Jumat, 01 Juli 2022

Menghilangkan Dasa Mala pada diri manusia

 






"Om Pakulun serda paduka Bhatara Surya Chandra Asunggam tirtha kamandalu, utpeti bhatara Gangga, Stmratan mancur muncrat, angilangaken dasa malaning jadma Kenem spanmg dewa, manusa wisesa, tirtha hening tan pamignaning Sang Hyang Saraswati Om Gangga Sindhu spatika ya namah".
.
Pada saat penulis akan bersembahyang di sebuah pura kahyangan jagat di Karangasem, penulis tertarik dengan mantra yang diucapkan oleh pemangku yang memimpin persembahyangan.
.
Yang sangat menarik dari mantra tersebut adalah ucapan untuk menghilangkan Dasa Mala pada diri manusia {angilangaken dasa malaning jadma).
.
Semeton Hindu mendengar "Dasa Mala" pasti sudah tahu maksudnya, seperti halnya menyebut kata Sad Ripu (enam musuh pada diri manusia) banyak orang sudah tahu karena sering didengar.
.
Uraian Dasa mala kiranya perlu dikenalkan, agar semuanya ingat akan sepuluh kotoran yang melekat pada batin (jiwa) manusia.
.
Dengan mengenalnya, maka diharapkan dapat diupayakan disucikan dengan prilku sehat yang terhindar dari mala itu.
.
1. Tandri yaitu orang y angberpenyakit Asosial, selalu beralasan sakit,letih, lesu, bila diajak bergotong royong atau kegitan sosial lainnya.
.
2. Kleda yaitu orang yang berpenyakit selalu menyesali dirinya, pesimis, malas berusaha, kurang semangatnya.
.
3. Leja yaitu penyakit tamak, sombong, angkuh, bernafsu besar, menghalalkan segala cara, tak tahu malu.
.
4. Kuhaka yaitu penyakit suka mengeluarkan kata-kata kotor, kasar, pemarah, keras kepala memuji diri sendiri dan meremeh¬kan kemampuan orang lain.
.
5. Metraya yaitu penyakit suka berolok-olok, suka menganggu ketenangan orang lain, dengan upaya menekan orang lain.
.
6. Megata yaitu penyakit lain di mulut lain di hati, tak dapat di pecaya, Plintat plintut, suka menyem¬bunyikan maksud jahat.
.
7. Regastri yaitu penyakit mata keranjang, kelekatan cinta kepada terhadap sembarang perempuan atau penuh nafsu.
.
8. Kutila yaitu penyakit suka menipu, menyakiti orang miskin, pemabuk.
.
9. Bhaksa Bhuwana yaitu penyakit suka membuat orang lain melarat dengan menipu orang jujur, suka berfoya-foya, egois.
.
10. Kimburu yaitu penyakit dengki, iri hati, tak peduli keluarga atau teman, maunya enak sendiri.
Inilah sepuluh macam kekotoran pikiran yang dapat dianggap penyakit yang harus diobati dengan prilaku sehat yang selalu melihat orang lain dengan pandangan positif (positif thingking).

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


.
Pandanglah segala sesuatu sebagaimana mestinya bukan sebagaiman adanya. Semoga semua pikiran baik datang dari segala penjuru.
.
Sumbet: I Wayan Ritiaksa : Warta Hindu Dharma NO. 520 April 2010
D gangga/Dewi telaga waja.
Telaga waja juga tukad yg suci dari gunung agung, masih banyak tirta yg bisa di ambil dari sana, seperti tirta tunggang.

Di dalam Lontar Sundarigama, disebutkan tentang Brata Saraswati pada Hari Raya Saraswati.
Bagi orang kebanyakan, hendaknya tidak membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran dharma dari pagi sampai tengah hari.
Karena puja kepada Dewi Saraswati dilakukan pada pagi hari atau tengah hari dan disana semua sastra kita muliakan dan dibantenin.
Bagi orang kebanyakan,
ini dimaksudkan agar kita mensakralkan ajaran suci dharma. Karena dengan mensakralkan ajaran suci dharma, sama dengan mensakralkan perjalanan spiritual kita sendiri.
Dan setelah lewat waktu puja di tengah hari, sastra dapat kita ambil kembali dan kita dapat membaca dan menulis.
Sedangkan pada malam harinya yaitu saat malam sastra, justru sangat dianjurkan melakukan malam pembacaan sastra, diskusi ajaran dharma atau melaksanakan meditasi.
Pada konteks yang mendalam, kepercayaan tradisional itu merupakan ajaran dharma tingkat tinggi. Di dalam Lontar Sundarigama, disebutkan bagi sadhaka yang melaksanakan Brata Saraswati secara penuh, hendaknya tidak membaca dan menulis selama 24 jam sebagaimana dalam ajaran Hindu Dharma, yang disebutkan bahwa :
Pengetahuan dan kebijaksanaan tertinggi adalah pemahaman utuh akan kenyataan diri yang sejati [Atma Jnana / Atma Tattwa].
Ketika seseorang memahami secara utuh kenyataan dirinya yang sejati, dengan sendirinya dia akan memahami segala pengetahuan yang sejati.
Atma tattwa tidak akan pernah dapat dicapai dengan membaca sastra saja, tapi seorang sadhaka harus menyadarinya secara langsung.


Makna dari tidak membaca dan menulis [sastra] selama 24 jam adalah belajar meninggalkan tahap awal dan melangkah ke tahap berikutnya.
Karena di jalan Atma Tattwa, ada 3 tingkatan pengetahuan.
Tingkat awal adalah membaca dan mendengarkan ajaran suci dharma [sastra],
Tingkat menengah adalah perenungan meditatif dan intuitif [menggunakan intuisi] terhadap ajaran suci dharma yang tersembunyi dalam kehidupan dan di alam semesta, ini disebut anthra guru [guru yang ada di dalam diri sendiri].
Di tahap ini yang lebih dikedepankan adalah pembelajaran meditatif dan intuitif, bukan sastra, karena disini pengetahuan akan dihasilkan dengan sendirinya.
Dan di tingkat puncak adalah samadhi, mengalami secara langsung kesadaran Atma yang terang dalam meditasi.
Hanya di tingkatan samadhi maka pikiran, perasaan dan kesadaran bisa menjadi tidak tergoyahkan.
Sehingga tidak saja perkataan dan perbuatan selaras dengan dharma, tapi juga menemukan kenyataan luhur tentang esensi diri ini dan apa kehidupan ini sesungguhnya.
Tidak membaca dan menulis [sastra] selama 24 jam merupakan simbolik ajaran dharma tingkat tinggi, untuk menjadikan diri kita sendiri sebagai sumber mengalirnya ajaran suci dharma.
Bukan untuk merayakan turunnya Veda bagi manusia,
membaca habis semuanya,
kemudian terjebak ke dalam dogma.
Dimana pengetahuan yang bertumpuk itu dapat menjadi dogma yang begitu kaku dan dangkal.
Yang akan lebih berbahaya, jika kita rajin dan semangat membaca sastra, tapi kemudian menggunakannya untuk menghakimi, mengkritisi, merendahkan, memusuhi atau memanipulasi orang lain, sehingga sastra menjadi ular beracun yang mematuk.
Belajar sastra seperti itu akan membuat nasib kita ibaratnya dipatuk ular beracun.
Di tahap puncak kita melepaskan semua konsep sastra untuk memasuki keheningan.
Hanya pikiran hening yang memiliki energi luar biasa untuk dapat menyelam ke dasar yang terdalam.
Kesadaran seperti ini memberikan diri sendiri kesempatan untuk memahami secara utuh tentang keberadaan ini. Hanya pikiran yang hening yang dapat menyimak diri sendiri dan alam semesta secara utuh.
Inilah sesungguhnya yang ditawarkan Mahadewi Saraswati di Hari Raya Saraswati.
Tidak lagi pengetahuan berdasar sastra secara biasa, tapi menggali pengetahuan rahasia yang tertinggi, pengetahuan yang sudah ada di dalam diri kita sejak awal yang tidak berawal.
Demikian sebagai perenungan diri sebagaimana disebutkan dalam rumah dharma Indonesia sebagai bekal yang baik untuk menjalani hidup ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar