Minggu, 24 September 2023

Kamus Hindu Bali







Kamus Hindu Bali agar tidak menggunakan dan pinjam istilah orang lain:




Syukur = Angayubagia

Amin = Swaha, sidhirastu

Ikhlas = Tulus, Lascarya

Halal = Suklaà

Haram = Cemer, Leteh, Letuh

Kiamat = Prelaya

Sabar = Ksanti


Berkat, Ridho = Pasuecan, Anugraha



Istilah yang Sering Keliru :

Insyaallah = Om Awighnamastu (Artinya semoga tidak ada halangan)

Alhamdulillah = Astungkara

KEBANYAKAN DARI KITA LATAH MENGUCAPKAN ASTUNGKARA SAJA SEHINGGA PENEMPATANNYA KURANG TEPAT (Mohon diperhatikan perbedaan diatas)*

Bajik = Sukerthi

Ethika = Sesana, Anggah Ungguh

Tidak etis = Dursesana

Dosa = Dosa, Mala, adharma

Hasil perbuatan dosa = mala petaka

Murtad = Tulah

Laknat = Durjana

Khianat = Linyok

Maksiat = Smara dudu

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Almarhum = Sang sampun lina, Sang petala, Suwargi

Khasanah = Wawengkon

Allah SWA = Ida Sang Hyang Widhi Waça

Ibadah = Bhakti, Muspa, Maturan

Amal Ibadah = Kerthi yasa

Jenazah = Layon

Wafat = Seda, Pelatra, Lampus, Kelayu Sekaran


Nikah = Nganten, Wiwaha, Alaki Rabi,

Iman = Sraddha

Taqwa (taat) = Satya, Bhakti,

Ridho = Pasuecan, Waranugraha

Halal bihalal = Sima Krama, Gendu Wirasa, temu wirasa

Sedekah = Punia

Amal jariah = Dana Punia, Dana Paramitha

Ahlak = Budi Pekerti

Jumat, 22 September 2023

NYAMA BAJANG

 


1. Anggapati = Dengen.... Bajang Papah,
2. Prajapati = Kala .... Bajang Colong.
3. Banaspati = Preta.... Bajang Regek,
4. Banaspati Raja = Anta ... Bajang Pusuh,
Biasanya Uperengge ini dipergunakan pada hari upacara - 105 hari tiga bulan) anak bayi yang lazim di Bali disebut: "Nelubulanin" atau "Nigang sasihin ",
BAJANG PAPAH
Sebuah pelepah yang kering diisi lukisan - manusia yang kini di Bali disebut: "Bajang Papah" yang mengandung simbul Saudara dari si bayi
BAJANG REGEK
Sebuah alay yang dibuat dari daun kelapa yang dianyam, diwujudkan sebagai manusia, yang di Bali disebut "Reregek,
BAJANG PUSUH
Gambar manusia yang digambarkan pada jantung pisang. Ini disebut "Bajang Pusuh"
BAJANG COLONG
Seekor ayam yang disebut "Bajang Colong"
Keempat bajang-bajang itu , disebut dengan " Nyama Bajang ", adalah lambang dari ;
Anggapati atau Dengen
Prajapati atau Kala
Banaspati atau Preta
Banaspati Raja atau Anta

Keempatnya adalah perwujudan dari :
Yeh Nyom ( Air Ketuban),
Getih ( Darah ),
Lamas
Ari - Ari
Yang keluar pada waktu si Ibu melahirkan si bayi.
Wusta veruh maninggalin Bape bunta irika mabatan sira
"Sang_Hyang_Panon_Pandeleng "
Wusta kumrah mangiring, irika maharan sira " Sang Hyang Waya wayahan "
Wusta malinggeb mabading, tur manangis, iri ka sira maharan
" Sang Hyang Eta Eto.
Samalih weruh sira keheng-keheng, irika sira maharan
Sang_Hyang_Japamantra.
Mangke ika ta kaweruhakna kandanira RARE , duk mijil saking guwa garban Ibunta, sawatek ta ma gawe gering ring Manusia_Pandanta liwar ring 11 dina, kawenang kene gering sa-pakardin wang Ala, sadurung ika tan kawenang-
Yening sadurung ika, kena gering, ika pangaban RARE, apan ;
I Buyut Kompyang mwang I Wayah,
Sami padan dane Istri_kakung pada ngerejeg ring awak sariranta.
Samalih wus nampi banten pe-ngeroras dinan mijil, irika dane pada mantuk.




BIU KUKUNG

 


weda mengalir dengan indah menyatu dengan peradaban agraris Bali Dwipa sebagai cikal bakal GAMA-BALI GAMA TIRTA. maka dari itu begitu banyak ritus magis digelar pada siklus tanam PARI (padi). semenjak mulai menanam benih, mengolah tanah, menanam WIWIT (bibit padi). paling dinanati dengan penuh kegembiraan adalah ritus BIU KUKUNG, sebagai prosesi meriah dengan upakara yang tergolong banyak dan tampak rumit. ada yang menyebut ritual BIU KUKUNG sebagai GALUNGAN CARIK mengingat kemeriahan prosesi (adanya sanggah cucuk dan penjor), pun sehari sebelumnya disertai prosesi MEBAT, NGELAWAR.dilakukan kurang lebih saat padi berumur 3 bulan, saat padi telah BELING (hamil), bulir padi sudah mulai tumbuh.
Ritus BIU KUKUNG tersurat tersirat dalam begtu banyak sastra bergenre GUNA-TANI, meliputi sastra SRI purana tattwa, DHARMA PAMACUL, PUJA DAHA, tingkahing ASAWAH dll.jika dirunut perkata tampakanya kata BIU BUKAN merujuk kepada PISANG, tetapi kata BIU merupakan perubahan bentuk kata BAYA, bandingkan dengan kalimat BAYA KALA, BAYA KAWONAN yang kerap kali di salah ucap menjadi BIU KALA atau BIU KAWONAN. BAYA atau BHAYA diserap dari bahasa sansekerta menjadi varian bhasa Kawi yang berarti BAHAYA, BENCANA.
kemudian kata KUKUNG disinyalir terbentuk dari kata KUNG, bahasa jawa kuna yang berarti CINTA, bandingkan dengan sebutan TANAKUNG (tanpa CINTA), sebagai salah seorang pujangga besar nusantara.
baiklah sebelum berbicara lebar tentang pemaknaan kata BAYA KUNG, biu kukung, ada beberapa YANTRA penting sebagai tanda khas GALUNGAN CARIK, diantaranya PENJOR-SANGGAH, banten TIPAT, IDAM-IDAMAN (rujak), SEGEHAN (laban), UTIK (api sundih), banten SULANGGI, dll

PENJOR dan SANGGAH kerapkali sebagai yantra penting pada berbagai ritus SUDHA-BHUMI, CARU, GALUNG (perayaan kemenangan). sebisanya saat ma-biu kukung maka sanggah cucuk-penjor diletakan pada kiblat KAJA-KANGIN, bahkan ada yang lebih fanataik dengan mengarahkan ujung lengkung penjor menuju GUNUNG AGUNG. sebagai wujud keyakinan bahwa segala kesuburan berasal dari GUNUNG AGUNG. PENJOR pun dimaknai sebagai wujud nyata mahluk gaib magis berupa SANGHYANG NAGA sebagai simbol PERTIWI-DEWI, bentuk panjang melengkung penjor adalah ibarat liuk tubuh naga. ritus BIU KUKUNG adalah upaya magis religus mengucapkan rasa PARAMASUKSMA kepada BAHAMA-DEWA, Pertiwi, TANAH, GUNUNG AGUNG.
TIPAT adalah ragam bentuk pengolahan beras asli nusantara, yang dicurigai telah ada jauh sebelum kejayaan MAJAPAHIT. konon dahulu kala saking KUNG (cintanya) Bhatara Guru kepada manusia ciptaannya maka diberilah tumbuhan PADI yang yang berbuah TIPAT, jadi manusia sungguh dimudahkan, tanpa perlu ribet mengolah beras menjadi nasi ataupun makanan lainnya. tetapi hadiah ini justru membuat manusia semakin malas untuk berusaha, bekerja, karena semua telah sedemikian mudah. TIPAT pada ritus BAYA KUNG berupaya mengingatkan betapa para dewa sedemikian KUNG (cinta) kepada manusia, sekaligus mengingatkan bahwa manusia harus mengolah sawah, mengolah beras hingga menjadi AMERTA SANJIWANI, amerta Kahuripan sebagai sumber HIDUP.
NGUAK, MAGOAK-GOAKAN, adalah juga sangat melegenda bagi penerus tradisi agraris Bali, terutama anak anak, dilakukan secara bergerombol NYURUD mengambil berbagai persembahan banten BAYA KUKUNG, untuk dimakan sambil manari menirukan suara burung GOAK (gagak). ini menjadi sebuah kenikmatan tak terlupakan masa kanak-kanak. tidak ada larangan dari pemilik sawah yang persembahannya disantap oleh sekumpulan Goak nakal, bahakan diyakini jika banten BAYA kung tidak diambil oleh para goak, maka panennya akan merosot, bahkan gagal panen
GOAK (gagak) adalah sebagai bentuk mahluk magis raja dari para burung yang kerapkali menjadi sumber MERANA (wabah). sastra Sri-purana menggambarkan mahluk ini sedemikian magis menyeramkan, bermata merah bertubuh raksasa. memiliki ribuan ancangan berupa segalam macam BREGALA, MERANA. sebutan lain dari mahluk ini adalah GAGAK SONA, PAKSI RAJA. inilah prosesi terpenting dari upacara BIU KUKUNG yaitu mengusir segala macam BHAYA (biu) yang mengancam tumbuh kembang PADI.
Ong HRNG HRING SAH AGRA GIRI DIPATHAYA NAMAH

Senin, 18 September 2023

Banten Pejati

 


Pejati untuk mohon dipersaksikan, mengesahkan dan meresmikan suatu upacara yang telah diselenggarakan secara lahir bathin, agar mendapatkan keselamatan.
Banten pejati juga dihaturkan ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat suci.
Sesayut pejati dipandang sebagai banten yang utama, maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja .
Banten Pejati/ "Banten Peras Daksina" dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu:
-Daksina kepada Sanghyang Brahma
-Peras kepada Sanghyang Isvara
-Ketupat kelanan kepada Sanghyang Wisnu
-Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva
Selain sastra Weda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Weda dan bahasa Mona itu adalah banten.
Lontar Yajña PrakrtI
“Sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka dan bhuana”
Artinya :
Semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).
Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan:
“Mapiteges pakahyunan Banten, nga; pakahyunane sane jangkep galang ”Artinya
: Banten itu adalah buah pemikiran yaitu pemikiran yang lengkap dan bersih.

BANTEN PEJATI
Pejati berasal dari bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa-“. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang berada makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh.
UNSUR DAN MAKNA FILOSOFI
Daksina
Banten Peras,
Banten Ajuman Rayunan / Sodaan
Ketupat Kelanan
Penyeneng / Tehenan / Pabuat
Pesucian
Segehan alit
Sarana yang Lain
Daun / Plawa; lambang kesejukan.
Bunga; lambang cetusan perasaan
Bija; lambang benih-benih kesucian.
Udara; lambang pawitra, amertha
Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.
Daksina mengurung:
bakul / serembeng, simbol arda candra
kelapa dengan sambuk maperucut, simbol brahma dan nada
bedogan, simbol swastika
kojong pesel-peselan, simbol ardanareswari
kojong gegantusan, simbul akasa / pertiwi
telur bebek simbol windu dan satyam
tampelan, simbol trimurti
irisan pisang, simbol dharma
irisan tebu, simbol smara-ratih
benang putih, simbol siwa
Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa termasuk kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan menyelimuti manusia..
#DAKSINA terdiri dari serobong dimasukkan tapak dara beras, dan kelapa yg sudah dihilangkan sabutnya, lalu diatas kelapa diisi 7 kojong yg terbuat dari janur / slepan, yg masing-2 kojong diisi telor itik, base tampelan , irisan pisang tebu, tingkih, pangi, gegantusan, pesel-peselan lalu di isi benang putih dan terakhir letakkan canang burat wangi di atasnya.
#PERAS: memakai alas taledan lalu di isi diisi kulit peras yang diisi beras + benang + base tampelan, lalu di atas kulit peras akomodasi 2 buah tumpeng nasi putih, raka-raka (jaja dan buah-buahan), ditambah kojong rangkadan yang terbuat dari janur / slepan yang berisi kacang saur, gerang / terong goreng, garam, bawang goreng, timun, lalu di isi canang dan sampiyan peras.
SODAAN / AJUMAN RAYUNAN: memakai tamas dari janur / slepan yang diisi 2 buah nasi penek, raka-raka secukupnya, ditambah dengan dua buah clemik yang berisi rerasmen seperti kacang saur, teri, gerang dan lain-lain. Lalu di isi canang dan sampiyan Plaus / sampiyan Soda.
TIPAT KELAN: memakai tamas sama seperti Sodaan, cuma di dalamnya diisi ketupat nasi sebanyak 6 biji, lalu dilengkapi dengan 2 buah clemik yang berisi rerasmen. Di isi dapat diisi dan sampiyan Plaus / Soda. Utk melengkapi Pejati perlu juga dibuatkan Pesucian yang terbuat dari ceper bungkulan yang di dalamnya dijahitkan 5 buah clemik, yang masing-masing berisi boreh miik, irisan pandan wangi yang kaya minyak rambut, irisan daun bunga sepatu, sekeping begina metunu, seiris buah jeruk nipis dan 1 buah takir untuk tirta, reringgitan suwah serit dan base tampel. Untuk memberi informasi juga perlu dibuatkan segehan putih kuning dua tanding bila pejati untuk dibawa ke Pura / Tempat suci.
Untuk melengkapi banten Pejati juga perlu dibuatkan Penyeneng yang dibuat dari 3 potong janur lalu kita rupa sehingga rupa sehingga tiga bentuk kojong yang disatukan dan berdiri tegak, di mana masing-masing kojong diisi dengan beras, tepung tawar (beras + daun dapdap + kunir ditumbuk ) dan irisan bunga cepaka dan jepun patok boreh miik, jagan lupa diisi benang putih.
Lontar Tegesing Sarwa Banten;
Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; waras kakalih sampun masikian “.
Artinya :
Kacang-kacangan penyebab perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu.
“Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos waras becik rinengo ”.
Artinya:
Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
Mengenai buah-buahan:
“Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; waras tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan “.
Artinya :
Segala jenis buah-buahan merupakan hasil dari perbuatan, yaitu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), perasaan yang menyebabkan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.
Mengenai Kue / Jajan:
“Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan “.
Artinya :
Gina adalah lambang alarm, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka (ayah-ibu), Dodol is lambang pikiran menjadi setia, wajik is lambang belajar sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang benar-benar- Dan tidak .
Mengenai bahan porosan:
“Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih “.
Artinya:Sirih dan pinang itu lambang dari yang kesejahteraan / kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan.
TBB


Lontar Dharma Pawayangan, Benteng Dalang Lawan Aji Ugig

 






Jro Dalang Gusti Made Aryana alias Dalang Sembroli (Dian Suryantini/Bali Express)





SINGARAJA, BALI EXPRESS-Menjadi seorang dalang atau orang yang memainkan wayang tidaklah mudah. Selain harus mengetahui beberapa cerita pawayangan, seorang dalang juga harus mengetahui aturan yang tersirat dalam Lontar Dharma Pawayangan.


Seorang dalang mesti mengetahui beberapa isi dari Lontar Dharma Pawayangan sebagai pedomannya. Ada beberapa peraturan yang harus dilakoni mereka yang menekuni dunia perdalangan.



Lontar Dharma Pawayangan merupakan naskah yang berkaitan dengan dunia seni wayang dan kewajiban seorang dalang.


Pada pasal 01 Dharma Pawayangan disebutkan tentang profesi seorang dalang dengan sebuah Kayon untuk menceritakan pada seluruh dunia untuk semua kehidupan yang terdapat dalam alam semesta.

Dalam pasal tersebut berbunyi : "Sang Amengku Dalang mawak gumi, mawak bhuta, mawak dewa, dalang ngarania waneh, karana dadi Siwa, karana dadi Paramasiwa, karana dadi Sadasiwa, karana dadi Sang Hyang Acintya, mapan Sang Hyang Acintya panunggalaning bhuana kabeh, wenang umilihaken lungguhnia. Wenang sira uncarakena carita, wenang uncarakena kataning aksara, wenang uncarakena japa muang mantra. Samangkana ngaran dalang".

Arti dari kutipan lontar tersebut yakni orang yang berprofesi sebagai dalang merupakan simbol bumi, simbol bhuta/makhluk halus, simbol dewa yang berhak menjalankan tugas-tugas Hyang Siwa, Paramasiwa, Sang Hyang Acintya, karena Acintya simbol panunggalaning bumi semua, dapat menentukan kedudukannya berhak menyebarluaskan cerita, berhak mengucapkan Veda atau mantra.

Sedangkan dalam Pasal 02 dari Dharma Pawayangan itu, menyebutkan tentang ajaran-ajaran atau kewajiban yang telah digariskan oleh Sang Hyang Catur Loka Pala yang bertujuan memotivasi umat.

Kutipan teksnya berbunyi : "Iti aji Dharma Pawayangan, ngawenang sumuliha ring ganal alit, mwah ring bhuana agung. Yan sira mahyun sudi ring putusaning ngawayang, palania tan langgana rijengira Sanghyang Catur Lokapala.

Apan sira umindahaken suci nirmala tatwa, weruh ri adoh aparek, ring satwa adnyana, terus malunga ring tri bhuana sangkania ana sor luhur, madia utama, pati berate, sabda bayu, ideping ala".

"Wenang pwa sira Sanghyang Catur Lokapala, umideraken satsatnira Sanghyang Kawicarita, sira ta ngaran dadi dalang-dalang. Sangkanyaana dalang patpat : yuwaktinia, Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa yan ring bhuana agung, Iswara akasa, Mahadewa sitidrani, Sanghyang Wisnu rupaning bhuana, Brahma tejaning bhuana, sangkania dadi urip, dadi pati, dadi sabda, dadi bayu”.

Artinya ini adalah ilmu tentang Dharma Pawayangan, yang wajib diterapkan dalam alam kecil dan alam besar. Bagi yang mau dan senang dengan keputusan melaksanakan tugas pewayangan, agar tidak dikutuk oleh Sanghyang Catur Lokapala, karena akan membicarakan kesucian tattwa, tahu dengan yang jauh dan yang dekat, tahu dengan bilangan yang ada dalam badan dan yang ada di tiga dunia.

Oleh karena itu ada bawah ada atas, menengah utama, taat dan patuh, suara tenaga, pikiran jelek, sehingga pantaslah Sanghyang Lokapala mengelilingi dan menempatkan Sang Kawicarita, dialah namanya menjadi dalang.

Dengan mengetahui ketentuan, panduan dan aturan yang telah tersurat dalam Dharma Pawayangan yang merupakan kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seorang dalang. Maka mereka yang disebut sebagai dalang sejatinya memangku tugas yang berat.

“Dikatakan memangku tugas yang cukup berat, karena dengan kondisi yang sekarang sudah tentu tantangan dan hambatan sangat kompleks dan menuntut sebuah kesadaran untuk mampu memahami serta melaksanakan apa yang mesti dilakukan oleh seorang dalang,” tutur Jro Dalang Gusti Made Aryana.

Dalam lontar itu juga diatur mantra-mantra yang harus diketahui oleh seorang dalang. Mulai dari baru berangkat dari rumah hingga selesai menunaikan tugas ngawayang di rumah si empunya acara.

“Dalam lontar itu, mantranya dibagi menjadi tiga bagian. Yakni mantra yang dilafalkan sebelum pertunjukan, mantra saat pertunjukkan, dan mantra seusai pertunjukan. Ada banyak sekali mantranya itu, dan itu harus diikuti prosesnya,” tambah dalang yang kerap disapa Dalang Sembroli ini.

Dalang Sembroli yang khas dengan rambut keritingnya itu pun membeberkan mantra-mantra yang digunakan yang terdapat dalam Lontar Dharma Pawayangan. Ia memaparkan satu per satu dari mantra sebelum pertunjukkan.

Mantra-mantra sebelum pertunjukan adalah mantra yang digunakan dalang mulai berangkat dari rumah sampai tiba di tempat pertunjukan.

1. Om Ang Lingga Boktra Prayojana Suda Ya Namah Swaha (napas deras hidung kanan = Brahma mangwayang). Mantra ini digunakan saat dalang tiba di pintu masuk tempat ngawayang. Sang dalang berdiri sejenak dan mengheningkan cipta, merasakan napasnya lebih deras pada hidung kanan, hal ini diyakini oleh para dalang bahwa Hyang Brahma memberikan restu. Secara Teologi mantra ini diperuntukan untuk memuja Dewa Brahma 'Ang' = Bhrahma.

2. Om Ung Lingga Boktra Prayojana Suda ya Namah Swaha (napas deras hidung kiri = Wisnu mangwayang). Jika setelah mengheningkan cipta di depan pintu gerbang dan merasakan napas lebih deras ada hidung kiri secara teologi diyakini Dewa Wisnu telah memberikan restu pada jro mangku dalang Ung = Wisnu.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

3. Om Mang Lingga Boktra Prayojana Suda Ya Namah Swaha (napas kedua lobang hidung sama derasnya = Iswara mangwayang). Bila dirasakan kedua hidung sama deras napasnya berarti secara teologi Dewa Siwa telah merestui pertunjukannya, Mang = Siwa.

4. Dalam perjalanan : “Om Kamajaya tatkalaning lumaku jaya sidi ya namah swaha”. Mantra ini ditujukan untuk memuja Sang Hyang Kamajaya agar dalam perjalan menuju tempat pertunjukan mendapatkan keselamatan dan kejayaan.

5. Setelah sampai di tempat pertunjukan : “Om Kamajaya wus prapta ngeka kesaktian ya namah swaha”. Secara teologi mantra ini ditujukan untuk memuja Sang Hyang Kamajaya untuk mendapatkan kekuatan atau kesaktian lahir dan batin pada saat mendalang.

6. Duduk : “Om Ang, Ung, Mang, Ang Ah, Ang Ah, Ang Ah”. Mantra tersebut untuk memuja Sang Hyang Tri Murti yaitu Brahma,Wisnu dan Siwa.

7. Makan : “Om mahamerta ingsun amukti sarining suci nirmala, urip langgeng wisya punah wisya punah wisya punah”. Jadi, mantra ini memuja Sang Hyang Amerta. Pada saat jro mangku dalang makan, agar terhindar dari segala gangguan Aji Ugig, bahaya dan menghilangkan segala racun, dan menjadikan semua makanan menjadi amerta.

Demikian mantra-mantra yang digunakan sebelum ngawayang. Selanjutnya ada pula mantra-mantra yang digunakan saat pertunjukan. Setelah selesai mendapat boga atau prasmanan, dalang mulai bersiap menuju tempatnya ngawayang.

Duduk di belakang kelir tepat di bawah lampu blencong. Mantra-mantra ini adalah mantra-mantra yang biasa dipakai secara umum, kendatipun ada pula beberapa dalang yang tidak menggunakannya. Adapaun susunan mantra-mantra yang telah dirangkum dan di struktur sebagai berikut:

1. Duduk di bawah lampu blencong atau dibelakang kelir : “Utpti (lahir): “Sa, Ba, Ta A, I, Na, Ma, Si, Wa, ya, Am Um Mam. “Stiti (hidup) : I, A, Ta, Ba, Si, Ya, Wa, Si Ma, Na, Um Am Mam. Pralina (mati) : A, Ta, Sa, Ba, I, Si, Wa, Ma, Na, Ya, Mam Um Am. Mantra ini diucapkan agar dalang mendapatkan kekuatan dari para dewa dalam wujud Sang Hyang Dasaksara sebagai kekuatan utpati, stiti, prelina (lahir, hidup dan mati).

2. Mantra Lampu Blencong: “Ang, Ang, Ang Bang Agni astra murub kadi kala mertyu anyapuh awu, durga lidek teka geseng, aku Sangh Hyang Cintya gni, amlabar gni sejagat, buta, leak desti satrunku teka geseng”. Mantra ini untuk memuja Sang Hyang Agni agar memberikan kekuatan kepada nyala api blencong, serta memusnahkan segala ancaman (Aji Ugig) yang ingin mencelakakan sang dalang.

Selain itu, dilihat dari kaca mata batin, mantra ini adalah mencerminkan kekuatan dalam sang dalang sebagai api batin. Lebih jauh lagi, agar dalang selalu mempunyai semangat yang berkobar-kobar dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang dalang.

3. Ngundang Taksu : “Ih..taksu ngidep buwana kena, sang hyang manik terus manik astagina, sang taksu dibya, atinku Surya Candra anyunari sebuana, ala ayu katon ring idep, teka jati ening, teka dudupan, teka dudupan, teka dudupan”. Mantra ini diucapkan untuk mengundang Sang Hyang Taksu, agar pertunjukan dapat memukau penonton lewat tuntunan dan tontonannya.

Lebih spesifik lagi, agar segala yang akan diucapkan atau dilakukan dalang, semuanya terang bendrang, jelas seperti siang disinari matahari, dan gelap seperti disinari bulan. Dengan demikian segala yang disampaikan menjadi terang bendrang tanpa halangan yang berarti.

4. Pangraksa Jiwa: “Pakulun Sanghyang Panca Pandawa umor ring akasa, Nakula Sahadewa ring cakepan kalih, Arjuna ring lontar, Darmawangsa ring sastra, Bima ring kelatning lontar, urip apageh lila ning wigna paramasakti ya namah swaha, Om Am Mam Um Om”.

Mantra ini diucapkan untuk memuja Sang Hyang Trimurti, Sang Hyang Sastra dan memuja kekuatan Panca Pandawa agar memberikan perlindungan kepada jiwa sang dalang.

5. Pangasih. Sarana base : “Pakulun Sanghyang Tunggal amasang guna kasmaran, bhuta leak sih, jatma manusa sih, dewa betara sih, Ong Ang antara pantara sarwa sih manembaha lila suksma ya namah swaha”.

Mantra ini untuk memuja Sang Hyang Tunggal dalam sifatnya memberikan cinta kasih, agar semua makhluk baik yang nyata maupun astral, bisa kasih kepada dalang. Dengan demikian dalang merasakan mendapat dukungan batin dan ketenangan dalam menunaikan kewajibannya.

6. Pangeger : “Pakulun Sanghyang Tiga Wisesa amasang guna pengeger, wong lanang, wadon geger, kedi geger, apupul ring arepku awijah lulut angrungu ingsun, pawak ingsun Sanghyang Semara, waneh sira andulu sanghyang samara waneh sira andulu ingsun, teka olas den pada asih, isep, isep, isepan gung mang raja karya murti saktyem patastra ya namah swaha”.

Mantra ini untuk memuja Sang Hyang Tiga Wisesa untuk memohon kekuatan taksu untuk menarik penonton sebanyak-banyaknya berkumpul menyaksikan pertunjukannya. Keinginan penonton seperti kena panah asmara, sehingga tidak merasa bosan menikmati sajian sang dalang.

7. Pangalup : “Ingsun angidep aken Sanghyang Guru rekan kama tantra, swaranku manik astagina andawut atma juwitane wong kabeh, asih welas mulih ring ati, edan ulangun mulih ring nyali, oneng lulut mulih ring papusuh, sing teka pada rna, sing tka pada rna, sing tka pada rna.”


Mantra ini hampir sama fungsinya dengan pangeger, namun pada mantra ini lebih dikhususkan untuk memohon kekuatan retorika (dialog, monolog) dan vokal atau tembang atau 'tandak' agar mampu menarik hati nurani serta menyenangkan pendengarnya.

Hal ini dilakukan karena dalang sering melakukan monolog dan dialog secara spontan sesuai dengan kemampuan kreativitasnya. Oleh sebab itu, yang dipuja pada mantra ini adalah Sang Hyang Guru Reka, yaitu Tuhan dalam kekuatannya menciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat.

8. Nebah Gedog (membuka tutup kotak/kropak wayang dengan memukul tutup gedog 3x): “Atangi Sanghyang Samerana angringgit amolah cara”.

Catatan: tutup gedog diletakkan di sebelah kanan dalang, dengan posisi tutup gedog yang lebar mengarah ke depan. Mantra ini diucapkan untuk memohon restu kepada Sang Hyang Catur Dalang (dalang Samerana, dalang Anteban, dalang Jaruman, dalang Sampurna). Namun dalam mantra ini hanya diwakili oleh dalang Samerana sebagai dalang yang tertua.

9. Nebah kain kasa penutup wayang. “Om Brahma munggah dewa urip jeng”. Mantra ini diucapkan untuk memuja dewa Bhrahma agar memberikan kekuatan hidup kepada semua wayang sehingga lakon yang disajikan dapat memberikan tuntunan dan tontonan hidup dan kehidupan nyata. Wayang yang diambil pertama kali setelah membuka kain kasa oleh dalang adalah wayang pemurtian dan ditancapkan di sisi kanan dan kiri kelir.

10. Nyolahang Kayonan: “Ong Sambu mulih ring Wisnu, Sangkara mulih ring Mahadewa, Ludra mulih ring Brahma, Maheswara mulih ring Iswara, Iswara mulih ring Kayonan, Kayonan mulih ring Ati”. Mantra ini untuk memuja Dewata Nawa Sanga, dimana pengucapannya melingkar ke arah kiri (utara yana) mulai dari ersanya/dewa Sambu.

Mantra ini diucapkan sebelum dalang menarikan wayang kayonan. Setelah selesai mengucapkan mantra ini, barulah dalang menarikan kayonannya.

Selama dalang tersebut ngewayang, dalang tidak boleh minum terlalu banyak. Sekali minum hanya diperbolehkan tiga teguk saja. Begitupun dengan posisi duduk dalang yang sama sekali tidak boleh bergeser.

“Dalang tidak boleh kebanyakan minum. Setiap kali ingin minum hanya tiga teguk saja. Kalau kebanyakan, pas ditengah-tengah ngewayang ingin buang air kecil kan tidak bisa. Karena dalang tidak boleh turun panggung. Bergeser saja tidak boleh, apalagi turun,” tegasnya sambil tertawa.

Runtutan Mantra yang terakhir adalah mantra sesudah pertunjukan. Setelah Pertunjukan selesai biasanya dalang menghaturkan beberapa sesaji sesuai dengan desa kala patra desa setempat, atau melakukan ritual sesaji khusus jikalau berkaitan dengan wayang sapuleger dengan sesaji tadah Kalanya.

Namun yang paling utama adalah saat dalang membuat tirta Sudamala atau Sapuleger yang sering disebut dengan 'tirtan wayang'. Salah satu model mantra yang digunakan oleh dalang adalah saat membuat tirta dan mantra saat melakukan panglukatan.

Namun, sebelum dalang membuat tirta dan menghaturkan sesaji, terlebih dulu dalang melakukan ritual kecil dengan beberapa mantra, sepeti halnya seorang pinandita dalam 'muput' sebuah upacara.

Adapun ritual tersebut adalah pranayama (mengatur pernapasan), penyucian angga sarira, penyucian sarira, pangening kayun, dilanjutkan dengan Gayatri Mantram.

Setelah itu, dalang melanjutkan menghaturkan sesaji yang telah disediakan yang didahului dengan ngalukat semua banten seperti pejati, peras, penyeneng, daksina alit/agung, suci, pengambean, prayascita, segehan dan sebagainya.

Kemudian dilanjutkan dengan membuat tirta, dan ngalukat orang yang diupacarai jika diperlukan, seperti dalam Sapuleger.

Adapun mantra dalam pembuatan tirta yang dilakukan usai pertunjukkan wayang. Mantra ini ditujukan untuk tirta Panglukatan Panca Dewa.



(bx/dhi/rin/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2021/01/13/235162/lontar-dharma-pawayangan-benteng-dalang-lawan-aji-ugig

Bhagavadgita Kehebatan Tuhan Yang Mutlak





Bhagavadgita Bab X - Kehebatan Tuhan Yang Mutlak

Bhagavad-gita 10.1
10.1 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Dengar sekali lagi, wahai Arjuna yang berlengan perkasa. Oleh karena engkau kawan-Ku yang tercinta, demi keuntunganmu Aku akan bersabda lebih lanjut kepadamu, dan memberikan pengetahuan yang lebih bagus daripada apa yang sudah Ku-jelaskan.

Bhagavad-gita 10.2
10.2 Baik para dewa maupun resi-resi yang mulia tidak mengenal asal mula maupun kehebatan-Ku, sebab, dalam segala hal, Aku adalah sumber dewa-dewa dan resi-resi.

Bhagavad-gita 10.3
10,3 Orang yang mengenal Aku sebagai yang tidak dilahirkan, sebagai yang tidak berawal, sebagai Tuhan Yang Maha Esa yang berkuasa atas semua dunia di kalangan manusia dia yang tidak berkhayal, dan hanya dialah yang dibebaskan dari segala dosa.

Bhagavad-gita 10.4
Bhagavad-gita 10.5
10.4-5 Kecerdasan, pengetahuan, kebebasan dari keragu-raguan dan khayalan, pengampunan, kejujuran, pengendalian indria-indria, pengendalian pikiran, kebahagiaan dan dukacita, kelahiran, kematian, rasa takut, kebebasan dari rasa takut, tidak melakukan kekerasan, keseimbangan sikap, kepuasan, kesederhanaan, kedermawanan, kemasyuran dan penghinaan berbagai sifat tersebut yang dimiliki oleh para makhluk hidup semua diciptakan oleh Aku sendiri.

Bhagavad-gita 10.6
10.6 Tujuh resi yang mulia, dan sebelum mereka empat resi lainnya serta para Manu [leluhur manusia], berasal dari-Ku. Mereka dilahirkan dari pikiran-Ku, dan semua makhluk hidup yang menghuni berbagai planet adalah keturunan dari mereka.

Bhagavad-gita 10.7
10.7 Orang yang sungguh-sungguh yakin tentang kehebatan dan kekuatan batin-Ku ini menekuni bhakti yang murni dan tidak dicampur dengan hal-hal lain; kenyataan ini tidak dapat diragukan.

Bhagavad-gita 10.8
10.8 Aku adalah sumber segala dunia rohani dan segala dunia material. Segala sesuatu berasal dari-Ku. Orang bijaksana yang mengetahui kenyataan ini secara sempurna menekuni bhakti kepada-Ku dan menyembah-Ku dengan sepenuh hatinya.


Bhagavad-gita 10.9
10.9 Para penyembah-Ku yang murni selalu khusuk berpikir tentang-Ku, kehidupannya dipersembahkan sepenuhnya untuk ber-bhakti kepada-Ku, dan mereka memperoleh kepuasan dan kebahagiaan yang besar dari kegiatan senantiasa memberikan penjelasan satu sama lain dan berbicara tentang-Ku.

Bhagavad-gita 10.10
10.10 Kepada mereka yang senantiasa setia ber-bhakti kepada-Ku dengan cinta kasih, Aku berikan pengertian yang memungkinkan mereka datang kepada-Ku.

Bhagavad-gita 10.11
10.11 Untuk memperlihatkan karunia istimewa kepada mereka, Aku yang bersemayam di dalam hatinya, membinasakan kegelapan yang dilahirkan dari kebodohan dengan lampu pengetahuan yang cemerlang

Bhagavad-gita 10.12
Bhagavad-gita 10.13
10.12-13 Arjuna berkata; Anda adalah Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, tempat tinggal tertinggi, Yang Mahasuci, Kebenaran Mutlak, Anda adalah yang Mahaabadi, yang rohani dan melampaui dunia ini, kepribadian yang asli dan tidak dilahirkan dan yang Mahabesar. Semua resi yang mulia seperti Narada, Asita, Devala, dan Vyasa membenarkan kenyataan ini tentang Anda, dan sekarang Anda sendiri menyatakan demikian kepada hamba.

Bhagavad-gita 10.14
10.14 O Krsna, hamba menerima sepenuhnya sebagai kebenaran segala sesuatu yang sudah Anda sampaikan kepada hamba. O Tuhan Yang Maha Esa, baik para dewa maupun para raksasa tidak dapat mengerti kepribadian Anda.

Bhagavad-gita 10.15
10.15 Memang, hanya Anda sendiri yang mengenal Diri Anda atas tenaga dalam milik Anda, o kepribadian yang paling Utama, Asal mula segala sesuatu, penguasa semua makhluk hidup, Tuhan yang disembah oleh para dewa, penguasa jagat!.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Bhagavad-gita 10.16
10.16 Anda berada di mana-mana di semua dunia ini melalui kehebatan rohani Anda, mohon memberitahukan kepada hamba secara terperinci tentang kehebatan-kehebatan rohani itu.

Bhagavad-gita 10.17
10.17 O Krsna, ahli kebatinan yang paling utama, bagaimana cara hamba dapat berpikir tentang Anda senantiasa, dan bagaimana cara hamba dapat mengenal Anda? Anda harus diingat dalam aneka bentuk yang bagaimana, o kepribadian Tuhan Yang Maha Esa

Bhagavad-gita 10.18
10.18 O Janardana, mohon menguraikan sekali lagi secara terperinci kekuatan batin kehebatan Anda. Hamba tidak pernah kenyang mendengar tentang Anda, sebab makin hamba mendengar makin hamba ingin merasakan manisnya minuman kekekalan sabda Anda.

Bhagavad-gita 10.19
10.19 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; ya, Aku akan memberitahukan kepadamu tentang perwujudan-perwujudan- Ku yang mulia, tetapi hanya yang paling terkemuka, sebab kehebatan-Ku tidak terhingga, wahai Arjuna.

Bhagavad-gita 10.20
10.20 O Arjuna, Aku adalah Roh yang Utama yang bersemayam di dalam hati semua makhluk hidup. Aku adalah awal, pertengahan, dan akhir semua makhluk.

Bhagavad-gita 10.21
10.21 Di antara para Aditya Aku adalah Visnu, di antara sumber-sumber cahaya Aku adalah matahari yang cerah, di antara para Marut Aku adalah Marici, dan di antara bintang-bintang Aku adalah Bulan.

Bhagavad-gita 10.22
10.22 Di antara veda-veda Aku adalah Sama veda; di antara para dewa Aku adalah Indra, raja surga; di antara indria-indria Aku adalah pikiran, dan Aku adalah hidup [kesadaran] para makhluk hidup.
BACA JUGA
Bhagavadgita Bab XVII - Golongan - Golongan Keyakinan
Bhagavadgita Bab XVI - Sifat Rohani Dan Sifat Jahat
Bhagavadgita Bab XV - Yoga Berhubungan dengan Kepribadian Yang Paling Utama
Bhagavad-gita 10.23
10.23 Di antara semua Rudra Aku adalah Dewa Siva, di antara para Yaksa dan raksasa Aku adalah dewa kekayaan[kuvera], di antara para vasu Aku adalah api[agni], dan di antara gunung-gunung Aku adalah Meru.

Bhagavad-gita 10.24
10.24 Wahai Arjuna, di antara semua pendeta, ketahuilah bahwa Aku adalah Brhaspati, pemimpinnya. Di antara para panglima Aku adalah Kartikeya, dan di antara sumber-sumber air Aku adalah lautan.

Bhagavad-gita 10.25
10.25 Di antara resi-resi yang mulia, Aku adalah Bhrgu; di antara getaran-getaran suara Aku adalah om yang bersifat rohani. Di antara korban-korban suci Aku adalah ucapan-ucapan nama-nama suci Tuhan[japa], dan di antara benda-benda yang bergerak Aku adalah pegunungan Himalaya.

Bhagavad-gita 10.26
10.26 Di antara semua pohon, Aku adalah pohon beringin. Di antara resi-resi di kalangan para dewa Aku adalah Narada. Di antara para Gandharva Aku adalah Citraratha, dan di antara makhluk-makhluk yang sempurna Aku adalah resi Kapila.

Bhagavad-gita 10.27
10.27 Ketahuilah bahwa di antara kuda-kuda Aku adalah Uccaihsrava, yang diciptakan pada waktu lautan dikocok untuk menghasilkan minuman kekekalan. Di antara gajah-gajah yang agung Aku adalah Airavata, dan di antara manusia Aku adalah raja.

Bhagavad-gita 10.28
10.28 Di antara senjata-senjata, Aku adalah petir; di antara sapi-sapi Aku adalah Surabhi. Di antara sebab-sebab orang berketurunan, aku adalah Kandarpa, dewa asmara, dan di antara ular-ular Aku adalah Vasuki.

Bhagavad-gita 10.29
10.29 Di antara para Naga yang berkepala banyak Aku adalah Ananta. Di antara para makhluk yang hidup di air Aku adalah dewa varuna. Di antara para leluhur yang sudah meninggal Aku adalah Aryama, dan di antara para pengatur hukum Aku adalah Yama, dewa kematian.

Bhagavad-gita 10.30
10.30 Di antara para raksasa Daitya Aku adalah Prahlada yang ber-bhakti dengan setia. Di antara para penakluk Aku adalah waktu, di antara para binatang Aku adalah singa, dan di antara para burung Aku adalah Garuda.

Bhagavad-gita 10.31
10.31 Di antara segala sesuatu yang menyucikan, Aku adalah angin, di antara para pembawa senjata Aku adalah Rama. Di antara ikan-ikan Aku adalah ikan hiu, dan di antara sungai-sungai yang mengalir Aku adalah sungai Gangga.

Bhagavad-gita 10.32
10 32 Di antara segala ciptaan Aku adalah permulaan, akhir dan juga pertengahan, wahai Arjuna. Di antara segala ilmu pengetahuan, Aku adalah ilmu pengetahuan rohani tentang sang diri, dan di antara para ahli logika, Aku adalah kebenaran sebagai kesimpulan.

Bhagavad-gita 10.33
10.33 Di antara semua huruf Aku adalah A. Di antara kata-kata majemuk, Aku adalah kata majemuk setara. Aku adalah waktu yang tidak dapat dimusnahkan, dan di antara para pencipta Aku adalah Brahma.

Bhagavad-gita 10.34
10.34 Aku adalah maut yang memakan segala sesuatu, dan Aku adalah prinsip yang menghasilkan segala sesuatu yang belum terjadi. Di kalangan kaum wanita, Aku adalah kemasyuran, keuntungan, bahasa yang halus, ingatan, kecerdasan, ketabahan dan kesabaran.

Bhagavad-gita 10.35
10.35 Di antara mantra-mantra dalam Sama veda Aku adalah Brhat-sama. Di antara sanjak-sanjak Aku adalah Gayatri. Di antara bulan-bulan Aku adalah Margasirsa[Nopember-Desember], dan di antara musim-musim Aku adalah musim semi, waktu bunga mekar.

Bhagavad-gita 10.36
10.36 Aku adalah perjudian kaum penipu, Aku adalah kemuliaan segala sesuatu yang mulia. Aku adalah kejayaan, Aku adalah petualangan dan Aku adalah kekuatan orang yang kuat.

Bhagavad-gita 10.37
10.37 Di antara keturunan vrsni, Aku adalah vasudeva. Di antara para pandava Aku adalah Arjuna. Di antara resi-resi Aku adalah vyasa, dan di antara para ahli pikir yang mulia Aku adalah Usana.

Bhagavad-gita 10.38
10.38 Di antara segala cara untuk melarang pelanggaran hukum, Aku adalah hukuman, dan di antara orang yang mencari kejayaan Aku adalah moralitas. Di antara segala hal yang rahasia Aku adalah sikap diam, dan Aku adalah kebijaksanaan orang bijaksana.

Bhagavad-gita 10.39
10.39 Wahai Arjuna, di samping itu Aku adalah benih yang menghasilkan segala kehidupan. Tiada satu makhlukpun-baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang dapat hidup tanpa-Ku.

Bhagavad-gita 10.40
10.40 Wahai penakluk musuh yang agung, perwujudan-perwujudan rohani-Ku tidak ada batasnya. Apa yang telah kusabdakan kepadamu hanya sekedar petunjuk saja tentang kehebatan rohani-Ku yang tidak terhingga.

Bhagavad-gita 10.41
10.41 Ketahuilah bahwa segala ciptaan yang hebat, indah dan mulia hanya berasal dari segelintir kemuliaan-Ku.

Bhagavad-gita 10.42
10.42 Wahai Arjuna, mengapa segala pengetahuan yang terperinci ini diperlukan? Dengan satu bagian percikan saja dari Diri-Ku Aku berada di mana-mana dan menyangga seluruh alam semesta.

Sumber : cakepane.blogspot.com