Minggu, 02 Juli 2023

Kerauhan

 


Berasal dari akar kata "rauh" yang bermakna "datang, masuk", sehingga kerauhan padanannya kemasukan sesuatu... potensi roh halus, penunggu gaib, atau hal lainnya, tapi mungkin juga ledakan emosi terpendam----goyahnya kesadaran.
Bila dilihat dari tradisi, kerauhan itu dapat dilihat dari beberapa kreteria, seperti menyebutkan siapa dirinya; adanya permintaan; adanya bahasa khusus yang digunakan; gerak-tingkah lakunya; porem wajahnya; dan latar belakang kehidupannya.
Kalau merujuk ajaran "spiritual" pengiwa-panengen, hal ini agak abu-abu----klise----karena ada dalam ranah keyakinan yang berpotensi menabrak logika tatwa dan usadha.
Secara tattwa hingga kekinian, mulai dari weda yang menyebutkan tubuh ini stana tuhan (para dewata), yang juga terurai dalam ajaran Dasa Aksara dan Kanda Pat, belum lagi tattwa lainnya, akan menimbulkan "pertanyaan kritis" pada fenomena kerauhan ini...
Bila kerauhan dewa, dewa"baru" apalagi yang masuk dan dominan ditubuh manusia, padahal hampir semua dewa sudah berstana didalam tubuhnya ..pikirkan??
Bila kerauhan leluhur, mahkluk astral---gamang, demit, jin, setan dll termasuk roh halus----kok bisa masuk? Dikala para dewa siaga dengan senjata astralnya di dalam tubuh ini.. pikirkan ??
Kerauhan butha kala? Lah kok bisa? Sang Kanda Pat itu kan penguasanya..?!
Kalau bicara kesucian, belum ada manusia hidup yang suci, badan kita, pikiran kita bahkan ucapan dan tindakan kita tak luput dari hal yang kotor, itulah sebabnya kita berupaya menyucikan diri, baik lewat karma, ritual atau hal lainnya...

Potensi terbesarnya adalah #psikis, pendaman #emosi yang membuat kesadaran diri goyah... lupa diri, sehingga menjadi wajar ada sesuatu diluar kontrol menguasai dirinya.. Terkadang sesuatu luapan emosi berlebih bakal berdampak efek domino, Memacu adrenaline orang-orang disekitarnya yang memiliki "muatan negatif----pendaman emosi" berlebih untuk memacu dirinya untuk trance. Seperti sesuatu zat yg mudah terbakar terpendam puluhan tahun terus ada pemantiknya----makaTerjadilah Kerauhan Massal...
Namun, potensi kemujizatan akan selalu ada... disinilah posisi #Mintonin diperlukan.. Minimal 3 hal yang digunakan untuk mengujinya...
1. Yang gaib tidak terbakar oleh api, jadi apapun yang melekat tidak terbakar, cara mengujinya ya dengan menyulutkan sebatang dupa atau rokok ke pakiannya, apabila tidak terbakar, maka lulus uji api ini. Kenapa tidak membakar badannya? Ya kita wajib manusiawi lah, kasian kalau orangnya tidak kerauhan bisa melepuh kulitnya.
2. Yang gaib tidak basah oleh air, sehingga cara mengujinya dengan memercikan tirtha, apabila pakian dan tubuhnya tidak basah seperti daun talas, maka dianggap lolos uji air ini.
3. Inti dari kerauhan adalah mematerikan kemujizatan. Jadi apabila apa yang diminta sudah dijanjikan akan dipenuhi---akuagem----harusnya akan ada pembuktian kebenaran dari kemahakuasaannya.
Bila hal itu tidak terjadi, abaikan saja..
tidak perlu memberi hukuman apabila salah satu alat uji itu tidak lolos...
Namun...
sarankan kepada dirinya (orang yang merasa kerauhan) atau keluarganya untuk mengantarkan dia terapi psikis, bisa ke psikiater, hypno atau praktisi spiritual.. orang-orang ini yang berpotensi "ngeletehin", sehingga tanggung jawab kita bersama untuk menjaga mereka.
Rahayu😇🙏
Via : anggawasa


Sesananing Aji Pangeleakan

 


an "rasa", dengan jalan nyungsang (membalikkan rasa).
Sedangkan proses mendapatkan (menjadi) leak ada 4:
1) ada karena membeli "barang", baik membeli sesabukan, bebuntilan, cincin, bèkel; dimana barang tersebut dibangun dengan pemurtian "aksara" yang dituangkan didalam barang tersebut. Seiring berjalannya waktu, disaat "yasa" dari barang tersebut sudah terpenuhi puncaknya (nadi-tasak), menyebabkan pemakai "alat tesebut" bisa "ngeleak" tanpa diketahuinya. Bagi yang kritis "nglitik" dengan perjalanan kehidupan yang dijalani, mereka akan merasakan hal-hal mistis diluar kontrolnya.
2) Belajar pemurtian (tanpa penugran), yang diawali dengan belajar kawisesan, kanda pat, dasa aksara dll..
3) Leak paosan.. disebabkan oleh tetuanya yang memberikan kekuatan, diturunkan lewat media ludah (poes)
4) Leak penugran.. murni anugrah sebagai pahala dari bhakti-tapa- yoga-samadi yang diritualkan, dan/atau rekomendasi dari guru (mekel leak)
Berdasarkan 4 proses tersebut, setiap orang berpotensi bisa ngeleak.. tidak hanya orang awam, para balian, bahkan "orang disucikan" pun berpotensi ngeleak.
Apalah semua negatif...?
Tentu tidak..
Baik/buruk sebuah keilmuan bukan berdasarkan ilmunya, namun murni dari tabiat (pribadi) praktisinya..
Lalu, bagaimana ceritanya, kok orang bisa "disakiti" oleh praktisi leak..?
Sebenarnya, bagi penekun aji leak, sangat teramat sulit "menyerang" menyakiti seseorang (orang lain).

Butuh proses panjang, karena proses menggunakan keilmuan "milik bethari" tidaklah mudah. Menggunakan milik beliau, tentu juga atas seijin pemiliknya. Dengan kata lain, praktisi akan melalukan permohonan dahulu untuk menggunakan keilmuannya. Dasar dari permohonan tersebut adalah "hukuman" kepada target (orang yang akan diserang) atas kesalahannya kepada praktisi. Apabila dikabulkan, barulah keilmuan tersebut boleh dipergunakan.
Tahap kedua adalah memohon ijin kepada hyang guru si target, kemudian pengihang pekarangannya, dilanjutkan seijin peguasa dapur tempat tinggal si target. Salah satu tidak mengijinkan, maka serangan tidak akan dilakukan secara efektif.
Tahap ketiga, setelah tahap sebelumnya terpenuhi, adalah menyelidiki "otonan" si target. Caranya sang praktisi akan mulai memasang kawisesannya guna mendeteksi otonannya. Dengan mengetahui otonan si target, maka akan ditemukan hari terlemah dari si target (dewasa ayu menyerang target).
Itulah 3 tahap guna menyakiti/menyerang seseorang. Ini bukan perkara mudah seperti gosip oknum balian abal-abal itu. Ini adalah penuh proses yang membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Inilah ciri khas aji pangleakan.
Jadi bila ingin selamat, jagalah harmonisasi anda dengan bethari, dengan hyang guru, pangijeng karang, dapur lewat aci yadnya, disamping harmonisasi dengan sesama manusia. Hanya hal itu yang dapat meminimalisir adanya masalah dengan para praktisi tantra.
Ada satu japa yang lumayan ampuh menentralisir hal-hal negatif, terkait topik ini.. silahkan rafalkan didepan kemulan setelah melakukan persembahyangan "Ong butha Sarwa butha pada bungkem". Power mantra ini cukup ampuh memproteksi diri selama sehari, sehingga butuh ritual rutin dan tekun untuk menghalau masuknya praktisi leak yang hendak memohon ijin mengeksekusi diri kita. Semoga bermanfaat.
Rah ayu 🙏
Via : anggawasa
Gamabali_sesanawongbali


Linggih ngaran lingga, lingga ngaran pancer’

 

Aksara suci Ang, Ung, Mang menjadi salah satu pola dasar perwujudan situs leluhur Bali dimasa lampau. Hal ini menjadi hasil dari temuan saat kelas budaya dan pendataan turun kelapangan yang dilaksanakan oleh tim situs dan ritus kuno leluhur Bali Yayasan BPJ (Yayasan Bakti Pertiwi Jati).

Dalam pendataan langsung di berbagai lokasi tim YBPJ selalu menemukan keselarasan pola dasar tersebut antara wacana teks tua berupa naskah kuno dengan situs – situs kuno di Bali. Dari kajian – kajian yang dilakukan misalnya di Pura Desa Peguyangan, Pura Puseh Peguyangan, serta di Pura Dalem Pemanis Penatih, Pura Dalem Tembau di Denpasar Timur, Dalem Tungkub Khayangan Sakti Kesiman, Pura Dalem Penataran Tangeb, Pura Kentel Gumi Kapal, Merajan Agung Puri Nyalian Klungkung, Pura Dalem Segara Madu Buleleng, hasilnya pola dasar tersebut selalu terkonfirmasi kembali, yaitu, jika aksara Ang, Ung, Mang menjadi salah satu pola dasar perwujudan situs-situs leluhur di Bali. Namun penerapan pola dasar ini selalu mengikuti batasan wilayah rohani dan konten dari alam desa dan ‘sistem gumi ‘ dari leluhur.

Implementasi linggih dari suatu wujud simbolik entitas rohani dari tiga aksara suci itu diterjemahkan secara simbolik oleh leluhur di Bali menjadi wujud –wujud lingga berupa pelinggih-pelinggih di Pura. Pelingih dibangun oleh leluhur di Bali bertebaran mengikuti tatanan alam dan desa –desa di Bali.


Pelinggih menjadi wujud sastra pengetahuan leluhur Bali, menjadi ragam jejak peradaban berada di dalam pura. Pura merupakan satu sistem tatanan rohani yang menentukan wujud dari pelinggih apa saja yang diwujudkan yang akan terkoneksi dengan pemangku, pengempon, kerama dan pakeramaan. Membangun pura, pelinggih, telaga suci, beji, bulakan, bedugul, ulun suwi, ulun subak, setra , pempatan, peteluan bale kul-kul, margi agung , pelinggih-pelinggih pertiwi, danu, tukad segara , pohon besar(khusus) semuanya dilakukan leluhur dengan dengan sepat –siku siku yang menjadi ulu dan pola dasar membangun tatanan pekeraman dan tatanan rohani.

Dalam hal khusus ini YBPJ mengenalkan kembali tatanan situs kuno Bali berdasarkan langgam situs dan konteks sastra leluhur yang menjadi dasar dari pada kesatuan teks leluhur serta situs kuno.

Situs kuno Bali memiliki tiga pola dasar dalam perwujudannya. Tiga pola dasar itu mengacu pada tiga tatanan rohani gunung utama di Bali disebut TRI MAHA LINGGA. Leluhur Bali membangun pelinggih, linggih ngaran lingga lingga ngaran pancer . ini menyiratkan jika lingga merupakan representasi dari gunung yang kokoh dengan segala daya keistimewaannya bagi semesta.

Rah ayu mulyaning jagat

Via : yayasan bakti Pertiwi jati
Credit : mangku Made yoga semadi


RITUS GAMA BALI

 


Ritus GAMA BALI yang dilaksanakan berdasarkan SIMA DRESTA dengan HULU PADA yang jelas (benar) memiliki peranan yang sangat penting dalam keharmonisan hidup masyarakat karena melalui ajaran leluhur yang diwariskan sampai sekarang masyarakat akan terus terkoneksi berhubungan dengan Leluhurnya di masa lalu, masa kini dan masa depan.
Situs dan Ritus adalah data primer yang merupakan jejak asli peradaban leluhur dimasa lampau, karena pengetahuan setiap elemen dari Situs dan Ritus adalah kesastraan dari pengetahuan leluhur yang diimplementasikan untuk sebuah tujuan. Situs merupakan estafet pengetahuan yang dititipkan leluhur pada generasinya, sedangkan Ritus merupakan ritual yang dilaksanakan terkait dengan keberadaan situs tersebut. Leluhur menjabarkan esensi keyakinan masyarakat Gama Bali yang kemudian terpola di dalam kebudayaan, adat tradisi dan ajaran agama yang dapat dilihat dari keberadaan ritus lahir, hidup dan mati.
Situs dan Ritus saling melengkapi, keberadaan situs bisa dilihat dari ritusnya begitu juga sebaliknya ritus bisa menunjukan situs. Melalui situs dan ritus, leluhur telah menanamkan nilai-nilai yang menjadi akar budaya serta pedoman untuk menjaga keharmonisan semesta beserta isinya demi peradaban Bali.
Rahayu semoga selalu sehat dan bahagia

Dalam kesempatan ini tiang akan menyampaikan tentang POLA RITUS MANUSA dan PITRA YADNYA yang dijabarkan menggunakan landasan Tatwa, Susila dan Upa-acara berdasarkan TATWA AJI SARASWATI dengan membuat Batasan di dalam menguaraikan dengan menggunakan konsep SAPTA UPA-YA;
Upawasa, Uparengga, Upakara, Upasedana, Upadesa, Upa-acara, Upapira
dan penjelasanya ditekankan pada SESANA karena kita selama ini diwariskan RITUS yang berbeda-beda serta menguraikan tentang hal tersebut diatas hanya pada perjalanan ROH (Akasara) dari PUTRA menuju PITRA dengan ritus yang telah diwariskan kepada kita diantaranya; Ritus Kelahiran, Ritus Kehidupan dan Ritus Kematian, seperti disebut di bawah ini:
A. RITUS KELAHIRAN (MANUSA YADNYA)
a. Ritus di dalam kandungan
- Pengerujakan (dilakukan pada saat Ngidam)
- Megedong-gedongan
- Ngelukat Bobotan (Purnama dan wuku wayang setelah ritus megedong-gedongan)
b. Ritus setelah lahir
- Mapag Rare/Baru Lahir (matur piuning di kemulan, membuat upakara dapetan dan Ritus Menanam Ari-Ari)
• Pulang dari Rumah Sakit (opsional)
- Penelahan/Kepus pungsed/Ngerorasin (12 hari)
- Pekambuhan/Tutug Kambuhan/Pacolongan/Bulan Pitung Dina (42 hari)
- Penyambutan/Telung Bulanan (105 hari)
- Pewetonan/Otonan/Nem Bulanan (210)
- Ngempugin (Tumbuh Gigi)
- Telung Oton/Ngangkid ke Segara/Tukad/Danau (ritusnya melepaskan jukung dari klopekan kelapa)
- Ketus Untu (gigi lepas pertama)
Catatan Penting; Mepetik, Tuwun ke tanah dan Upasaksi ke Bale Agung (OPSIONAL) biasanya dilakukan pada saat Ritus Penyambutan, Ritus Pawetonan dan pada saat Ritus Ngangkid
B. RITUS KEHIDUPAN (MANUSA YADNYA)
a. Munggah Daha/Teruna (Menek Kelih)
- Raja Singa (laki-laki)
- Raja Swala (wanita)
b. Asalin Panji
- Metatah (Sangging Undagi)
- Mesangih (Sangging Prabangkara)
- Mepandes ( Sangging Meranggi)
c. Sesana Amet Pinet (meminang/ngelamar)
- Ngerorod/Ngerangkat (pengambilan sesana Patih)
- Memadik (pengambilan sesana Prabu)
- Pepadan (tidak ada amet pinet/sesana Bhujangga)
d. Mesakapan
- Mekala-kalaan/Metanjung Sambuk
e. Pawiwahan/Pesta perkawinan
- Mejaya-jaya
- Resespsi pernikahan
f. Mejauman/Metipat Bantal
- Pewarangan
- Serah terima tanggung jawab orang tua dan prejuru Banjar maupun Desa)
g. Nganten/Neteg Pulu
- Membuat Pulu dengan 4 macam beras (injin, ketan, beras putih dan beras merah)
C. RITUS KEMATIAN (PITRA YADNYA DAN SIWA YADNYA)
a. Atiwa-tiwa
- Pebersihan hidup
- Pebersihan mati
- Ngeringkes/Melelet
b. Sawa Wedana/Ngaben
- Sawa Preteka
- Tandang Mantri
- Kumandang Mantri
- Ngelanus
c. Atma Wedana/Nyekah Kurung
- Ngeroras/Ngangseng (tanpa sekah kurung)
- Memukur (membuat bukur)
- Meligya
- Ngeluwer


Sabtu, 01 Juli 2023

UPACARA MENEK DEHA (RAJASWALA)



Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini bertujuan untuk memohon ke hadapan Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.

Sarana :

Banten pabyakala, banten prayascita, banten dapetan, banten sesayut tabuh rah (bagi wanita), banten sesayut ngraja singa, (bagi laki-laki), banten padebarian.







Waktu Upacara menginjak dewasa (munggah deha) dilaksanakan pada saat putra/putri sudah menginjak dewasa. Peristiwa ini akan terlihat melalui perubahan-perubahan yang nampak pada putra-putri. Misalnya pada anak laki-laki perubahan yang menonjol dapat kita saksikan dari sikap dan suaranya. Pada anak putri mulai ditandai detang bulan (menstruasi) pertama.



Orang tua wajib melaksanakan upacara meningkat dewas (munggah deha) ini. Tempat Upacara dilaksanakan dirumah. Pelaksana Dilakukan oleh pandita / pinandita atau yang tertua di dalam lingkungan keluarga.



Tata cara :

Dalam upacara meningkat dewasa, pertama-tama putra / putri yang diupacarai terlebih dahulu mabyakala dan maprayascita. Setelah itu dilakukan dengan natab sesayut tabuh rah (bagi yang putri), sayut raja singa bagi yang putra.



Ciri-Ciri anak telah meningkat dewasa.

Siklus kehidupan makhluk didunia adalah lahir, hidup dan mati (kembali ke asalnya). Manusia hidup didunia mengalami beberapa fase yaitu, fase anak-anak, fase ini anak dianggap sebagai raja, semua permintaannya dipenuhi. Fase berikutnya adalah pada masa anak meningkat dewasa. Saat ini anak itu tidak lagi dianggap raja, tetapi sebagai teman. Orang tua memberikan nasihat kepada anak-anaknya dan anak itu bisa menolak nasihat orang tuanya bila kondisi dan lingkungannya tidak mendukung, artinya terjadi komunikasi timbal balik atau saling melangkapi. Dan yang terakhir adalah fase tua, disini anak tadi menjadi panutan penerusnya.


Sebagai tanda kedewasaan seseorang adalah suaranya mulai membesar/ berubah/ ngembakin (bahasa Bali) bagi laki-laki dan bagi perempuan pertama kalinya ia mengalami datang bulan. Sejak saat ini seseorang mulai merasakan getar-getar asamara, karena Dewa Asmara mulai menempati lubuk hatinya. Dua perasaan getar-getar ini tidak dibentengi dengan baik akan keluar dari jalur yang sebenarnya.



Perasaan getar-getar asmara itu dibentengi oleh dua jalur yaitu, jalur miskala, membersihkan jiwa anak dengan mengadakan Upacara yang disebut Raja Sewala dan jalur sekala, dengan memberikan wejangan-wejangan yang bermanfaat bagi dirinya.



Upacara Raja Sewala ini sesuai dengan apa yang diungkapkan didalam Agastya Parwa bahwa, disebutkan ada tiga perbuatan yang dapat menuju Surga, yaitu: Tapa (pengendalian), Yadnya (persembahan yang tulus ikhlas) dan Kirti (perbuatan amal kebajikan) Upacara Raja Sewala merupakan Yadnya (persembahan yang tulus ikhlas) yang membuat peluang bagi keluarganya untuk masuk Surga.



Nilai Pendidikan

Upacara Raja Sewala atau meningkat dewasa yang dilakukan oleh umat Hindu adalah merupakan salah satu jenis Upacara Manusa Yadnya yang bertujuan untuk memohon kehadapan Sanghyang Widhi Waca (Tuhan yang maha Esa) dalam menifestasinya sebagai Sang Hyang Semara Ratih, agar orang itu dibimbing, sehingga ia dapat mengendalikan dirinya dalam menghadapi Pancaroba. Dalam masa Pancaroba ini seseorang sangat rentang terhadap godaan-godaan khusunya godaan dari Sad Ripu yaitu: Kroda (sifat marah), Loba (rakus/tamak), Kama (nafsu/keinginan), Moha (kebingungan), Mada (kemabukan), dan Matsarya (rasa iri hati).



Pada Upacara ini juga terselip nilai pendidikan. Anak diberikan wejangan-wejangan yang menyatakan bahwa dirinya telah tumbuh dewasa, apapun yang akan diperbuatnya berikabat juga kepada orang tuanya. Jadi anak itu tidak bebas begitu saja menerjunkan diri dalam pergaulan di masyarakat. Dia harus tahu mana yang pantas untuk dilakukan dan mana yang dilarang. Dalam hal ini anak-anak juga merasa mendapat perhatian dari orang tuanya sehingga menimbulkan rasa lebih hormat kepada orang tuanya.



Melalui Upacara Raja Sewala/meningkat dewasa ini diharapkan seseorang dapat meningkatkan kesucian pribadinya sehingga mampu memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk.



HARI RAYA KURBAN SUCI BAGI UMAT HINDU

 Osadhyah Pasawa Wriksastir, Yancah Pakhanam Praptah, Yajnartham Nidhanam Praaptah, Prapnu Wantyutsritih Punah

Artinya :

Tumbuh-tumbuhan, Pohon-pohonan, Ternak, Burung dan lain-lain, yang telah dipergunakan untuk upacara yajna, akan lahir kembali dalam tingkatan yang lebih tinggi pada kelahiran berikutnya.



Demikian tingginya tingkat Penyucian terhadap Flora dan Fauna yang akan ditimbulkan dari upacara Agama yang dilakukan. Dengan demikian jelaslah bahwa melakukan upacara Agama bukan hanya untuk kebaikan bagi mereka yang menyelenggarakan Upacara, tetapi juga untuk kebaikan bagi Alam Semesta beserta Isinya.


Dalam Manawa Dharmasastra V.39, sebagai berikut:

Yajnartham Pasawa Ristah, Swamewa Sayambhawa, Yajnasya,Bhutyayi Sarwasya, Tasmadyajni Wadhawadhah

Artinya :

Swayambu telah menciptakan hewan-hewan, untuk tujuan upacara –upacara Kurban Suci yang telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi beserta isinya.

Dengan demikian penyembelihan hewan untuk upacara Agama  bukanlah penyembelihan dalam arti yang lumrah, karena tidak berdasarkan kebencian atau kebengisan, melainkan berdasarkan tujuan suci untuk meningkatkan status jiwa dari binatang yang disembelih.


Jika diperhatikan bahwa hidup ini bukan badan, tapi hidup ini adalah jiwa atau Spirit. Dalam upacara  Agama jiwa inilah yang diutamakan untuk diupacarai dan diberikan Mantra Suci.

Upacara yang menggunakan hewan, bagi umat Hindu khususnya di Bali dikenal dengan nama upacara Mapapada. Binatang yang akan dijadikan Kurban sebelumnya diupacarai dengan mengelilingi tempat upacara sebanyak tiga kali.

Mengeliling tempat tiga kali adalah lambang menuju peningkatan ke tempat yang lebih suci. Pendeta mendo’akan dengan mantra-mantra yang khusus, agar jiwa binatang yang diupacarai tersebut kelak menjelma menjadi mahluk  hidup yang lebih mulia.




SANGGAH WARGA



PURA KELUARGA ( SANGGAH WARGA )


Pura Keluarga ialah Pura yang bersifat khusus, untuk keluarga tertentu. Pura Keluarga atau Penyungsungan Keluarga merupakan perkembangan dari Sanggah (Pemerajan) yang ada dalam keluarga (beberapa keluarga). Di setiap rumah Umat Hindu, di Bali khususnya terdapat Sanggah Keluarga ataupun Pelinggih-Pelinggih.


Kata Sanggah (Sanggar) mengandung beberapa pengertian :

Sanggah : Sanggar berarti kumpulan, maksudnya kumpulan dari Pelinggih (bangunan-bangunan tempat suci)
Sanggah : Penyangga, Penampung, Penuntun, menuntun ke arah ke-Tuhan-an.
Sanggah : Berarti pula Palinggih (tempat Tinggal)


Contohnya yaitu :
Sanggah Kemulan, yang beruang Tiga. Ada sebutan Sanggar Agung (Surya).
Kemulan : Modal,Pokok asal kata Mula
Sanggah Kemulan minimal ada pada keluarga Hindu untuk memuja roh-roh Leluhur (kawitan) yang telah disucikan dengan Upacara Keagamaan dan dipandang telah bersatu dengan Sang Hyang Tri Ҫakti (Brahma, Wisnu, Ҫiwa)




Setelah keluarga makin berkembang besar, maka berkembang pulalah Sanggah /Pamarajan menjadi Pura Keluarga yang lebih besar diantaranya ada yang menyebut Kawitan, Pura Dadya, Pura Panti, Pura Ibu (Paibon) Padharman dan sebagainya.Kawitan (Kemimitan) dari kata Wit = Pokok
Dadya = Dadi = Menjadi, Turunan
Panti = Tempat Berlindung, Menenangkan Pikiran, Tempat Menunggu
Ibu = Induk, Pokok
Padharman = Tempat memuja roh-roh suci Para Bijaksanawan/Pahlawan Dharma.


Palinggih
Kata Palinggih berasal dari kata Linggih = Duduk, Tempat, Letak
Palinggih = Bangunan, Tempat Duduk
Sthana untuk Pemujaan terhadap Tuhan, dengan segala macam Perbhawanya (manifestasinya), termasuk pula untuk tempat untuk memuja Leluhur.


Palinggih ini banyak macamnya sesuai dengan besar kecilnya suatu Pura (Kahyangan) disesuaikan dengan guna dan tujuannya serta peraturan-peraturan yang berlaku. Kalau kita masuk ke PuraKeluarga, maupun Kahyangan Tiga, Sad Kahyangan, Kahyangan lainnya, maka jelas terlihat dari satu sampai puluhan Palinggih (Bangunan-bangunan suci) antara lain :Padmasana
Gedong
Meru
Sanggah Kemulan (Rong Tiga) dan sebagainya


Dahulu kala pada Jaman Batu, orang-orang membuat tempat pemujaan kepada Matahari dengan cara meletakkan beberapa Batu Besar. Setelah kebudayaan berkembang kita lihat sebagai mana ada pada masa kini.


1. Padmasana : ialah Bangunan Suci untuk memuja Sang Hyang Widdhi (Tuhan). Padma = Teratai, Asana = Sikap, Bentuk. Padmasana = Bangunan Suci berbentuk Teratai. Dalam Wrhaspati Tattwa, Tattwa Jnana, dan Ҫiwa Tattwa dijelaskan : Tuhan mempunyai Ҫadu Ҫakti (kekuatan yang empat) dan Asta Ҫakti (kekuatan yang delapan) dilambangkan pada Teratai berdaun empat dan teratai berdaun delapan. Tuhan bersthana di tengah yang disimbulkan dengan Aksara Suci OM.




Selain dari itu Padmasana ini juga berdasarkan bentuk Gunung terdapat pada Adi Parwa, yaitu pemutaran Gunung Mandhara di Lautan Ksira. Ada kalanya Padmasana dilukiskan gambaran bayi telanjang, melambangkan Acintya ( Tuhan Maha Gaib, tak dapat dipikirkan).


2. Gedong : Palinggih Gedong yang di Pura Dalem ialah untuk memuja Dewi Durgha yang merupakan Ҫakti Ҫiwa.


3. Meru : Juga berasal dari bentuk Gunung. Meru berarti Gunung (Gunung Mahameru) tempat memuja Prabhawa (manifestasi Tuhan), Dewa-Dewa/Bhatara.


Diketahui bahwa Palinggih-palinggih itu dibangun sesuai dengan guna tujuan dan menuruti peraturan tertentu.





HAL YANG TIDAK DIKETAHUI TENTANG TEMPAT-TEMPAT SUCI


Kalau kita tidak mempunyai tempat tinggal, tempat suci yang terdekat sehari-hari ialah dihati kita sendiri
Kalau kita hanya mempunyai satu kamar, maka tempat suci kita wujudkan dengan bentuk “Pelangkiran”.
Kalau kita mempunyai satu rumah dan pekarangannya, tempat suci kita wujudkan dengan “Sanggah Kemulan” (bentuk sementara atau permanent) yang berisikan pelinggih-pelinggih minimal : Rong Tiga dan Taksu.
Kalau kita mempunyai satu daerah pedesaan, maka tempat suci kita ialah Kahyangan Tiga yaitu : a. Pura Desa, b. Pura Puseh (yang bisa digabung berisikan pelinggih-pelinggih : Gedong Sari, Meru, Manjangan Seluang, Bale Agung dan Padmasana), c. Pura Dalem (yang dipisahkan dengan a dan b). Sebaiknya di dekat kuburan berisikan pelinggih-pelinggih : Gedong Dalem, Taksu, Prajapati dan Padmasana.
Kalau kita mempunyai daerah Persawahan tempat suci kita dirikan di tempat sumber air pertama dengan berisikan pelinggih-pelinggih : Padmasana, Tugu, Meru, namanya Pura Ulun Suwi.
Kalau kita mempunyai suatu pasar, maka tempat suci disana kita bangun dengan nama “Pura Melanting”
Dalam suatu kota pusat pemerintahan, hendaknya tempat suci kita dirikan dengan pelinggih “Padmasana Agung” sebagai halnya “Pura Jagatnatha”
Ditempat-tempat suci diatas gunung maupun ditepi danau dan laut didirikan suatu pelinggih “Padmasana” menurut kemampuan.


Denah dari tempat-tempat suci itu maksimum terdiri dari 3 (tiga) pelataran (Jaba, Jaba tengah, Jeroan). Dan minimum satu pelataran (Jeroan). Perlu kiranya kami sarankan disini bahwa untuk mencari tempat suci hendaknya tempat untuk pura itupun harusnya berhati-hati setelah memperhitungkan yang jika digabungkan dapat menimbulkan soal-soal ketenangan, keindahan, dan keserasian, jadi tegasnya tidak disembarang tempat.


sumber bacaan : Buku Hindu