Senin, 01 Mei 2023

Sebuah gerakan membumikan Veda



"Veda Poshana Ashram(VPA)"
Sebuah gerakan membumikan Veda
Sri Begawan Agni Yogananda
DINAMIKA organisasi Veda Poshana Ashram (VPA) yang embrionya dari Bali Homa Yadnya (1994) , baru dapat resistensi 2021, setelah lahir, tumbuh dan berkembang selama 27 tahun, hingga saat ini tercatat sudah menyebar di 21 Cabang di seluruh Indonesia. Ibarat manusia, VPA sedang “golden age” menapak masa keemasan. Masa masa puncak prestasi jika diibaratkan pertumbuhan seorang atlet. Tetapi, eksistensi VPA bukan untuk kompetisi, bersaing. Pastinya, kehadiran VPA mengakomodasi, menguatkan kembali tradisi di abad ke - 8 pengaruh Rsi Markandeya dan juga Rsi Agastya, yang saat itu sudah dilakukan upacara homa atau lumrah juga disebut Agni hotra. Menelisik lontar mayoritas masyarakat Bali percaya, Mpu Sidimantra yang lama tak punya anak, akhirnya dengan doa doa melalui Homa kemudian lahir Manik Angkeran. Selain itu, ada juga bukti fisik lainnya, keberadaan situs kunda vedi di beberapa pura di Gunung Kawi, di Kehen, Hyang Api , Tamba Waras, di suatu pura di Kecamatan Banjarangkan.
Setelah ada musinah, homa distop pasca terjadi kebakaran saat ritual di kerajaan Gelgel yang saat itu diperintah Raja Dalem , karena konstruksi kunda terlalu dekat dengan atap alang alang, sehingga api yang besar membakar atap saat pemerintahan Dalem Waturenggong di abad ke-14. Dan sejak saat itu Homa Yadnya, nyaris selama enam abad vakum dan kembali “menggeliat” sejak 1994, 27 tahun silam, yang kemudian sejak 2012 menggunakan lembaga Veda Poshana Ashram. Melalui VPA kepemimpinan , Ketua - Sekum, Sri Bhagawan Yogananda- Acharya Suvira Premananda, banyak prestasi lahir menguatkan interaksi kelembagaan VPA. Bukan saja sempat melakukan Maha Shanti Puja 2019 di Lombok, Mahashanti XIV di Daerah Jawa Barat, dan Klaten Jawa Tengah 2022, menggelar Seminar Nasional Pengabenan Siva Sumedang, Membuat Pedoman Garis Perguruan - Sila Krama Asevaka Guru- Gayatri Savitri Brahmarishi Wiswamitra, membuat Website Media 7 Sat Sangha VPA , menjalin kerja sama dengan berbagai organisasi Dvipantara Samskertam, Prajaniti hingga Gayatri Varivara di Haridwar, Uttarpradesh India Utara, mendukung PHDI Pusat Resmi. Banyak hal hal konstruktif dilakukan sebagai bagian seva, kerja sosial dan interaksi positif dan konstruktif, melalui payung Organisasi VPA.

Introspeksi
Eksistensi, Organisasi VPA sudah sangat diperhitungkan. Sayangnya oleh beberapa kalangan keberadaan VPA dipandang sebelah mata, bahkan “rival” dengan apresiasi tak konstruktif. Padahal masyarakat Bali meyakini kita berasal dari treh sama Sang Hyang Pasupati, masyarakat Bali juga percaya dalam pesemetonan paling jauh mindon bahkan misan. Artinya dalam relasi antar semeton kita di Bali saling pekedek, pekenyung, menganut salah satu shubasita mahawakya Weda, “tat twan asi” dalam interaksi , dan juga meyakini “Vasudaiva Khutumbhakam” kita semua keluarga dan bersaudara. Kebersamaan sikap paras, paros sarpanaya salumlum sabayantaka, asah asih asuh wangi bersama menyambut ayu ayuning bhuana lan gemah ripah loh jinawi, selalu bersikap dan memegang nilai kebajikan, sebagaimana menerima saudara Jawa dan juga tourist hadir di Bali.
Namun, realitasnya justru VPA selalu dibully, didiskreditkan, dicari cari kesalahannya.
Di era kurang kondusif, segenap anggota VPA perlu melakukan introspeksi ke dalam tetap menjaga sikap damai dan penuh kasih, rendah hati. Agar apa yang dilakukan sesuai dengan aturan, regulasi organisasi. Sebab di era sangat sensitif sekarang ini, berbuat benar saja dipersalahkan. Apalagi, kita menyimpang. Karena itu agar kita tak selalu menjadi bulan bulanan pihak yang memandang sebelah mata keberadaan VPA, maka kita wajib selalu berbuat baik, bijaksana , jangan pernah melenceng dari regulasi maupun hukum positif yang berlaku dan dijadikan panduan bernegara di negara RI yang kita cintai ini. Kita sangat cinta Bali, daerah kelahiran kita. Kita juga sangat mencinta negara kita. Dan sama sekali tidak ada dalam pikiran, perkataan dan tindakan, mendesain lelaku penyimpangan terkait segala aturan, empat pilar negara Pancasila, UUD, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI, yang mengikat kita bersama satu bahasa, bangsa dan negara Indonesia.
Karena itu, sejatinya eksistensi VPA bukanlah sebagai pesaing, melainkan murni dengan hati tulus, inggih ngayah kepada “semeton” Hindu semua, dan juga mewujudkan tujuan Agama kita Atmanam Moksartham Jagadhita Ya Ca Ity Dharma- , berjalan bersama dalam satu visi, missi luhur dan suci, sesuai Veda bersama 200 Pandita, melakukan seva, ngayah menjawab tantangan hidup yang sangat komplek di era milenal dan generasi 5.0, , dengan shadana mardhava - sederhana, pure sesuai regulasi Veda, dan mantra mantra Veda.
Ngayah Tradisi
Sejatinya,tidak perlu ada dikotomi Sulinggih Veda Poshana Ashram(VPA) dan Sulinggih lainnya karena sistem Diksa yg ditempuh sama baik tahapan tahapannya,aturan pelaksanaan serta Tupoksinya.VPA adalah sebuah kelompok belajar Weda.Dengan demikian Pandita VPA bukan saja siap melakukan Homa karena itu merupakan ikonnya yang terus dijaga secara konsisten. Pandita VPA dengan ketulusan siap dan disiapkan melayani umat dengan cara cara tradisi Bali. Alasannya, Pandita VPA telah menjalankan penyucian komplit yakni Diksa,Ngelinggihang Weda dan Mapulang Lingga.Loka Pala Sraya, setelah diksa pariksa dari PHDI, dilanjutkan mediksa , lanjut prosesi Ngelinggihang Weda dan Mapulang Lingga. Jadi dengan “SIM” atau kompetensi sesuai acuan PHDI, Pandita VPA sangat siap ngayah memimpin,muput upacara tradisi seperti semua jenis dan bentuk Panca Yadnya(Dewa,RSI,Manusa,Butha dan Pitra Yadnya) Ngaben,Ngeroras, Pawiwahan, Pujawali, dan Rsigana,Tawur, mebayuh termasuk metransformasi generasi baru “ngembas, melahirkan nanak, manjalankan, melakukan prosesi Diksa, Ngelinggihan Weda dan Mapulang Lingga. Selain di bidang upacara, juga senantiasa meningkatkan pengetahuan Weda/ Sansekerta dengan bekerjasama dengan Dvipantara Samskertam , lembaga umat lainnya Prajaniti, PHDI termasuk Gayatri Varivara di India.
Paropakarah Punyanya ….
Setelah perjalanan dengan aneka resistensi yang telah dilalui VPA dengan baik hingga 2023. Perlu kiranya di tahun 2023 dan seterusnya VPA, membuat langkah langkah tetap dalam koridor persuasif, tetap harmonis dengan berbagai pihak, kita strike menjalankan garis organisasi, perguruan, sehingga langkah langkah dinamis kita, jangan sampai membuat banyak pihak memberikan penilaian, persepsi kontra produktif jika enggan disebut negatif. Mari dengan kesungguhan hati, ketulusan, dan jiwa murni, kita tetap ngayah dengan tanpa orientasi capital, tetap membuat orang lain bahagia , agawe sukaning wong len, atau dalam bahasa nya Maharishi Wyasa, “Paropakarah punyanya papaya parpeedanam” itulah intisari dari 18 Purana, yang maksudnya selalulah membantu dan jangan pernah menyakiti. Nah demikian sebagai ajakan kita bersama membangun tumbuh dan berkembangnya VPA kita yang tercinta. Terakhir sedikit klarifikasi soal fitnah tidak berdasar yang beberapa kali ditujukan kepada Veda Poshana Ashram antara lain:
Kasus Sulinggih yg terlibat pelecehan di penglukatan Tampaksiring yang kasusnya SDH diputus pengadilan dibilang Sulinggih VPA. Kasus Dulang dibilang sulinggih VPA.
Kasus viral di fb dengan adegan mesra ciuman di dituduhkan ke VPA
Terbaru kasus video asusila sulinggih di Buleleng dibilang Sulinggih VPA.
Ternyata satupun yg tituduhkan itu tidak terbukti melibatkan sulinggih yang embas di VPA. Karena itu, pastinya hal itu bukanlah yang dilakukan sulinggih tradisi yang ikut bergabung di VPA.
Kita jadi maklum dengan segala usaha pembunuhan karakter, terhadap organisasi ini tiada lain bertujuan “membungkam proses penyadaran”.
Satyam eva jayate. Semoga senantiasa eksistensi VPA selalu kita menjadi lebih baik.Selamat Th Baru Caka 1945 dan Selamat menjalankan Catur Brata Penyepian. Om shanti Shanti Shanti Om.
Denpasar,20 Maret 2023.


 


Sabtu, 29 April 2023

Mengenal kata NGEREBONG.







(Warisan Budaya tak benda yang sudah diakui oleh UNESCO - Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa).

Bagi masyarakat Kota Denpasar sudah tidak asing lagi kata yg satu ini.
Sebuah tradisi unik yang ada ditengah Kota yakni di Desa Adat Kesiman.
NGEREBONG = NGEREBU = BERKUMPUL.
N G E R E B O N G merupakan sebuah tradisi yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Bali sebagai bagian dari warisan leluhur, dan khususnya oleh masyarakat yang ada di Desa Kesiman, Denpasar. Tidak hanya itu, tradisi ini juga menjadi daya tarik lain para wisatawan. Ngerebong sendiri merupakan bahasa Bali yang memiliki arti berkumpul. Pada saat tradisi Ngerebong diadakan, dipercaya jika para dewa sedang berkumpul. Tradisi Ngerebong akan diadakan setiap 6 bulan sekali sesuai dengan penanggalan Bali, yaitu setiap 8 hari setelah Hari Raya Kuningan, pada hari Minggu / Redite Pon Wuku Medangsia.

Pusat diadakannya Tradisi Ngerebong Bali berada di Pura Petilan, yang terletak di daerah Kesiman. Sebelum dimulainya acara puncak, biasanya masyarakat sudah memenuhi area acara. disana juga sudah terdapat beberapa suguhan seperti alunan musik tradisional, bunga-bungaan dalam tempayan cantik, serta penjor-penjor. Sebelum upacara dimulai, para pecalang atau yang biasa disebut polisi adat akan mengosongkan jalanan atau menutup jalan. Jalanan ditutup sebab upacara dan serangkaian tradisi ngerebong memang sakral.Untuk mengawali upacara ini, masyarakat akan sembahyang di Pura Petilan. Kemudian acara akan semakin ramai, karena dilanjutkan dengan adanya acara adu ayam di wantilan. Wantilan merupakan bangunan yang menyerupai bale-bale. Setelah itu masyarakat mengarak barong yang merupakan lambang kebaikan bagi masyarakat pennganut Hindu dan diarak menuju Pura Pengerebongan. Kemudian masyarakat juga keluar dari pura dan mengelilingi tempat adu ayam atau wantilan tadi sebanyak tiga kali.




"Ngerebong adalah sebuah pangilen yang dilaksanakan di Pura Agung Petilan untuk menciptakan keseimbangan dunia,” ujar salah satu tokoh sekaligus budayawan Desa Kesiman, I Gede Anom Ranuara. Lebih lanjut dijelaskannya, tradisi ini sudah dipatenkan sejak tahun 1937, namun telah dilaksanakan dengan kapasitas yang lebih kecil di area Kerajaan atau Puri Kesiman. Ada beberapa rangkaian yang wajib dilaksanakan sehubungan dengan Ngerebong. Yakni Ngerebek yang dilaksanakan pada Umanis Galungan, dilanjutkan dengan Pamendakan Agung pada Paing Langkir, dan terakhir adalah Ngerebong.

Tradisi ini melibatkan semua Mangku Pepatih yang merupakan wilayah Desa Kesiman terdahulu. Dahulu diyakini Puri Kesiman memiliki wilayah yang sangat luas, hingga ke Desa Sanur dan Pemogan. “Jadi, yang tangkil ke Pura Agung Petilan saat pelaksanaan pangerebongan adalah Sesuhunan yang merupakan warih Puri Kesiman,” tutur Anom Ranuara.Dalam pelaksanaan Ngerebong, yang unik adalah Keris, Ngurek dan Penjor yang megah. Dalam tradisi ini, sejumlah pamedek trance (kasurupan) dengan menusukkan keris ke tubuhnya. Bahkan ada yang menusukkan di bagian matanya.

Berdasarkan buku hasil penelitian Sejarah Pura yang dilakukan IHD (kini UNHI) Denpasar tahun 1979, upacara Pangerebongan tergolong upacara bhuta yadnya atau pacaruan. Sehingga, upacara Pangerebongan itu bertujuan untuk mengingatkan umat Hindu melalui media ritual sakral untuk memelihara keharmonisan hubungan antarmanusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan sesama umat manusia dan dengan alam lingkungannya.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Prosesi upacara Pangerebongan dilakukan Redite Pon Medangsia sejak pagi, dan dilakukan upacara tabuh rah. Tujuannya untuk membangkitkan guna rajah untuk di-somia atau diharmoniskan agar patuh dengan arahan guna sattwam. Dengan demikian guna rajah menjadi bersifat positif, memberi semangat untuk kuat menghadapi berbagai gejolak kehidupan.

Selanjutnya para manca dan prasanak pengerob Pura Petilan di Kesiman dengan pelawatan berupa Barong dan Rangda semuanya diusung ke Pura Petilan untuk mengikuti upacara Pangerebongan. Sebelum ke Pura Petilan didahului dengan upacara panyucian di Pura Musen di sebelah timur Pura Petilan di pinggir barat Sungai Ayung. Selanjutnya, setelah kembali ke pura barulah upacara Pangerebongan dimulai.

Diawali dengan upacara Nyanjan dan Nuwur. Tujuan upacara ini untuk memohon kekuatan suci Bhatara-Bhatari agar turun melalui pradasar-nya dari para umat dari para manca dan prasanak pangerob. Umumnya para pengusung rangda dan pepatihnya setelah dilakukan upacara Nyanjan dan Nuwur itu dalam keadaan trance (karauhan). Selanjutnya semua pelawatan Barong dan Rangda serta para pepatih yang trance itu keluar dari Kori Agung, terus mengelilingi wantilan dengan cara prasawia tiga kali.

Mengelilingi dengan cara prasawia itu adalah para pelawatan Barong Rangda dan pepatihnya bergerak dari timur ke utara, ke barat, ke selatan dan kembali ke timur. Terus demikian sampai tiga putaran.

Saat melakukan prasawia itu, para pepatih melakukan ngunying atau yang dipakai ngurek itu keris tajam yang sungguhan, dada para pepatih itu tak sedikit pun terluka. Kalau sudah acara prasawia ini selesai semuanya kembali ke Gedong Agung dengan upacara Pengeluwuran. Mereka yang trance kembali seperti semula.

Setelah upacara Pangeluwuran itu, maka dilanjutkan dengan upacara Maider Bhuwana Bhatara-Bhatari para Manca dan Prasanak Pangerob dengan semua pengiringnya kembali mengelilingi wantilan tiga kali dengan cara Pradaksina. Mengelilingi dengan cara Pradaksina berlawanan dengan cara Prasawia tadi. Selanjutnya upacara mengelilingi wantilan dengan cara Pradaksina atau mengikuti arah jarum jam.

Pradaksina ini dilakukan tiga kali sebagai simbol pendakian hidup dari Bhur Loka menuju Bhuwah Loka dan yang tertinggi menuju Swah Loka, yaitu alam kedewatan. Karena itulah upacara ini disebut upacara Maider Bhuwana mengelilingi alam semesta. Setelah selesai mengelilingi wantilan dengan Pradaksina semuanya kembali ke Jeroan Pura. Adanya prosesi Prasawia dan Pradaksina dalam upacara Pengerebongan di Pura Petilan Kesiman ini sangat menarik untuk dipahami makna filosofinya. Prosesi Prasawia bermakna untuk meredam aspek Asuri Sampad atau kecenderungan keraksasaan, sedangkan Pradaksina sebagai simbol untuk menguatkan Dewi Sampad, yaitu kecenderungan sifat-sifat kedewaan. Kalau kecenderungan keraksasaan (Asuri Sampad) berada di bawah kekuasaan Dewi Sampad, maka manusia akan menampilkan perilaku yang baik dan benar dalam kehidupan kesehariannya.

Sumber : Dinas Kebudayaan Kota Denpasar
Kesiman Petilan Kelurahan Kesiman Kesiman Kertalangu


Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya

 


Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya adalah Pura Kahyangan Jagat yang merupakan tempat untuk nuur atau nunas tirta.
Dalam Buku Babad Sidakarya yang disusun oleh I Nyoman Santun dan I Ketut Yadnya tahun 2003, menceritakan mengenai sejarah pura ini.
Diceritakan, terdapat seorang brahmana yang berasal dari Kerajaan Keling, Jawa Timur. Brahmana Keling ini memiliki hubungan keluarga dengan Raja Dalem Waturenggong.
Brahmana Keling bermaksud akan menjumpai saudaranya dengan penampilannya yang lusuh, untuk mengutarakan keinginannya membantu jalannya upacara tersebut. Namun masyarakat yang berada di sekitar lokasi tidak memercayainya, bahwa Brahmana Keling memiliki hubungan kekeluargaan dengan raja.


Brahmana Keling diusir dengan cara yang hina. Dengan perasaan jengkel dan sambil meninggalkan lokasi upacara, ia mengeluarkan kutukan (pastu).
Singkat cerita, Raja Dalem Waturenggong memerintahkan I Gusti Tegeh Kori, yang merupakan Raja Badung, untuk mendirikan sebuah pura di lokasi peristirahatan Dalem Sidakarya. Pura ini pada awalnya bernama Pura Dalem Sidakarya.
Karena pemujaan Sad Kahyangan terpusat menjadi satu, maka pura ini kemudian diberi nama Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya. Mutering memiliki makna pusat, Jagat berarti alam atau dunia, sedangkan Dalem Sidakarya adalah gelar dari Brahmana Keling.
Untuk menghormati jasa Brahmana Keling, Raja Dalem Waturenggong mengeluarkan sabda bahwa Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya adalah Pura Kahyangan Jagat yang merupakan tempat untuk nuur atau nunas tirta atau memohon air suci jika masyarakat melaksanakan upacara di tingkat madya, hingga utama atau besar.
Piodalan di Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya jatuh pada hari Sabtu, Saniscara Kliwon Wuku Landep, atau bertepatan dengan Hari Tumpek Landep. Selama piodalan di pura ini, biasanya akan dipentaskan sebuah tari sakral bernama Tari Telek, yang diikuti dengan Ida Sesuhunan berwujud Barong dan Rangda mesolah napak pertiwi (Menari).

Jumat, 28 April 2023

BANTEN SEBAGAI YANTRA

 




 MPU Klutuk dengan tegas menyatakan bahwa dalam membuat Banten ada maksud untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia dalam berkeyakinan..yang didasari atas Yadnya dalam.makna luas tanpa menuntut sesuatu dari Yadnya itu...Yadnya juga harus didasari oleh SADHANA yang terjalin dalam catur Marga, Tri Hita Karana, Tri Mandala dsb.sebagai aplikasi nilai nilai filsafat wedanta..

BANTEN SEBAGAI YANTRA
bukti fisik permohonan melalui mantra yang disimbolkan dari penyucian diri
Tiga element yang luruh dalam kehidupan berkeyakinan di Hindu Dresta Bali meliputi TANTRA ( ajaran suci ) , MANTRA ( doa suci ) dan YANTRA ( simbol suci ) yang saling terkait dan melengkapi. Yang termaktub dalam tiga kerangka dasarnya yang meliputi Tatwa ( keyakinan) , Susila /Etika( tingkah laku yang baik ) and Upakara.( upa berarti dekat, kara berarti cara..cara yang terdekat dalam berkomunikasi dengan- Nya melalui kegiatan relegi .


Banten sebagai Yadnya ( yaj- memuja mempersembahkan ) ,adalah persembahan yang suci yang didasari pemurnian diri yang berupa Tapa ( tiada tergoda ), Brata ( mampu mengendalikan diri ) , Yoga ( pemusatan pikiran ) , Dyana ( pengendalian pikiran) dan Samadhi ( pengendalian indria ). Ini semua terlaksanakan dalam kegiatan persiapan dan pelaksanaan dalam menghaturkan suatu Banten sebagai Yadnya.
Terkait dengan Yadnya, ada Tiga element personal dalam Yadnya yang meliputi Sulinggih yang muput sesajian atau bebantenan, Krama atau prajuru sebagai saksi pelaksanaan Yadnya dan Pelaku Yadnya itu sendiri..
Bagi pelaku Yadnya , dalam hal ini harus menjalankan dan memahami Tiga Dharmaning Yadnya yaitu ; Dharma Kriya ( mengerti akan swadharma sebagai manusia ) , Dharma Jati ( menyelami kata hati atau intuisi ) dan Dharma Putus ( mampu berpikir, berkata dan berbuat yang baik dalam menjalankan Yadnya dengan tanpa mengharapkan hasil )..Inilah yang akan menjadi penguat dalam pelaksanaan Yadnya.
Dalam pelaksanaan Yadnya didasari juga oleh empat pelaksanaan dasar Yadnya ( Catur Polahing Yadnya ) meliputi
Sastra ( mengetahui makna dan tujuan dari Yadnya).Aksara ( kesucian diri dalam pelaksanan Yadnya yang mendasari jiwa ),.Aji ( adanya pemikiran dan konsentrasi yang baik dalam pelaksanaan Yadnya ), Saraswati ( kata hati yang paling dalam dengan pemikiran yang positif ). Dengan dasar ini maka pelaku Yadnya akan memahami hakikat Banten sebagai sesajian suci yang dihaturkan dalam.yadnya..Dengan ini pula dapat menentukan jenis dan tingkatan Yadnya dan bantenya sesuai dengan kemampuan ( Dharmaning Kahuripan ). Pilihan Yadnya itu ada tiga yaitu Nista , Madya , Utama..dimana masing masing tingkatan ini juga dibagi tiga lagi misalnya Nistaning Nista, Nistaning Madya dan Nistaning Utama, begitu juga untuk tingkatan mandya ; madyaning nista, madyaning madya, madyaning utama, dan Utama..; utamaning nista, utamaning.madya dan utamaning utama
Yadnya adalah ketulusan untuk menghaturkan segala bentuk korban suci ( materi, waktu, tenaga, dan perasaan ) kepada Ida Sang Hyang Parama Kawi ( Brahman yang dipuja dan disembah ) tidak boleh dikurangi atau dilebihkan. Namun boleh membuatnya menjadi GENEP TANDING SURUD KUANG ) /.cukup untuk dibuat Banten namun boleh kurang untuk disurud /makan - semua sarana Banten adalah simbol atau yantra yang harus lengkap adanya sebagai sarana komunikasi kepadaNya.
Jadi jangan sekali kali mengganti sarana upakara dalam Banten dengan menggunakan simbol atau gambar gambar yang tidak mewakili Yantra..Yadnya yang salah malah justru membawa petaka bagi pelakunya..


Jadi dapatlah dikatakan bahwa Banten adalah Yadnya yang didasari oleh kesucian jiwa dan pikiran untuk dapat menyatakan doa-doa harapan melalui simbol-simbol suci yang tertuang dalam bentuk, isi dari banten itu. Menghaturkan Banten sama halnya dengan mengucapkan mantra mantra dimana Banten memiliki keistimewaan sendiri dibandingkan hanya dengan ujar japa atau mantra saja.
Dalam pembuatan Banten ada empat jalan yang diaplikasikan ; meliputi..Bhakti Marga ( persembahan yang tulus ), Karma Marga ( didasari atas kehendak, perbuatan yang tulus ), Raja /yoga marga ( mengaplikasikan ajaran Weda dalam bentuk simbol suci ) dan JNANA marga.( Banten dibuat dengan pikiran yang jernih dengan konsentrasi yang tertuju kepada Nya )
Jadi stop memojokan Banten sebagai pemborosan ritual atau mengganti simbol simbol suci dengan bentuk gambar ..
Jangan pernah katakan tenggelam dalam lautan tradisi..karena pada hakikatnya semua dalam kehidupan ini dibangun dari element elemnt tradisi yang membentuk budaya dan peradaban manusia...
Rahayu, mulyaning lan KERTANING Jagad manut ring Tata Titi Dharma

Luan Teben

 

Luan Teben sebuah konsep yang udah dipake sama orang Bali zaman dahulu banget dalam kehidupan sehari-hari. Konsep Luan Teben sampai saat ini masih digunakan sama masyarakat Bali dalam praktek-praktek kehidupan sehari-hari, seperti posisi tidur kepala harus berada pada posisi Lunan /Kaja, begitu juga pada setiap pembangunan rumah, Sanggah (Merajan) harus berada pada posisi di Lunan /Kaja dan juga pada banyak praktek kehidupan lainnya.

Ternyata Luan Teben ini ada hubungannya sama arah mata angin. Mz sedikit ulas ya soal mata angin dalam konsep orang Bali. Kaja berarti Utara, Kelod berarti Selatan, Kangin berati Timur dan Kauh berati Barat.

 

Itu kan baru dari sisi mata anginnya, tapi ada yang lebih dari itu. Buat anak Bali jaman now, perlu kamu tahu, kalau “Kaja” tidak selalu identik atau berarti “Utara”. Demikian juga “Kangin” tidak selalu indentik atau berarti “Timur”. Demikian juga “Kaja-Kangin” bukan selalu berarti “Timur-Laut”.

Dari konsep tata ruang Bali, ternyata “Kaja” berarti simbol “Gunung” dan kata “Kangin” berarti mewakili simbol “Matahari”. Lah kok gitu? Menurut kepercayaan orang Bali jaman dulu, Gunung itu tempat suci atau tempat tinggal para Dewa yang dilandasi juga dengan konsep Mandala. Praktek konsep Mandala ini juga bikin daerah Bali Selatan dan Bali Utara beda pendapat dalam penyebutan arah mata angin. Arah ke gunung bagi masyarakat Bali Utara adalah ke Selatan dan Utara bagi masyarakat Bali Selatan.

Prakteknya itu udah dilaksanakan sama orang Bali udah turun-temurun dan dari generasi ke generasi saat ini.

Emang unik dah konsep Luan Teben atau Kaja Kelod orang Bali dah. Sebagai orang Bali patutnya berbangga punya sesuatu kepercayaan yang terus dilestarikan, karena itu merupakan salah satu aset yang berharga banget dalam penerapan kehidupan sehari-hari agar ga salah arah. Makanya dibuatlah konsep kayak gitu biar tetap ingat sama Tuhan. –sumber

PASUPATI

  


Sang Hyang Siwa beryoga dalam wujud Sang Hyang Pasupati menganugrahkan ketajaman (lelandepan) kepada manusia untuk mempermudah hidupnya.
Ke bhuwana alit Ida menganugrahkan "ketajaman pikiran/intuisi" untuk memudahkan di dalam menelaah, didalam menentukan jalan kebenaran.
Ke bhuwana agung Ida menganugrahkan peralatan/senjata tajam untuk menunjang pelaksanaannya.
Dihari suci ini, sebaiknya diisi dengan renungan-renungan yang bertujuan mempertajam pikiran/intuisi untuk menegakkan Dharma.
Malam hari.... Tidak boleh melakukan pekerjaan yang menggunakan senjata/peralatan tajam atau yang terbuat dari logam termasuk kendaraan. Itulah waktunya untuk mendekatkan diri kepada beliau guna memohon kekuatan pikiran/intuisi ataupun kekuatan senjata tajam agar bertuah.

SELAMAT HARI RAYA TUMPEK LANDEP. SEMOGA DIANUGRAHKAN KEKUATAN PIKIRAN/INTUISI DAN KEKUATAN SENJATA YANG DIKEHENDAKI.
"OM PASUPATI URIP,
BRAHMA URIP
WISNU URIP
SIWA URIP
URIP URIP URIP
OM KSAMA SAMPURNA YA NAMAH SWAHA"
"Om Sanghyang Pasupati Ang-Ung Mang ya namah svaha
Om Brahma astra pasupati, Visnu astra pasupati,
Siva astra pasupati, Om ya namah svaha
Om Sanghyang Surya Chandra tumurun maring Sanghyang Aji Sarasvati-tumurun maring Sanghyang Gana, angawe pasupati maha sakti, angawe pasupati maha siddhi, angawe pasupati maha suci, angawe pangurip maha sakti, angawe pangurip maha siddhi, angawe pangurip maha suci, angurip sahananing raja karya teka urip, teka urip, teka urip.
Om Sanghyang Akasa Pertivi pasupati, angurip........
Om eka vastu avighnam svaha
Om Sang-Bang-Tang-Ang-Ing-Nang-Mang-Sing-Wang-Yang
Ang-Ung-Mang,
Om Brahma pasupati,
Om Visnu Pasupati,
Om Siva sampurna ya namah svaha"

Tri Hita Karana

 


Sering kali muncul pertanyaan “Pak/Bu itu Pohon-nya kenapa disembahyangi atau di-ikatkan kain warna Hitam & Putih (poleng) ? Apakah ada Penunggunya ya, kok serem banget dan jadi takut lewat sana” jawab orang bali , Nah sebagai Orang Bali & tinggal di Bali, wajib hukumnya kita paham dan bisa memberikan penjelasan yang benar, agar makna gambar diatas tidak multitafsir
.
Kita kembali ke dasar falsafah/hakekat dari ajaran Hindu Bali adalah Tri Hita Karana, yang berasal dari kata tiga penyebab terciptanya kebahagiaan manusia. Terciptanya kebahagiaan manusia ini adalah adanya hubungan yang selaras antara Manusia dengan Tuhan, Manusia dengan Alam, serta sesama Manusia. Bagi pohon yang besar seperti beringin termasuk dalam kriteria hubungan Manusia dengan Alam, dimana fungsi pohon adalah sebagai penyaring udara dengan menghasilkan oksigen, sebagai penyedia makanan bagi hewan herbivora, menjaga kesuburan tanah, serta menahan laju air dan erosi, dan menjadikan lingkungan lebih nyaman

.
Sedangkan kain Htam-Putih (poleng) dalam #BudayaBali merupakan simbol/expresi dari penghayatan Rwa Bhineda suatu konsep keseimbangan baik dan buruk. Jika kembali ke pertanyaan kenapa pohon besar diselimuti kain hitan putih & diberi sesajen, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut adalah bentuk penghormatan Manusia kepada Alam sekitar dengan memperhatikan dampak baik buruknya perlakuan manusia terhadap alam dengan symbol pepohonan tersebut
.
Apabila Alam dihancurkan dengan penebangan liar, akan mengakibatkan banjir, polusi, dan kepunahan berbagai habitat didalamnya, dan akan berdampak juga terhadap manusia itu sendiri, sehingga keseimbangan ini harus dijaga dengan bentuk penghormatan, serta diberikan symbol kain hitam putih pada pohon, dan juga pada benda benda tertentu
.
Demikianlah konsep dari tri hita karana yang selalu di agung agungkan masyarakat Bali dalam menghadapi perkembangan globalisasi. Mungkin saja dahulu masyarakat Bali menggampangkan jawaban dengan megatakan ada penunggunya, dan tenget (angker) dengan tujuan agar manusia tidak merusak/menebang pohon, sehingga kelestarian alam dapat terpelihara
.
Dirangkum dari Blog Laksana Pendit
Artwork by @pinsianart –sumber