelah Madya Mandala ( Jaba Tengah ), barulah memasuki areal utama mandala, Sedangkan kawasan utama mandala, merupakan inti dari bangunan palinggih Ida Bhatara Tri Upa Sedana atau tiga dewi pemberi kesuburan dan penganugerahan. Di kompleks tersebutlah keberadaan pelinggih Lingga Yoni Ida Bhatara, tempat memohon keselamatan dan penganugerahan. Para pemedek yang tangkil biasanya menghaturkan 11 batang dupa di tempat tersebut, sembari memohon hal yang mereka inginkan. Menariknya, di belakang kompleks utamaning mandala berdiri sebuah pohon beringin yang sangat besar dan begitu disakralkan. Di sana dulu terdapat arca Lingga Yoni yang kini terlilit dan menjadi satu ke dalam pohon beringin tersebut. “Dulu Lingga Yoni itu sempat dibawa pulang oleh masyarakat, tapi sesampainya di rumah menghilang. Esoknya sudah kita dapati kembali lagi di pura. Dari sanalah di-linggih-kan di depan pohon, dan kini dililit sehingga tidak kelihatan,” papar Mangku Kariasa. dan selanjutnya dilanjutkan persembahyangan di pelinggih Ratu Hyang Bungkut.
Jadi persembahyangan di Pura Pajinengan Gunung Tap Sai, harus melewati urutan tersebut di atas, tidak boleh langsung masuk ke areal utama atau kawasan utama mandala, sarana persembahyangan (banten) tidak diperkenankan menggunakan sarana daging babi. Umat yang bersembahyang (pemedek) harus mengikuti aturan persembahyangan agar tidak terjadi hal-hal negatif.

Rabu, 22 Juni 2022

MANDALA KEDUA - PURA PENATARAN AGUNG BESAKIH

 


Mandala kedua ini adalah tempat umat berinteraksi dengan Tuhan. Umat mempersembahkan ketulusan bakti, dan Tuhan akan menerima persembahan itu. Karena itu segala bentuk upacara dipusatkan di sini. Inilah Mandala yang menggambarkan peradaban (social life) manusia.
Unsur- unsur dari Mandala Kedua ini anatara lain adalah:
A. Kori Agung - Gelung Agung
Gelung Agung atau Kuri Agung, yaitu pintu untuk keluar masuk ke Mandala Kedua dan mandala- mandala di atasnya.
B. Bale Mundar-mandir atau Bale Ongkara.
Bale Mundar-mandir atau Bale Ongkara terletak di sebelah kanan kiri Candi Kurung, dimaksudkan sebagai pengingat kepada umat yang akan memasuki Kori Agung untuk terlebih dahulu mengheningkan pikiran sejenak menyatukan konsentrasi pada kesucian, karena ia akan mulai masuk ke halaman Pura Penataran Agung. Bangunan Bale ini bersaka tunggal, sangat artistik.
08. Bale Pawedaan
Bale Gajah atau Bale Pawedaan, yaitu tempat yang disediakan bagi para sulinggih yang akan melakukan pemujaan.
09. Bale Agung
Bale Agung, yaitu sebuah Balai Panjang yang disediakan untuk tempat paruman atau bersidang dan pare rohaniawan yaitu para sulinggih dan para walaka.
10. Bale Kawas
Bale Kawas atau Gedong Kawas, penyimpanan sementara untuk bahan baku sesajen.
11. Bale Pesamuan Agung
Pesamuan Agung, ialah sebuah balai panjang dimana terdapat ร‡iwa Lingga dan tempat stana arca arca prelingga. Di tempat ini Ida Bhatara berstana bersama dalam interaksi dengan umat. Di sebelah kiri Balai Pesamuan terdapat Pelinggih Sang Hyang Ider Bhuwana. Dua pelinggih ini memiliki hubungan yang sangat erat dalam menggambarkan keberadaan kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa di alam semesta ini.


Di Balai Pesamuan itu sebagai tempat upacara yang melukiskan berkumpul dan bersatunya semua dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang dipuja di kompleks Pura Besakih, baik yang ada di Pelinggih Soring Ambal-Ambal maupun di Pelinggih Luhuring Ambal-Ambal. Upacara yang melukiskan semua Dewa manifestasi Tuhan berkumpul di Balai Pesamuan itu umumnya dilakukan saat ada upacara Batara Turun Kabeh.
Kata Batara Turun Kabeh artinya semua Dewa manifestasi Tuhan yang disebut Batara itu turun dan bersatu untuk memberikan anugerah kepada umatnya yang berbakti kepada Tuhan. Upacara Batara Turun Kabeh ini dilakukan setiap tahun pada Sasih Kedasa.
Saat dilangsungkan upacara Batara Turun Kabeh itu simbol-simbol sakral yang utama yang ada di semua kompleks Pura Besakih itu diusung secara ritual dan distanakan di Balai Pesamuan. Hal ini menggambarkan bahwa para Dewa bersatu untuk memberikan karunia pada umat sesuai dengan kadar karma dan baktinya. Hal ini sesungguhnya sangat menarik untuk dipahami secara teologi Hindu.
Agama Hindu mengajarkan bahwa Tuhan itu esa tetapi kemahakuasaan Tuhan itu tiada terbatas. Manusia tidak mungkin dapat memahami dan mampu memuja Tuhan dengan semua kemahakuasaan-Nya. Dalam ajaran Hindu Kemahakuasaan Tuhan itu disimbolkan ada di seluruh penjuru. Artinya ada di delapan penjuru angin dan tiga di tengah yaitu bawah, tengah, dan atas. Tidak ada penjuru alam ini tanpa kehadiran Tuhan. Seluruh penjuru itu dilambangkan menjadi sebelas penjuru tersebut.
Seluruh penjuru itu kalau dihubungkan dengan suatu garis akan melingkar bulat. Karena itu Bhuwana Agung itu dilukiskan sebagai Pelinggih Ider Bhuwana stana Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu di kiri Balai Pesamuan ada Pelinggih Ider Bhuwana di Penataran Agung Besakih. Seluruh dewa manifestasi Tuhan itulah yang dipuja di Balai Pesamuan saat ada upacara Batara Turun Kabeh. Hal ini sebagai suatu upacara untuk mengingatkan umat Hindu agar dalam segala aspeknya kehidupannya selalu berpedoman pada penguatan spiritual yang bersumber dari ajaran agama sabda Tuhan.
Balai Pesamuan juga sebagai simbol Ida Batara turun menjumpai umatnya. Melakukan pesamuan agar sweca yang dianugerahkan sesuai dengan baktinya umat dan masineb untuk kembali ke Luhuring Akasa.
Pelinggih Ider Bhuwana itu melukiskan bahwa di bumi yang bulat inilah Tuhan itu maha ada. Karena itu, bumi yang bulat ini harus dijaga kelestariannya dengan berbuat suci agar bumi ini tidak kotor.
12. Bale Papelik
Bale Papelik, yaitu tempat menaruh sesaji. Persembahan untuk Ida Bhatara Ider Bhuana, manifestasi Ida Hyang Widdhi Wasa sebagai kekuatan yang melingkupi seluruh jagad raya.
13. Padmasana Tiga
Yaitu Kahyangan Tri Purusa masing-masing ร‡iwa, Sadaร‡iwa dan Paramaร‡iwa. Padma Sana Tiga ini inilah pusat dari seluruh aktifitas dan kemulyaan di Pura Penataran Agung Besakih.
14. Bale Tegeh Linggih Mpu Pradah
Bale Tengah, tempat pemujaan pada Mpu Peradah atau Mpu Baradah, seorang pendeta suci dari abad XI. Disebut juga Rabut Peradah.
15 Bale Pepelik Sang Hyang Siyem
Bale Pepelik, tempat pemujaan-pada Ida Ratu Sanghyang Siyem, junjungan para penolak hujan (juru terang).


16. Meru Tumpang 11
Meru tumpang 11 tempat pemujaan pada Ida Bhatara Manik Makentel atau Ratu Manik Maketel, sebagai penguasa daya penggerak atau enerji.
17. Meru Tumpang 9
Meru tumpang 9, tempat pemujaan Ida Bhatara Bagus Kubakal. Beliau adalah pelindung kesucian bahan baku sesajen dan sarana upacara.
18. Piasan Alit
Piasan alit tempat sesaji.
19. Palinggih Bebaturan
Palinggih Bebaturan tempat pemujaan kepada Bhatara Sila Majemuh, penguasa atas musim dan keteraturan cuaca.
20. Bale Panggungan Kembang Sirang
Panggungan, yaitu tempat sesaji atau bebanten. Sebuah bale besar bersaka 16 tempat dilakukannya upacara Mapeselang.
21. Bale Gong
Bale Gong, balai tempat menabuh gambelan. Dulu tempat ini dipakai untuk menjamu raja, keluarganya atau pangreh praja yang lain. saat mereka berkunjung ke pura.
Bale Piasan
Bale Piasan, tempat menghias pretima-pretima.
Lain-lain
------------------------------------------
Pelinggih Tiga Pandita di Pura Besakih
Sang Hyang Brahma Aji maputra tetiga, panua Sang Siwa, pamadya Sang Bodha, pamitut Sang Bujangga, Sang Siwa kapica Agninglayang amrestista akasa, Sang Bodha kapica Agnisara amrestista pawana, Sang Bujangga kapica Agni Sinararasa Mratista sarwaprani, iti ngaran Sang Tri Bhuwana Katon.
(Dipetik dari Lontar Ekapratama)
Maksudnya:
Hyang Brahma berputra tiga yaitu tertua Sang Siwa, yang kedua Sang Bodha dan yang terkecil Sang Bujangga. Sang Siwa diberi senjata Agni Ngelayang untuk menyucikan akasa, Sang Bodha diberi senjata Agnisara untuk menyucikan atmosfir dan Sang Bujangga diberi senjata Agni Sinararasa untuk menyucikan sarwaprani. Beliau ini disebut Sang Tri Bhuwana Katon.
Di jajaran belakang Padma Tiga dan di depan Balai Pesamuan terdapat tiga pelinggih berjejer. Pelinggih itu umum menyatakan berbentuk gedong, tetapi menurut pendapat penulis itu adalah Pelinggih Meru Tumpang Siki. Pelinggih yang di tengah sebagai pemujaan Mpu Beradah, di kirinya Pelinggih Sang Hyang Siem dan yang di kanan untuk Danghyang Markandia. Tiga pandita ini berbeda paksa, sampradaya atau sektanya.
Mpu Beradah sebagai Pandita Siwa, Sang Hyang Siem adalah dari Budha dan Resi Markandia adalah Bujangga Waisnawa. Tiga pandita atau resi ini nampaknya sebagai perwujudan konsep Sang Tri Bhuwana Katon yang dinyatakan dalam Lontar Eka Pratama. Maksud Sang Tri Bhuwana Katon ini adalah beliau yang suci yang nampak di bumi ini untuk memimpin umat manusia.
Kemungkinan besar konsep Sang Tri Bhuwana Katon ini yang disebut Tri Sadhaka. Kata ''sadhaka'' artinya orang yang mampu melakukan sadhana yaitu merealisasikan atau mewujudkan kesucian dharma pada dirinya. Kata sadhaka berasal dari kata sadhana yang artinya kegiatan merealisasikan dharma dalam diri. Kalau sudah berhasil barulah disebut sadhaka.


Kalau kita perhatikan makna yang terkandung dalam Lontar Ekapratama tersebut bahwa keberadaan tiga pandita Siwa, Budha dan Bujangga Waisnawa itu sebagai ciptaan Tuhan untuk memimpin umat manusia memelihara kelestarian tiga lapisan bhuwana ini yaitu Bhur, Bhuwah dan Swah Loka.
Pada zaman modern sekarang ini tiga lapisan alam itu setiap hari dijejali oleh perbuatan manusia yang dapat mengotori tiga lapisan alam tersebut. Di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya setiap Sasih Kesanga ada upacara Melasti dan upacara Tawur Kesanga di selenggarakan oleh umat Hindu. Upacara tersebut untuk mengingatkan umat agar dalam hidupnya ini senantiasa menegakkan upaya memuja Tuhan untuk menegakan Rta dan Dharma.
Kalau keberadaan alam selalu sesuai dengan Rta maka alam itu akan menjadi sumber penghidupan umat manusia sepanjang zaman. Demikian pula kalau dharma selalu tegak sebagai dasar kehidupan bersama dalam masyarakat maka manusia pun akan selalu dapat mewujudkan kebersamaan yang baik sebagai lingkungan sosial yang dinamis, harmonis dan sinergis. Pemujaan Tuhan untuk tegaknya Rta dan dharma inilah sesungguhnya aplikasi Tri Hita Karana.
Pemujaan Tuhan untuk tegaknya Rta menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alamnya. Sedangkan pemujaan Tuhan untuk tegaknya dharma akan menciptakan hubungan harmonis antara manusia dengan sesama manusia. Artinya pemujaan Tuhan yang menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan itu untuk Rta dan dharma.
Saat diselenggarakannya Tawur Kesanga untuk ditingkat propinsi ada tiga pandita yang mapuja. Tiga pandita inilah yang disebut oleh masyarakat umum Tri Sadaka. Pandita Siwa memuja untuk memohon kepada Tuhan agar umat dituntun untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat mengotori akasa. Pandita Budha memuja untuk memohon kepada Tuhan demi kebersihan lapisan atmosfir. Sedangkan Pandita Bujangga memuja Tuhan untuk kesejahteraan sarwaprani.
Tiga lapisan alam ini sesungguhnya tidak terpisah-pisah adanya satu sama lain saling tergantung. Kalau salah atau lapisan yang rusak akan dapat merusak lapisan yang lain. Nampaknya pembuatan pelinggih untuk pemujaan tiga pandita ini didasarkan oleh Lontar Eka Pratama yang dikutip di atas.
Dari penempatan tiga pelinggih untuk tiga resi atau pandita itu dapat diambil sebagai suatu teladan bagi umat Hindu terutama yang ada di Bali bahwa tiga resi itu sebagai penuntun umat dalam mengembangkan pembinaan kehidupan alam dan manusia secara seimbang. Tiga pandita resi itu adalah sebagai Adi Guru Loka artinya sebagai guru yang utama dari masyarakat.
Pemujaan pada tiga sadhaka inilah sebagai suatu peringatan pada umat untuk berguru dalam menjaga kelestarian ibu pertiwi dengan enam hal. Enam hal yang harus dilakukan untuk menjaga tegaknya kelestarian ibu pertiwi dinyatakan dalam Atharvaveda XII.1.1.Ena hal itu adalah ''Satya. Rta, Tapa, Diksa, Brahma dan Yadnya. Umat pada umumnya dalam melakukan upaya melakukan enam hal menjaga ibu pertiwi atau Sad Pertiwi Daryante. Hendaknya senantiasa memohon tuntunan tiga macam pandita tersebut. Memohon tuntutan untuk menjaga kelestarian akasa, kebersihan udara dari polusi (amratistha pawana) dan menjaga kelestarian sarwaprani.
Satya adalah adalah sikap hidup yang konsisten dan konsekuen bertindak berdasarkan kebenaran dan kejujuran (Satya). Rta adalah perilaku yang menjaga kesejahteraan alam, Tapa adalah perilaku membina ketahanan diri untuk melawan binakinya hawa nafsu. Diksa adalah suatu upaya untuk terus berupaya mencapai kehidupan suci sampai mencapai status Dwijati.
Artinya tidak hanya lahir dari rahim ibu saja, tetapi bisa lahir dari rahimnya Weda melalui tuntunan pandita atau resi. Brahma artinya selalu berdoa dan belajar dengan tekun. Doa dengan mengucapkan mantra-mantra Veda tersebut dapat menguatkan eksistensi Dewi Sampad atau kecenderungan kedewaan.
Yadnya adalah sikap hidup yang senantiasa tulus dan ikhlas untuk rela berkorban demi tujuan yang lebih mulia. Enam hal itulah yang wajib dilakukan oleh umat atas tuntunan tiga pandita resi untuk menjaga agar Sad Pertiwi Daryante itu terlaksana dengan baik. *I Ketut Gobyah
Semoga berkenan, kurang lebihnya mohon dimaklumi…Ampura…Suksma …Rahayu…๐Ÿ™๐Ÿ•‰️๐Ÿ™
Reference
1. Image : https://www.google.com/ dan dxt visual art
3. Koerniatmanto S., 2019. KAHYANGAN IDA SANG HYANG WIDHI WASA: Petunjuk Arah Tirthayatra Pura dan Bangunan Suci Hindu di Pulau Bali. IHDN Press.
4. Idedhyana, Ida Bagus, Sueca, Ngakan Putu, Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin, and Wibawa, Ida Bagus Wira. (2020), The Function and Typology of the Padmasana Tiga Architecture in Besakih Temple, Bali Indonesia. In: Journal of Social and Political Sciences, Vol.3, No.2, 291-299


๐’๐ข๐ฆ๐›๐จ๐ฅ ๐ƒ๐š๐ง ๐Œ๐š๐ค๐ง๐š ๐๐ž๐ซ๐ฅ๐ž๐ง๐ ๐ค๐š๐ฉ๐š๐ง ๐๐ž๐ง๐ฃ๐จ๐ซ

 

Fungsi atau makna penjor Galungan dalam kegiatan upacara dan hari raya agama Hindu di Bali, berkaitan erat dengan Galungan melambangkan pertiwi bhuwana Agung dan simbol gunung yang memberikan kesejahteraan dan keselamatan. Lambang pertiwi digambarkan sebagai bentuk wujud naga Basuki dan Ananta Boga. Jadi Penjor di Bali berfungsi sebagai sarana perlengkapan upakara yang memiliki nilai sakral dan dalam pembuatannya harus memperhatikan unsur-unsur ataupun alat-alat yang dipakai melengkapi penjor tersebut. Penjor bisa dibuat seindah atau seseni mungkin sesuai dengan kemampuan, atau bahkan dibuat dengan sederhana sesuai kemampuan, situasi dan kondisi, namun yang tidak bisa dikurangi adalah unsur perlengkapannya.
Penjor sendiri dibuat menggunakan alat atau unsur-unsur dari alam semesta, seperti batang bambu, jenis daun (plawa) seperti janur, cemara, pakis aji dan andong, untuk buah-buahan dan umbi-umbian yang digolongkan sebagai pala bungkah (umbi-umbian) seperti umbi ketela, pala gantung seperti buah kelapa, pisang, mentimun atau jambu dan pala wija (buah berbiji) seperti jagung dan padi juga dilengkapi dengan kue, tebu dan uang kepeng. Semua hasil bumi atau hasil dari alam semesta tersebut juga memberikan arti sebagai rasa bakti dan ucapan terima kasih atas segala kemakmuran yang diberikan oleh Ida Sang Hyang Widi Wasa pada umat manusia.


Unsur-unsur pada penjor merupakan simbol-simbol sebagai berikut:
Bambu, adalah simbol gunung dan gunung tempat stana para Ida Sang Hyang Widi dan juga sebagai simbol kekuatan Hyang Brahma
Bambu (tiying) dibungkus ambu/kasa, simbol kekuatan Dewa Maheswara
Kain putih kuning, simbol kekuatan Dewa Iswara
Sampian, simbol kekuatan Dewa Parama Siwa
Janur, simbol kekuatan Dewa Mahadewa
Kue (jaja uli +gina), simbol kekuatan Dewa Brahma
Kelapa, simbol kekuatan Dewa Rudra
Pala bungkah, pala gantung, simbol kekuatan Dewa Wisnu
Tebu, sebagai simbol kekuatan Dewa Sambu
Plawa, simbol kekuatan Dewa Sangkara
Sanggah Cucuk, simbol kekuatan Dewa Siwa
Lamak, simbol Tribhuana
Banten Upakara sebagai simbol kekuatan Dewa Sadha Siwa
Klukuh berisi pisang, tape dan jaja, simbol kekuatan Dewa Boga
Ubag-abig, simbol Rare Angon
Hiasan cili, gegantungan, simbol widyadari
Tamiang, sebagai simbol penolak bala atau kejahatan
Unsur-unsur tersebut diatas diperlukan saat pembuatan penjor upacara di Bali karena melambangkan simbol-simbol suci atas dasar atau landasan dari implementasi ajaran kitab suci weda, yang berkaitan erat dengan nilai-nilai dan etika agama Hindu. Sedangkan penjor dekorasi tidak perlu melengkapi dengan semua unsur tersebut di atas, cukup agar penjor tersebut tampil menarik dan indah. Penjor adalah sebuah bagian warisan dan budaya dan tradisi agama Hindu di Bali.
Penjor Galungan ini sendiri dicabut genap setelah 35 hari Raya Galungan atau dikenal dengan Budha Kliwon Pahang. Dengan banten Tumpeng Puncak Manik, peralatan penjor dibakar, kemudian abunya dimasukkan ke klungah nyuh (kelapa) gading dan kemudian ditanam di hulu pekarangan rumah ataupun bisa dihanyut ke laut.
Rahajeng Nyangre Rahina Galungan kan Kuningan...Dumogi Sami Rahayu ๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™

galungan dan kuningan

 


Dalam sebuah cerita mitologi Hindu Bali dikisahkan bahwa di Pulau Bali terdapat seseorang raksasa yang sangat sakti dan ditakuti oleh semua masyarakat. Raksasa itu bernama Mayadenawa. Mayadenawa melarang semua masyarakat hindu bali untuk melakukan persembahyangan ke pura untuk memuja Dewa-dewa, karena Mayadenawa ingin semua masyarakat menyembahnya. Karena merasa sangat geram terhadap tingkah laku Mayadenawa tersebut, maka diutuslah Bhatara Indra untuk turun ke mercepade (Dunia) untuk menemui dan menghabisi raksasa Mayadenawa tersebut. Diceritakan bahwa Ide Bhatara Indra sudah berada di sebuah tempat yang memiliki tingkat kemiringan yang cukup terjal, disanalah beliau berhasil menjumpai Mayadenawa. Ide Bhatara Indra mengatakan kepada Mayadenawa bahwa tindakannya salah dan tidak patut untuk dilakukan. Namun Mayadenawa sangat angkuh dan sombong, bahkan dia mulai melawan. Karena melawan maka Ide Bhatara Indra pun bergegas menyerang Mayadenawa, karena kehebatan dan kesaktian yang dimiliki oleh Ide Bhatara Indra maka Mayadenawa kewalaham dibuatnya. Lalu ia berlari berusaha menjauhi Ide Bhatara Indra. Berbagai penjuru daerah sudah dikepung oleh pasukan Ide Bhatara Indra, Mayadenawa sangat merasa terancam dan ia memilih berubah bentuk menjadi seekor ayam manuk(Jantan) untuk mengelabui Ide Bhatara Indra beserta pasukannya. Namun sayangnya usaha Mayadenawa tersebut tidak berhasil karena Ide Bhatara Indra sudah mengetahuinya dan disanalah akhirnya raksasa Mayadenawa tewas ditangan Ide Bhatara Indra. Untuk memperingati kemenangan Ide Bhatara Indra (Dharma) melawan raksasa Mayadenawa (Adharma) maka diperingati sebagai Hari Raya Galungan.


Rangkaian Hari Raya Galungan:
๐“๐ฎ๐ฆ๐ฉ๐ž๐ค ๐–๐š๐ซ๐ข๐ ๐š
Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Wariga disebut Tumpek Wariga, atau Tumpek Bubuh, atau Tumpek Pengatag, atau Tumpek Pengarah jatuh 25 hari sebelum Galungan. Pada hari Tumpek Wariga Ista Dewata yang dipuja adalah Sang Hyang Sangkara sebagai Dewa Kemakmuran dan Keselamatan Tumbuh-tumbuhan. Adapun tradisi masyarakat untuk merayakannya adalahh dengan menghaturkan banten (sesaji) yang berupa Bubuh (bubur) Sumsum yang berwarna seperti:
1. Bubuh putih untuk umbi-umbian
2. Bubuh bang untuk padang-padangan
3. Bubuh gadang untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara generatif
4. Bubuh kuning untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara vegetatif Pada hari Tumpek Wariga ini semua pepohonan akan disirati tirta wangsuhpada/air suci yang dimohonkan di sebuah Pura/Merajan dan diberi banten berupa bubuh tadi disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh dan diisi sasat. Setelah selesai kemudian pemilik pohon akan menggetok atau mengelus batang pohon sambil berucap sendiri (bermonolog):
“๐˜ฟ๐™–๐™™๐™ค๐™ฃ๐™œ- ๐˜ฟ๐™–๐™™๐™ค๐™ฃ๐™œ ๐™„ ๐™‹๐™š๐™ ๐™–๐™  ๐™–๐™ฃ๐™–๐™  ๐™ ๐™ž๐™Ÿ๐™– ๐™„ ๐™‹๐™š๐™ ๐™–๐™  ๐™ฎ๐™š ๐™œ๐™š๐™ก๐™š๐™ข ๐™„ ๐™‹๐™š๐™ ๐™–๐™  ๐™œ๐™š๐™ก๐™š๐™ข ๐™–๐™ฅ๐™– ๐™™๐™ค๐™ฃ๐™œ? ๐™„ ๐™‹๐™š๐™ ๐™–๐™  ๐™œ๐™š๐™ก๐™š๐™ข ๐™ฃ๐™œ๐™š๐™™ ๐™‰๐™œ๐™š๐™™, ๐™ฃ๐™œ๐™š๐™™, ๐™ฃ๐™œ๐™š๐™™”
Dialog di atas bermakna harapan si pemilik pohon agar nantinya pohon yang diupacarai dapat segera berbuah/menghasilkan, sehingga dapat digunakan untuk upacara hari raya Galungan. Peringatan hari ini merupakan wujud Cinta Kasih manusia terhadap tumbuh-tumbuhan.
๐’๐ฎ๐ ๐ข๐ก๐š๐ง ๐‰๐š๐ฐ๐š
Sugihan Jawa berasal dari 2 kata: Sugi dan Jawa. Sugi memiliki arti bersih, suci. Sedangkan Jawa berasal dari kata jaba yang artinya luar. Secara singkat pengertian Sugihan Jawa adalah hari sebagai pembersihan/penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia (Bhuana Agung).
Pada hari ini umat melaksanakan upacara yang disebut Mererebu atau Mererebon. Upacara Ngerebon ini dilaksanakan dengan tujuan untuk nyomia/menetralisir segala sesuatu yang negatif yang berada pada Bhuana Agung disimbolkan dengan pembersihan Merajan, dan Rumah. Pada upacara Ngerebon ini, dilingkungan Sanggah Gede, Panti, Dadya, hingga Pura Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa akan menghaturkan banten semampunya. Biasanya untuk wilayah pura akan membuat Guling Babi untuk haturan yang nantinya setelah selesai upacara dagingnya akan dibagikan kepada masyarakat sekitar. Sugihan Jawa dirayakan setiap hari Kamis Wage wuku Sungsang.
๐’๐ฎ๐ ๐ข๐ก๐š๐ง ๐๐š๐ฅ๐ข
Sugihan Bali memiliki makna yaitu penyucian/pembersihan diri sendiri/Bhuana Alit (kata Bali=Wali=dalam). Tata cara pelaksanaannya adalah dengan cara mandi, melakukan pembersihan secara fisik, dan memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih sebagai simbolis penyucian jiwa raga untuk menyongsong hari Galungan yang sudah semakin dekat. Sugihan Bali dirayakan setiap hari Jumat Kliwon wuku Sungsang.


๐‡๐š๐ซ๐ข ๐๐ž๐ง๐ฒ๐ž๐ค๐ž๐›๐š๐ง
Hari Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk “nyekeb indriya” yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama.Hari Penyekeban ini dirayakan setiap Minggu Pahing wuku Dungulan.
๐‡๐š๐ซ๐ข ๐๐ž๐ง๐ฒ๐š๐ฃ๐š๐ง
Penyajan berasal dari kata Saja yang dalam bahasa Bali artinya benar, serius. Hari penyajan ini memiliki filosofis untuk memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan. Menurut kepercayaan, pada hari ini umat akan digoda oleh Sang Bhuta Dungulan untuk menguji sejauh mana tingkat pengendalian diri umat Hindu untuk melangkah lebih dekat lagi menuju Galungan. Hari ini dirayakan setiap Senin Pon wuku Dungulan.
๐‡๐š๐ซ๐ข ๐๐ž๐ง๐š๐ฆ๐ฉ๐š๐ก๐š๐ง
Hari Penampahan jatuh sehari sebelum Galungan, tepatnya pada hari Selasa Wage wuku Dungulan. Penampahan atau Penampan mempunyai arti Nampa yang berarti 'Menyambut'. Pada hari ini umat akan disibukkan dengan pembuatan [penjor] sebagai ungkapan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugrah yang diterima selama ini, penjor ini dibuat dari batang bambu melengkung yang diisi hiasan sedemikian rupa. Selain membuat penjor umat juga menyembelih babi yang dagingnya akan digunakan sebagai pelengkap upacara, penyembelihan babi ini juga mengandung makna simbolis membunuh semua nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Kepercayaan masyarakat Bali pada umumnya, pada hari Penampahan ini para leluhur akan mendatangi sanak keturunannya yang ada di dunia, karena itulah masyarakat juga membuat suguhan khusus yang terdiri atas nasi, lauk-pauk, jajanan, buah, kopi, air, lekesan (daun sirih dan pinang) atau rokok yang ditujukkan kepada leluhur yang "menyinggahi" mereka di rumahnya masing-masing.
๐‡๐š๐ซ๐ข ๐‘๐š๐ฒ๐š ๐†๐š๐ฅ๐ฎ๐ง๐ ๐š๐ง
Pagi hari umat telah memulai upacara untuk Galungan ini. Dimulai dari persembahyangan di rumah masing-masing hingga ke Pura sekitar lingkungan. Tradisi yang kerap kita jumpai pada Galungan adalah Tradisi “Pulang Kampung” , umat yang berasal dari daerah lain, seperti perantauan akan menyempatkan diri untuk sembahyang ke daerah kelahirannya masing-masing. Bagi umat yang memiliki anggota keluarga yang masih berstatus [Makingsan di Pertiwi] (mapendem/dikubur), maka umat tersebut wajib untuk membawakan banten ke kuburan dengan istilah Mamunjung ka Setra, banten tersebut terdiri atas punjung seperti telah disebutkan di atas, disertai tigasan/kain saperadeg (seadanya) dan air kumkuman (air bunga).Persembahan pada saat Hari Raya Galungan.
๐‡๐š๐ซ๐ข ๐”๐ฆ๐š๐ง๐ข๐ฌ ๐†๐š๐ฅ๐ฎ๐ง๐ ๐š๐ง
Pada umanis Galungan, umat akan melaksanakan persembahyangan dan dilanjutkan dengan Dharma Santi dan saling mengunjungi sanak saudara atau tempat rekreasi. Anak-anak akan melakukan tradisi ngelawang pada hari ini. Ngelawang adalah sebuah tradisi, di mana anak-anak akan menarikan barong disertai gambelan dari pintu rumah penduduk satu ke yang lainnya (lawang ke lawang), penduduk yang mempunyai rumah tersebut kemudian akan keluar dari rumah sambil membawa canang dan sesari/uang, penduduk percaya bahwa dengan tarian barong ini dapat mengusir segala aura negatif dan mendatangkan aura positif. Umanis Galungan jatuh pada hari Kamis Umanis wuku Dungulan.


๐‡๐š๐ซ๐ข ๐๐ž๐ฆ๐š๐ซ๐ข๐๐š๐ง ๐†๐ฎ๐ซ๐ฎ
Kata Pemaridan Guru berasal dari kata Marid dan Guru.Memarid sama artinya dengan ngelungsur/nyurud (memohon) , dan Guru tiada lain adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dapat diartikan bahwa hari ini adalah hari untuk nyurud/ngelungsur waranugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Guru. Dirayakan pada Sabtu Pon wuku Galungan.
๐”๐ฅ๐ข๐ก๐š๐ง
Ulihan artinya pulang/kembali. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah hari kembalinya para dewata-dewati/leluhur ke kahyangan dengan meninggalkan berkat dan anugrah panjang umur. Dirayakan pada Minggu Wage wuku Kuningan.
๐‡๐š๐ซ๐ข ๐๐ž๐ฆ๐š๐œ๐ž๐ค๐š๐ง ๐€๐ ๐ฎ๐ง๐ 
Kata pemacekan berasal dari kata pacek yang artinya tekek (Bhs Bali.) atau tegar. Makna pemacekan agung ini adalah sebagai simbol keteguhan iman umat manusia atas segala godaan selama perayaan hari Galungan. Dirayakan pada Senin Kliwon wuku Kuningan.
๐‡๐š๐ซ๐ข ๐Š๐ฎ๐ง๐ข๐ง๐ ๐š๐ง
Hari Suci Kuningan dirayakan umat dengan cara memasang tamiang,kolem, dan endong.Tamiang adalah simbol senjata Dewa Wisnu karena menyerupai Cakra, Kolem adalah simbol senjata Dewa Mahadewa, sedangkan Endong tersebut adalah simbol kantong perbekalan yang dipakai oleh Para Dewata dan Leluhur kita saat berperang melawan adharma. Tamiang kolem dipasang pada semua palinggih, bale, dan pelangkiran, sedangkan endong dipasang hanya pada palinggih dan pelangkiran. Tumpeng pada banten yang biasanya berwarna putih diganti dengan tumpeng berwarna kuning yang dibuat dari nasi yang dicampur dengan kunyit yang telah dicacah dan direbus bersama minyak kelapa dan daun pandan harum. Keunikan hari raya Kuningan selain penggunaan warna kuning adalah yaitu persembahyangan harus sudah selesai sebelum jam 12 siang (tengai tepet), sebab persembahan dan persembahyangan setelah jam 12 siang hanya akan diterima Bhuta dan Kala karena para Dewata semuanya telah kembali ke Kahyangan. Hal ini sebenarnya mengandung nilai disiplin waktu dan kemampuan untuk memanajemen waktu. Warna kuning yang identik dengan hari raya Kuningan memiliki makna kebahagiaan,keberhasilan, dan kesejahtraan.
๐‡๐š๐ซ๐ข ๐๐ž๐ ๐š๐ญ ๐–๐š๐ค๐š๐ง
Hari ini adalah runtutan terakhir dari perayaan Galungan dan Kuningan. Dilaksanakan dengan cara melakukan persembahyangan, dan mencabut penjor yang telah dibuat pada hari Penampahan. Penjor tersebut dibakar dan abunya ditanam di pekarangan rumah. Pegat Wakan jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Pahang, sebulan setelah galungan.


Selasa, 21 Juni 2022

KLAKAT SUDHAMALA

 



Pancak ini juga terbuat dari bambu, berbentuk segi empat bujur sangkar tetapi ukurannya lebih kecil dengan ukuran sisinya 10 - 15 cm. Namun anyamannya agak berbeda memakai tangkai, dan bentuk ini dibuat bentuk feminim dan maskulin ( laki - laki atau perempuan ). Pancak Shudamala yang laki - laki, padalubang tengahnya berisi tanda silang, sedangkan untuk yang perempuan hanya lubang bersudut delapan. Dibuat lubang bersudut delapan mengndung makna delapan kemahamulian Sang Hnyang Widhi ( Asta Aiswarya ) yaitu :
*Anima  Sang Hyang Widhi bersifat kecil, sekecil - kecilnya.
*Laghima  Sang Hyang Widhi bersifat ringan, seringan - ringannya.
*Mahima  Sang Hyang Widhi maha besar
*Prapti  Sang Hyang Widhi dapat mencapai segala - galanya
*Prakamya  Sang Hyang Widhi dapat mencapai segala yang dikehendaki
*Isitwa  Sang Hyang Widhi merajai segalanya
*Wasitwa  Sang Hyang Widhi memiliki sifat Maha Kuasa
Yatrakamawasayitwa : Sang Hyang Widhi memiliki sifat wyapi wyapaka

Panca Sudhamala pada lubang tengah memakai tanda silang, mengandung simbul Swastika memiliki maksud empat kemahakuasaan Sang Hyang Widhi yg disebut Chadu Sakti, yaitu :
*Wibhu Sakti  Maha besar
*Sadu Sakti  Maha ada
*Jnana Sakti  Maha tahu
*Krya Sakti  Maha kerja
Dengan demikin Pancak Sudamala merupakan simbul dua kemahakuasaan Sang Hyang Widhi yang bersifat Purusa-Prakerti dengan kemahakuasaan sebagai Cadhu Sakti dan delapan sifat kemahamuliaan-Nya.