Senin, 01 Mei 2023
Sebuah gerakan membumikan Veda
Sabtu, 29 April 2023
Mengenal kata NGEREBONG.
(Warisan Budaya tak benda yang sudah diakui oleh UNESCO - Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Bagi masyarakat Kota Denpasar sudah tidak asing lagi kata yg satu ini.
Sebuah tradisi unik yang ada ditengah Kota yakni di Desa Adat Kesiman.
NGEREBONG = NGEREBU = BERKUMPUL.
N G E R E B O N G merupakan sebuah tradisi yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Bali sebagai bagian dari warisan leluhur, dan khususnya oleh masyarakat yang ada di Desa Kesiman, Denpasar. Tidak hanya itu, tradisi ini juga menjadi daya tarik lain para wisatawan. Ngerebong sendiri merupakan bahasa Bali yang memiliki arti berkumpul. Pada saat tradisi Ngerebong diadakan, dipercaya jika para dewa sedang berkumpul. Tradisi Ngerebong akan diadakan setiap 6 bulan sekali sesuai dengan penanggalan Bali, yaitu setiap 8 hari setelah Hari Raya Kuningan, pada hari Minggu / Redite Pon Wuku Medangsia.
Pusat diadakannya Tradisi Ngerebong Bali berada di Pura Petilan, yang terletak di daerah Kesiman. Sebelum dimulainya acara puncak, biasanya masyarakat sudah memenuhi area acara. disana juga sudah terdapat beberapa suguhan seperti alunan musik tradisional, bunga-bungaan dalam tempayan cantik, serta penjor-penjor. Sebelum upacara dimulai, para pecalang atau yang biasa disebut polisi adat akan mengosongkan jalanan atau menutup jalan. Jalanan ditutup sebab upacara dan serangkaian tradisi ngerebong memang sakral.Untuk mengawali upacara ini, masyarakat akan sembahyang di Pura Petilan. Kemudian acara akan semakin ramai, karena dilanjutkan dengan adanya acara adu ayam di wantilan. Wantilan merupakan bangunan yang menyerupai bale-bale. Setelah itu masyarakat mengarak barong yang merupakan lambang kebaikan bagi masyarakat pennganut Hindu dan diarak menuju Pura Pengerebongan. Kemudian masyarakat juga keluar dari pura dan mengelilingi tempat adu ayam atau wantilan tadi sebanyak tiga kali.
"Ngerebong adalah sebuah pangilen yang dilaksanakan di Pura Agung Petilan untuk menciptakan keseimbangan dunia,” ujar salah satu tokoh sekaligus budayawan Desa Kesiman, I Gede Anom Ranuara. Lebih lanjut dijelaskannya, tradisi ini sudah dipatenkan sejak tahun 1937, namun telah dilaksanakan dengan kapasitas yang lebih kecil di area Kerajaan atau Puri Kesiman. Ada beberapa rangkaian yang wajib dilaksanakan sehubungan dengan Ngerebong. Yakni Ngerebek yang dilaksanakan pada Umanis Galungan, dilanjutkan dengan Pamendakan Agung pada Paing Langkir, dan terakhir adalah Ngerebong.
Tradisi ini melibatkan semua Mangku Pepatih yang merupakan wilayah Desa Kesiman terdahulu. Dahulu diyakini Puri Kesiman memiliki wilayah yang sangat luas, hingga ke Desa Sanur dan Pemogan. “Jadi, yang tangkil ke Pura Agung Petilan saat pelaksanaan pangerebongan adalah Sesuhunan yang merupakan warih Puri Kesiman,” tutur Anom Ranuara.Dalam pelaksanaan Ngerebong, yang unik adalah Keris, Ngurek dan Penjor yang megah. Dalam tradisi ini, sejumlah pamedek trance (kasurupan) dengan menusukkan keris ke tubuhnya. Bahkan ada yang menusukkan di bagian matanya.
Berdasarkan buku hasil penelitian Sejarah Pura yang dilakukan IHD (kini UNHI) Denpasar tahun 1979, upacara Pangerebongan tergolong upacara bhuta yadnya atau pacaruan. Sehingga, upacara Pangerebongan itu bertujuan untuk mengingatkan umat Hindu melalui media ritual sakral untuk memelihara keharmonisan hubungan antarmanusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan sesama umat manusia dan dengan alam lingkungannya.
GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI
Prosesi upacara Pangerebongan dilakukan Redite Pon Medangsia sejak pagi, dan dilakukan upacara tabuh rah. Tujuannya untuk membangkitkan guna rajah untuk di-somia atau diharmoniskan agar patuh dengan arahan guna sattwam. Dengan demikian guna rajah menjadi bersifat positif, memberi semangat untuk kuat menghadapi berbagai gejolak kehidupan.
Selanjutnya para manca dan prasanak pengerob Pura Petilan di Kesiman dengan pelawatan berupa Barong dan Rangda semuanya diusung ke Pura Petilan untuk mengikuti upacara Pangerebongan. Sebelum ke Pura Petilan didahului dengan upacara panyucian di Pura Musen di sebelah timur Pura Petilan di pinggir barat Sungai Ayung. Selanjutnya, setelah kembali ke pura barulah upacara Pangerebongan dimulai.
Diawali dengan upacara Nyanjan dan Nuwur. Tujuan upacara ini untuk memohon kekuatan suci Bhatara-Bhatari agar turun melalui pradasar-nya dari para umat dari para manca dan prasanak pangerob. Umumnya para pengusung rangda dan pepatihnya setelah dilakukan upacara Nyanjan dan Nuwur itu dalam keadaan trance (karauhan). Selanjutnya semua pelawatan Barong dan Rangda serta para pepatih yang trance itu keluar dari Kori Agung, terus mengelilingi wantilan dengan cara prasawia tiga kali.
Mengelilingi dengan cara prasawia itu adalah para pelawatan Barong Rangda dan pepatihnya bergerak dari timur ke utara, ke barat, ke selatan dan kembali ke timur. Terus demikian sampai tiga putaran.
Saat melakukan prasawia itu, para pepatih melakukan ngunying atau yang dipakai ngurek itu keris tajam yang sungguhan, dada para pepatih itu tak sedikit pun terluka. Kalau sudah acara prasawia ini selesai semuanya kembali ke Gedong Agung dengan upacara Pengeluwuran. Mereka yang trance kembali seperti semula.
Setelah upacara Pangeluwuran itu, maka dilanjutkan dengan upacara Maider Bhuwana Bhatara-Bhatari para Manca dan Prasanak Pangerob dengan semua pengiringnya kembali mengelilingi wantilan tiga kali dengan cara Pradaksina. Mengelilingi dengan cara Pradaksina berlawanan dengan cara Prasawia tadi. Selanjutnya upacara mengelilingi wantilan dengan cara Pradaksina atau mengikuti arah jarum jam.
Pradaksina ini dilakukan tiga kali sebagai simbol pendakian hidup dari Bhur Loka menuju Bhuwah Loka dan yang tertinggi menuju Swah Loka, yaitu alam kedewatan. Karena itulah upacara ini disebut upacara Maider Bhuwana mengelilingi alam semesta. Setelah selesai mengelilingi wantilan dengan Pradaksina semuanya kembali ke Jeroan Pura. Adanya prosesi Prasawia dan Pradaksina dalam upacara Pengerebongan di Pura Petilan Kesiman ini sangat menarik untuk dipahami makna filosofinya. Prosesi Prasawia bermakna untuk meredam aspek Asuri Sampad atau kecenderungan keraksasaan, sedangkan Pradaksina sebagai simbol untuk menguatkan Dewi Sampad, yaitu kecenderungan sifat-sifat kedewaan. Kalau kecenderungan keraksasaan (Asuri Sampad) berada di bawah kekuasaan Dewi Sampad, maka manusia akan menampilkan perilaku yang baik dan benar dalam kehidupan kesehariannya.
Sumber : Dinas Kebudayaan Kota Denpasar
Kesiman Petilan Kelurahan Kesiman Kesiman Kertalangu
Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya
Jumat, 28 April 2023
BANTEN SEBAGAI YANTRA
MPU Klutuk dengan tegas menyatakan bahwa dalam membuat Banten ada maksud untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia dalam berkeyakinan..yang didasari atas Yadnya dalam.makna luas tanpa menuntut sesuatu dari Yadnya itu...Yadnya juga harus didasari oleh SADHANA yang terjalin dalam catur Marga, Tri Hita Karana, Tri Mandala dsb.sebagai aplikasi nilai nilai filsafat wedanta..
Luan Teben
Luan Teben sebuah konsep yang udah dipake sama orang Bali zaman dahulu banget dalam kehidupan sehari-hari. Konsep Luan Teben sampai saat ini masih digunakan sama masyarakat Bali dalam praktek-praktek kehidupan sehari-hari, seperti posisi tidur kepala harus berada pada posisi Lunan /Kaja, begitu juga pada setiap pembangunan rumah, Sanggah (Merajan) harus berada pada posisi di Lunan /Kaja dan juga pada banyak praktek kehidupan lainnya.
Ternyata Luan Teben ini ada hubungannya sama arah mata angin. Mz sedikit ulas ya soal mata angin dalam konsep orang Bali. Kaja berarti Utara, Kelod berarti Selatan, Kangin berati Timur dan Kauh berati Barat.
Itu kan baru dari sisi mata anginnya, tapi ada yang lebih dari itu. Buat anak Bali jaman now, perlu kamu tahu, kalau “Kaja” tidak selalu identik atau berarti “Utara”. Demikian juga “Kangin” tidak selalu indentik atau berarti “Timur”. Demikian juga “Kaja-Kangin” bukan selalu berarti “Timur-Laut”.
Dari konsep tata ruang Bali, ternyata “Kaja” berarti simbol “Gunung” dan kata “Kangin” berarti mewakili simbol “Matahari”. Lah kok gitu? Menurut kepercayaan orang Bali jaman dulu, Gunung itu tempat suci atau tempat tinggal para Dewa yang dilandasi juga dengan konsep Mandala. Praktek konsep Mandala ini juga bikin daerah Bali Selatan dan Bali Utara beda pendapat dalam penyebutan arah mata angin. Arah ke gunung bagi masyarakat Bali Utara adalah ke Selatan dan Utara bagi masyarakat Bali Selatan.
Prakteknya itu udah dilaksanakan sama orang Bali udah turun-temurun dan dari generasi ke generasi saat ini.
Emang unik dah konsep Luan Teben atau Kaja Kelod orang Bali dah. Sebagai orang Bali patutnya berbangga punya sesuatu kepercayaan yang terus dilestarikan, karena itu merupakan salah satu aset yang berharga banget dalam penerapan kehidupan sehari-hari agar ga salah arah. Makanya dibuatlah konsep kayak gitu biar tetap ingat sama Tuhan. –sumber
PASUPATI
Tri Hita Karana