Jumat, 28 April 2023

TRADISI MEPEED DI SUKAWATI BALI

 


Bagi wisatawan asing maupun lokal yang pernah liburan dan berkunjung ke Bali, tentunya Desa Sukawati sudah tidak asing lagi bagi mereka.

Desa yang terkenal Memiliki pusat perbelanjaan oleh-oleh khas Bali juga menjual beragam kerajinan tangan yang menjadi tujuan tour wajib selama liburan di pulau Dewata Bali.

Selain populer karena Pasar Sukawati sebagai pusat oleh-oleh, desa adat ini memiliki warisan budaya dan tradisi unik dan menarik yaitu Tradisi Mepeed atau Mapeed. Di Bali tidak semua desa menggelar tradisi atau ritual tersebut, namun demikian Mepeed tentunya bukan sesuatu hal baru lagi.

Desa Sukawati sendiri berada dalam wilayah kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali. Mepeed yang digelar di Sukawati ini adalah salah satu bagian warisan budaya dan tradisi unik dari leluhur yang masih bertahan sampai saat ini di Bali.

Sebagai tujuan wisata tentunya menambah daya tarik kawasan Sukawati, dan Bali pada umumnya, sehingga memantapkan Bali sebagai destinasi wisata dunia yang wajib dikunjungi.

Budaya dan tradisi yang dimiliki pulau Dewata Bali memang berkaitan dengan kegiatan ritual ataupun prosesi upacara agama, sehingga Bali bisa memiliki taksu atau karisma di mata para pelancong.

Tradisi Mepeed di Sukawati Bali

Di Bali sendiri, tradisi mepeed atau mapeed sudah tidak asing lagi dan digelar di sejumlah tempat, seperti diketahui biasanya mepeed adalah parade yang diikuti oleh para perempuan Bali.

Mereka berjalan dalam satu baris ke belakang dengan mengusung sebuah gebogan yaitu sebuah sesajian (banten upakara) dengan rangkaian buah dan jajanan tradisional Bali yang diatur bersusun (bertingkat) berikut hiasan dari rangkaian janur, tingginya bisa mencapai hingga 1 meter.

Namun berbeda ketika saat anda menyaksikan mepeed di Sukawati yang digelar setiap enam bulan sekali ini, mereka di rias menggunakan busana pakaian atau payas agung yang dipadukan dengan pakem busana desa adat setempat.

Para peserta saat tradisi Mepeed di Sukawati Gianyar ini tidak mengusung gebogan seperti pada umumnya, dan juga tidak terbatas pada kaum ibu saja, ratusan warga yang ikut dalam ritual mepeed tersebut diikuti oleh semua kalangan, baik itu laki-laki maupun perempuan mulai dari anak-anak, remaja, dewasa bahkan lansia.


Merekapun secara antusias berjalanan kaki beriringan atau berparade mulai dari pura Dalem Sukawati hingga sampai Pura Beji Cengcengan yang merupakan wilayah perbatasan desa Sukawati dengan wilayah desa Guwang.

Para peserta dirias dengan pakaian tradisional Bali model payas Agung, walupun sekarang berkembang jenis pakaian payas agung modifikasi, namun mereka tetap bertahan dengan pakaian tradisonal dengan pakem khas Sukawati.

Jika anda ingin menyaksikan Tradisi Mepeed di Sukawati Gianyar tentunya harus pada waktu yang tepat karena ritual tersebut hanya digelar setiap 6 bulan sekali, dan dalam rangkaian pujawali atau piodalan di Pura Dalem Gede Sukawati yang jatuh setiap Anggara Kliwon, wuku Tambir (kalender Bali).

Jika anda kebetulan sedang liburan, bisa menanyakan juga kepada tour guide atau agen perjalanan anda, karena dalam kalender masehi setiap tahunnya, tradisi tersebut tidak jatuh pada waktu ataupun tanggal yang sama.

Bagi wisatawan yang ingin lebih dekat dengan budaya Bali atau mereka yang hobi fotografi tentu momen istimewa tersebut tidak bisa dilewatkan begitu saja.

Upacara Pujawali di Pura Dalem Gede Sukawati nyejer (digelar) dalam waktu selama empat hari berturut-turut dan selama 4 hari lamanya juga Tradisi Mepeed akan terus dilaksanakan oleh penduduk Desa Sukawati, Gianyar.

Pada pagi hingga siang akan diadakan gelar pujawali di Pura Dalem Gede Sukawati dan pada menjelang sore hari krama banjar yang termasuk ke dalam Desa Sukawati yang mendapat giliran mepeed akan bersiap-siap dengan tubuh yang dibalut parade payas agung untuk memulai tradisi ini.

Desa adat Sukawati di kabupaten Gianyar ini terbagi kedalam 12 banjar,  dan akan dibagi menjadi empat kelompok, sehingga masing-masing kelompok terdiri dari 3 banjar.

Pembagian menjadi 4 kelompok ini supaya penduduk Desa Sukawati yang ingin ngayah (menjadi peserta mepeed) terbagi dengan rata, mereka dikenal sebagai krama Penyatusan yang terbagi 4 diantaranya satusan Tebuana, satusan Palak, satusan Telabah, satusan Gelumpang.

Maka setiap harinya pengayah atau peserta mepeed terdiri dari orang-orang yang berasal dari banjar yang berbeda. Para pengayah Tradisi mepeed ini pun dapat dari kalangan apa saja dari anak-anak hingga lansia dapat ikut serta dalam meramaikan tradisi ini, dengan demikian para pengayah Tradisi Mepeed ini tidak pernah dalam jumlah sedikit.

Tradisi Mepeed di Sukawati

Menurut penduduk setempat yang sudah pernah terlibat dalam Tradisi Mepeed, pada saat berlangsungnya tradisi ini mereka selalu merasakan kegembiraan karena menurut mereka Tradisi Mepeed ini merupakan bentuk sujud bhakti kepada Hyang Widhi atas segala sesuatu yang diberikan beliau kepada Desa Sukawati.

Saat tradisi ini berlangsung, tentu busana adat Bali dengan pakem Desa Sukawati akan bisa terus dipertahankan. Selain itu dalam rangkaian upacara pujawali Pura Dalem Gede Sukawati, tradisi Mepeed ini bertujuan untuk nunas toya (air suci) ke Beji Cengengan untuk digunakan pada saat berlangsungnya pujawali.

Tradisi Mepeed ini berciri khas lelengisan yang memiliki arti kesederhanaan. Walaupun dalam ini terlihat megah karena menggunakan parade payas agung namun unsur kesederhanaan dari Tradisi Mepeed ini tidak boleh dihilangkan, seperti ciri khas kancut belakang untuk pengayah putri.

Di jaman sekarang pernah terjadi modifikasi terhadap busana yang digunakan pada saat Mapeed, menyebabkan banyak pesertMapeed yang meninggalkan unsur kesederhanaan, untuk membatasi hal itu agar tidak meluas, maka warga desa Sukawati di Gianyar ini tetap menggunakan busana yang benar dan itu bisa disaksikan saat Tradisi Mepeed berlangsung.

Terlihat barisan indah dengan busana payas agung membuat yang menyaksikanya terkagum-kagum, apalagi wisatawan yang jarang menemukan suguhan budaya seperti ini.

Barisan terdepan diawali dengan pemuda yang membawa artibut lelontekan, tedung dan sarana lain. Selanjutnya diikuti dengan ibu-ibu yang membawa perlengkapan beserta pemangku yang akan mengambil air suci.

Setelahnya baru pengayah anak-anak hingga lansia yang sudah mepayas agung, biasanya diurut dengan rendah ke tinggi atau dari anak-anak hingga dewasa. Tradisi Mepeed juga diiringi dengan baleganjur yang berada pada barisan paling belakang.


Para pengayah yang ikut dalam Tradisi Mepeed harus berjalan dengan jarak kurang lebih 1,5 km dengan tidak menggunakan alas kaki baik sandal maupun sepatu.

Dimulainya perjalanan dari Pura Dalem Gede Sukawati yang mana pada saat perjalanan akan melewati pusat pembelanjaan yang terkenal di Desa Sukawati yaitu pasar seni Sukawati.

Banyak orang-orang yang berbelanja disana terutama wisatawan yang pertama kali menjumpai tradisi ini merasa terpukau melihatnya dan mereka tidak lupa untuk mengabadikan momen dengan cara berfoto dengan para pengayah.

Setelah berjalan dengan jarak kurang lebih 1,5 km para pengayah sampailah di tujuan yaitu di Pura Beji Cengceng untuk nunas tirta (air suci) yang nantinya akan digunakan pada saat upacara pujawali.

Setelah pengambilan air suci selesai akan dilanjutkan untuk kembali ke Pura dalem Gede Sukawati. Walaupun berjalan tanpa menggunakan alas kaki tidak membuat para pengayah mengeluh dalam prosesi Tradisi Mepeed ini.

Setelah para pengayah sampai pura, ibu-ibu yang sudah mendapat bagian untuk ngayah nari akan segera bersiap-siap. Tarian permas adalah tarian yang biasanya mereka tarikan dan selama 4 hari saat upacara pujawali di pura Dalem Gede Sukawati dilangsungkan.

Penduduk setempat yakin, dengan melaksanakan Tradisi Mepeed ini prosesi upacara pujawali akan berjalan dengan lancar dan mereka yakin nantinya akan datang keberkahan untuk mereka.

Budaya dan tradisi unik memang sangat menarik, bahkan menjadi salah satu atraksi wisata yang bisa dinikmati wisatawan saat liburan, apalagi Sukawati lokasinya strategis berdekatan dengan pusat-pusat pariwisata, seperti Ubud, Sanur,  Kuta dan Nusa Dua, sehingga saat berlangsung cukup banyak wisatawan menikmatinya.



Rabu, 26 April 2023

Makna Meru bagi Tahapan Kehidupan di Bumi

 


Bentuk pelinggih
Meru yang ada di Bali.
Dalam Lontar Andha Bhuwana, kata meru sejatinya disebutkan berasal dari kata :
• me yang berarti ’meme atau ibu’, sedangkan
• ru berarti ’guru atau bapak’ (dalam catur guru disebut mereka yang melahirkan kita);
Dengan demikian meru itu bermakna "ibu bapak" sebagai leluhur’ yang menjadi asal muasal kita sebagai manusia atau cikal bakal kehidupan.
Dalam Lontar Andha Bhuwana ada dinyatakan bahwa meru itu sebagai lambang alam semesta (Meru ngaran pratiwimba Andha Bhuwana).
Dalam lontar yang sama juga dinyatakan sbb:
Pawangunan pelinggih makadi meru muang candi, juga pratiwimba saking pengelukunan wijaksara dasaksara mewastu manunggal dadi Om. Artinya: Bangunan suci (pelinggih) terutama meru dan candi juga simbol dari pemutaran huruf suci wijaksara dasaksara menunggal menjadi Om.
Dari penjelasan Lontar Andha Bhuwana ini yang menyatakan tumpang atap meru di samping melambangkan lapisan alam juga melambangkan pemutaran huruf suci yang disebut wijaksara sampai dasaksara. Huruf suci yang disebut aksara itu dinyatakan sebagai ''ruping bhuwana''.
Pemutaran wijaksara sampai menjadi dasaksara dan kembali menjadi wijaksara Om itu melukiskan
bahwa di setiap lapisan alam ini ada aksara sucinya. Misalnya di Tri Loka ada Tri Aksara Ang Ung Mang sebagai uripnya. Di Panca Loka ada Panca Aksara sebagai uripnya. Demikian seterusnya, di setiap lapisan alam itu ada aksara simbol urip yang menjadi sumber hidup dari setiap lapisan alam tersebut.
Apa yang dinyatakan dalam Lontar Andha Bhuwana ini sebagai penegasan dari pernyataan Mantra Veda yang menyatakan bahwa Tuhan itu ada di mana-mana. Lebih lanjut lontar Andha Bhuwana menyatakan sbb: Sowang panta ika maka sthananira mwah angalih aran. Catur Dasa panta ika, sapta Loka kaluhur mwang sapta Patala ming sor. Artinya, setiap lapisan itu sebagai sthana beliau (Hyang Widhi) yang masing-masing berganti nama.
Empat belas lapisan sthana beliau (Hyang Widhi) yang masing-masing berganti nama. Empat belas lapisan itu Sapta Loka ke atas dan Sapta Patala ke bawah. Apa makna dari pelukisan semua lapisan alam ini sebagai sthana Hyang Widhi Tuhan Yang Mahakuasa dengan sebutan yang berbeda-beda pada setiap lapisan.

Tuhan yang selalu berada di setiap lapisan alam ini hendaknya dimaknai sebagai suatu peringatan agar manusia selalu berlaku baik dan benar di setiap lapisan alam ini. Asih, Punia, dan Bhakti wajib dilakukan oleh umat manusia di setiap lapisan alam.
Asih dan Punia kepada alam dan semua makhluk hidup termasuk manusia di setiap lapisan alam ini. Melakukan Asih dan Punia kepada alam dan sesama umat manusia itu sebagai salah satu wujud bakti pada Tuhan. Tidaklah tepat di suatu lapisan alam tertentu manusia boleh saja berbuat semena-mena demi kenikmatan hidup di lapisan yang lain. Seperti di wilayah pemukimannya, manusia menciptakan berbagai fasilitas hidup yang memberi kenikmatan, tetapi di lapisan lain menimbulkan kerusakan alam yang hebat.
Misalnya manusia ingin memiliki mobil dengan berbagai merek dan jenisnya. Semuanya itu agar mereka dapat dengan mudah ke mana maunya.
Untuk memenuhi itu, berbagai bagian bumi ini dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan akan bijih besi dan minyak bumi. Sudah semakin banyak perut bumi dilubangi dalam-dalam dan luas untuk mendapatkan berbagai mineral yang tak terbarukan yang dijadikan bahan-bahan baku untuk membuat barang-barang industri demi memenuhi kebutuhan umat manusia mendapatkan hidup yang nikmat.
Jika sudah datang gilirannya, maka alam yang dirusak itu akan membawa manusia pada hidup yang duka lebih dalam dari pada kenikmatan yang didapatkan. Demikian juga untuk memiliki rumah yang mewah, indah dan memberikan kenikmatan yang serba wah pada pemukimnya membutuhkan berbagai mineral yang tak terbarukan. Seperti besi, ubin, pasir, semen dan juga kayu yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.
Seandainya semakin banyak orang yang mau tinggal di rumah yang tidak terlalu mewah dan serba wah itu, mungkin tidak banyak sumber-sumber alam yang dirusak. Alam pun akan asri dan lestari, hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia pun akan seimbang, tidak saling terancam.
Meru dengan tumpang-tumpang atapnya itu hendaknya dapat memberikan kita pemahaman bahwa hidup di lapisan alam tertentu jangan sampai merusak keadaan hidup di lapisan alam yang lain. Meskipun kita berbuat di Bhur Loka tetapi akibatnya dapat menembus Bhuwah Loka bahkan Swah Loka. Kalau kita berbuat tidak baik dan benar di Bhur Loka ini seperti merabas hutan, menggunakan sarana hidup yang serba mesin tetapi tidak laik operasional juga bias menimbulkan kerusakan di angkasa.
Mesin yang tidak laik jalan misalnya mesin yang menimbulkan gas buang yang melebihi ambang batas dapat merusak langit bahkan menimbulkan gas rumah kaca di udara. Hal ini yang akan menghalangi panas naik ke angkasa dan balik ke bumi menimbulkan pemanasan global membuat suhu bumi meningkat. Udara yang dihirup oleh manusia pun menjadi semakin kotor. Hidup manusia pun akan semakin resah. Konon larutan logam berat yang melebihi ambang batas dalam darah manusia, dapat menimbulkan gangguan mental pada manusia.
Manusia bisa lebih emosional dan meledak-ledak karena ada gangguan mental. Sedih dan gembira akan diekspresikan secara ekstrim oleh manusia yang dalam darahnya mengandung larutan logam berat melebihi ambang batas. Kalau di setiap lapisan bumi ini kita mampu tegakan Rta dan Dharma sebagai dasar berbuat maka durian inilah yang akan menuntun kita menuju alam tertinggi yaitu Satya Loka yang dilukiskan oleh tumpeng meru yang teratas yang juga disebut sebagai lambang Omkara.
Dunia ini dengan semua lapisannya berdimensi ganda. Bisa membawa manusia menuju surga dan bisa juga sebagai sarana mengantarkan menuju neraka. Kalau hukum alam dan hukum manusia (Rta dan Dharma) ditegakkan di setiap lapisan bumi ini maka manusia pun dapat mencapai Satya sebagai dasar menuju surga. *(Buku Bali Tempo Dulu dikompilasi sesuai aslinya oleh I Gusti Bagus Rai Utama)
Dalam Buku Petunjuk Arah Wisata Rohani Pura dan Bangunan Suci Hindu di Pulau Bali-IHDN-PRESS- Koerniatmanto S., disebutkan pula :
a. Meru Tumpang Solas (sebelas) bermakna sebelas aksara suci
1) sa di purwa (timur, dewanya Iswara dan warnanya putih) ;
2) ba di daksina (selatan, Brahma, merah);
3) ta di pascima (barat, Mahadewa, kuning);
4) a di uttara (utara, Wisnu, hitam);
5) i di madhya (tengah, Ciwa, campuran atau panca warna);
6) na di agneya (tenggara, Mahesora, merah muda atau dadu);
7) ma di nairrta (barat daya, Rudra, jingga);
😎 si di bayabya (barat laut, Sangkara, hijau);
9) wa di aisana (timur laut, Sambu, biru) dan
10) ya di madhya (tengah atas, Ciwa, panca warna).
Kesepuluh aksara suci diatas dimanunggalkan menjadi satu aksara suci Omkara sebagai lambang Eka Dasa Dewata
b. Meru beratap 9, lambang 8 huruf di seluruh penjuru (sa, ba, ta, a, na, ma, si, wa) + satu huruf Omkara di tengah, 9 huruf itu lambang Dewata Nawa Sanga.


Pelinggih Dalam Konsep Sanghyang Panca Maha Butha

 



1. PENGLURAH dimerajan dibuat sebagai rasa syukur tubuh kita terbentuk dari unsur BAYU/ANGIN yang memberikan kekuatan pada JANTUNG, Dewanya ISWARA.. maka di pujalah I Ratu Ngurah Sapuh Jagat / IRatu Ngurah Tangkeb Langit.
2. LEBUH di pintu masuk pekarangan sebagai ungkapan rasa syukur tubuh ini terbentuk dari unsur PERTIWI yang memberikan kekuatan pada HATI,dewanya BRAHMA, maka dipujalah I Ratu WayanTabeng Sakti
3. TUGU KARANG( didalam pekarangan rumah arah kaje kauh), unsurnya SINAR/TEJA ,Dewanya MAHADEWA, sebagai ungkapan rasa syukur tubuh terbentuk dari sinar yang memberikan kekuatan pada GINJAL, maka disembahlah I Ratu Made Alang Kajeng atau I Ratu Made Jelawung dalam wujud Dukuh Sakti.
4. TAKSU NATAH/ TAKSU GEGINAN/ SIWA GURU REKA, Dewanya WISNU, (DEWANING SEMUA TAKSU) ..
berada pada area tengah pekarangan rumah menghadap kebarat.
sebagai rasa syukur tubuh terbentuk oleh unsur AIR yang memberi kekuatan pada NYALI/EMPEDU, maka dipujalah di sana IRatu Nyoman sakti Pengadanagan..
#tambahan dari beberapa sumber lainnya mengatakan; dibangunnya Taksu Natah sesuai peruntukan atau geginan yang digelutinya,
misalnya;
Taksu geginan di natah dibagi 2 menurut propesi.
yaitu kalo profesi itu ngiring Balian atau dukun, maka akan menyembah taksu natah menghadap ke seletan,dewanya wisnu.warnanya hitam artinya ( per-megic-an)tentu penugrahannya mawisesa.
Namun jika ngiring dasaran mangku. taksu natah menghadap ke barat.
Dewa nya iswara, warnanya putih aksara nya SANG tentu penugrahannya suci Nirmala.
Dengan kata lain taksu rwabhineda hitam dan putih .
Dikatakan membangun taksu natah itu menurut propesi...

#tambahan dari sumber payanadewa yang mengatakan ;
Pelinggih di Natah Ada Dua Jenis Pelinggih Natah dengan Memakai Atap dan Padma Natah
Memang kedua jenis Pelinggih Natah ini memiliki fungsi yang berbeda.
Sanggah Natah Beratap:
Di Pakai Secara Umum
Sanggah Natah Panda: Digunakan Oleh umat yang memiliki geginan Menjadi Pemangku atau Jro Balian
Letak Pelinggih Natah
Pelinggih Natah ini letaknya di tengah pekarangan antara Bale daje dan bale gede dan menghadap ke arah barat.
Pemujaan Untuk Pelinggih Natah
Pemujaan yang di sembah adalah Siwa Reka dan ada juga yang melakukan memohon/ngayat ke Merajan jika di keluarga ada sebelan/ pakubon (Ngayat), pengayengan leluhur, rikala ring pakubon wenten upacara ngaben/kapialang.
5. TAKSU AGUNG di merajan dibuat sebagai rasa syukur tubuh terbentuk dari unsur,BAYU,PERTIWI,SINAR,AIR, letaknya ring TELENGING ATI( PUSAT HATI) yang memberikan kekuatan pada pancering sarira ( pusat tubuh agar tubuh dapat berdiri tegak ), maka disana dipujalah I ratu Sanghyang GiliMaya atau I Ratu Ketut Petung.
Dengan mendirikan kelima pelinggih tersebut maka sempurnalah rasa syukur kita kepada Tuhan yang telah membentuk tubuh ini dengan sangat sempurna tanpa cela dan selanjutnya berharap tubuh ini selalu sehat dan kuat, terpenuhi kebutuhannya berupa sandang pangan dan papan, dan terhindar dari berbagai gangguan penyakit dan godaan hidup.
kalau salah satu plinggih sang catur Sanak tidak terpenuhi dlm pekarangan rumah maka hilangnya suatu keseimbangan dalam pekarangan dimana KALA dan BHUTA akan menjadi musuh manusia itu sendiri.menimbulkan sakit,mati ekonomi,mati akal,mati perasaan dll...
Kembali pada pelinggih taksu natah yang ada sebagian umat tidak memiliki bangunan ini, dengan berbagai alasan, membangun taksu natah atau surya natah atau sanghyang guru reka dalam sumber kanda pat subhiksa dan kanda pat sari merupakan kewajiban bagi setiap umat yg meyakininya.
Karena semua manusia pasti punya propesi tersendiri di uraikan dalam agama,i gama,u gama.karya alm ida bgus palguna dalam lontar purwaka gumi tua juga dimuat hal yg sama.
lontar wiswa karma prakertih juga memuat hal yg sama.
dalam kanda pat sari juga memuat sama dan tidak ada bahasan kalau tidak ada taksu natah maka tugu karang menjadi ratu nyoman sakti ini perlu DIPERTANYAKAN TATTWANYA.
Dalam kanda sari panwesti dinyatakan bahwa taksu natah bhutanya sang bhuta banaspati raja,ratunya iratu nyoman sakti pengadangan.sangat jelas kedudukannya tidak bisa dirubah dengan alasan apapun..


NAUR SESANGI









Sesangi merupakan sebuah janji yang pernah diucapkan sebagai sebuah permohonan.

Dan apabila terkabul wajib ditepati dengan melaksanakan upacara "mayah/naur sesangi".Seperti halnya :
Ngider Githa sebagai sarana untuk membayar kaul atau sesangi bila berhasil membeli lahan sawah yang ditanami padi.
Sesangi nasi tumpeng dengan menggunakan catu yang bertujuan untuk memohon hasil panen yang berlimpah.
Pada saat-saat dan momen tertentu biasanya digunakan Banten Guling.
Sebagaimana sesangi menurut Bali Magic sesungguhnya dasar pelaksanannya adalah rasa bhakti, rasa syukur atas anugrah atau atas tekabulnya doa atau keinginan, dan sesungguhnya bukalah perjanjian kepada Tuhan, Ida sanghyang Widhi atau Ratu Batara. Sesangi merupakan janji kepada diri sendiri untuk selalu atau senantiasa bersyukur atau mensyukuri atas segala karunia dari Tuhan.
Kapan dan dimana biasanya sesangi dilakukan ??Sesangi biasanya dilakukan pada saat-saat dan momen tertentu seperti misalnya,
Dalam keadaan Sakit, mohon di suatu tempat agar diberikan kesembuhan,
bila sembuh akan menghaturkan Banten Guling dan sebagainya. Bisa juga pada anak sekolahan, anak kulihan, bila lulus ujian berjanji megundul dan lain sebagainya.Wenten satua bawak mayah sesangi dadi PNS aji "joged buang",



Kacrita Madé Loka jani suba dadi PNS. Suud dadi pengangguran kangin kauh. Mirib luung tulis gidatné, nasibné setata mujung, ia maan galah ngecapin dadi pegawé negri.
Ia jani suba maangkat dadi guru di Karawista.
Aget masé ia tusing nganggo pis apésér péngék anggoné nombok pangedéné.
Ia nak mula jlema dueg sangkana bisa lulus tés. Nyidayang nyalip palamaré ané jumlahné siuan.Mantek ngajahin murid SMP aluhina ngajak I Loka. Ngajahin tuah tengah wai, salanturné glindang-glindeng malali. Né penting koné, nyidayang ngaé muridé bisa ngitung satu tambah satu sama dengan dua tur bisa mamaca “Ini Budi” ngajak “Ini Bapak Budi” jeg kanggo suba.

Sekat dadi pegawé, bikas idupné I Loka maganti.
Tusing buin kéweh ngalih pis.
Yén suba teka tanggal ngudané jeg masemu girang wiréh lakar liu nampi gaji. Ento mawinan I Loka jani nyidayang ngrédit sempéda montor baru,
meli HP ané misi kaméra,
sada meli panganggo ané anyar-anyar. Buina jani suba ada sertifikasi guru sinah buin pidan I Loka lakar bareng ngamiluin apang idupné nyumingkin makmur wiréh ngaliunan nampi gaji.
Ento masé ngranang bajang-bajangé makejang dot magegélan buina yén nyak makurenan ngajak Madé Loka.
Nanging Madé Loka suba tangar kén bajang-bajangé jani liunan matré.
Ningalin anak uli kasugihanné dogén.“Béh…, yéh… kéné idupé sawai-wai, beneh suba anaké ngorahang sing ada luungan kén dadi pegawé negri. Dadi guru.
Magaé aluh,
nanging asilné kaliwat gemuh.
Yén seken nyak cara munyin pamerintahé lakar nincapang kesejahteraan para guruné, icang ngelah rencana lakar meli tanah. Nebusin gumi kaja kangin banjaré ané makélo suba gadéanga ngajak bapan icangé. Pang mani puan di subanné pensiun ada anggon tongos maseliahan kangin kauh di tengah tegalé. Cocok asanne!” Madé Loka ngomong padidiana.“Ngudiang semengan kéné suba ngamikmik Dé, cara anak buduh tingalin mémé. Apa ané karaosang?” Mé Jepun maekin pianakné, Madé Loka, ané negak di ampik umahné.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



“Tiang boya ja buduh Mé, tiang nu makeneh né. Kéné Mé…, yén nyak gajin tiangé terus ngedénang, tiang ngelah rencana lakar nebusin gumin bapané ané kaja kangin banjaré. Uli pidan dot ngelah gumi padidi, med sub nyakapin gumin pisaga. Pang ada masé bekelang di tuané.”“Béh adéng-adéng malu Dé, eda jeg setata tuutina kenehé. Madé nagih ngandong bulan adanné ento. Dong pineh-pinehin malu,

Madé nyidayang suksés buka kéné nak boya ja sangkaning kaduegan Madéné dogén, nanging ingetang masé mayah sangin Madéné. Kadén pidan Madé maan masangi yaning nuju lulus tés CPNS, ento patutné malu bayah, gumi dadi dorinan meli,” Mé Jepun nuturin Madé Loka.“Tiang dadi guru buka jani boya ja ulian sasangi Mé, nanging ulian kaduegan tiangé nyawab soal-soal tésé mimbuh nasibé ja mula luung. Dadinné tiang tusing tuyuh mayah sasangi. Luungan anggo mayah cicilan montoré di déaler.”


“Ngudiang jadig kéto pasaut Madéné? Mémé mantek ngingetang yaning Madé enu ngelah utang adanné tekén Sanghyang Suung, patut bayah manut munyin Madéné i pidan. Raos Madéné suba kadung ulung sing nyidayang buin duduk. Patut isinin amun kén janjin Madé simalu.”Madé Loka ngadebas bangun tusing ngresepang munyin méménné. Ia lantas macelep ka kamarné, nyemak SK pengangkatan. Mirib jengah banga munyi tekén méménné, Madé Loka magedi ka kota ngojog bank.
Ditu lantas Madé Loka nyilih pis liu lakar anggona meli gumi atanding.
Nyak suba misi amun kén ané kenehanga, Madé Loka jani ngelah gumi padidi.Lacur. Telung tiban Madé Loka ngarap gumi,
tusing taén mupu.
Pamulan-mulanné makejang ngresgesang.
Apa ané pulana tusing taén masuang asil, setata mati. Taén mula jagung, telah amah uled.
Taén mula séla, onya rejeng tumisi.
Taén namem ubi, telah rusuhina tekén jéro ketuté. Ulian ento, tegalné Madé Loka jani galang ngluntang tusing misi entik-entikan.
Sadina-dina Madé Loka tuah mapengenan. Ngenehang undukné ané tepukina buka kéné. Ané sanget kenehanga utangné nyumingkin numpuk.
Sekat ento Madé Loka kapah-kapah masuk.
Taén opaka tekén kepala sekolahné wiréh Madé Loka arang ngajahin murid-muridé. Madé Loka jani dadi reraosan di sekolah lan di banjaranné. Ulian kenehné nagih naku pasih, ngandong bulan.

Madé Loka mara ngeh tekén apa ané taén oranga ngajak méménné.

“Uli dija busan Dé? Adi peteng kéné Madé mara teka?” Mé Jepun matakon ngajak pianakné.
“Uli Buléléng, Mé.”
“Nak ngudiang luas ka Dén Bukit?”
“Ngalih jogéd Mé. Anggo mayah sangi. Jani mara tiang maselselan tusing rungu tekén tutur mémé apang inget mayah sasangi.

Jani tiang lakar mayah munyiné ané simalu lakar ngupah jogéd telung barung yaning lulus tés PNS. Apang tusing buin nandang kasengsaran. Minabang ulian tiang lali mayah sangi, tiang mangkin setata tengi nyalanin idup,” kéto Madé Loka masaut.

“Apa Dé? Sangin Madéné ngupah jogéd telung barung? Aidupan mémé tumbén ningeh ada jogéd telung barung. Dong ambat ya liun jogédé,” Mé Jepun kitak-kituk, ngon ningehang sasanginé Madé Loka.

Madé Loka lakar ngupah jogéd telung barung suba maorta midehan. Anaké masé angob mirengang ada jogéd telung barung.

Tumbén jani ada sasangi tawah buka kéto di désanné.
Tukang ibingé suba pada genit limanné tusing sabar lakar ngigelin jogédé.
Buina jogéd ené gratis tusing tuyuh meli kupon, nanging nganggo sistem tepekan.
Nyén aget maan tepekan kepet jogédé ento lakar maan gilihan ngibing.Gambelan jogédé mamunyi renyah nyibakang peteng. Munyin gambelanné macihna pesan nyiriang tetabuhan jogéd Buléléng. Umahné Madé Loka rame pesan.
Cerik kelih tua bajang teka mabalih maekin wantilan jogédé.
Duga madongsok-dongsokan, mapetpet, maseksek di sisin kalangané apang nawang ané kénkén madan jogéd telung barung. Uli tengah rangkiné saget pesu jogéd jegég ngontél. Pangadegné langsir lanjar, pipinné sujénan mimbuh gingsul. Ditu lantas ané muani-muani masuryak girang. Makoplok saling suitin.
Nanging makelo-kelo jogédé tusing katingalin dueg ngigel, nanging dueg katejang-katejing dogén.
Dueg nyingcingang kamben lantas bani ngamalunin nyelegang pangibingé.
Anaké luh-luh né mabalih lantas masuryak lek ningalin igelan jogédé kéto.
Lantas saka besik magedi maid panakné ané nu cerik-cerik.
Jogédé ngansan panes ngigel sada bani ngelésang panganggo pangibingé.“Sujatinné cai masangi jogéd apa, Dé?” Mé Jepun nakonin Madé Loka.
Ampura Mé, tiang nyangiang jogéd buang!”


Kisah lubdaka

 




KIM SANGEH-Lubdaka adalah seorang kepala keluarga yang menghidupi keluarganya dengan berburu binatang di hutan. Hasil buruannya sebagian ditukar dengan barang kebutuhan keluarga dan sebagian untuk dimakan bersama keluarganya. Dia sangat rajin bekerja serta cukup ahli, sehingga tidak heran bila dia selalu pulang membawa banyak hasil buruan.

Hari itu, Lubdaka berburu sebagaimana mestinya di dalam hutan. Dibawanya semua peralatan tanpa mengenal lelah. Akan tetapi hari itu berbeda dengan hari biasanya, hingga menjelang sore lubdaka belum juga memperoleh hasil buruannya. Kalau sampe aku pulang tidak membawa hasil buruan, makan apa keluargaku di rumah? Pikiran itu membuat lubdaka semangat makin tinggi, langka semakin cepat dan pandangan mata terus mencari binatang buruan. Tanpa terasa hari sudah gelap dan lubdaka berada di tengah hutan. Lubdaka memutuskan untuk tinggal di hutan dan mencari tempat yang aman.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Lubdaka melihat ada sebuah pohon bila yang cukup tua dan tampak kokoh di pinggir sebuah telaga air yang tenang. Dia memanjat batang pohon itu dan mencari posisi yang nyaman untuk bersandar. Lubdaka berusaha untuk tidak tidur karena takut bila terjatuh. Agar tidak tertidur lubdaka memetik satu per satu daun bila dan menjatuhkannya ke bawah, sehingga mengenai Lingga yang ada di bawahnya. Lubdaka sendiri tidak menyadari bahwa malam itu adalah malam Siwalatri, dimana Dewa Siwa tengah melakukan yoga.

Satu per satu daun berguguran, lubdaka mulai menyesali segala perbuatan jahat yang pernah dia lakukan sepanjang hidupnya. Di atas pohon lubdaka bertekad untuk berhenti menjadi pemburu.Lamunan panjang Lubdaka akan dosa-dosanya seolah mempercepat waktu. Rasanya baru sebentar saja Lubdaka melamun, tapi tahu-tahu pagi pun tiba. Itu menggambarkan bahwa dosa-dosa yang pernah dilakukannya sudah terlalu banyak dan tidak bisa diingatnya satu per satu lagi dalam waktu satu malam. Karena sudah pagi, ia berkemas-kemas pulang ke rumahnya. Sejak hari itu, Lubdaka beralih pekerjaan sebagai petani. Tapi, petani tidak memberinya banyak kegesitan gerak, sehingga tubuhnya mulai kaku dan sakit, yang bertambah parah dari hari ke hari. Hingga, akhirnya hal ini membuat Lubdaka meninggal dunia.

Dikisahkan selanjutnya, roh Lubdaka, setelah lepas dari jasadnya, melayang-layang di angkasa. Roh Lubdaka bingung tidak tahu jalan harus ke mana. Pasukan Cikrabala kemudian datang hendak membawanya ke kawah Candragomuka yang berada di Neraka. Di saat itulah, Dewa Siwa datang mencegah pasukan Cikrabala membawa roh Lubdaka ke kawah Candragomuka. Di situ, terjadi diskusi antara Dewa Siwa dengan pasukan Cikrabala. Menurut pasukan Cikrabala, roh Lubdaka harus dibawa ke neraka. Ini disebabkan, semasa ia hidup, ia kerap membunuh binatang. Pendapat itu mendapat tanggapan lain dari Dewa Siwa. Menurut Dewa Siwa, walaupun Lubdaka kerap membunuh binatang, tapi pada suatu malam di malam Siwaratri, Lubdaka begadang semalam suntuk dan menyesali dosa-dosanya di masa lalu. Sehingga, roh Lubdaka berhak mendapatkan pengampunan. Singkat cerita, roh Lubdaka akhirnya dibawa ke Siwa Loka.

Malam Siwaratri selalu dikaitkan dengan cerita Lubdaka yang dikarang oleh Mpu Tanakung seorang Mpu besar di zamannya. Siwaratri diartikan sebagai “malam Siwa” karena pada hari tersebut Tuhan yang bermanifestasi sebagai Sang Hyang Siwa / Dewa Siwa yang melakukan yoga semalam suntuk untuk melebur dosa manusia. Umat Hindu merayakan Hari Siwaratri untk memohon ampun atas dosa manusia yang telah dilakukan. Di malam Siwaratri ada tiga brata yang harus dilakukan:
1. Mona: Tidak Berbicara
2. Jagra: Tidak Tidur
3. Upavasa: Tidak Makan dan Minum
Siwaratri datang setahun sekali setiap purwani Tilem ke-7 (bulan ke-7) tahun Caka.

Sejalan dengan perkembangan dan kecerdasan spiritual di Jaman Kali, penafsiran kata “peleburan” menjadi kontroversi karena tidak sejalan dengan hukum karma. Semua punya sudut pandang dan cara tafsir yang berbeda-beda. Alangkah baiknya momentum malam Siwaratri guna penyadaran diri untuk memperbaiki kehidupan kita di dunia.




Minggu, 23 April 2023

Tradisi Medeeng

 


Deeng merupakan salah satu bagian yang tidak terlepaskan dari rangkaian upacara Pitra Yadnya atau ngaben pada tingkat utamaning utama.
Medeeng dilakukan sehari sebelum upacara Ngaben dengan iring-iringan berupa bangkit atau wadah berukuran kecil yang biasanya diarak oleh anak-anak dan juga barisan muda-mudi berpasangan mengenakan pakaian adat layaknya sepasang pengantin, para muda-mudi yang merupakan keturunan atau pratisentana sang lina berjalan mengelilingi desa. Selain remaja, deeng juga kerap diikuti oleh anak-anak dengan busana layaknya pengantin cilik..
Di daerah Bali Selatan, khususnya Denpasar dan badung deeng sering disebut Peed atau Mapeed.
Biasanya di daerah ini, peed hanya dilakukan oleh keluarga kerajaan atau puri jika sedang melakukan upacara Palebon.

Berbeda dengan di Buleleng, Deeng bisa dilakukan oleh masyarakat biasa yang sedang melakukan upacara Palebon pada tingkat paling tinggi.
Pesertanya adalah keturunan atau kerabat seperti cucu, kumpi (cicit), buyut dan seterusnya dari orang yang diaben. Mereka berpasangan pria dan wanita dengan mengenakan pakaian layaknya seorang pengantin.
Peserta deeng biasanya menunggu di depan rumah untuk menunggu iring-iringan deeng datang dan ikut bergabung.
Maknanya adalah sebagai tanda bahwa keluarga deeng memiliki hubungan darah dengan orang yang diaben.
Deeng berbaris sesuai pasangan dengan memegang seutas tali yang terbuat dari benang dimana diujungnya diikat pada uang kepeng atau pis bolong.
Maknanya adalah mereka ingin mengantarkan atau nandanin sang lina agar mendapatkan tempat yang layak menuju alam nirwana serta agar upacara Palebon berjalan lancar.
Deeng dilakukan sehari sebelum upacara palebon dengan iring-iringan paling depan berupa Bebangkit sejenis bade kecil yang biasanya diarak oleh anak-anak. selanjutnya disusul dengan dawang-dawang atau sejenis ondel-ondel di Jakarta atau Barong Landung di Bali Selatan.
Dawang-dawang menyerupai pria dan wanita ini memiliki makna sebagai purusa pradana atau Rwa Binedha yaitu dua hal yang berbeda dan selalu berdampingan di dunia ini.
Iringan selanjutnya berupa damar kurung (sejenis kerangjang kecil yang di yang ditutup dengan kain, di dalamnya diletakkan lilin yang sedang menyala seperli Lampion pada Budaya tionghoa).
Damar Kurung memiliki makna sebagai penerangan dengan tujuan agar upacara yadnya berjalan dengan lancar dan digantungkan pada bambu kuning yang masih ada daunnya.
Selanjutnya aneka bambu kuning yang masih ada daunnya digantungi pakaian adat bali pria dan wanita disusul dengan aneka upakara atau banten sebagai bentuk persembahan kepada Tuhan atau Ida sang Hyang Widhi Wasa.
Setelah itu barisan deeng bejalan.
Di belakang barisan Deeng, para keluarga dan kerabat sang lina mengikuti dengan menggunakan pakaian adat Bali lengkap dengan payasan layaknya sembahyang ke Pura.
Hal ini bermakna sebagai bentuk suka cita para keturunan dan kerabat sang lina karena sudah bisa membayar hutang kepada orang tua atau dalam ajaran Hindu dikenal sebagai Pitra Rna.
Di barisan terakhir barulah para sekee gong dengan mebunyikan suara gong sebagai bentuk suka cita dan menambah semarak.
Tradisi deeng belakangan ini sudah mengalami beberapa perubahan.
Dahulu biasanya para deeng tidak menggunakan alas kaki sepanjang perjalanan mengelilingi desa dengan makna sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada sang lina, namun saat ini deeng diperbolehkan menggunakan alas kaki. Hal ini bisa dimaklumi mengingat jalan yang mereka lintasi berupa aspal dan dilakukan pada saat matahari masih terik.
Perubahan lainnya adalah, dahulu deeng dilakukan memang khusus untuk deeng dengan iring-iringannya, namun saat ini sangat jarang yang melakukannya mengingat memerlukan biaya yang cukup besar untuk menyiapkan semuanya. Meski demikian, masyarakat Buleleng tidak meninggalkan begitu saja tradisi tersebut..
Seperti yang dilakukan oleh warga Desa tirtasari Buleleng pada saat melaksanakan upacara ngaben bersama atau sadaya.
Makna deeng masih tetap sama yaitu untuk mengantarkan sang lina menuju alam nirwana serta bentuk suka cita para keturunan dan kerabat karena sudah mampu melakukan upacara pengabenan sebagai bentuk pengamalan ajaran Panca Yadnya dan Tri Rna..


Lekesan









Lekesan adalah simbul dari kekuatan sabda, bayu, idep, rasa dan cita seperti yang digunakan dalam canang pengrawos.

Dalam upacara yadnya : Lekesan sirih dibuat dengan 2 helai daun sirih yang dilengkapi dengan gambir dan kapur dan diikat dengan benang yang menyiratkan arti :

Sirih melambangkan pengetahuan yang baik dan benar atau utama.
Gambir sebagai “gambiraning ati” yang artinya kebahagiaan hati atau batin.
Kapur/Pamor yang mengandung makna universal.
Benang sebagai simbol suci tali pengikat dalam proses kehidupan ini.Dalam rerajahan mewinten, lekesan sirih dirajah dengan aksara suci Ya, Ra, La, Wa dan setelah itu dimantrai, lalu diberikan kepada yang diwinten untuk dimakan/dicicipi, yang mengandung simbol bahwa ilmu pengetahuan sudah masuk ke dalam jiwanya.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



Lekesan untuk sebagian masyarakat Bali Selatan dihaturkan disetiap Pelinggih/Stana Bhatara-Bhatari yang ada dilingkungan rumah masing-masing terutama di pagi hari disertai dengan persembahan kopi sebagai tanda puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat-Nya.
Lekesan tersebut menghantarkan doa sang pemuja untuk terhindar dari kesalahan, karena dalam rangkaian Lekesan terkandung makna simbol dari Brahma (buah pinang),
Wisnu (daun sirih) dan
Siwa (pamor gambir) sehingga si pemuja mencapai rahmat Tuhan yang melimpah.
Sedangkan tembakau melambangkan makanan/persembahan itu sendiri yang menyiratkan kesejahteraan.