Jumat, 02 Juni 2023

CARU

 



Caru artinya (kemBali) 'harmonis', teknik merubah sifat energi bhuta menjadi dewa (nyomia).

Caru bisa dengan korban binatang bisa juga tanpa korban hewan.
Sarana nyomia tanpa membunuh binatang. Tentu teknikal beda, mantra beda, sarana Banten beda, juga kemampuan, kompetensi, sertifikasi profesional pemuput/sulinggihnya harus mumpuni.
Agar ritual caru tanpa membunuh binatang berjalan sesuai harapan sang yajamana.


JEJAK TANTRA PADA RITUAL di BALI
Tantra adalah perubahan energi bergejolak menjadi tenang, damai dan harmoni atau
kemampuan pengelola energi yang mumpuni (Rajayoga).
Jejak tantra dalam ritual di Bali yi pengejahwantahan filsafat yg supralinguistik melalui sadhana massal yang praktis untuk mencapai tujuan dari filosofi
Proses 'somya' pada ritual bhuta yajnya yakni merubah sifat energi dari yang ganas, kasar dan rajas ( bhuta ) menjadi sifat yang halus, tenang dan satwika ( dewa ).
Ritual ini adalah wujud kontemplasi bathin para manggala (terutama pemuput upacara) didalam tubuhnya, yang mampu memproses dan memancarkan cahaya energi tantranya pada saat mentransformasikan energi bhuta menjadi dewa ( soma ya ).
Pada saat proses penyebrangan roh binatang (pengaskara-an) terjadi pengelolaan tubuh hewan caru, yang rohnya sudah tidak ada digunakan sebagai tubuh baru bagi para roh gentayangan yang bersifat ganas, kasar dan rajas tersebut dirubah menjadi dewa.

Minggu, 28 Mei 2023

WARIGA (Wariga gemet lebih banyak ketepatannya)

 

Semut sedulur n kala gotongan
Dalam kepercayaan tentang semut sedulur dan kala gotongan terungkap bahwa hari-hari dimana perhitungan gabungan antara Sapta Wara dan Panca Wara menghasilkan bilangan angka "13" dan terjadi berturut-turut selama 3 hari maka itu dianggap sebagai hari tidak baik (pantangan) untuk melakukan upacara Pitra Yajna (ngaben/Atiwa- tiwa) sebab sesuai artinya akan membawa akibat pada kematian yg berturut-turut di lingkup krama/ braya setempat.
Bagaikan semut yg selalu berjalan beriringan begitu pula masyarakat memahami makna "Semut Sedulur" sebagai isyarat akan adanya iringan mayat bersusulan. Oleh sebab itu ketika perhitungan hari jatuh pada semut sedulur seperti: Sukra-Pon (6+7=13), Saniscara-Wage (9+4=13), dan Redite-Kliwon (5+8=13) maka akan dihindari untuk melaksanakan upacara Pitra Yajna (ngaben/Atiwa-tiwa).

Kala Gotongan jumlah urip gabungannya adalah "14" dan terjadi berturut-turut selama 3 hari seperti: Sukra Kliwon (6+8=14), Saniscara umanis (9+5=14) dan Redite Pahing (5+9=14). Kalau hasil perhitungan jumlah jumlah urip Sapta Wara dan Panca Wara hanya sekali terjadi bilangan "13" atau "14" tentu tidak dapat disebut "Semut Sedulur" atau "Kala Gotongan".

Ingkel wong
Ingkel = lung/pegat
Wong= manusa/manusia. Jadi ingkel wong tidak baik untuk pedewasan yg melibatkan manusia. Mesakapan potong gigi upacara manusa yadnya.


Penuntun wariga dewasa,dan wariga siwamandala, dalam kalender ada yg disebut ingkel = pantangan untuk melakukan suatu pekerjaan/yadnya
1.ingkel wong,wong =manusia.tidak baik melakukan upacara manusa yadnya
Ingkel sato = patangan untuk mulai memelihara ternak,ingkel mina = tidak baik mulai memelihara ikan,tambak,telaga dan sejenisnya.Ingkel manuk = tidak baik untuk mulai memelihara bangsa unggas,: bebek,angsa,ayam,dan burung.Ikel taru = tidak baik menanam pohon"an,mencari kayu untuk bangunan rumah.Ingkel buku = tidak baik menanam/ menebang tanaman yg berbuku misalnya tebu,bambu dan sejenisnya.
Ingkel itu berlangsung selama 7 hari mulai hari minggu - hari sabtu,jadi pantangan berlangsung selama 1minggu sesuai ingkel saat itu.
Pantangan yg tergolong dlm upacara manusa yadnya ada 13 macam :
1.upacara megedong- gedongan
2.upacara bayi baru lahir,
3.upacara kepus puser
4.upacara bayi 12 hari,
5 upaca bayi42 hari,
6.upcara bayi 3 bulan,
7,upacara bayi 6 bulan ( otonan ),
8.upcara tumbuh gigi,
9.upacara tanggal gigi,
10. Upacara mewinten saraswati,
11.upacara enek kelih ( ngrajaswala )
12.Upacara potong gigi,
13.dan upacara pernikahan. 

Ingkel = lung/pegat
Wong= manusa/manusia. Jadi ingkel wong tidak baik untuk pedewasan yg melibatkan manusia. Mesakapan potong gigi upacara manusa yadnya.
Penuntun wariga dewasa,dan wariga siwamandala, dalam kalender ada yg disebut ingkel = pantangan untuk melakukan suatu pekerjaan/yadnya
1.ingkel wong,wong =manusia.tidak baik melakukan upacara manusa yadnya
Ingkel sato = patangan untuk mulai memelihara ternak,ingkel mina = tidak baik mulai memelihara ikan,tambak,telaga dan sejenisnya.Ingkel manuk = tidak baik untuk mulai memelihara bangsa unggas,: bebek,angsa,ayam,dan burung.Ikel taru = tidak baik menanam pohon"an,mencari kayu untuk bangunan rumah.Ingkel buku = tidak baik menanam/ menebang tanaman yg berbuku misalnya tebu,bambu dan sejenisnya.
Ingkel itu berlangsung selama 7 hari mulai hari minggu - hari sabtu,jadi pantangan berlangsung selama 1minggu sesuai ingkel saat itu.
Pantangan yg tergolong dlm upacara manusa yadnya ada 13 macam :
1.upacara megedong- gedongan
2.upacara bayi baru lahir,3.upacara kepus puser,4.upacara bayi 12 hari,5 upaca bayi42 hari,6.upcara bayi 3 bulan,7,upacara bayi 6 bulan ( otonan ),8.upcara tumbuh gigi,9.upacara tanggal gigi,10. Upacara mewinten saraswati,11.upacara enek kelih ( ngrajaswala )12.Upacara potong gigi,13.dan upacara pernikahan.


Rabu, 24 Mei 2023

SATE RENTENG/ GAYAH/ SATE MADAN

 


Sate Renteng terdiri dari beberapa jenis, yakni:
.
1. Sate Renteng Puspusan yang menggunkan kelapa sebagai alasnya. Di mana didalamnya terdapat 13 buah tusuk sate, namun tidak menggunakan bagia Pulekerti.
.
2. Sate Renteng Sari. Dalam sate ini terdapat Bagia Pulekerti, namun tetap berpatokan kepada 13 buah tusuk sate.
.
3. Sate Renteng Utuh, jenis sate Renteng yang tergolong tinggi, sebab pada alasnya menggunakan kepala babi utuh.
.
4.Sate Renteng Durga Dewi yang tertinggi. Hal yang membedakan adalah penggunaan kepala babi yang disertai dengan cabai merah melambangkan taring Dewi Durga.

.
Beberapa komponen yang harus dilengkapi ketika hendak membuat Sate Renteng, yakni Sate Asem, Sate Serapah, Sate Lamat, Kekuwung, Bagia Pulekerti, Senjata Dewata Nawa Sanga, Penyelah, Aling-aling, Lawang, Japit Balung, dan Japit Babi.
.
Susunan dalam merangkai Sate Renteng hendaknya selalu memperhatikan Tattwa, di mana ada beberapa komponen wajib yang harus ada di dalam Sate Renteng.
.
Bagian dasar terdapat rangkaian tulang belulang babi, inilah yang dinamakan gayah. Selain itu, terdapat cabe merah yang merupakan simbol Banaspati yang berkaitan erat dengan Dewi Durga.
.
Kunyit juga terdapat dalam rangkaian Sate Renteng, yang merupakan penguat rangkaian agar kulit babi yang dirangkai tidak jatuh.
.
Yang tak kalah penting adalah penggunaan Paru-paru di arah timur, Hati di arah selatan, Empedu di arah barat, Limpa di arah utara, dan di tengah adalah ginjal. Komponen ini hendaknya harus terdapat dalam rangkaian Sate Renteng. “Karena penggunaan ini merupakan simbol kanda pat yang tak lain merupakan ancangan Dewi Durga”.
.
Sumber: baliexpress.jawapos. com
Gambar: berbagai jenis sate renteng. Dari tokopedia dan detik. com


MELUKAT DENGAN AIR SAWAH

 


(anugrah Bhatara Dalem)
==========================================
Lontar Bhuana Kosa sebagai teks rujukan Siwa Siddhanta Tertua di Nusantara bab VII sloka 2-3 menyebutkan ada lima sarana yan dapat digunakan sebagai SOCA yaitu upaya pembersihan bhatin. Meliputi PATRA (dedaunan), PERTIWI (tanah), JALA (air), BHASMA (abu suci), JNANA (pengetahuan suci).
JALA (unsur air) sebagai sarana (soca) pembersihan diri memiliki beragam jenis meliputi TOYA SEGARA (air laut), TOYA DANU (air danau), TOYA CAMPUHAN (pertemuan air dari sungai berbeda), TOYA SUMUR (air sumur), TOYA PANCORAN (air pancuran), TOYA TABAH (air sungai), TOYA BULAKAN (air menggenang) TOYA CARIK (air sawah).
TOYA CARIK atau TOYA UMA sangat penting digunakan sebagai sarana SOCA (pembersihan diri). Bahkan ada kisah seorang pendeta yang membuat Tirta Pangentas (air suci pembebas roh) dari air sawah, karena diragukan oleh yang nunas (memohon) tirta kemudian menyiramkan pada bangkai anjing. Ajaib, bangkai anjing tiba-tiba hidup seperti semula. Kisah kesaktian tirta dari air sawah ini popluer di wilayah desa Tegalalang, Gianyar.

Lontar Tutur Gong Besi menguraikan bagaimana manifestasi Bhatara Dalem berevolusi diwilayah berbeda dengan nama berbeda.
=========================================
“sah ida saking pangkung tukad, malinggih ida ring gaga sawah, dadi Ida Bhatari Uma, nga” (tutur Gong Besi). Artinya Beranjak beliau dari jurang dan sungai, berstana beliau di tegalan dan sawah, berwujud Bhatari Uma”
=========================================
Tutur Gong Besi menjelaskan bahwa SAWAH itu adalah tempat SUCI, air yang mengalir dari sawah tiada lain adalah manifestasi Bhatara Dalem sebagai Bhatari Uma.
Lalu pada berbagai teks lontar yang memuat upaya Soca (pembersihan batin) ada porsesi PANGLUKATAN (ruwatan) yang dilakukan disawah diiringi mantra khusus yang disebut UMA-GEMANA.
=============================


Dasaksara, organ hati berdiam tiga aksara

 


Ada yang bertanya kenapa dalam Dasaksara, organ hati berdiam tiga aksara, yakni aksara Ang, Ing, dan Yang. Saya jawab, tidak saja ketiga aksara tersebut, tetapi banyak aksara. Di dalam lontar Rwa Bhineda Ring Jero menyebutkan bahwa pada akhirnya semua aksara bermuara pada organ hati. Karena itu organ hati disebut Tumpuking Ati, Susuning Ati, Hredaya Padma, Windu Rahasya, Pangesengan, Catus Patha Sarira, dan banyak lagi.
.
Semua itu menandakan bahwa pada hati cinta dan welas asih itu berada. Ia adalah tempat berdiamnya sukma dan rasa sejati yang tidak ternoda oleh apa pun. Hanya hati yang dipenuhi cinta dan welas asih kepada semua makhluk yang akan dapat memekarkan kesadaran agar sampai pada pencerahan diri sempurna. Dan siapa pun yang senantiasa dapat mengolah Dasaksara di dalam hati, maka ia bisa menempatkan cinta dan welas asih pada hati dan memekarkan kesadarannya. Dalam ajaran Kawisesan, laku ini disebut Pengasih Agung.
~ sandi reka ~


Pager Wesi

 


Pager Wesi mari bentengi diri. Agar terhindar dari potensi Hukuman atas DOSA-DOSA KITA -- diuraikan dalam GARUDA PURANA*
Orang berdosa dikirim ke Berbagai Neraka oleh Dewa
Yama menurut jenis dan berat
Dosa mereka.
Ada total 28 jenis tempat, wilayah Naraka:-
(1) *Tamisram (Hukum cambuk berat)* - Mereka yang merampok milik orang lain
diikat dengan tali oleh para Pelayan Yama dan dilemparkan
ke Naraka dikenal sebagai Tamisram. Di sana, mereka dihukum cambuk
meronta-ronta, bersimbah darah, hingga pingsan. Ketika mereka mulai pulih, kembali mereka
Dipukuli. Ini dilakukan sampai waktunya tiba untuk hukuman berikutnya
*(2)Andhatamtrsam hukuman cambuk lainya)* - Neraka ini disediakan bagi
Suami atau Istri yang hanya memperlakukan pasangannya dengan baik ketika
mereka diuntungkan saja atau menerima sebatas kesenangan bagi dirinya. Begitu juga Mereka yang meninggalkan,
istri atau suami tanpa alasan yang jelas juga yang selingkuh membohongi pasangan mereka dihukum
Di Sini. Hukumannya hampir sama dengan tamisram, tapi
rasa sakitnya yang jauh lebih luar biasa keras, yang
segera membuat jatuh pinsan. Dan saat tersadar hukuman kembali diulangi.

*(3) Rauravam(siksaan ular)*- Ini adalah neraka bagi para pendosa
yang merebut dan menikmati properti atau sumber daya orang lain.
Orang-orang ini dilempar ke neraka ini, pendosa yang curang, berhadapan dengan wujud "Ruru", ular yang mengerikan. Ular-ular itu akan menyiksa mereka sampai hampir mati karena demikian kerasnya siksaan yang dialami.
*(4) Mahararuravam (kematian oleh ular)*- Di sini juga ada Ruru
ular tapi lebih ganas. Mereka yang mengingkari
ahli waris, warisan, dan menikmati harta benda orang lain
akan diremas dan digigit tanpa henti oleh ular yang mengerikan ini, yang
membelit mereka sedemikian kerasnya. Mereka yang merampas istri orang lain
juga dibuang ke sini.
*(5) Kumbhipakam (dimasak dengan minyak)* - Ini neraka bagi mereka
yang membunuh binatang untuk kesenangan semata. Di sini minyak direbus dalam
bejana besar dan orang berdosa dicelupkan ke dalam bejana ini, digoreng.


BENARKAH AGNIHOTRA SESAT??




 Kutipan Hindu Times

Om Swastiastu
Tatkala anda mendengar Agnihotra mungkin bagi sebagian orang hindu upacara sacral dan terpenting dalam weda ini terkesan baru. Lebih ekstrim lagi upacara suci ini dianggap bertentangan dengan budaya atau malah sesat. Ketika kita menganggap sesuatu sesat harusnya kita memiliki referensi atau dasar yang abash mengenai mana yang benar. Apabila klaim sesat tersebut hanya berdasarkan asumsi pribadi atau sekelompok orang saja, berdasarkan sikap apriori, maka itu adalah sebuah kesalahan berpikir. Biasanya kesalahan berpikir seperti ini terjadi karena kurangnya wawasan kita atau sikap sentiment kita terhadap betapa luasnya peradaban ini.
Apakah Agnihotra merupakan upacara sesat sebagaimana menurut anggapan sekelompok orang terhadap tradisi luhur weda ini.
Kita mungkin sering melihat upacara Agnihotra di film-film India, di komunitas hindu India atau pernah menyaksikannya secara langsung. Faktanya berdasarkan kitab Darmasastra, Agnihotra senantiasa harus dilaksanakan dalam setiap upacara yang dilakukan oleh manusia, mulai dari upacara kehamilan, kelahiran, pernikahan, hingga kematian. Dengan kata lain Agnihotra atau Homa adalah ritual inti dalam upacara-upacara suci weda. Dalam kitab-kitab weda mulai dari kitab Catur Weda, Upanisad, Purana, Ithiasa dan Darmasastra, dinyatakan bahwa upacara Api Suci sangatlah sacral dan sistem pelaksanaan upacara ini diturunkan sejak awal penciptaan dari Dewa Brahma sendiri. Pada manuantara pertama tatkala alam semesta ini baru tercipta, Tuhan sendiri turun sebagai Indra. Pada saat itu beliau turun dengan nama Yagna (baca Yadnya). Pada jaman itu Tuhan secara langsung memperkenalkan sistem ritual api suci Agnihotra. Sistem ritual ini kemudian diteruskan oleh para brahmana dan Rsi yang Agung untuk tujuan-tujuan yang spesifik Tidak hanya dalam upacara-upacara biasa saja, Agnihotra juga dilakukan demi tujuan-tujuan khusus lain pada masa lampau. Sebagai contoh Raja Dasarata memohon putra dengan menyelenggarakan korban suci Agnihotra. Pada saat itu dari dalam api suci Dewa Agni sendiri muncul memberikan sekendi nasi manis kepada Maharaja, untuk dibagikan kepada ketiga istrinya agar hamil. Dalam kisah sejarah weda yang lain, Rsi Tuastri, seorang brahmana agung menyelenggarakan korban suci agnihotra untuk membalas kematian putranya yakni Wiswarupa yang dipenggal oleh Dewa Indra. Karena salah mengucapkan satu suku kata mantra saja, dari api suci tersebut keluarlah makhluk kuat yang menyeramkan yang dikenal sebagai Ritrasura. Maharaja Pancala pada jaman Dwapara Yuga, juga memohon putra melalui korban suci Agnihotra. Dari apisuci tersebut keluarlah dua anak yaitu Drupada dan Drupadi. Maharaja Pururawa seorang raja pada jaman Treta Yuga, dari dinasti Candra Wamsa menyelenggarakan upacara suci Agnihotra agar bisa naik ke planet-planet surga dan bertemu kekasihnya yakni Uruwasi. Raja Pradiota salah satu keturunan Maharaja Yudistira juga melaksanakan upacara Agnihotra yang sangat besar untuk mengurangi kekuatan kegelapan di awal jaman Kaliyuga.

Tidak hanya dalam sejarah weda, di jaman Nusantara kunopun Upacara Agnihotra terdapat diberbagai peninggalan sejarah, cerita rakyat maupun kesusastraan. Manik Angkeran contohnya, menurut kisah dalam Babad, putra Danghyang Sidimantra ini dilahirkan dari kobaran api suci Upacara Agnihotra atau Homa yang dilakukan oleh ayahnya. Pahlawan legendaris Bali Kuno yang kita kenal sebagai Kebo Iwa, juga lahir dari api yadnya Upacara Agnihotra yang dilakukan oleh kedua orang tuanya yang lama tidak mendapatkan keturunan. Didalam Pura Kehen terdapat peninggalan kuno berupa Kunda Apia tau Altar tempat menyalakan Api Suci. Peninggalan serupa juga dapat ditemukan di desa sembiran, di Pura Gunung Kawi dan tempat-tempat suci kino disekitar Kintamani. Bahkan beberapa prasasti penting jaman Bali Kuno, seperti prasasti Bebetin, menyebutkan dengan jelas bahwa terdapat kuil Dewa Apia tau Hyang Api didekat pantai utara Bali pada abad ke 11 hingga abad ke 12.
Apa sesungguhnya Upacara Agnihotra, secara singkat Agnihotra adalah Upacara Suci Pokok yang termuat dalam Kitab Suci Weda. Dalam Upacara ini, seorang Brahmana atau Pendeta. Yajamana atau Penyelenggara Upacara dan Peserta Upacara mempersembahkan biji-bijian, kacang-kacangan dan minyak gee kedalam api suci disertai dengan pengucapan mantra untuk Ista Dewata yang ingin dipuja. Minyak yang dituangkan dalam Upacara Agnihotra adalah minyak yang khusus diperas dari susu sapi bukan dari bahan-bahan lain apalagi minyak sawit. Dikatakan dalam kitab suci weda, bahwa minyak gee atau minyak samin, disebut sebagai hawi yang adalah makanan bagi para dewa. Makanan bagi para dewa berupa mentega murni , gee, susu, olahan susu, dan kacang-kacangan. Makanan ini disebut sebagai Payasa atau Hawi. Juga disebutkan dalam kitab suci weda, apabila seseorang memuaskan Tuhan Yang Maha Esa dengan Yadnya, maka seluruh dewa yang ada dengan sendirinya terpuaskan. Itulah sebabnya satu-satunya tujuan Yadnya apapun adalah untuk memuaskan Tuhan. Dalam kitab suci weda Bhagawadgita bab 3 disebutkan adanya siklus semesta yang disebut Prawartitam Cakram. Siklus ini sesungguhnya adalah siklus kehidupan di alam semesta yang memungkinkan semua makhluk hidup mendapatkan kesejahteraan. Inti dari siklus ini adalah adanya korban suci Agnihotra. Dari Korban Api Suci, dimana biji-bijian dan minyak gee dituangkan, akan muncul asap yang mujur dalam sifat satwam atau kebaikan. Asap yang membubung ke angkasa ini dapat memurnikan atmosfir dan mengubah sifat awan menjadi satwam. Dari awan-awan satwam yang berkumpul tersebut munculah titik-titik hujan dengan air yang berkualitas satwika. Titik-titik hujan yang bersifat satwika ini adalah kendaraan bagi roh atau atma yang akan lahir ke bumi melalui sentuhan dengan tanah atau pertiwi. Disinilah bukti nyata adanya kontak antara elemen purusa dan predana di alam ini sebagaimana yang kita yakini sebagai umat Hindu. Roh-roh atau atma yang ingin mendapatkan badan kasar melalui kelahiran kembali di dunia ini turun dengan mengendarai butiran-butiran air hujan. Apabila awan-awan hujan disucikan dengan asap korban suci Upacara Agnihotra kualitas roh atau atma yang turun akan bersifat satwam. Dari atma yang dibungkus sifat satwam ini akan muncul berbagaimacam makhluk hidup berkualitas baik. Karena itulah kita sering mengaitkan hujan dengan kesuburan. Dari tanah yang subur akan tumbuh tanaman pangan yang subur. Roh-roh yang jatuh melalui hujan itu berkembang dan masuk menjadi biji-bijian yang dapat tumbuh. Itulah sebabnya orang dapat menumbuhkan biji menjadi individu baru karena didalam biji tersebut terkandung atma atau roh. Apabila biji-bijian atau kacang-kacangan ini dimakan oleh makhluk hidup heterotroph, atma didalam biji-bijian tersebut akan ditransfer kedalam badannya dan menjadi benih untuk menghasilkan keturunan yang baru. Apabila seseorang makan biji-bijian yang satwika maka tubuhnya dan juga keturunannya akan menjadi satwika. Ini yang menjadi alas an mengapa umat Hindu selalu mempersembahkan makanan kepada Tuhan sebelum dimakan. Makanan yang suci, akan menyebabkan munculnya generasi-generasi yang suci. Dari generasi manusia yang suci dan religious, yadnya akan terus dilakukan lagi sehingga siklus yadnya akan berputar terus menerus sepanjang jaman. Karena itulah siapapun yang tidak ikut memutar siklus yadnya, dinyatakan hidup dalam dosa, karena dia tidak mengambil kesempatan untuk menyucikan diri melalui korban suci dan kedermawanan. Dengan demikian melaksanakan korban suci dan memberikan sumbangan kepada orang suci adalah salah satu kewajiban manusia, terutama bagi mereka yang berumah tangga.
Berdasarkan uraian tersebut, kita sedikit tidaknya memahami bahwa Upacara Agnihotra adalah ritual sacral dalam Hindu. Permasalahan bahwa sebagian orang menganggapnya asing adalah karena Upacara sacral ini memang telah lama menghilang terutama di Nusdantara. Hal ini dikarenakan situasi politik yang tidak menentu sejak akhir keruntuhan Majapahit dan memudarnya sistem aguron-guron, atau garis perguruan rohani, sistem weda ini makin dilupakan. Sekarang ini sebagian orang kaget dengan munculnya Sampradaya, Agnihotra dan lagu-lagu Rohani Bhajan, tetapi sesungguhnya itu adalah budaya lama yang rupa-rupanya kembali hidup setelah 500 tahun mati suri. Upacara Agnihotrapun telah lama mati suri dalam perjalanan Hindu di Nusantara. Ada baiknya apabila kita mencoba mempelajari dan memahaminya, sebagai salah satu warisan peradaban Hindu dari jaman leluhur kita yang telah lampau. Karena Agnihotra melibatkan api suci, mantra suci, persembahan gee, biji-bijian dan kacang-kacangan maka Upacara Agnihotra tidak sama dengan pasepan atau dupa. Dengan kata lain upacara ini sesungguhnya tidak bisa digantikan dengan asap saja. Barangkali ada suatu peristiwa di masa lalu yang menjadi alas an mengapa Upacara Agnihotra dilupakan. Konon karena peristiwa kebakaran yang terjadi di Istana Gelgel, tatkala Upacara Agnihotra sedang berlangsung. Itu barangkali yang menjadi sebab mengapa Agnihotra tidak begitu dikenal di Nusantara. Upacara Agnihotra sesungguhnya bukan hal yang baru, apalagi bagi leluhur umat Hindu di Nusantara. Dalam rontal Rogha Sanghara Bhumi disebutkan bahwa upacara Homa atau atau api suci harus dilakukan apabila terjadi bencana besar atau wabah disebuah negara. Upacara Api Suci Agnihotra harus dilakukan apabila ada tanda-tanda yang tidak mujur disuatu desa. Demikianlah para leluhur Nusantara telah mencatat Upacara Agnihotra sebagai upacara sacral yang suci. Upacara Agnihotra bukan hal yang baru, namun kebudayaan dan tradisi Hindu lama yang dibangkitkan kembali sebagai salah satu tanda Kebangkitan Hindu. Sebelum kita menuduh suatu ritual adalah sesat, atau tidak sesuai dengan pakem, kita hendaknya mempelajarinya terlebih dahulu. Paling tidak ini akan menyelamatkan kita pada gagal paham yang parah dan berujung pada perpecahan internal umat beragama. Walau nampaknya sederhana ternyata Upacara Agnihotra menyimpan siklus alam yang ajaib. Inilah Bukti betapa ilmiahnya pengetahuan weda dan betapa luasnya pengetahuan rohani. Mari kita merenung daripada mempermasalahkan tatacara persembahyangan atau upacara. Kita hendaknya mempelajari lebih dalam tentang apa yang kita yakini, termasuk juga belajar memahami apa yang orang lain yakini.