Minggu, 03 Juli 2022

Om Swastiastu Merupakan Salam Sekaligus Doa





Om Swastiastu, merupakan salam pembuka yang biasa diberikan oleh orang bali kepada seseorang yang ditemuinya. Dan saat ini UMAT Hindu di Indonesia, kalau saling berjumpa dengan sesamanya, umumnya mengucapkan Om Swastyastu. Salam umat ini sekarang telah menjadi salam resmi dalam sidang-sidang Dewan Perwakilan maupun pertemuan resmi lainnya, adapun maksud dari salam tersebut adalah sapaan sekalugus doa untuk lawan bicara agar orang tersebut selalu diberkahi oleh Tuhan YME.
adapun penjelasan mengenai kata tersebut, dapat dilihat dari percakapan Rsi dengan seorang suyasa. Setelah sang Suyasa memperbaiki cara duduknya.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Rsi Dharmakertipun mulailah:
“Anakku, tadi anakku mengucapkan panganjali: “Om Swastyastu”. Tahukah anaknda apa artinya?
Jika belum, dengarlah! OM adalah aksara suci untuk Sang Hyang Widhi. Nanti akan Guru terangkan lebih lanjut. Kata Swastyastu terdiri dari kata-kata Sansekerta: SU + ASTI + ASTU, Su artinya baik, Asti artinya adalah, Astu artinya mudah-mudahan.

Jadi arti keseluruhan OM SWASTYASTU ialah “Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi”.

Kata Swastyastu ini berhubungan erat dengan simbol suci Agama kita yaitu SWASTIKA yang merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Buana Agung (Makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Bentuk Swastika ini dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari perputaran alam ini. Keadaan alam ini sudah diketahui oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala dan lambang Swastika ini telah ada beribu-ribu tahun sebelum Masehi.

Dan dengan ucapan panganjali Swastyastu itu anakku sebenarnya kita sudah memohon perlindungan kepada Sang Hyang Widhi yang menguasai seluruh alam semesta ini. Dan dari bentuk Swastika itu timbullah bentuk Padma (teratai) yang berdaun bunga delapan (asta dala) yang kita pakai dasar keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi.

Sang Suyasa :
Oh Gurunda, maafkan kalau hamba memotong. Hamba tidak mengira demikian luas maksud dari ucapan panganjali atau penghormatan hamba tadi itu. Betul-betul hamba tidak tahu artinya. Hamba hanya mendengar demikian, lalu hamba ikut-ikutan saja.

Rsi Dharmakerti :
Memanglah demikian tinggi nilai dari ajaran Agama kita anaknda. Guru gembira bahwa anaknda senang mendengarnya. Ketahuilah bahwa kata SWASTI (su + asti) itulah menjadi kata SWASTIKA. Akhiran “ka” adalah untuk membentuk kata sifat menjadi kata benda. Umpamanya: jana - lahir; janaka - ayah; pawa - membakar; pawaka - api, dan lain-lainnya. Ingatkah anaknda apa yang Guru pakai untuk menjawab ucapan panganjali itu?

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Rsi Dharmakerti :
Tidak mengapa anaknda, Guru akan jelaskan bahwa arti kata OM SHANTI, SHANTI, SHANTI itu ialah: Semoga damai atas karunia Hyang Widhi” Shanti artinya damai. Dan jawaban ini hanya diberikan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Sedangkan jawaban atau sambutan terhadap panganjali “Om Suastiastu” dari orang yang sebaya atau dari orang yang lebih tua cukuplah dengan Om Swastiastu yaitu sama-sama mendoakan semoga selamat.
Hanya yang lebih tua patut memakai Om Shanti, Shanti, Shanti terhadap yang lebih muda. Atau dipakai juga untuk menutup suatu uraian atau tulisan.

Sang Suyasa :
Gurunda, maafkan atas kebodohan diri hamba. Akan sangat banyak yang hamba tanyakan supaya benar-benar sirnalah segala kegelapan yang melekat di jiwa hamba. Gurunda, walaupun kedengarannya agak ke-kanak-kanakan maafkanlah jika anaknda bertanya apa arti agama itu sendiri. Selanjutnya perlu kita pahami bersama makna apa yang berada di balik ucapan Om Swastyastu tersebut.

Umat Hindu di India umumnya mengucapkan NAMASTE kalau bertemu dengan sesamanya. Bahkan, ucapan itu dilakukan secara umum oleh masyarakat India. Para pandita maupun pinandita dalam memanjatkan pujastawa sering kita dengar menutup pujastawanya dengan Om naamo namah. Inti semua ucapan itu pada kata naama, yang dalam bahasa Sansekerta artinya menghormat.

Dalam bahasa Jawa Kuno disebut dengan sembah. Kata sembah dalam bahasa Jawa Kuno memiliki lima arti.

Sembah berarti menghormati, menyayangi, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri.

Karena itu, umat Hindu di Bali mengenal adanya Panca Sembah yang diuraikan dalam lontar Panca Sembah. Dalam tradisi Hindu di Bali ada sembah ke bhuta, ke manusa, ke pitra, ke dewa dan Hyang Widhi.
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali
Adapun posisi cakupan tangan yang biasa dipakai saat menyembah:

Kalau menyembah bhuta atau alam semesta tangan dicakupkan di pusar. Sembah seperti itu berarti untuk mencurahkan kasih sayang kita pada alam untuk menjaga kelestariannya.
Menyembah sesama atau pitra, mencakupkan tangan di dada. Sembah seperti itu adalah untuk menghormati sesama manusia.
Menyembah dewa tangan dicakupkan di selaning lelata yaitu di antara kening di atas mata.
Hanya menyembah Tuhanlah tangan dikatupkan dengan sikap anjali di atas ubun-ubun. Ini artinya hanya menyembah Tuhanlah kita serahkan diri secara bulat dan satukan diri sepenuh hati. Biasanya penggunaan “Swastyastu” disertai dengan kata “Om” menjadi “Om Swastyastu”. Kata ini lumrah digunakan sebagai salam awal, begitu juga dengan kata “Swastiprapta” (selamat datang). Namun di beberapa tempat di luar bali kata “Swastyastu” juga digunakan sebagai salam akhir perjumpaan atau percakapan. Itu yang membuat rasa ingin tahu saya semakin besar untuk mengetahui arti sebenarnya kata tersebut agar tidak menjadi sebuah kekeliruan yang membudaya. Memang pada dasarnya bahasa bersifat mana suka dan berlaku jika diakui dan digunakan oleh banyak orang. Dalam kesempatan ini saya mencoba menelaah kata tersebut dengan mencari artinya pada beberapa literatur kamus yang ada (apang tusing oranga milu-milu tuwung, nak mula keto….!!!).

Salam Om Swastyastu yang ditampilkan dalam bahasa Sansekerta dipadukan dari tiga kata yaitu: Om, swasti dan astu. Istilah Om ini merupakan istilah sakral sebagai sebutan atau seruan pada Tuhan Yang Maha esa. Om adalah seruan yang tertua kepada Tuhan dalam Hindu. Setelah zaman Purana-lah Tuhan Yang Mahaesa itu diseru dengan ribuan nama. Kata Om sebagai seruan suci kepada Tuhan yang memiliki tiga fungsi kemahakuasaan Tuhan. Tiga fungsi itu adalah, mencipta, memelihara dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di alam ini. Mengucapkan Om itu artinya seruan untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan.

Dalam Bhagawad Gita kata "Om" ini dinyatakan sebagai simbol untuk memanjatkan doa pada Tuhan. Karena itu mengucapkan Om dengan sepenuh hati berarti kita memanjatkan doa pada Tuhan yang artinya ya Tuhan.

Setelah mengucapkan Om dilanjutkan dengan kata swasti.

Dalam bahasa Sansekerta kata swasti artinya selamat atau bahagia, sejahtera. Dari kata inilah muncul istilah swastika, simbol agama Hindu yang universal. Kata swastika itu bermakna sebagai keadaan yang bahagia atau keselamatan yang langgeng sebagai tujuan beragama Hindu. Lambang swastika itu sebagai visualisasi dari dinamika kehidupan alam semesta yang memberikan kebahagiaan yang langgeng.

Menurut ajaran Hindu alam semesta ini berproses dalam tiga tahap. Pertama, alam ini dalam keadaan tercipta yang disebut Srsti. Kedua, dalam keadaan stabil menjadi tempat dan sumber kehidupan yang membahagiakan. Keadaan alam yang dinamikanya stabil memberikan kebahagiaan itulah yang disebut swastika.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Dalam istilah swastika itu sudah tersirat suatu konsep bahwa dinamika alam yang stabil itulah sebagai dinamika yang dapat memberikan kehidupan yang bahagia dan langgeng. Dinamika alam yang stabil adalah dinamika yang sesuai dengan hak asasinya masing-masing. Ketiga, adalah alam ini akan kembali pada Sang Pencipta. Keadaan itulah yang disebut alam ini akan pralaya atau dalam istilah lain disebut kiamat.

Kamus Bahasa Bali Kata “Swastyastu” berasal dari kata suasti, yang berarti selamat, menjadi suastiastu yang berarti semoga selamat.
Kamus Kawi-Bali “Swastyastu berasal dari kata swasti yang berarti raharja, rahayu, bagia, dan rahajeng. Astu yang berarti dumadak, patut, sujati, sinah. Kata astu berkembang menjadi “Astungkara” yang berarti puji, alem dan sembah. Sehingga “swastyastu” berarti semoga selamat, semoga berbahagia
Kamus Jawa Kuna-Indonesia “Swasti” berarti kesejahteraan, nasib baik, sukses; hidup, semoga terjadilah (istilah salam pembukaan khususnya pada awal surat atau dalam penerimaan dengan baik). Sedangkan “astu” memiliki 2 arti yaitu: 1. Semoga terjadi, terjadilah…. (seringkali pada awal sesuatu kutuk, makian, berkah, ramalan), pasti akan….. 2. Nyata-nyata, sungguh-sungguh (campuran dengan “wastu”?). Kata "astu" berkembang menjadi “astungkara” yang berarti berkata “astu”, mengakui, mengiyakan dengan segan, perkataan “astu”. Dari pengertian tersebut kata “swastyastu” berarti semoga terjadilah nasib baik, sungguh sejahtera.
Kamus Sanskerta-Indonesia “Svasti” berarti hujan batu es, salam, selamat berpisah, selamat tinggal. Berkembang menjadi “svastika”, “svastimukha”, “svastivacya”. Kata svastika berarti tanda sasaran gaib, tidak mendapat halangan, pertemuan empat jalan, lambang agama Hindu. Svastimukha berarti yang belakang, terakhir, penyanyi, penyair. Svastivacya berarti salam ucapan selamat. Kata “astu” berarti sungguh, memuji. Dari pengertian kedua kata tersebut dapat disimpukan “svastiastu” berarti menyatakan selamat berpisah. Dari beberapa pengertian kata dalam kamus-kamus tersebut, dapat ditarik sebuah benang merah yang saling terkait satu sama lainnya yaitu:



Pengertian “Swastyastu” dalam kamus Bahasa Bali, Kawi Bali dan Jawa Kuna memiliki pengertian yang hampir sama, yaitu berarti semoga selamat, semoga bahagia, semoga sejahtera. Sedangkan dalam kamus Sanskerta berarti pernyataan selamat berpisah, selamat tinggal
Kata “astu” sebagai penutup hanya mempertegas kata “svasti” yang memang memiliki arti semoga, selamat berpisah, selamat jalan.

Pada dasarnya pengertian “swastyastu” pada keempat kamus itu adalah sama, saling melengkapi satu sama lainnya, yaitu Ya Tuhan semoga kami selamat, selamat tinggal dan semoga sejahtera (Semoga sejahtera dalam lindungan Hyang Widhi), tidak ada manusia yang hidup di dunia ini tidak mendambakan keselamatan atau kerahayuan di bumi ini. Selamat tinggal disini maksudnya adalah selamat tinggal pada hal-hal sebelumnya yang telah dialami atau dilalui dan semoga selamat dan sejahtera pada apa yang akan dialami atau dilalui pada kehidupan sekarang. Dalam hidup tidak bisa dipisahkan dari tiga waktu yaitu: atita, nagata, dan wartamana (dahulu, sekarang, dan yang akan datang).

Dalam penggunaannya pada kehidupan sehari-hari kata “swastyastu” diawali dengan kata “Om” sebagai ucapan aksara suci Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sehingga menjadi “Om Swastyastu”. Kata ini biasa atau lumrah digunakan sebagai salam pembuka (selain swastiprapta, yang berarti selamat datang) kemudian diakhiri dengan “Om Santih, Santih, Santih Om” yang berarti semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai di akhirat (selain swastimukha yang berarti salam penutup yang belakang).

Namun kini di kota-kota besar, kata “swastyastu” juga digunakan sebagai salam penutup atau akhir sebuah percakapan. Bagi orang desa seperti saya, terus terang saja ketika mendengarnya terasa aneh di telinga saya, sampai pada akhirnya saya penasaran tentang penggunaan kata tersebut sebagai salam penutup dan mencari arti kata tersebut dalam beberapa kamus-kamus yang ada. Jika dilihat dari pengertian arti katanya dalam kamus memang wajar kata itu dipergunakan sebagai salam penutup sesuai dengan artinya, namun jika melihat nilai rasa maka akan terasa janggal atau kurang pas (mungkin karena saya awam atau kurang terbiasa mendengarnya).

Dalam agama Hindu, sebuah awal adalah akhir dari semua yang terjadi, sedangkan akhir adalah sebuah awal sesuatu yang baru. Hal ini yang mungkin dijadikan patokan penggunaan kata “swastiastu” sebagai salam pembukaan dan salam penutup perjumpaan atau percakapan (selain mungkin penunjukan eksistensi terhadap agama lain bahwa agama Hindu juga memiliki salam awal dan akhir seperti halnya agama lain). Namun, jika melihat lagi pada nilai rasa, rasanya kedengaran janggal. Pada kesempatan ini saya juga mencoba menyampaikan beberapa padanan kata, yang mudah-mudahan tidak jauh berbeda artinya dengan “swastyastu” sebagai salam penutup perjumpaan atau percakapan. Beberapa kata tersebut antara lain: “swastimukha”, yang berarti permulaan (mukha) kesejahteraan, permulaan nasib baik, permulaan keselamatan; “swastisanti”, yang berarti ucapan selamat berpisah dan damai (santi), selamat jalan dan semoga damai.



Jadi, salam Om Swastyastu itu, meskipun ia terkemas dalam bahasa Sansekerta bahasa pengantar kitab suci Veda, makna yang terkandung di dalamnya sangatlah universal. Pada hakikatnya semua salam yang muncul dari komunitas berbagai agama memiliki arti dan makna yang universal. Yang berbeda adalah kemasan bahasanya sebagai ciri khas budayanya. Dengan Om Swastyastu itu doa dipanjatkan untuk keselamatan semua pihak tanpa kecuali.

Salam Om Swastyastu itu tidak memilih waktu. Ia dapat diucapkan pagi, siang, sore dan malam. Semoga salam Om Swastyastu bertuah untuk meraih karunia Tuhan memberikan umat manusia keselamatan.

Sumber : cakepane.blogspot.com


Uparengga ritatkala Pawiwahan.

  


Uparengga adalah bentuk perangkat upacara yang merupakan simbul perwujudan Sanghyang Widhi melalui kekuatan sinar suci-Nya.
Berasal dari suku kata "upa-re-angga"
Upa = perantara, Re = raditya (sinar suci), dan Angga = wujud atau merupakan perwujudan Ida Sanghyang Widhi.
makna yang terkandung dalam
Simbol-simbol uparengga tersebut antara lain:
1. Sanggah Surya merupakan simbol (nyasa) sthana manifestasi Sang Hyang Widhi (Tuhan), dalam hal ini adalah merupakan sthananya Dewa Surya, untuk memberikan pencerahan dan kehidupan kepada kedua mempelai.
2. Tetimpug memiliki makna sebagai alat komunikasi secara niskala (alam gaib) kepada Bhūta Kala dan secara sakala (alam nyata) kepada umat sekitar bahwa upacara makala-kalaan atau upacara perkawinan segera dimulai.
3. Tikeh dadakan (tikar kecil), memiliki makna kesucian prakrti sebagai alas untuk Purusa melakukan aktivitas.
4. Benang Putih sebagai simbol pembatas waktu dan jarak;
5. Tegen-Tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab yang bersifat sekala-niskala.
6. Suhun-Suhunan adalah simbol keinginan untuk mendirikan rumah tangga yang sukhinah dengan memantapkan keinginan kedua mempelai.
7. Sapu Lidi 3 katih (batang) memiliki makna kerja keras dan makna lahir, hidup dan mati.
8. Sambuk (serabut) kupakan (dibuka) mengandung makna penyatuan keluarga untuk membentuk rumah tangga yang suhkinah dan setiap rumah tangga akan mengalami masalah, oleh karena itu harus dipecahkan dengan akal sehat.
9. Dagangan, mengandung makna adanya masalah yang harus didiskusikan atau disepakati sebelum mengambil suatu keputusan.
Dumogi bermanfaat.
Sumber :
* Titib, I Made. 2003. Teologi & simbol-simbol dalam agama Hindu. Surabaya: Paramita
* Penelitian makna simbol-simbol Uparengga pada Upacara Mekala-kalaan dalam Perkawinan Umat Hindu Etnis Bali oleh Ni Nyoman Sudiani.
Foto : Doc. Babad Bali Agung

Sabtu, 02 Juli 2022

PUJA TRISANDYA (manfaat dan kegunaan)

 


Semeton Hindu Sedharma dimanapun berada, seperti kita ketahui puja trisandya dilakukan tiga kali sehari. Berikut saya sampaikan manfaat dan kegunaan trisandya menggunakan pendekatan tri guna :

1. Pada Pagi Hari saat matahari terbit.
Pada saat ini alam dipengaruhi sifat satwam, sehingga dgn puja trisandya kita menyerap daya positif dari guna satwam dan menjadikannya bekal untuk menjalankan hari yg baik.

2. Pada Siang Hari saat matahari tepat di atas kepala.
Pada saat ini guna rajas menguasai alam, saat ini manusia bekerja, berusaha, bergerak. Dengan Trisandya kita mengendalikan guna rajas ini untuk menjadi terarah dan positif. Sering saat bekerja kita menemukan masalah sehingga dgn trisandya madyaning dina kita dapat menenangkan pikiran dan memohonkan jalan terang bagi permasalahan kerja kita.


3. Pada Sore Hari saat matahari terbenam
Pada saat ini guna tamas menguasai alam. Orang biasanya akan malas setelah pulang kerja, dan ingin segera makan lalu istirahat. Dengan trisandya kita mengendalikan kemalasan sore hari, sehingga kita mendapat anugerah Hyang Widhi. Disamping itu sebagai syukur atas hari yg telah dijalankan dan menyerahkan semua kerja kehadapan Hyang Widhi seperti tertulis dalam kitab suci.

Demikianlah sekilas tentang manfaat dan kegunaan trisandya. Semoga bermanfaat dan dapat memotivasi umat sedharma melakukan puja trisandya. Para Rsi mengatakan bahwa orang yang sepanjang hidupnya menjalankan Sandya tiga kali sehari dengan tekun ia akan menjadi manusia utama. la selalu berjaya. Ia akan mencapai kebebasan semasih hidup. Ia akan mencapai Jivan Mukti.

“Dia yang mengabdi kepada-Ku sujud dengan kebaktian yoga, ia naik ke atas melampaui guna, ia wajar bersatu dengan Brah·man“. Begitu sabda Krishna kepada Arjuna dalam BG. XlV. 26.

Om Santih Santih Santih Om –sumber

BANTEN ITU MENYEMBUHKAN

 


Upaya penyembuhan itu sungguh beragam diBali, Tarupramna banyak mengulas tentang tumbuhan yang berkhasiat menyembuhkan. Lalu teks usadha Punggung Tiwas bahkan merincikan metoda mengobati tanpa obat, "idep kewala" hanya dengan pikiran, tiupan, tepukan.
Ada metoda penyembuhan yang boleh jadi tak banyak dikenal, sarananya berupa BANTEN. Bahkan banyak penyakit jika "gering taunan tan waras" sakit tahunan tak kunjung sembuh patut di tebus dengan banten.
Ada lima tahap penyembuhan yang dilakukan dengan metoda banten. Terhakir ada yang disebut banten KEKAMBUH agar penyakit yang telah sembuh tak kambuh lagi.

Banten PANGESENG LARA kerap digunakan untuk membakar berbagai sumber akar penyakit, secara bhatin. Konon peralatan medis pun masih menerapkan metoda "membakar" saat pengobatan, operasi misalkan.
Pada upaya penyembuhan gejala gangguan kejiwaan, misalkan TRAUMA banten PANGULAPAN begitu efektif.
Saat terjadi kecelakaan, apalagi korban sempat kehilangan kesadaran, kerap meninggalkan kesan trauma bahkan Phobia.
Maka secepatnya akan dilakukan prosesi pangulapan atma (pemanggilan roh) ditempat kejadian. Korban jika telah pulih akan diajak kelokasi tempat kejadian untuk ma-ulapan.
Lalu pada upaya penyembuhan berbasis kejiwaan, psikologi terapan, ada metoda yang disebut REGRESI. Prinsipnya relatif sama mengulang kejadian saat terjadi kecelakaan misalkan, bertujuan untuk menyadarkan pikiran bawah sadar, agar tak terbelenggu.
Banten pangulapan bertujuan sama, pada kasus ini, mengulang kejadian, agar tak terbelenggu peristiwa kecelakaan.
Tattastu
IBM. Bhaskara


Jumat, 01 Juli 2022

Menghilangkan Dasa Mala pada diri manusia

 






"Om Pakulun serda paduka Bhatara Surya Chandra Asunggam tirtha kamandalu, utpeti bhatara Gangga, Stmratan mancur muncrat, angilangaken dasa malaning jadma Kenem spanmg dewa, manusa wisesa, tirtha hening tan pamignaning Sang Hyang Saraswati Om Gangga Sindhu spatika ya namah".
.
Pada saat penulis akan bersembahyang di sebuah pura kahyangan jagat di Karangasem, penulis tertarik dengan mantra yang diucapkan oleh pemangku yang memimpin persembahyangan.
.
Yang sangat menarik dari mantra tersebut adalah ucapan untuk menghilangkan Dasa Mala pada diri manusia {angilangaken dasa malaning jadma).
.
Semeton Hindu mendengar "Dasa Mala" pasti sudah tahu maksudnya, seperti halnya menyebut kata Sad Ripu (enam musuh pada diri manusia) banyak orang sudah tahu karena sering didengar.
.
Uraian Dasa mala kiranya perlu dikenalkan, agar semuanya ingat akan sepuluh kotoran yang melekat pada batin (jiwa) manusia.
.
Dengan mengenalnya, maka diharapkan dapat diupayakan disucikan dengan prilku sehat yang terhindar dari mala itu.
.
1. Tandri yaitu orang y angberpenyakit Asosial, selalu beralasan sakit,letih, lesu, bila diajak bergotong royong atau kegitan sosial lainnya.
.
2. Kleda yaitu orang yang berpenyakit selalu menyesali dirinya, pesimis, malas berusaha, kurang semangatnya.
.
3. Leja yaitu penyakit tamak, sombong, angkuh, bernafsu besar, menghalalkan segala cara, tak tahu malu.
.
4. Kuhaka yaitu penyakit suka mengeluarkan kata-kata kotor, kasar, pemarah, keras kepala memuji diri sendiri dan meremeh¬kan kemampuan orang lain.
.
5. Metraya yaitu penyakit suka berolok-olok, suka menganggu ketenangan orang lain, dengan upaya menekan orang lain.
.
6. Megata yaitu penyakit lain di mulut lain di hati, tak dapat di pecaya, Plintat plintut, suka menyem¬bunyikan maksud jahat.
.
7. Regastri yaitu penyakit mata keranjang, kelekatan cinta kepada terhadap sembarang perempuan atau penuh nafsu.
.
8. Kutila yaitu penyakit suka menipu, menyakiti orang miskin, pemabuk.
.
9. Bhaksa Bhuwana yaitu penyakit suka membuat orang lain melarat dengan menipu orang jujur, suka berfoya-foya, egois.
.
10. Kimburu yaitu penyakit dengki, iri hati, tak peduli keluarga atau teman, maunya enak sendiri.
Inilah sepuluh macam kekotoran pikiran yang dapat dianggap penyakit yang harus diobati dengan prilaku sehat yang selalu melihat orang lain dengan pandangan positif (positif thingking).

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


.
Pandanglah segala sesuatu sebagaimana mestinya bukan sebagaiman adanya. Semoga semua pikiran baik datang dari segala penjuru.
.
Sumbet: I Wayan Ritiaksa : Warta Hindu Dharma NO. 520 April 2010
D gangga/Dewi telaga waja.
Telaga waja juga tukad yg suci dari gunung agung, masih banyak tirta yg bisa di ambil dari sana, seperti tirta tunggang.

Di dalam Lontar Sundarigama, disebutkan tentang Brata Saraswati pada Hari Raya Saraswati.
Bagi orang kebanyakan, hendaknya tidak membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran dharma dari pagi sampai tengah hari.
Karena puja kepada Dewi Saraswati dilakukan pada pagi hari atau tengah hari dan disana semua sastra kita muliakan dan dibantenin.
Bagi orang kebanyakan,
ini dimaksudkan agar kita mensakralkan ajaran suci dharma. Karena dengan mensakralkan ajaran suci dharma, sama dengan mensakralkan perjalanan spiritual kita sendiri.
Dan setelah lewat waktu puja di tengah hari, sastra dapat kita ambil kembali dan kita dapat membaca dan menulis.
Sedangkan pada malam harinya yaitu saat malam sastra, justru sangat dianjurkan melakukan malam pembacaan sastra, diskusi ajaran dharma atau melaksanakan meditasi.
Pada konteks yang mendalam, kepercayaan tradisional itu merupakan ajaran dharma tingkat tinggi. Di dalam Lontar Sundarigama, disebutkan bagi sadhaka yang melaksanakan Brata Saraswati secara penuh, hendaknya tidak membaca dan menulis selama 24 jam sebagaimana dalam ajaran Hindu Dharma, yang disebutkan bahwa :
Pengetahuan dan kebijaksanaan tertinggi adalah pemahaman utuh akan kenyataan diri yang sejati [Atma Jnana / Atma Tattwa].
Ketika seseorang memahami secara utuh kenyataan dirinya yang sejati, dengan sendirinya dia akan memahami segala pengetahuan yang sejati.
Atma tattwa tidak akan pernah dapat dicapai dengan membaca sastra saja, tapi seorang sadhaka harus menyadarinya secara langsung.


Makna dari tidak membaca dan menulis [sastra] selama 24 jam adalah belajar meninggalkan tahap awal dan melangkah ke tahap berikutnya.
Karena di jalan Atma Tattwa, ada 3 tingkatan pengetahuan.
Tingkat awal adalah membaca dan mendengarkan ajaran suci dharma [sastra],
Tingkat menengah adalah perenungan meditatif dan intuitif [menggunakan intuisi] terhadap ajaran suci dharma yang tersembunyi dalam kehidupan dan di alam semesta, ini disebut anthra guru [guru yang ada di dalam diri sendiri].
Di tahap ini yang lebih dikedepankan adalah pembelajaran meditatif dan intuitif, bukan sastra, karena disini pengetahuan akan dihasilkan dengan sendirinya.
Dan di tingkat puncak adalah samadhi, mengalami secara langsung kesadaran Atma yang terang dalam meditasi.
Hanya di tingkatan samadhi maka pikiran, perasaan dan kesadaran bisa menjadi tidak tergoyahkan.
Sehingga tidak saja perkataan dan perbuatan selaras dengan dharma, tapi juga menemukan kenyataan luhur tentang esensi diri ini dan apa kehidupan ini sesungguhnya.
Tidak membaca dan menulis [sastra] selama 24 jam merupakan simbolik ajaran dharma tingkat tinggi, untuk menjadikan diri kita sendiri sebagai sumber mengalirnya ajaran suci dharma.
Bukan untuk merayakan turunnya Veda bagi manusia,
membaca habis semuanya,
kemudian terjebak ke dalam dogma.
Dimana pengetahuan yang bertumpuk itu dapat menjadi dogma yang begitu kaku dan dangkal.
Yang akan lebih berbahaya, jika kita rajin dan semangat membaca sastra, tapi kemudian menggunakannya untuk menghakimi, mengkritisi, merendahkan, memusuhi atau memanipulasi orang lain, sehingga sastra menjadi ular beracun yang mematuk.
Belajar sastra seperti itu akan membuat nasib kita ibaratnya dipatuk ular beracun.
Di tahap puncak kita melepaskan semua konsep sastra untuk memasuki keheningan.
Hanya pikiran hening yang memiliki energi luar biasa untuk dapat menyelam ke dasar yang terdalam.
Kesadaran seperti ini memberikan diri sendiri kesempatan untuk memahami secara utuh tentang keberadaan ini. Hanya pikiran yang hening yang dapat menyimak diri sendiri dan alam semesta secara utuh.
Inilah sesungguhnya yang ditawarkan Mahadewi Saraswati di Hari Raya Saraswati.
Tidak lagi pengetahuan berdasar sastra secara biasa, tapi menggali pengetahuan rahasia yang tertinggi, pengetahuan yang sudah ada di dalam diri kita sejak awal yang tidak berawal.
Demikian sebagai perenungan diri sebagaimana disebutkan dalam rumah dharma Indonesia sebagai bekal yang baik untuk menjalani hidup ini.


MAKNA HARI SIWARATRI

 


Oleh: Ida Made Pidada Manuaba, S.Ag, M.Si
(Bapak Kasi Ura Hindu Kantor Kemenag Kab. Karangasem)

Aktualisasi dan realisasi ajaran agama nampak dan tercermin dalam prilaku dari individu maupun sosial dalam keseharian, sebab walaupun orang memiliki pengetahuan agama yang tinggi bila keserakahan, keangkuhan dan arogansi menyelubungi seseorang, maka pengetahuan agama tersebut hanyalah bersifat teori belaka. Ajaran agama semestinya menjadi pegangan yang mengubah prilaku seseorang dari kurang arif menjadi arif, dan belenggu Asuri Sampad menjadi Daivi Sampad atau dari pengaruh Danawa menjadi prilaku Madhawa.
Demikian secara teoritis yang dianjurkan namun kenyataannya tidak setiap umat beragama mampu merealisasikan seluruh ajaran agama yang demikian luhurnya dalam kehidupan pribadi maupun sisoal. Diturunkannya berbagai macam brata atau ajaran tentang latihan pengekangan diri oleh Tuhan Yang Maha Esa dimaksudkan tidak lain adalah untuk kembalinya diri manusia kepada kesadarannya yang sejati, yakni atma yang berstana pada diri pribadi seseorang.

Kegelapan oleh berbagai fator terutama oleh keterikatan terhadap keduniawian menghambat usaha manusia untuk meningkatkan kualitas dalam hakekat kehidupan.
Salah satu ajaran tentang brata adalah Brata Swaratri yang mengandung ajaran yang sangat luhur, guna meningkatkan sradha dan bhakti kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan melalui brata ini pula seseorang akan dapat meningkatkan keluhuran budhi pekertinya sehingga perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama dapat dicegah, diredam dan dihindari termasuk pula emosi yang dapat meletup dalam kerusuhan sosial yang dapat mengorbankan jiwa dan harta benda.

1. Pengertian Siwaratri
Siwaratri artinya Malam Siwa. Bila diuraikan tersir dari kata Siwa (Sanskerta) yang artinya baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan. dalam hal ini kata Siwa adalah sebuah gelar atau nama kehormatan untuk salah satu manifestasi Tuhan yang diberi nama atau gelar kehormatan Dewa Siwa, dalam fungsi beliau sebagai pemeralina untuk mencapai kesucian atau kesadaran diri yang memberikan harapan untuk kebahagian. Sedangkan kata Ratri artinya malam, malam disini juga dimaksud kegelapan. Jadi Siwaratri berarti malam untuk melebur atau memeralina (melenyapkan) kegelapan hati menuju jalan yang terang.
Kekawin Siwaratri karya Mpu Tanakung di kalangan masyarakat Hindu  di Bali lebih dikenal dengan nama Kekawin Lubdaka. Kekawin ini biasanya dibaca pada hari raya Siwaratri, yaitu pada hari Caturdasi Krsnapaksa artinya panglong ping 14 Sasih Kepitu atau sehari sebelum bulan mati pada bulan magha (ke-7) yaitu malam yang paling gelap di dalam satu tahun.
Ajaran Siwarati bersumber pada : Siwapurana, Padmapurana, Garudapurana, dan kekawin Siwaratri Kalpa. Mpu Tanakung telah berasil menggubah karya sastra yang bermutu yaitu Kekawin Siwaratri Kalpa atau Lubdaka pada jaman Majapahit (Abad ke-15). Beliau mengambil sumber Padmapurana yang memuat percakapan antara Dilipa dengan Wasistha. Bagian Uttara Kanda dari Padmapurana sangat dekat dengan kekawin Siwaratri Kalpa. Malah bagian-bagian tertentu dalam kekawin Siwaratri Kalpa merupakan terjemahan dari sumber tersebut. Dengan menggubah kekawin Siwaratri Kalpa Mpu Tanakung diduga bermaksud lebih menyebarluaskan cerita itu lewat media seni sastra.
Hari Raya Siwaratri di Bali sudah dilaksanakan dengan sangat baik oleh masyarakat yang lebih menonjol pada perayaan Siwaratri adalah Brata.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



2. Brata Siwaratri
Kata brata dalam bahasa sanskrta berarti janji, sumpah, kewajiban, laku utama atau keteguhan hati.
 Dengan demikian Brata Siwaratri artinya kewajiban sebagai laku utama atau janji untuk teguh hati untuk melaksanakan ajaran Siwaratri. Tujuan utama dari Brata Siwaratri adalah melenyapkan sifat-sifat buruk atau jahat dan hina. Brata Siwaratri ada tiga jenis yaitu :
1. Tingkat Utama yang terdiri dari Monobrata, Upawasa, dan Jagra yang dilaksanakan sekaligus.
2. Brata Tingkat Madya  terdiri dari Upawasa dan Jagra dilaksanakan sekaligus.
3. Brata Tingkat Nista hanya dengan melaksanakan Jagra.

Penjelasan :
• Monabrata artinya pantangan bicara atau berdiam diri tanpa bicara dari pukul 06.00 pada panglong ping 14 sampai pukul 18.00 Tileming sasih Kepitu selama 36 jam.
• Upawasa artinya berpuasa tidak makan dan minum lamanya sama dengan Monabrata.
• Jagra artinya berjaga, bangkit, maksudnya tidak tidur selama 36 jam.

Maksud dari pada Brata tersebut adalah untuk memperoleh kesadaran diri dengan melakukan Brata Siwaratri dengan melenyapkan papa. Kata papa dalam bahasa sanskerta artinya sengsara, neraka, buruk, jahat dan hina.

3. Pelaksanaan Brata Siwaratri di India dan di Indonesia
Pelaksanaan Brata Siwaratri di India pada paro petang ke-14 bulan phalguna (februari-maret) hampir sama dengan di Indonesia yang dilakukan pada paro petang ke-14 bulan magma (januari-februari), yakni mereka tidak tidur selama 36 jam, sembahyang Kepura-Pura Sanghyang Siwa dengan mengucapkan japa pancaksara OM NAMAH SIWAYA. Sejak pagi hingga keesokan harinya menjelang mata hari terbenam.

4. Aktualisasi Pelaksanaan Brata Siwaratri.
Berbagai perayaan dan pelakanaan Brata tidak akan banyak memberikan manfaat bila umat tidak mampu menangkap makna dibalik perayaan atau Brata tersebut, untuk itu hal yang penting adalah merenungkan semua makna keutamaan  Brata itu kemudian mengejewantahkannya dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan sosial.
Brata Siwaratri adalah hari untuk meningkatkan kesadaran kita untuk senantiasa memuja keagungan Sang Hyang Widhi dalam hal ini salah satu abhiseka atau manifestasi utama-Nya adalah sebagai Sang Hyang Siwa.
 Pemujaan terhadap Dewa Siwa dalam upacara Siwaratri karena manusia dalam menghadapi segala hambatan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri, memerlukan tuntunan dan waranugraha Dewa Siwa sebagai pemeralina segala sesuatu yang menghalangi tujuan suci. Dewa Siwa sebagai penuntun dan pelindung manusia dalam perjuangannya melenyapkan kegelapan batin, menuju kehidupan yang penuh kesadaran, karena hidup yang penuh kesadaran dapat melenyapkan kepapaan dan kesengsaraan.
Ciri orang yang telah berasil berjuang melenyapkan kepapaan  adalah orang yang penuh dengan pengendalian diri dalam bidang makan dan minum yang disimboliskan dalam Upawasa (puasa). Orang yang penuh pengendalian diri dalam kata-katanya disimboliskan dengan Monabrata, dan orang yang selalu waspada dan sadar dalam segala tingkah lakunya sehingga selalu dapat berbuat dharma disimboliskan dengan Jagra. Orang yang demikian selalu mendapat perlindungan dan waranugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Siwa baik selama hidupnya di dunia  maupun di akhirat.




Makna Putih-Kuning yang Sering Dipakai Wastra Palinggih

 


Kain putih dan kuning atau yang lazimnya disebut wastra (pakaian) putih-kuning oleh umat Hindu di Bali, selain digunakan sebagai pakaian sembahyang, biasanya digunakan untuk menghias sejumlah palinggih. Wastra putih-kuning tersebut umumnya mendominasi warna lainnya. Apakah sebenarnya makna warna putih-kuning tersebut?

Dihimpun dari berbagai sumber, banyak pandangan tentang wastra putih-kuning. Ada yang mengatakan, warna putih merupakan simbol kesucian yang bersumber dari ajaran Siwa, sedangkan warna kuning merupakan simbol kebijaksanaan yang bersumber dari ajaran Buddha. Sebagaimana diketahui, Siwa-Buddha merupakan ajaran besar yang sempat berjaya di nusantara beberapa abad silam. Bahkan, Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma menuliskan ‘Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa’ yang diterjemahkan menjadi ‘Berbeda tapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua’.

Pandangan lain menyatakan bahwa warna putih merupakan simbol dari purusha atau unsur kejiwaan, sedangkan warna kuning adalah simbol pradhana, yakni unsur kebendaan. Dua unsur inilah yang menyebabkan manusia bisa hidup di dunia. Tanpa salah satunya, manusia dan mahluk hidup lainnya tak akan bisa hidup di dunia material ini alias mati. Oleh karena itu, ketika keduanya bertemu, maka terciptalah kehidupan di dunia.

Jika dikaitkan lebih jauh, warna putih dan kuning juga dimiliki oleh janur yang notabene merupakan salah satu bahan pembuatan upakara di Bali. Misalnya dalam pembuatan canang, umumnya membutuhkan janur sebagai salah satu bahannya. Bila diperhatikan, janur ternyata terdiri dari warna putih dan kuning. Adapun warna hijau di pinggiran daun biasanya disingkirkan saat proses pembuatan canang. Warna putih dan kuning juga ditemukan dalam segehan. Segehan putih-kuning biasanya dihaturkan di bagian bawah palinggih. Bahkan, tarian tertentu seperti rejang, penarinya diwajibkan menggunakan wastra putih-kuning.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Berkenaan dengan hal itu, Jro Pinandita Ketut Pasek Swastika menyampaikan, warna putih dan kuning memang sangat lekat dengan kehidupan masyarakat Bali yang religius. Wastra putih-kuning memang digunakan untuk menghias beberapa palinggih di sanggah pakomelan atau di pura. Wastra putih-kuning biasanya dipasang pada palinggih-palinggih, kecuali taksu yang biasanya menggunakan warna merah atau panunggun karang dengan warna poleng.

Namun demikian, ia mengaku belum menemukan sumber pasti penggunaan wastra putih-kuning. “Sumbernya belum ada tiang temukan, baik itu lontar maupun sastra lainnya, namun wastra putih-kuning memang sudah biasa digunakan oleh umat Hindu di Bali untuk menghias palinggih,” ungkapnya.

Pemasangan wastra pada palinggih sesungguhnya merupakan salah satu wujud pemuliaan umat Hindu terhadap Tuhan. Wastra yang dipasang pada palinggih tersebut diibaratkan sebuah pakaian. Dengan demikian, perlakukan palinggih tersebut layaknya perlakukan kepada manusia yang sangat dihormati. Dengan demikian, ketika Tuhan, dewa-dewa, atau leluhur berstana di palinggih tersebut, diharapkan ‘berpenampilan’ indah.

Secara filosofi, dikatakannya memang banyak pandangan sebagai bentuk pemaknaan kain putih dan kuning. Namun, menurutnya perpaduan warna putih dan kuning merupakan simbol kesejahteraan.

“Perpaduan putih dan kuning merupakan simbol kesejahteraan atau kebahagiaan dunia, sebagaimana sloka moksartham jagathita ya ca iti dharma,” ujarnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Rabu (22/3).

Hal itu dikatakannya sejalan dengan berbagai pendapat yang ada. Di dalam konsep dewata nawasanga, putih merupakan simbol Dewa Iswara, penguasa arah timur. Sedangkan warna kuning merupakan simbol Dewa Mahadewa, penguasa arah barat. Keduanya pada hakikatnya adalah Siwa itu sendiri. Layaknya matahari yang terbit di timur dan tenggelam di barat, demikianlah kehidupan itu berlangsung. “Jadi selama matahari terbit di timur dan tenggelam di arah barat, kehidupan tetap berlangsung,” jelas Wakil Ketua PHDI Provinsi Bali tersebut.

Lebih lanjut disampaikannya, karena tidak adanya ketentuan pasti mengenai wastra pada palinggih, banyak umat yang kemudian membuat motif wastra. Hal itu tentunya tidak dapat dilarang. Namun demikian, dikatakan Pinandita Pasek Swastika, hendaknya wastra tersebut tetap mencerminkan nilai-nilai kesucian dan kebijaksanaan, sehingga tidak melenceng dari filosofinya.

(bx/adi/yes/JPR) –sumber