Selasa, 13 Juni 2023

Rerainan Hindu berdasarkan pawukon/wuku




 Rerainan berarti hari-hari suci / hari yang dianggap suci oleh umat Hindu. Umumnya yang berlaku di jagat ini adalah hari-hari raya itu adalah merupakan peringatan dari pelaksanaan keagamaan, saat yang baik itulah umat Hindu mengadakan persembahan kehadapan Hyang Widhi dan semua manifestasiNya.Diantara hari raya keagamaan Hindu ada yang namanya hari raya/rerainan yang datangnya dihitung berdasarkan pawukon/wuku, hampir ke tiga puluh wuku yang ada memiliki hari baik yang diyakini umat Hindu sebagai hari bagus untuk melaksanakan yadnya. Berikut adalah tabel  hari raya berdasarkan pawukon/wuku ;


No
Wuku
Sapta Wara
Panca wara
Nama Hari Raya
1
Sinta
Redite
Paing
Banyu Pinaruh


Soma
Pon
Soma Ribek


Anggara
Wage
Sabuh Mas


Buda
Kliwon
Pagerwesi
2
Landep
Saniscara
Kliwon
Tumpek Landep
3
Ukir
Redite
Umanis
Persembahan Bhatara Guru


Buda
Wage
Buda Cemeng Ukir
4
Kulantir
Anggara
Kliwon
Anggara kasih Kulantir
5
Tolu
-
-
-
6
Gumbreg
Buda
Kliwon
Buda Kliwon Gumbreg
7
Wariga
Saniscara
Kliwon
Tumpek pengatag/bubuh/pengarah
8
Warigadean
Buda
Wage
Buda Cemeng Warigadean
9
Julungwangi
Anggara
Kliwon
Anggarakasih Julungwangi
10
Sungsang
Wraspati
Wage
Sugihan Jawa/ parerebuan


Sukra
Kliwon
Sugihan Bali
11
Dungulan
Soma
Pon
Pengejukan Galungan


Anggara
Wage
Penampahan Galungan


Buda
Kliwon
Galungan


Saniscara
Pon
Pemaridan Guru
12
Kuningan
Redite
Wage
Ulihan


Soma
Kliwon
Pemacekan Agung


Sukra
Wage
Penampahan Kuningan


Saniscara
Kliwon
Kuningan (Tumpek Kuningan)
13
Langkir
Buda
Wage
Buda Cemeng Langkir
14
Medangsia
Anggara
Kliwon
Anggarakasih Medangsia
15
Pujut
-
-
-
16
Pahang
Buda
Kliwon
Buda Kliwon Pahang/pegat uwakan
17
Krulut
Saniscara
Kliwon
Tumpek Klurut
18
Merakih
Buda
Wage
Buda Cemeng Merakih
19
Tambir
Anggara
Kliwon
Anggarakasih Tambir
20
Medangkungan
-
-
-
21
Matal
Buda
Kliwon
Buda Kliwon Matal
22
Uye
Saniscara
Kliwon
Tumpek Kandang/andang/uye
23
Menail
Buda
Wage
Buda Cemeng Menail
24
Prangbakat
Anggara
Kliwon
Anggara kasih Prangbakat
25
Bala
-
-
-
26
Ugu
Buda
Kliwon
Buda Kliwon Ugu
27
Wayang
Saniscara
Kliwon
Tumpek Wayang/ tumpek ringgit
28
Klawu
Buda
Wge
Buda Cemeng Klawu


Sukra
Umanis
Wedalan Bhatara Sri
29
Dukut
Anggara
Kliwon
Anggara kasih Dukut
30
Watugunung
Saniscara
Umanis
Hari Raya Saraswati

Makna dan Filosofi Tumpek Landep







Bali merupakan sebuah pulau yang memiliki seribu pura, tradisi dan budaya yang saling mengisi dan melengkapi dengan ajaran agama Hindu. Bagi warga Bali yang mayoritas Hindu memiliki sebuah tradisi yang dinamakan Tumpek Landep. Tumpek landep merupakan hari raya pemujaan kepada Ida Bhatara Sang Hyang Siwa Pasupati sebagai dewanya taksu. Hari raya Tumpek Landep sendiri merupakan rentetan setelah hari raya saraswati, dimana pada hari ini umat hindu melakukan puji syukur atas berkah yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati.

Makna Tumpek Landep

Hari raya tumpek landep jatuh setiap Saniscara/hari sabtu Kliwon wuku Landep, sehingga secara perhitungan kalender Bali, hari raya ini dirayakan setiap 210 hari sekali. Kata Tumpek sendiri berasal dari “Metu” yang artinya bertemu, dan “Mpek” yang artinya akhir, jadi Tumpek merupakan hari pertemuan wewaran Panca Wara dan Sapta Wara, dimana Panca Wara diakhiri oleh Kliwon dan Sapta Wara diakhiri oleh Saniscara (hari Sabtu). Sedangkan Landep sendiri berarti tajam atau runcing, maka dari ini diupacarai juga beberapa pusaka yang memiliki sifat tajam seperti keris.

Dewasa kini, senjata lancip itu sudah meluas pengertiannya. Tak hanya keris dan tombak, juga benda-benda hasil cipta karsa manusia yang dapat mempermudah hidup seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer dan sebagainya. Benda-benda itulah yang diupacarai. Akan tetapi ada satu hal yang tidak boleh disalah artikan, dalam konteks itu umat bukanlah menyembah benda-benda teknologi, tetapi umat memohon kepada Ida Sang Hyang Widi dalam manifestasinya sebagai Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kekuatan pada benda tersebut sehingga betul-betul mempermudah hidup.




Filosofi Tumpek Landep

Dalam Tumpek Landep, Landep yang diartikan tajam mempunyai filosofi yang berarti bahwa Tumpek Landep merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran). Dengan demikian umat selalu berperilaku berdasarkan kejernihan pikiran dengan landasan nilai – nilai agama. Dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

Tumpek landep merupakan tonggak untuk mulat sarira / introspeksi diri untuk memperbaiki karakter agar sesuai dengan ajaran – ajaran agama. Pada rerainan tumpek landep hendaknya umat melakukan persembahyangan di sanggah/ merajan serta di pura, memohon wara nugraha kepada Ida Bhatara Sang Hyang Siwa Pasupati agar diberi ketajaman pikiran sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Pada rerainan tumpek landep juga dilakukan pembersihan dan penyucian pusaka warisan leluhur.


Menurut Dharma Wacana dari Ida Pedanda Gede Made Gunung, Jika menilik pada makna rerainan, sesungguhnya upacara terhadap motor, mobil ataupun peralatan kerja lebih tepat dilaksanakan pada Tumpek Kuningan, yaitu sebagai ucapan syukur atas anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas sarana dan prasara sehingga memudahkan aktifitas umat, serta memohon agar perabotan tersebut dapat berfungsi dengan baik dan tidak mencelakakan.

Jadi bisa disimpulkan menurut pendapat kami bahwa Pada Rahina Tumpek Landep hal yang paling utama yang tidak boleh dilupakan ialah hendaknya kita selalu ingat untuk mengasah pikiran (manah), budhi dan citta. Dengan manah, budhi dan citta yang tajam diharapkan kita dapat memerangi kebodohan, kegelapan dan kesengsaraan serta mampu menekan perilaku buthakala yang ada di dalam diri. ( Sumber : www.inputbali.com )


PENATURAN KITAB SUCI HINDU KAHARINGAN

 



Oleh : Ngurah Nala

Universitas Hindu Indonesia

Agama Hindu sudah berusia ribuan tahun. Diperkirakan telah ada sejak 5 ribu tahun yang lalu. Agama ini mula-mula dianut oleh masyarakat India di sepanjang sungai Sindu. Kemudian ajaranNya menyebar ke seluruh pelosok dunia. Sebagai sebuah agama memiliki pula kitab suci yang bernama Weda. Kitab suci Weda ini terbagi atas dua kelompok besar, yakni kitab Weda, Sruti dan Weda Smerti. Kitab Weda Sruti terbagi lagi atas 3 kelompok, yakni kelompok Kitab Suci Mantra, Brahmana, dan Upanishad. Yang termasuk di dalam kelompok kitab Mantra adalah Kitab Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda dan Atharwa Weda. Keempatnya sering disebut sebagai kitab suci Catur Weda. Kitab Brabmana terbagi lagi atas kelompok kitab Aitareya, Satapatha, Tandya, dan Gopatha. Sedangkan kitab Upanishad terdiri atas 92 buah kitab. Dan kitab Weda Smerti berkembang menjadi kitab suci Wedangga (Siksa, Wyakarana, Chanda, nirukta, Jyotisa, Kalpa), kitab Upaweda (Itihasa, Purana, Ayurweda, Arthasastra, dll) dan kitab Agama (Brahmanisme, Siwaisme, Waisnawaisme, Saktiisme, dll). Kemudian muncul berbagai kitab Nibanda dengan bermacam penafsiran yang ditulis oleh para Mahareshi, Reshi dan cendekiawan Hindu. Kelompok kitab Nibanda ini antara lain adalah kitab Sarasamuscaya, Purwamimamda, Brahmasutra,Wedantasutra, Reinterpretasi dan revitalisasi selalu dilakukan terhadap kitab suci Weda ini. Oleh sebab itu orang luar sering keliru dalam menilai perkembangan serta pelaksanaan agama Hindu di berbagai negara atau daerah setempat. Di Indonesia muncul istilah Hindu Bali, Hindu Tengger, Hindu Batak, Hindu Kaharingan, Hindu Toraja, dan lain-lainnya. Kemunculannya ini disebabkan pelaksanaan ajaranNya berbeda-beda sesuai dengan daerah (desa), zaman (kala), dan manusia atau lingkungannya (patra). Demikian pula dalam penyebutan Tuhan, mempunyai kekhasan/spesifikasi masing-masing, mempergunakan bahasanva sendiri. Misalnya Ran ying Hatalla (Kaharingan), atau Hyang Widhi (Bali, Jawa) adalah sebutan untuk Tuhan. Dengan cara penyebutan seperti ini mereka lebih merasakan keberadaan Tuhan di dalam hati sanubarinya sendiri dibandingkan dengan menyembah Tuhan berdasarkan bahasa Weda, seperti Brahman misalnya.
Umat Hindu Kaharingan suku Dayak di Kalimantan Tengah memiliki pula buku suci sebagai pegangan di dalam melakukan ajaran agama Hindu. Buku suci penuntunnya, mereka sebut Kitab Suci Panaturan. Di dalam kitab suci ini disebutkan bahwa ajaran ketuhanan mereka menganut paham theisme adwaita. Artinya percaya kepada Tuhan Yang Maha Tunggal, tetapi menampakkan Diri dalam berbagai wujud. Tafsir ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 Kitab Suci Panaturan tentang Tamparan taluh handini (Awal segala kejadian). Pa Se 3 dan 6 tertulis sebagai berikut:
Aku tuh Ran ying Hatalla je paling kuasa, tamparan taluh handiai tuntang kahapus.
Kalawa jetuh iye te kalawa pambelum ije inanggareku kangguranan ara hintan kaharingan (Seloka/Ayat 3).
Aku inilah Ranying Hatalla Yang Maha Kuasa, Awal dan Akhir segala kejadian dan cahaya kemuliaanKu yang terang bersih dan suci adalah Cahaya yang kekal abadi dan
Aku Sebut Ia Hintan Kaharingan.
Ranying Hatalla nuntun pahaliai tingang nureng Nyababeneng tanduk. Handung kalawa jet te puna pahalingei biti, ha yak iye mananggare gangguranan arae bagare “Jata Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan Mijen Papan Malambang Bulau Marung Laut Bapantan Hintan” (Seloka/Ayat 6).
Ranying Hatalla memperlihatkan wujud itu dengan sungguh-sungguh bahwa itu adalah bayanganNya sendiri dan Beliau memberikan nama kepada bayangan tersebut “Jata Balawang Bulu Kanaruhan Bapager Hintan Mijen Papan Malambung Bulau Marung Laut Bapantan Hintan”.
Isi dan kitab suci Panaturan tidaklah jauh berbeda dengan isi kitab atau lontar bercorak Hindu yang ada di Bali, atau di tempat lainnya. Terdapat pula di dalamnya petunjuk tentang pelaksanaan tata cara basarah (persembahyangan), melakukan upacara dan upakara Panca Yadnya. Misalnya dalam upacara Manusa Yadnya, Nahunan adalah upacara kelahiran yang terdiri atas upacara Paleteng (hamil 5 bulan), Nyaki Ehet (hamil 7 bulan), Mangkang Kahang Badak (hamil 9 bulan), dan upacara Nahunan pemberian nama anak. Ada pula upacara perkawinan yang mereka sebut Lunuk Hakaja Pating. Demikian pula dengan upacara lainnya dalam Dewa Yadnya, Reshi Yadnya, Pitra Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Seluruh pelaksanaan yadnya tersebut dilakukan berdasarkan atas petunjuk yang ada di dalam kitab suci Panaturan.
Para dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang (STAHN-TP; Tampung = perkumpulan, Penyang = semangat; semangat bersatu) Palangkaraya Kalimantan Tengah telah menyusun mata kuliah Acara Agama Hindu Kaharingan yang dipergunakan sebagai pegangan dasar pada waktu mereka mengajar mata kuliah Acara Agama Hindu di sekolahnya. Ketua STAHN-TP, Drs. Midday, MM, yang semula dosen di Universitas Palangkaraya, sebagai warga suku Dayak Kaharingan, sangat peduli akan masalah peningkatan kualitas akademik warganya, khususnya dalam pendidikan agama Hindu.
Salah seorang alumninya, Mariatie, SAg, seorang wanita Dayak Kaharingan yang energik, sekarang dosen di almamater nya, ditugaskan sebagai koordinator untuk menyusun buku Pedoman Acara Agama Hindu Kaharingan. Buku pedoman ini sebagian besar bersumber dari kitab suci Panaturan, sebuah kitab suci yang telah dimiliki oleh warga Dayak Kaharingan sejak jaman dahulu. Kitab suci inilah yang dipergunakan sebagai penuntun dan pedoman oleh warga suku Dayak Kaharingan oleh para dosen STAHN Tampung Penyang diharapkan tidak hanya warga Dayak Kaharingan, khususnya para mahasiswa, akan lebih memahami tentang tattwa, etika dan upacara serta upakara agama Hindu yang berkembang di suku Dayak Kaharingan, tetapi juga masyarakat lainnya di Nusantara ini, bahkan juga orang asing yang ingin tahu tentang Hindu Kaharingan.

Source: www.parisada.org

Rabu, 07 Juni 2023

Banten adalah tata cara yadnya yang berakar pada Tantra

 


Banten adalah tata cara yadnya yang berasal dari jaman dahulu dan berakar pada Tantra [kekuatan dalam diri]. Tata cara yadnya dibawa oleh Maharsi Agastya dan Maharsi Markandeya, disesuaikan dengan keadaan dan situasi lokal. Seiringnya waktu banten ini terus dikembangkan oleh orang-orang suci lokal seperti Mpu Sangkulputih, Mpu Jiwaya, Danghyang Nirartha, dll.
Yantra [simbolis] mewujudkan simbol-simbol suci misalnya ke alam semesta, kesadaran, para dewa-dewi, dll. Selaras dengan isi Lontar Yadnya Parakerti bisa disimpulkan bahwa banten adalah simbol mistik yang berfungsi sebagai kanal [saluran] penghubung dengan para dewa-dewi dan Brahman. Simbolis banten diwujudkan dalam tata letak perpaduan warna, bunga-bunga, biji-bijian dan unsur lainnya dalam banten.
Banten merupakan mantra yang diwujudkan dalam bentuk fisik, tujuannya agar lebih kuat sehingga apa yang diharapkan dapat lebih mudah terwujud. Seperti di salah satu upakara banten yang termuat yaitu:
– Sesayut Pageh Tuwuh, perwujudan mantra:
"Om taccaksura dewahitam sukram uccarat, pasyema saradah satam, jiwema saradah satam"
[Brahman dan para dewa-dewi, semoga sepanjang hidup hamba selalu melihat mata-Mu yang bersinar].

– Daksina, perwujudan Gayatri Maha Mantram:
"Om bhur bwah swah, tat sawitur warenyam, bhargo dewasya dimahi, dhiyo yo nah pracodayat"
[Kami bermeditasi kepada cahaya realitas maha suci, yang merupakan dasar dari 3 macam alam semesta. Semoga pikiran kami dicerahkan].
- Byakala Dhurmanggala, perwujudan mantra:
"Om wiswani dewa sawitar, duritani para suwa, yad bhadram tanna a suwa"
[Brahman sebagai cahaya realitas maha suci, jauhkanlah segala energi jahat dan berkahi kami dengan yang terbaik].
- Sesayut-canang pengraos, perwujudan mantra:
"Om a no bhadrah krattawo yantu wiswatah"
[Semoga pikiran yang mulia datang dari segala arah].
- Sesayut Pageh Urip, perwujudan Maha Mretyunjaya Mantra:
"Aum tryambakam yajamahe, sugandhim pusti-wardhanam, urwarukam iwa bandhanan, mrtyor muksiya mamrtat"
[Kami memuja Dewa Siwa, yang penuh welas asih, yang wanginya memelihara semua mahluk. Semoga kami dibebaskan dari alam kematian menuju pembebasan. Laksana ketimun masak yang sangat mudah melepaskan diri dari tangkai yang mengikatnya]..




CARU SUDAH ADA PADA ZAMAN MAHABHARATA

 

caru artinya cantik / harmonis. Produk caru bukan ada di Bali tetapi sudah ada pada zaman Mahabharata.
Caru diturunkan oleh Basudeva di Dvaraka bersama istrinya Rukmini. Ada delapan Caru yang diturunkan oleh Basudeva di kenal dengan Asta Caru.
1. Carudesna
2. Carudeha
3. Sucaru
4. Carugupta
5. Badracaru
6. Carucandra
7. Vicaru
8. Caru

Ke delapan caru ini setiap melayani Tuhan dan Bila Tuhan bahagia maka kedelapan Caru ini bahagia.
Melayani manusia adalah melayani tuhan dan itu adalah keberhasilan sebuah Caru.
Sebagai penyembah tuhan di bali, hormatilah caru di bali, walaupun wujudnya caru paling kecil dari asta caru.
Caru di bali dan dimahabharata sangat beda. Di bali pasti pakai siap atau ayam yang terkecil eka sata, satu ayam sampai tingkat tinggi pakai kebo. Di zaman mahabharata caru adalah melayani tuhan dan saktinya. Hanya melayani tuhan dan saktinya, ini sebagai bukti keberhasilan sebuah caru

Beberapa mantra Weda, untuk menyucikan makanan.

 



Dan setelah duduk rapi, sebelum makan wajib mengucapkan beberapa mantra Weda, untuk menyucikan makanan.
Kemudian meneguk air sedikit, dimana menurut ilmu pengetahuan merupakan pengobatan sangat bermanfaat,
Sebelum mengambil makanan.
Kemudian makanan di persembahkan kepada *lima prana* dan Brahmana yg bersemayam di relung hati,* dengan pengulangan mantra.
Om Pranaya swaha, Apanaya Swaha, Wyanaya Swaha, Udanaya Swaha, Samanaya Swaha,* dan diahkiri dengan *Bhramane Swaha*.
Perhatikan benar benar pentingnya persembahan ini.
*Sang diri Bathin yang ilahi*, keberadaan yang sesungguhnya, tidak makan makanan tersebut, karena ia tak terpengaruh oleh rasa lapar dan haus.
Panca prana-lah yang mengambil makanan tersebut.

Jadi seseorang *Hindu* juga mengubah pengembalian makanan menjadi kegiatan *Yoga* atau upacara kurban.
Seseorang hendaknya setiap hari mempersembahkan makanan yg ia persiapkan kepada Tuhan ( *Hyang Widhi* ) sebelum ia sendiri memakannya dan mengatakan. *Twadiyam Wastu Gowinda Tubhyamewa Samarpaye* artinya;
Hamba mempersembahkan makanan ini yang hanya menjadi milik-Mu saja.*Oh Gowinda*
Dan kebiasaan orang orang Hindu adalah bhawa mereka selalu memberi makan para tamu yang mengunjungi rumahnya sebelum mereka sendiri mengambil makanan.
Karna Tamu merupakan wakil dari Tuhan, krana *Sruti telah menyatakannya : Atithi Dewo Bhawa*