Rabu, 06 Juli 2022

Hal Wajib yang Harus Ada pada Sate Renteng

 


Pemahaman masyarakat mengenai tata cara pembuatan sarana upacara sangatlah penting. Hal ini bertujuan untuk memberikan dampak yang maksimal dari pelaksanaan upacara. Sate Renteng yang kita jumpai di masa kini memiliki pengurangan terhadap nilai-nilai tattwa. Hal ini dilihat dari banyaknya Sate Renteng yang digunakan oleh masyarakat, khususnya Kota Denpasar yang belum lengkap.

Hal prinsip justru tidak terdapat di dalamnya. Bagi orang yang tidak mengerti hal itu tentu tidak terlihat. “Karena pemahaman masyarakat tentang Sate Renteng hanya sebatas rangkaian sate yang berisi kulit babi,” ujar Budayawan, I Gede Anom Ranuara, S.pd, S.Sn yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) , Kamis (30/3).

Lebih lanjut dijelaskannya, beberapa hal prinsip seperti senjata Dewata Nawa Sanga, penggunaan hati, paru-paru, ginjal, dan empedu adalah wajib. Hal itu wajib diutamakan untuk memenuhi nilai tattwa dari Sate Renteng. Namun, pada kenyataannya masyarakat masa kini lebih senang berpikir praktis dan ekonomis, sehingga pemahaman terhadap tattwa sangat minim. “Intinya banyak masyarakat yang berpura-pura tidak tau dan tidak mau tau tentang tattwa,” jelasnya.

Pihaknya juga sangat menyayangkan pada masa kini banyak masyarakat yang tak lagi menggunakan tulang babi yang dirangkai di bawah Sate Renteng. Padahal, itulah sejatinya unsur penting penyusun Sate Renteng yang disebut Gayah dan termuat dalam lontar agama.

(bx/gus /yes/JPR) –sumber


Selasa, 05 Juli 2022

Cara Pembersihan Niskala setelah Rumah Diterjang Bencana

 


BALI EXPRESS, SINGARAJA – Bencana banjir dan tanah longsor belakangan ini membuat warga kelimpungan. Masalahnya, tak hanya soal keselamatan, kerugian materi, tapi ada urusan yang tak kalah penting yakni mengembalikan energi kebersihan sekala dan niskala rumah yang ditempati.

Bencana alam seperti tanah longsor dan banjir bandang yang terjadi di sejumlah lokasi  turut merusak ratusan rumah milik warga. Selain merusak rumah, warga juga harus mengungsi karena halaman rumah terendam air setinggi dua meter.

Masalah tidak hanya berhenti di sana. Rumah yang sempat terendam banjir tentu memerlukan waktu berhari-hari agar pulih dan bisa ditempati kembali seperti semula. Rupanya, banjir yang sempat merendam rumah dan seisinya, selain menimbulkan kekotoran secara skala (nyata), juga menimbulkan kekotoran niskala.

Lalu, bagaimana menetralisasi secara niskala rumah yang sempat dihantam bencana? Menurut Ketut Agus Nova, S.Fil.H, M.Ag yang akrab disebut Jro Anom, bila rumah sempat diterjang bencana banjir ataupun tanah longsor, maka wajib hukumnya dibuatkan upacara ngulapin. Tujuannya untuk memarisudha (menyucikan) pekarangan rumah beserta isinya agar kembali bersih secara niskala.



“Itu wajib dibuatkan upacara pacaruan dan ngulapin. Nah, guna memarisudha pekarangan itu, dibuatkan banten caru eka sata,” kata Jro Anom kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Kamis (1/2) kemarin di Singaraja.

Beragam jenis kotoran sampah yang terbawa arus banjir, lanjut Jro Anom, akan menimbulkan cemer (kotor) bagi pekarangan. “Jika sudah kotor, maka Ida Bhatara Wiswakarma yang bersthana di bangunan rumah diyakini bisa saja meninggalkan rumah tersebut,” terangnya.

Ditegaskannya, jika rumah sudah tidak besrthana Bhagawan Wiswakarma, maka rumah akan rentan dihuni Bhutakala. Otomatis, si penghuni rumah akan merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut dan berdampak terhadap psikologis penghuninya.

“Kalau rumah sempat diterjang banjir, maka Ida Bhatara Bhagawan Wiswakarma akan enggan berstana di rumah itu. Makanya, melalui upacara ngulapin inilah harus dilakukan sehingga Bhatara Wiswakarma berkenan bersthana kembali. Kalau rumah tidak dinetralisasi pasca terkena bencana, rentan ditempati Bhutakala,” ungkapnya.


Disinggung terkait prosesinya, Jro Anom menyebut rentetan upacara ngulapin diawali dengan upacara Pacaruan Eka Sata. Ciri banten Caru Eka Sata ini menggunakan ayam brumbun. Selanjutnya pacaruan ayam brumbun diikuti dengan banten beakala, durmanggala prayascita, sesayut sapuh lara, sesayut kala meraradan, banten tadah kala dan banten segehan agung. “Banten itu khusus untuk caru Eka Sata saja atau marisudha karang,” jelasnya.

Penggunaan caru Eka Sata ini, sebut Jro Anom, disebabkan karena jangkauannya sempit hanya di lingkungan rumah saja. Berbeda jika melakukan pacaruan di pura atau di tingkat desa, maka wajib menggunakan caru Panca Sata.

Sedangkan untuk banten ngulapin adalah banten suci, banten peras pejati, banten pangulapan pangambean, banten pasupati, banten sesayut pangenteg sari, dan yang paling penting adalah banten tegteg atau daksina sebagai sthana Bhagawan Wiswakarma.“Setelah karang dinetralisasi, barulah Bhagawan Wiswakarma dipanggil melalui upacara ngulapin. Sehingga Bhagawan Wiswakarma kembali berstana,” bebernya.

Saat bencana menerjang, tentu tak hanya pekarangan dan rumah saja yang terdampak. Bagaimana dengan palinggih panunggun karang yang terkena banjir? Dosen STAHN Mpu Kuturan ini kembali menjelaskan, jika sanggah kemulan dan merajan alit terkena bencana harus dibuatkan banten Guru Piduka Alit (permohonan maaf). selain itu, ada juga banten Peras Pajati.

Upacara pacaruan dan ngulapin ini, sebut pria kelahiran Desa Kekeran, Kecamatan Busungbiu ini, tepat dilaksanakan saat Kajeng Kliwon atau bertepatan Tilem. Menurutnya, Kajeng Kliwon merupakan pertemuan tri wara kajeng dengan pancawara kliwon. Pertemuan antara Kajeng dengan Kliwon, diyakini sebagai saat energi alam semesta yang memiliki unsur dualitas bertemu satu sama lainnya.

“Rahina Kajeng Kliwon diperingati sebagai hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama, dan pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma. Maka, sangat tepat melaksanakan pacaruan sekaligus memarisudha pekarangan saat hari ini,” ujarnya.
Waktu ini dikatakan tepat, lanjutnya, karena merupakan perwujudan bhakti dan sradha kita kepada Hyang Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah mengembalikan (Somya) Sang Tiga Bhucari.

“Berarti kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar),” pungkasnya.

(bx/dik/yes/JPR) –sumber

Pengertian Dāśa Mahāvidyā dan Bagian-Bagiannya

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Seperti halnya Śrī Visnu bertugas sebagai pemelihara turun ke dunia dengan mengambil peran sebagai avatāra. Śiva sebagai pelebur dengan 11 perbanyakan Rudranya. Begitu pula Śakti sebagai aspek kekuatan Brahman, personafikasi dari alam material, mother nature (prakriti) atau energi kosmos juga memiliki 10 perbanyakannya-sebagaimana dikumandangkan di dalam Markandeya Purāna dan Devī Bhāgavatam Purāna. 10 wujud devī ini diantaranya:
.

Foto; mutiarahindu.com

1. Kāli - Bentuk akhir dari Brahman, "Devourer of Time" (Hakekat Waktu)
.
2. Tārā - Devī sebagai Pemandu dan Pelindung, atau "Yang Menyimpan". Dalam tradisi Chinese Bhuddhist, Dewi Tārā dikenal sebagai Kwan Yin berpasangan dengan The Great Buddha, Avalokiteshvara.
.
3. Tripurā Sundari (Shodashi) - Sumber keberadaan keindahan dan kecantikan; "Tantric Parvati" atau "Moksha Mukta"
.
4. Bhuvaneshvari - Sebagai Ibu Dunia — alam kosmos ini adalah tubuh ilahi sang devī
.
5. Bhairavi - Penggambaran ibu Durga yang menakutkan.
.
6. Chinnamasta - Devī yang memenggal kepalanya sendiri dan juga meminum darahnya sendiri dari kucurannya. Sosok tubuh tanpa kepala adalah methapora yang digunakan dalam dunia spritual (methaphor yogic) dalam tantrisme.
.
7. Dhūmāvatī - Adalah kekuatan penderitaan (the power of suffering) — Dhūmāvatī muncul sebagai the negatif powers of life seperti: kemiskinan, kemelaratan, penderitaan, ketidakjujuran, pertengkaran dan sejenisnya.
.
8. Bagalamukhi - Devī "penghipnotis", alam material ini ter-cover oleh ilusi (māyā) yang menyebabkan setiap insan hidup lupa akan kedudukan sejatinya.


9. Matangi - Inner knowledge, sumber pengetahuan; "Sarasvati devī"



10. Kamalatmika - Sebagai sumber dari kemahsyuran dan kemewahan; "Laksmī devī"
.

Guhyatiguyha-tantra dan Munda Mala Tantra mengkaitkan 10 Mahāvidyā dengan 10 Avatāra Visnu, dan menyatakan bahwa Mahāvidyā adalah sumber dari mana avatāra Visnu muncul.
.
1. Kāli = Krsna
2. Tārā = Rāma
3. Sundari = Kalki
4. Bhuvaneshwari = Varaha
5. Bhairavi = Narashima
6. Chinnamastha = Parasurama
7. Dhūmāvathī = Vamana
8. Bhagalamukhi = Kurma
9. Mathangi = Buddha
10. Kamalathmika = Matsya



Reff https://www.mutiarahindu.com/2018/03/pengertian-dasa-mahavidya-dan-bagian.html
Filsafat Hindu
Markandeya Purāna dan Devī Bhāgavatam Purāna

Senin, 04 Juli 2022

Bhoma, Sosok Penjaga yang Pantang Diaplikasikan Sembarangan

 


BALI EXPRESS, DENPASAR – Ornamen berupa kepala raksasa yang dinamai Karang Bhoma, kerap ditemui pada ukiran tempat suci umat Hindu di Bali, terutama di bagian atas gelung kori. Siapakah sesungguhnya sosok raksasa bertaring tajam, mata melotot, dan dua tangan di kanan kirinya, seolah siap mencengkeram ini?

Berdasarkan mitologi, Bhoma konon adalah putra dari Dewa Wisnu dan Dewi Pertiwi. Ia lahir dari pertemuan Sang Dewa dan Sang Dewi dalam sebuah misi pemutaran Gunung Mandara atau Mandara Giri untuk mendapat Tirtha Amrita. Saat itu, Dewa Wisnu mendapat tugas untuk mencari pangkal dari lingga milik Dewa Siwa.

Guna memudahkan misinya, Dewa Wisnu mengubah wujud menjadi seekor babi hutan dan mulai melakukan penggalian di tanah. Nah, saat itulah ia bertemu dengan Dewi Pertiwi yang merupakan penguasa tanah. Dari pertemuan itu lahir Bhoma yang memiliki wujud menyeramkan. Sang Bhoma kemudian dikenal sebagai penguasa hutan belantara.



Dari mitologi tersebut, Bhoma tak lain adalah tumbuhan itu sendiri. Ia tumbuh dengan subur pada tanah (Pertiwi) yang mendapatkan air (Wisnu) yang cukup. Mitologi tersebut juga berpengaruh pada misi pelestarian hutan. Pasalnya,masyarakat tradisional percaya hutan rimba adalah salah satu tempat yang angker karena ada penguasanya. Di Bali sendiri, sosok penjaga hutan belantara disebut dengan Banaspati.

Bhoma kerap disandingkan dengan kata Bhauma dalam Bahasa Sansekerta, dengan arti sesuatu yang tumbuh dari bumi atau pertiwi. Dengan demikian, konotasinya mengarah pada tumbuh-tumbuhan.
Kisah tentang Bhoma juga diutarakan dalam Kakawin Bhomântaka atau Kakawin Bhomakawya yang berbahasa Jawa Kuno. Kakawin ini merupakan salah satu yang terpanjang dalam Sastra Jawa Kuno, yakni mencapai 1.492 bait.

Terkait dengan ukiran Karang Bhoma yang terdapat di gelung kori atau beberapa bagian tempat suci di Bali, tidak terlepas dari kepercayaan perlindungan dari Sang Hyang Bhoma. Oleh karena itu, ukiran tumbuhan pada pusatnya kerap berisi ukiran Karang Bhoma. “Ini tidak terlepas dari konsep Tri Hita Karana, khususnya harmonisasi hubungan manusia dengan alam,” ungkap Dr. Drs. Ketut Sumadi, M.Par kepada Bali Express (Jawa Pos Group), belum lama ini.



Dosen IHDN Denpasar tersebut mengatakan, ukiran Karang Bhoma bukan sebatas dekorasi pada tempat suci, namun memiliki makna di baliknya. Hal ini sejalan dengan konsep bangunan yang tertera pada Asta Kosala Kosali dan Asta Bhumi. “Apapun yang ada di Bali tidak hanya sebatas dekorasi. Demikian pula Bhoma ini, yang dipercaya sebagai sosok pelindung di tempat suci dan penolak hal-hal negatif yang hendak masuk ke dalamnya,” terangnya.

Apalagi, lanjut mantan jurnalis ini, bangunan yang dibuat oleh masyarakat Bali melewati prosesi ritual, baik penyucian dan ‘penghidupan’ atau yang biasa disebut pasupati. Dengan demikian, ukiran Karang Bhoma dipercaya memiliki kekuatan magis yang ada di dalamnya.

Meski begitu, kata Sumadi, ukiran Karang Bhoma tak bisa diaplikasikan di sembarang bangunan. Biasanya, ukiran Karang Bhoma hanya diaplikasikan di tempat suci. “Mengingat Bhoma adalah salah satu sosok yang disakralkan, secara umum ukiran Karang Bhoma diaplikasikan di tempat suci, seperti pura,” ujarnya.

Bagimana jika diaplikasikan di rumah? Pria ramah dan murah senyum ini mengatakan tidak sepatutnya. Pasalnya, kekuatan Bhoma yang telah dipasupati cukup besar dan efeknya tak hanya bagi sesuatu di luar tempat suci, namun juga di dalamnya. Oleh karena itu, jika diaplikasikan di rumah, maka kesalahan perlakukan penghuni rumah bisa berakibat fatal. “Kalau untuk di rumah, orang menghindari menggunakan Bhoma, karena dia bisa ‘makan’ diri kita sendiri. Kalau bisa, hindari itu. Bahkan ‘just decoration’ atau hanya hiasan juga keliru,” tegasnya.

Dengan demikian, Sumadi kembali menegaskan, ukiran Karang Bhoma hendaknya sebatas diaplikasikan di tempat suci, khususnya pura. “Hanya dipakai di tempat suci, khususnya di pura. Biasanya diletakkan di gelung kori. Kalau orang yang berpikiran negatif, bisa dilindas,” tegasnya.

Dikatakannya, belakangan ini dekorasi yang dibuat untuk acara seremonial juga tak sepatutnya berisi ukiran kepala Bhoma. Hal itu terkait dengan Bhoma sebagai salah satu simbol suci, selaku sosok penjaga dan penindak tegas orang-orang yang memiliki pikiran, perkataan, atau perbuatan negatif di tempat suci. “Itu sesuai dengan totem. Totem adalah kepercayaan tradisional terhadap binatang yang memberikan perlindungan dan juga membahayakan jika kita salah menempatkan,” terangnya.

Namun, jika ukirannya hanya sebatas tumbuhan, tanpa kepala Bhoma, kata dia tak masalah. “Lebih baik cukup ukiran bun (tumbuhan menjalar). Jangan sampai ada kepala Bhoma,” tandasnya.

(bx/adi/yes/JPR) –sumber

Minggu, 03 Juli 2022

Makna Suara Tetimpug Saat Pawiwahan

 


BALI EXPRESS, DENPASAR – Dalam rangkaian upacara Pawiwahan (Pernikahan) adat Hindu, ada tiga buah bambu yang dibakar hingga meletup yang disebut Tetimpugan. Sejatinya, apa makna dan fungsi Tetimpugan?

Pernikahan merupakan saat – saat yang paling dinanti. Fase Grahasta dalam ajaran Catur Asrama ini haruslah dilaksanakan sesuai tata cara yang benar. Itulah sebabnya, upacara Madengen-dengen atau Makala-kalaan yang memiliki makna dan tujuan ‘membersihkan dan menyucikan’ merupakan bagian terpenting dalam rangkaian upacara pernikahan adat Bali. Dalam rangkaian upacara Pawiwahan terdapat tiga buah bambu yang dibakar dan meletup yang disebut Tetimpugan.

Tetimpug merupakan sarana yang juga dipergunakan dalam upacara Makala-kalaan.

Pemangku asal Desa Keramas, Jero Mangku Made Puspa, mengatakan, Tetimpugan erat kaitannya dengan Bhatara Brahma yang disimbolkan sebagai api. “Sarana yang digunakan untuk memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma dalam upacara yadnya umumnya disimbolkan dengan bambu tiga batang yang dibakar dengan api danyuh kelapa,” ujar Mangku Made Puspa.

Dikatakannya, Tetimpug umumnya berupa tiga buah bumbu mentah yang masih ada kedua ruasnya. Lalu diberi minyak kelapa kemudian diberi sasap yang terbuat dari janur. Biasanya bambu ini, akan dibakar sebelum memulai upacara, sehingga terdengar bunyi letusan tiga kali.

“Di Gianyar, dalam rangkaian upacara Pawiwahan, membunyikan Tetimpugan justru merupakan saat yang ditunggu – tunggu. Konon, katanya jika Tetimpugan itu berbunyi lebih dari tiga kali, maka pasangan tersebut akan dikaruniai banyak anak. Jika kurang dari tiga kali letupan, kami khawatir mungkin ada kekurangan dalam bantennya,” ujar Jero Mangku Made Puspa.

Dalam upacara Bykala (wiwaha), lanjutnya, sudah terkandung tiga macam saksi yang dikenal dengan istilah Tri Upasaksi (tiga saksi), yaitu Dewa Saksi, Manusa Saksi, dan Bhuta Saksi. Dewa Saksi adalah saksi Dewa ( Ida Hyang Widhi Wasa) yang dimohonkan untuk menyaksikan Pawiwahan tersebut. Manusa Saksi adalah semua orang yang datang menghadiri Pawiwahan tersebut dapat dikatakan sebagai saksi, utamanya Bendesa, Kelian Dinas, pemangku yang muput upacara tersebut dan lainnya. Saksi dari para Bhutakala disebut dengan Bhuta Saksi.

Tetimpugan dikatakan sebagai rangkaian dari Bhuta Saksi. “Kita membakar Tetimpug, sehingga menimbulkan suara letupan. Suara letupan tersebut merupakan simbol untuk memanggil Bhutakala agar hadir pada upacara tersebut. Kemudian diberikan suguhan supaya tidak menggangu jalannya upacara,” ungkap Jero Mangku Made Puspa.

Ditegaskannya, perkawinan di Bali dianggap belum sah, jika tidak disaksikan oleh Tri Upasaksi.

Dalam Wiwaha Samsara, Tri Upasaksi adalah tiga saksi yang dihadirkan untuk menyaksikan rangkaian upacara Pawiwahan, yaitu Dewa Saksi, Manusia Saksi, dan Bhuta Saksi.

Dewa saksi biasanya dalam bentuk upakara dan bebantenan. “Dewa saksi, meliputi upakara dan upacara perkawinan kedua mempelai, yang dipuput oleh pedanda,” ujarnya. Sedangkan Manusia Saksi umumnya diwakilkan oleh bendesa adat serta prajuru desa. “Bhuta Saksi biasanya disimbolkan dengan upacara yang dibuatkan untuk kedua mempelai, sebagai wujud menetralisasi Sapta Timira,” tandasnya.

Ditambahkannya, dalam Wiwaha Samskara disebutkan, Tetimpug berfungsi sebagai alat komunikasi, baik niskala maupun sakala. Secara niskala, Tetimpug berfungsi untuk memberitahukan Bhutakala yang akan mendapat persembahan, bahwa upacara Makala-kalaan segera dimulai. Secara sekala, Tetimpug juga mempunyai fungsi untuk memberitahukan kepada warga sekitar bahwa upacara Makala-kalaan segera dimulai.

Tetimpug tidak hanya digunakan dalam upacara pernikahan, tetapi juga digunakan dalam rangkaian upacara lain, seperti Padudusan, Pacaruan Rsi Gana, Labuh Gentuh, dan pacaruan lainnya. “Tetimpugan itu fungsinya sangat vital. Bahkan, dalam berbagai kegiatan upakara, Tetimpugan sering digunakan. Ngodalin, Macaru pasti ada Tetimpug,” ungkapnya.

Pemangku Pura Masceti ini mengungkapkan, baiknya menggunakan bambu dengan jumlah ganjil. “Seharusnya berjumlah ganjil, di mana ruas bambu yang berjumlah ganjil juga. Tiga buah bambu Tetimpug melambangkan Tri Kona, yaitu utpeti, stiti, dan pralina,” terangnya. Jika yang menggunakan lima buah Tetimpug, upacara caru tersebut sudah berada dalam tingkatan yang lebih besar, seperti karya agung. Hal tersebut melambangkan Panca Mahabhuta, yaitu pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa.

Diakuinya, penjelasan Tetimpug seringkali berbeda – beda, sesuai desa kala patranya. “Jika di daerah Ubud, Tetimpug dikatakan sebagai sarana untuk mengundang kekuatan sebagai pelaksana sebuah upacara yadnya,” paparnya.

Konon, tetimpug menjadi sarana pengundang tenaga dan waktu agar harmonis. “Jika Tetimpug tidak bersuara, maka kala itu tidak datang. Begitu juga sebaliknya, jika bersuara, kala itu datang dan merasa terpanggil,” tandasnya.

(bx/tya/yes/JPR) –sumber

Om Swastiastu Merupakan Salam Sekaligus Doa





Om Swastiastu, merupakan salam pembuka yang biasa diberikan oleh orang bali kepada seseorang yang ditemuinya. Dan saat ini UMAT Hindu di Indonesia, kalau saling berjumpa dengan sesamanya, umumnya mengucapkan Om Swastyastu. Salam umat ini sekarang telah menjadi salam resmi dalam sidang-sidang Dewan Perwakilan maupun pertemuan resmi lainnya, adapun maksud dari salam tersebut adalah sapaan sekalugus doa untuk lawan bicara agar orang tersebut selalu diberkahi oleh Tuhan YME.
adapun penjelasan mengenai kata tersebut, dapat dilihat dari percakapan Rsi dengan seorang suyasa. Setelah sang Suyasa memperbaiki cara duduknya.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Rsi Dharmakertipun mulailah:
“Anakku, tadi anakku mengucapkan panganjali: “Om Swastyastu”. Tahukah anaknda apa artinya?
Jika belum, dengarlah! OM adalah aksara suci untuk Sang Hyang Widhi. Nanti akan Guru terangkan lebih lanjut. Kata Swastyastu terdiri dari kata-kata Sansekerta: SU + ASTI + ASTU, Su artinya baik, Asti artinya adalah, Astu artinya mudah-mudahan.

Jadi arti keseluruhan OM SWASTYASTU ialah “Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi”.

Kata Swastyastu ini berhubungan erat dengan simbol suci Agama kita yaitu SWASTIKA yang merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Buana Agung (Makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Bentuk Swastika ini dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari perputaran alam ini. Keadaan alam ini sudah diketahui oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala dan lambang Swastika ini telah ada beribu-ribu tahun sebelum Masehi.

Dan dengan ucapan panganjali Swastyastu itu anakku sebenarnya kita sudah memohon perlindungan kepada Sang Hyang Widhi yang menguasai seluruh alam semesta ini. Dan dari bentuk Swastika itu timbullah bentuk Padma (teratai) yang berdaun bunga delapan (asta dala) yang kita pakai dasar keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi.

Sang Suyasa :
Oh Gurunda, maafkan kalau hamba memotong. Hamba tidak mengira demikian luas maksud dari ucapan panganjali atau penghormatan hamba tadi itu. Betul-betul hamba tidak tahu artinya. Hamba hanya mendengar demikian, lalu hamba ikut-ikutan saja.

Rsi Dharmakerti :
Memanglah demikian tinggi nilai dari ajaran Agama kita anaknda. Guru gembira bahwa anaknda senang mendengarnya. Ketahuilah bahwa kata SWASTI (su + asti) itulah menjadi kata SWASTIKA. Akhiran “ka” adalah untuk membentuk kata sifat menjadi kata benda. Umpamanya: jana - lahir; janaka - ayah; pawa - membakar; pawaka - api, dan lain-lainnya. Ingatkah anaknda apa yang Guru pakai untuk menjawab ucapan panganjali itu?

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Rsi Dharmakerti :
Tidak mengapa anaknda, Guru akan jelaskan bahwa arti kata OM SHANTI, SHANTI, SHANTI itu ialah: Semoga damai atas karunia Hyang Widhi” Shanti artinya damai. Dan jawaban ini hanya diberikan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Sedangkan jawaban atau sambutan terhadap panganjali “Om Suastiastu” dari orang yang sebaya atau dari orang yang lebih tua cukuplah dengan Om Swastiastu yaitu sama-sama mendoakan semoga selamat.
Hanya yang lebih tua patut memakai Om Shanti, Shanti, Shanti terhadap yang lebih muda. Atau dipakai juga untuk menutup suatu uraian atau tulisan.

Sang Suyasa :
Gurunda, maafkan atas kebodohan diri hamba. Akan sangat banyak yang hamba tanyakan supaya benar-benar sirnalah segala kegelapan yang melekat di jiwa hamba. Gurunda, walaupun kedengarannya agak ke-kanak-kanakan maafkanlah jika anaknda bertanya apa arti agama itu sendiri. Selanjutnya perlu kita pahami bersama makna apa yang berada di balik ucapan Om Swastyastu tersebut.

Umat Hindu di India umumnya mengucapkan NAMASTE kalau bertemu dengan sesamanya. Bahkan, ucapan itu dilakukan secara umum oleh masyarakat India. Para pandita maupun pinandita dalam memanjatkan pujastawa sering kita dengar menutup pujastawanya dengan Om naamo namah. Inti semua ucapan itu pada kata naama, yang dalam bahasa Sansekerta artinya menghormat.

Dalam bahasa Jawa Kuno disebut dengan sembah. Kata sembah dalam bahasa Jawa Kuno memiliki lima arti.

Sembah berarti menghormati, menyayangi, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri.

Karena itu, umat Hindu di Bali mengenal adanya Panca Sembah yang diuraikan dalam lontar Panca Sembah. Dalam tradisi Hindu di Bali ada sembah ke bhuta, ke manusa, ke pitra, ke dewa dan Hyang Widhi.
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali
Adapun posisi cakupan tangan yang biasa dipakai saat menyembah:

Kalau menyembah bhuta atau alam semesta tangan dicakupkan di pusar. Sembah seperti itu berarti untuk mencurahkan kasih sayang kita pada alam untuk menjaga kelestariannya.
Menyembah sesama atau pitra, mencakupkan tangan di dada. Sembah seperti itu adalah untuk menghormati sesama manusia.
Menyembah dewa tangan dicakupkan di selaning lelata yaitu di antara kening di atas mata.
Hanya menyembah Tuhanlah tangan dikatupkan dengan sikap anjali di atas ubun-ubun. Ini artinya hanya menyembah Tuhanlah kita serahkan diri secara bulat dan satukan diri sepenuh hati. Biasanya penggunaan “Swastyastu” disertai dengan kata “Om” menjadi “Om Swastyastu”. Kata ini lumrah digunakan sebagai salam awal, begitu juga dengan kata “Swastiprapta” (selamat datang). Namun di beberapa tempat di luar bali kata “Swastyastu” juga digunakan sebagai salam akhir perjumpaan atau percakapan. Itu yang membuat rasa ingin tahu saya semakin besar untuk mengetahui arti sebenarnya kata tersebut agar tidak menjadi sebuah kekeliruan yang membudaya. Memang pada dasarnya bahasa bersifat mana suka dan berlaku jika diakui dan digunakan oleh banyak orang. Dalam kesempatan ini saya mencoba menelaah kata tersebut dengan mencari artinya pada beberapa literatur kamus yang ada (apang tusing oranga milu-milu tuwung, nak mula keto….!!!).

Salam Om Swastyastu yang ditampilkan dalam bahasa Sansekerta dipadukan dari tiga kata yaitu: Om, swasti dan astu. Istilah Om ini merupakan istilah sakral sebagai sebutan atau seruan pada Tuhan Yang Maha esa. Om adalah seruan yang tertua kepada Tuhan dalam Hindu. Setelah zaman Purana-lah Tuhan Yang Mahaesa itu diseru dengan ribuan nama. Kata Om sebagai seruan suci kepada Tuhan yang memiliki tiga fungsi kemahakuasaan Tuhan. Tiga fungsi itu adalah, mencipta, memelihara dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di alam ini. Mengucapkan Om itu artinya seruan untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan.

Dalam Bhagawad Gita kata "Om" ini dinyatakan sebagai simbol untuk memanjatkan doa pada Tuhan. Karena itu mengucapkan Om dengan sepenuh hati berarti kita memanjatkan doa pada Tuhan yang artinya ya Tuhan.

Setelah mengucapkan Om dilanjutkan dengan kata swasti.

Dalam bahasa Sansekerta kata swasti artinya selamat atau bahagia, sejahtera. Dari kata inilah muncul istilah swastika, simbol agama Hindu yang universal. Kata swastika itu bermakna sebagai keadaan yang bahagia atau keselamatan yang langgeng sebagai tujuan beragama Hindu. Lambang swastika itu sebagai visualisasi dari dinamika kehidupan alam semesta yang memberikan kebahagiaan yang langgeng.

Menurut ajaran Hindu alam semesta ini berproses dalam tiga tahap. Pertama, alam ini dalam keadaan tercipta yang disebut Srsti. Kedua, dalam keadaan stabil menjadi tempat dan sumber kehidupan yang membahagiakan. Keadaan alam yang dinamikanya stabil memberikan kebahagiaan itulah yang disebut swastika.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Dalam istilah swastika itu sudah tersirat suatu konsep bahwa dinamika alam yang stabil itulah sebagai dinamika yang dapat memberikan kehidupan yang bahagia dan langgeng. Dinamika alam yang stabil adalah dinamika yang sesuai dengan hak asasinya masing-masing. Ketiga, adalah alam ini akan kembali pada Sang Pencipta. Keadaan itulah yang disebut alam ini akan pralaya atau dalam istilah lain disebut kiamat.

Kamus Bahasa Bali Kata “Swastyastu” berasal dari kata suasti, yang berarti selamat, menjadi suastiastu yang berarti semoga selamat.
Kamus Kawi-Bali “Swastyastu berasal dari kata swasti yang berarti raharja, rahayu, bagia, dan rahajeng. Astu yang berarti dumadak, patut, sujati, sinah. Kata astu berkembang menjadi “Astungkara” yang berarti puji, alem dan sembah. Sehingga “swastyastu” berarti semoga selamat, semoga berbahagia
Kamus Jawa Kuna-Indonesia “Swasti” berarti kesejahteraan, nasib baik, sukses; hidup, semoga terjadilah (istilah salam pembukaan khususnya pada awal surat atau dalam penerimaan dengan baik). Sedangkan “astu” memiliki 2 arti yaitu: 1. Semoga terjadi, terjadilah…. (seringkali pada awal sesuatu kutuk, makian, berkah, ramalan), pasti akan….. 2. Nyata-nyata, sungguh-sungguh (campuran dengan “wastu”?). Kata "astu" berkembang menjadi “astungkara” yang berarti berkata “astu”, mengakui, mengiyakan dengan segan, perkataan “astu”. Dari pengertian tersebut kata “swastyastu” berarti semoga terjadilah nasib baik, sungguh sejahtera.
Kamus Sanskerta-Indonesia “Svasti” berarti hujan batu es, salam, selamat berpisah, selamat tinggal. Berkembang menjadi “svastika”, “svastimukha”, “svastivacya”. Kata svastika berarti tanda sasaran gaib, tidak mendapat halangan, pertemuan empat jalan, lambang agama Hindu. Svastimukha berarti yang belakang, terakhir, penyanyi, penyair. Svastivacya berarti salam ucapan selamat. Kata “astu” berarti sungguh, memuji. Dari pengertian kedua kata tersebut dapat disimpukan “svastiastu” berarti menyatakan selamat berpisah. Dari beberapa pengertian kata dalam kamus-kamus tersebut, dapat ditarik sebuah benang merah yang saling terkait satu sama lainnya yaitu:



Pengertian “Swastyastu” dalam kamus Bahasa Bali, Kawi Bali dan Jawa Kuna memiliki pengertian yang hampir sama, yaitu berarti semoga selamat, semoga bahagia, semoga sejahtera. Sedangkan dalam kamus Sanskerta berarti pernyataan selamat berpisah, selamat tinggal
Kata “astu” sebagai penutup hanya mempertegas kata “svasti” yang memang memiliki arti semoga, selamat berpisah, selamat jalan.

Pada dasarnya pengertian “swastyastu” pada keempat kamus itu adalah sama, saling melengkapi satu sama lainnya, yaitu Ya Tuhan semoga kami selamat, selamat tinggal dan semoga sejahtera (Semoga sejahtera dalam lindungan Hyang Widhi), tidak ada manusia yang hidup di dunia ini tidak mendambakan keselamatan atau kerahayuan di bumi ini. Selamat tinggal disini maksudnya adalah selamat tinggal pada hal-hal sebelumnya yang telah dialami atau dilalui dan semoga selamat dan sejahtera pada apa yang akan dialami atau dilalui pada kehidupan sekarang. Dalam hidup tidak bisa dipisahkan dari tiga waktu yaitu: atita, nagata, dan wartamana (dahulu, sekarang, dan yang akan datang).

Dalam penggunaannya pada kehidupan sehari-hari kata “swastyastu” diawali dengan kata “Om” sebagai ucapan aksara suci Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sehingga menjadi “Om Swastyastu”. Kata ini biasa atau lumrah digunakan sebagai salam pembuka (selain swastiprapta, yang berarti selamat datang) kemudian diakhiri dengan “Om Santih, Santih, Santih Om” yang berarti semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai di akhirat (selain swastimukha yang berarti salam penutup yang belakang).

Namun kini di kota-kota besar, kata “swastyastu” juga digunakan sebagai salam penutup atau akhir sebuah percakapan. Bagi orang desa seperti saya, terus terang saja ketika mendengarnya terasa aneh di telinga saya, sampai pada akhirnya saya penasaran tentang penggunaan kata tersebut sebagai salam penutup dan mencari arti kata tersebut dalam beberapa kamus-kamus yang ada. Jika dilihat dari pengertian arti katanya dalam kamus memang wajar kata itu dipergunakan sebagai salam penutup sesuai dengan artinya, namun jika melihat nilai rasa maka akan terasa janggal atau kurang pas (mungkin karena saya awam atau kurang terbiasa mendengarnya).

Dalam agama Hindu, sebuah awal adalah akhir dari semua yang terjadi, sedangkan akhir adalah sebuah awal sesuatu yang baru. Hal ini yang mungkin dijadikan patokan penggunaan kata “swastiastu” sebagai salam pembukaan dan salam penutup perjumpaan atau percakapan (selain mungkin penunjukan eksistensi terhadap agama lain bahwa agama Hindu juga memiliki salam awal dan akhir seperti halnya agama lain). Namun, jika melihat lagi pada nilai rasa, rasanya kedengaran janggal. Pada kesempatan ini saya juga mencoba menyampaikan beberapa padanan kata, yang mudah-mudahan tidak jauh berbeda artinya dengan “swastyastu” sebagai salam penutup perjumpaan atau percakapan. Beberapa kata tersebut antara lain: “swastimukha”, yang berarti permulaan (mukha) kesejahteraan, permulaan nasib baik, permulaan keselamatan; “swastisanti”, yang berarti ucapan selamat berpisah dan damai (santi), selamat jalan dan semoga damai.



Jadi, salam Om Swastyastu itu, meskipun ia terkemas dalam bahasa Sansekerta bahasa pengantar kitab suci Veda, makna yang terkandung di dalamnya sangatlah universal. Pada hakikatnya semua salam yang muncul dari komunitas berbagai agama memiliki arti dan makna yang universal. Yang berbeda adalah kemasan bahasanya sebagai ciri khas budayanya. Dengan Om Swastyastu itu doa dipanjatkan untuk keselamatan semua pihak tanpa kecuali.

Salam Om Swastyastu itu tidak memilih waktu. Ia dapat diucapkan pagi, siang, sore dan malam. Semoga salam Om Swastyastu bertuah untuk meraih karunia Tuhan memberikan umat manusia keselamatan.

Sumber : cakepane.blogspot.com


Uparengga ritatkala Pawiwahan.

  


Uparengga adalah bentuk perangkat upacara yang merupakan simbul perwujudan Sanghyang Widhi melalui kekuatan sinar suci-Nya.
Berasal dari suku kata "upa-re-angga"
Upa = perantara, Re = raditya (sinar suci), dan Angga = wujud atau merupakan perwujudan Ida Sanghyang Widhi.
makna yang terkandung dalam
Simbol-simbol uparengga tersebut antara lain:
1. Sanggah Surya merupakan simbol (nyasa) sthana manifestasi Sang Hyang Widhi (Tuhan), dalam hal ini adalah merupakan sthananya Dewa Surya, untuk memberikan pencerahan dan kehidupan kepada kedua mempelai.
2. Tetimpug memiliki makna sebagai alat komunikasi secara niskala (alam gaib) kepada Bhūta Kala dan secara sakala (alam nyata) kepada umat sekitar bahwa upacara makala-kalaan atau upacara perkawinan segera dimulai.
3. Tikeh dadakan (tikar kecil), memiliki makna kesucian prakrti sebagai alas untuk Purusa melakukan aktivitas.
4. Benang Putih sebagai simbol pembatas waktu dan jarak;
5. Tegen-Tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab yang bersifat sekala-niskala.
6. Suhun-Suhunan adalah simbol keinginan untuk mendirikan rumah tangga yang sukhinah dengan memantapkan keinginan kedua mempelai.
7. Sapu Lidi 3 katih (batang) memiliki makna kerja keras dan makna lahir, hidup dan mati.
8. Sambuk (serabut) kupakan (dibuka) mengandung makna penyatuan keluarga untuk membentuk rumah tangga yang suhkinah dan setiap rumah tangga akan mengalami masalah, oleh karena itu harus dipecahkan dengan akal sehat.
9. Dagangan, mengandung makna adanya masalah yang harus didiskusikan atau disepakati sebelum mengambil suatu keputusan.
Dumogi bermanfaat.
Sumber :
* Titib, I Made. 2003. Teologi & simbol-simbol dalam agama Hindu. Surabaya: Paramita
* Penelitian makna simbol-simbol Uparengga pada Upacara Mekala-kalaan dalam Perkawinan Umat Hindu Etnis Bali oleh Ni Nyoman Sudiani.
Foto : Doc. Babad Bali Agung