" Ni Kiwa dan I Tengen Medewasraya di Pemuhunan Setra ".
Sugra!!!
DIDESA MADYA yang merupakan desa di Jagad Maya (Dunia) ini, hiduplah sepasang manusia dari kelahiran Buncing (kembar Perempuan dan Laki), dimana yang perempuan selanjutnya bernama Ni Kiwa dan yang laki bernama I Tengen. Seiring peralihan peradaban, karena belum mengenal agama, yang mana mereka hanya memiliki keyakinan pada diri sendiri (naluriah) dan para pendahulu (leluhur) mereka kemudian berniat belajar atau mengetahui aksara atau sastra,
Ni Kiwa dan I Tengen selanjutnya memilih tempat yang dirasa paling tepat (sempurna) untuk Madewasraya adalah di tempat pembakaran jenazah (Pemuhun Setra), sebab di tempat inilah diyakini sebagai pusat api suci terbesar dan tempat paling dekat untuk mencapai alam Niskala. Mengapa demikian, karena di tempat inilah akhir dari segala derajat, tidak ada martabat, tidak ada pegawai dan petani, tidak ada kekayaan dan kemiskinan, tidak ada kekuasaan, kecantikan dan segala duniawi (sempurna).
Hingga Pemuhun Setra ini disimbolkan sebagai pintu gerbang antara alam Sekala (nyata) dengan Niskala (maya). Disinilah kenapa Pemuhun Setra diyakini sebagai tempat yang paling suci karena suci adalah bagian sempurna.
Maka, bagi mereka yang ingin terlahir menjadi insan spiritualis mumpuni atau sejati, tidaklah akan pernah terwujud sebelum dapat mengendalikan api ini terutama yang ada di dalam tubuh kita .
Dalam pelaksanaan Madewasraya, disinilah Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Dewa Siwa kemudian turun menuju Kahyangan Cungkub, untuk bertemu dengan Sakti-Nya. Sakti ini adalah kekuatan (energi) dari para Dewa yang diesensikan dalam wujud Dewi, dimana Sakti dari Dewa Siwa disini dinamakan Dewi Dhurga (Hyang Nini di Pura Dalem).
Setelah beliau bertemu, Dewa Siwa bersabda : "Wahai Hyang Nini Dalem, Aku menitahkan-Mu, sekarang turunlah menuju kuburan tempat pembakaran jenazah (Tunon = Tunuan atau Pemuhun Setra), Engkau (Hyang Nini) berhak memberkati segala doa Ni Kiwa dan I Tengen, karena mereka sangat tekun melakukan Dewa Sraya dan Hyang Nini berhak mengabulkan segala permintaan mereka. Lalu Hyang Nini berkata kepada Dewa Siwa : "Jika itu perintah Dewa, hamba menuruti titah Dewa dan sekarang juga hamba turun menuju kuburan tempat pembakaran jenazah." Setelah itu Dewa Siwa kembali menuju alam Siwa (Siwa Loka).
Hyang Nini kemudian berkata : "Wahai Kiwa dan Tengen, Aku adalah Sakti yang merupakan sumber kekuatan (energi) dari para Dewa ialah manifestasi dari Hyang Widhi (Tuhan) sebagai pencipta, pemelihara dan peleburan alam semesta beserta isinya, yang diesensikan dalam wujud Dewi dinamakan Dewi Dhurga (Hyang Nini di Pura Dalem) sebagai Sakti dari Dewa Siwa”.
Telah cukup lama kalian berada disini, melakukan tapa di tempat pembakaran jenazah. Tapa dimaksud adalah berasal dari akar kata tap (tapas) yang sesungguhnya berarti panas ialah merupakan sifat dari energi / tenaga (kekuatan). Tapa disini adalah dimaksudkan untuk mengendalikan api yang merupakan sifat panas dari kekuatan / energi (Dewi) yang diyakini sebagai esensi dari Dewa yang berasal dari kata Div berarti sinar (cahaya) yang sesungguhnya adalah manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) sebagi pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta ini beserta isinya.
Atas tapa ini, apakah kemudian yang kalian harapkan !?"
Lalu Ni Kiwa dan I Tengen menjawab : "Daulat Paduka Hyang Nini, ampunkanlah kami dan jika demikian mulai saat ini hamba berkeyakinan bahwa Hyang Widhi-lah sumber dari segalanya, Adapun doa harapan kami adalah memohon belas kasih Dewa maupun Dewi (Hyang Widhi) agar paduka Dewi berkenan menganugerahkan kekuatan bathin yang sempurna hingga dapat memahami aneka seni dan budaya supaya hamba tidak terkalahkan oleh siapapun, seperti diantaranya memahami aksara atau sastra hingga dapat melakukan berbagai hal seperti tata cara orang dalam memahami asal-usul penyakit termasuk pengobatannya, hamba juga memahami hakikat bisa, racun dan penyakit (Desti, Teluh, Trangjana) maupun hakikat Pamala-Pamali dan segala ajian ampuh, demikian pula hakikat hidup dan mati, serta hakikat kekuatan bayu, sabda serta idep (perbuatan, ucapan serta pikiran), itulah permintaan kami kepada-Mu wahai Sang Dewi !?".
Kemudian Hyang Nini berkata : "Wahai Kiwa dan Tengen, sekarang Aku akan memberi kalian anugerah. Baiklah, cepatlah julurkan lidah kalian masing-masing, Aku mau me-rajah lidah kalian dengan mantra Om Namasiwaya. Satu persatu mulai dengan Om, Na untuk hidung, Ma untuk mulut, Si untuk mata, Wa untuk tubuh dan Ya untuk telinga.
Demikian pula makna Sang Hyang Omkara, seperti Windhu, Nadha, Ardha Chandra yang berada dalam tubuh, yang dinamakan asal mula Sang Hyang Candra Raditya, yakni di mata kanan adalah Sang Hyang Raditya dan di mata kiri adalah Sang Hyang Candra, dan seterusnya ...
Wahai Kiwa dan Tengen semoga kalian paham tentang tata cara mencapai Moksa karena lidah kalian telah dirasuki kekuatan tulisan gaib, yang merupakan anugerah-Ku kepada kalian dan inilah yang dinamakan ajaran Lingga Aksara. Dimana Lingga berarti Tempat dan Aksara dimaksud adalah Dasa Aksara yakni 10 aksara suci yang merupakan simbol kekuatan para Dewa, selanjutnya disingkat "LIAK" dan tatacaranya untuk menempatkan aksara-aksara tersebut dinamakan Pangeliakan. Hyang Nini kemudian menempatkan Sang Hyang Omkara Sungsang di pangkal lidah (batu manikam) yang merupakan tempat pertemuan Sang Hyang Saraswati di lidah. Ini merupakan pemberi kekuatan gaib kepada bathin, sangat utama, jangan sembrono serta rahasiakanlah karena kalian tidak akan berhasil jika sembarangan (Aja Wera).
nilah mantra kumpulan sumber kekuatan : "Om Lep Rem, Ngagwa Rem, Papare, Dewataning Bayu Premana" menjadi persemayaman Sang Hyang Saraswati, sebagai tulisan ajaib di lidah Ni Kiwa dan I Tengen serta inilah doa untuk tempat aksaranya, yakni Om Sang Hyang Kedep di pangkal lidahmu, Sang Hyang Mandi Swara di ujung lidahmu, Sang Hyang Mandi Manik di tengah lidahmu, Sang Hyang Nagaresi di dalam otot lidahmu, Sang Hyang Manik Astagina di kulit lidahmu, dewanya adalah Dewa Siwa, sebagai pemberi kekuatan hidup adalah Hyang Brahma, Wisnu dan Iswara, sorganya adalah di hati, di empedu, di jantung, inilah persebaran tempat beliau Sang Hyang Tiga, yakni Ang di hati, Ung di empedu, Mang di jantung. Inilah kekuatan (energi) Sang Hyang Tri Aksara yang patut diingat, Mantranya Ang Ung Mang. Ajaran ini sangat utama, jangan sembrono (Aja Wera), dan dengan memusatkan kekuatan bathin semoga kalian dapat memahami Tatwa Lingga Aksara (Liak) ini, serta hakikat arti Sang Hyang Panca Aksara yang berada di alam (makrokosmos), yang mana tempatnya dan yang mana pula lambang aksara sucinya, yang harus selalu kalian ingat wahai Kiwa dan Tengen, semoga kalian paham.
Selanjutnya, abdikanlah diri kalian pada negeri dan masyarakat serta muliakanlah ajaran Liak yang telah Aku anugerahkan, karena hanya dengan ajaran Lingga Aksara (Liak) saja kalian biasa mencapai pembebasan yang sempurna di dunia ini. Sebab, orang dikatakan sempurna ketika manunggal Sang Hyang Panca Maha Butha ialah hanya saat kematian. Maka sekali lagi Aja Wera karena ketika kalian menggunakan ajaran Liak, disini jasad kalian akan mati sesaat (mati suri) ketika alam jiwa menuju pembebasan kepada Tuhan, inilah yang dikenal dengan istilah alam relaksasi atau levitasi (meraga suksma). Demikianlah, setelah selesai semuanya, Hyang Nini kemudian kembali menuju Kahyangan Cungkub, diiringi penghormatan oleh Ni Kiwa dan I Tengen dengan Mantra : "Om Niratma ditempatkan di leher, Atyatma di antara kedua alis, Niskalatma di pusat telapak tangan, Sunyatma di pusat kepala, alam dewata yang kokoh".