Kamis, 28 Desember 2023

LIAK NGARAN LINGGA AKSARA - NGELINGGIHANG AKSARA.


" Ni Kiwa dan I Tengen Medewasraya di Pemuhunan Setra ".

Sugra!!!


DIDESA MADYA  yang merupakan  desa di Jagad Maya (Dunia) ini, hiduplah sepasang manusia dari kelahiran Buncing (kembar Perempuan dan Laki), dimana yang perempuan selanjutnya bernama Ni Kiwa dan yang laki bernama I Tengen. Seiring peralihan peradaban, karena belum mengenal agama, yang mana mereka hanya memiliki keyakinan pada diri sendiri (naluriah) dan para pendahulu (leluhur)  mereka kemudian berniat belajar atau mengetahui aksara atau sastra, 

Ni Kiwa dan I Tengen selanjutnya memilih tempat yang dirasa paling tepat (sempurna) untuk Madewasraya adalah di tempat pembakaran jenazah (Pemuhun Setra), sebab di tempat inilah diyakini sebagai pusat api suci terbesar dan tempat paling dekat untuk mencapai alam Niskala. Mengapa demikian, karena di tempat inilah akhir dari segala derajat, tidak ada martabat, tidak ada pegawai dan petani, tidak ada kekayaan dan kemiskinan, tidak ada kekuasaan, kecantikan dan segala duniawi (sempurna).

Hingga Pemuhun Setra ini disimbolkan sebagai pintu gerbang antara alam Sekala (nyata) dengan Niskala (maya). Disinilah kenapa Pemuhun Setra diyakini sebagai tempat yang paling suci karena suci adalah bagian sempurna.

Maka, bagi mereka yang ingin terlahir menjadi insan spiritualis mumpuni atau sejati, tidaklah akan pernah terwujud sebelum dapat mengendalikan api ini terutama yang ada di dalam tubuh kita .

Dalam pelaksanaan Madewasraya, disinilah Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Dewa Siwa kemudian turun menuju Kahyangan Cungkub, untuk bertemu dengan Sakti-Nya. Sakti ini adalah kekuatan (energi) dari para Dewa yang diesensikan dalam wujud Dewi, dimana Sakti dari Dewa Siwa disini dinamakan Dewi Dhurga (Hyang Nini di Pura Dalem).
Setelah beliau bertemu, Dewa Siwa bersabda : "Wahai Hyang Nini Dalem, Aku menitahkan-Mu, sekarang turunlah menuju kuburan tempat pembakaran jenazah (Tunon = Tunuan atau Pemuhun Setra), Engkau (Hyang Nini) berhak memberkati segala doa Ni Kiwa dan I Tengen, karena mereka sangat tekun melakukan Dewa Sraya dan Hyang Nini berhak mengabulkan segala permintaan mereka. Lalu Hyang Nini berkata kepada Dewa Siwa : "Jika itu perintah Dewa, hamba menuruti titah Dewa dan sekarang juga hamba turun menuju kuburan tempat pembakaran jenazah." Setelah itu Dewa Siwa kembali menuju alam Siwa (Siwa Loka).

Hyang Nini kemudian berkata : "Wahai Kiwa dan Tengen, Aku adalah Sakti yang merupakan sumber kekuatan (energi) dari para Dewa ialah manifestasi dari Hyang Widhi (Tuhan) sebagai pencipta, pemelihara dan peleburan alam semesta beserta isinya, yang diesensikan dalam wujud Dewi dinamakan Dewi Dhurga (Hyang Nini di Pura Dalem) sebagai Sakti dari Dewa Siwa”. 

Telah cukup lama kalian berada disini, melakukan tapa di tempat pembakaran jenazah. Tapa dimaksud adalah berasal dari akar kata tap (tapas) yang sesungguhnya berarti panas ialah merupakan sifat dari energi / tenaga (kekuatan). Tapa disini adalah dimaksudkan untuk mengendalikan api yang merupakan sifat panas dari kekuatan / energi (Dewi) yang diyakini sebagai esensi dari Dewa yang berasal dari kata Div berarti sinar (cahaya) yang sesungguhnya adalah manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) sebagi pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta ini beserta isinya.

Atas tapa ini, apakah kemudian yang kalian harapkan !?"

Lalu Ni Kiwa dan I Tengen menjawab : "Daulat Paduka Hyang Nini, ampunkanlah kami dan jika demikian mulai saat ini hamba berkeyakinan bahwa Hyang Widhi-lah sumber dari segalanya, Adapun doa harapan kami adalah memohon belas kasih Dewa maupun Dewi (Hyang Widhi) agar  paduka Dewi berkenan menganugerahkan kekuatan bathin yang sempurna hingga dapat memahami aneka seni dan budaya supaya hamba tidak terkalahkan oleh siapapun, seperti diantaranya memahami aksara atau sastra hingga dapat melakukan berbagai hal seperti tata cara orang dalam memahami asal-usul penyakit termasuk pengobatannya, hamba juga memahami hakikat bisa, racun dan penyakit (Desti, Teluh, Trangjana) maupun hakikat Pamala-Pamali dan segala ajian ampuh, demikian pula hakikat hidup dan mati, serta hakikat kekuatan bayu, sabda serta idep (perbuatan, ucapan serta pikiran), itulah permintaan kami kepada-Mu wahai Sang Dewi !?".

Kemudian Hyang Nini berkata : "Wahai Kiwa dan Tengen, sekarang Aku akan memberi kalian anugerah. Baiklah, cepatlah julurkan lidah kalian masing-masing, Aku mau me-rajah lidah kalian dengan mantra Om Namasiwaya. Satu persatu mulai dengan Om, Na untuk hidung, Ma untuk mulut, Si untuk mata, Wa untuk tubuh dan Ya untuk telinga.

Demikian pula makna Sang Hyang Omkara, seperti Windhu, Nadha, Ardha Chandra yang berada dalam tubuh, yang dinamakan asal mula Sang Hyang Candra Raditya, yakni di mata kanan adalah Sang Hyang Raditya dan di mata kiri adalah Sang Hyang Candra, dan seterusnya ...
Wahai Kiwa dan Tengen semoga kalian paham tentang tata cara mencapai Moksa karena lidah kalian telah dirasuki kekuatan tulisan gaib, yang merupakan anugerah-Ku kepada kalian dan inilah yang dinamakan ajaran Lingga Aksara. Dimana Lingga berarti Tempat dan Aksara dimaksud adalah Dasa Aksara yakni 10 aksara suci yang merupakan simbol kekuatan para Dewa, selanjutnya disingkat "LIAK" dan tatacaranya untuk menempatkan aksara-aksara tersebut dinamakan Pangeliakan. Hyang Nini kemudian menempatkan Sang Hyang Omkara Sungsang di pangkal lidah (batu manikam) yang merupakan tempat pertemuan Sang Hyang Saraswati di lidah. Ini merupakan pemberi kekuatan gaib kepada bathin, sangat utama, jangan sembrono serta rahasiakanlah karena kalian tidak akan berhasil jika sembarangan (Aja Wera).

nilah mantra kumpulan sumber kekuatan : "Om Lep Rem, Ngagwa Rem, Papare, Dewataning Bayu Premana" menjadi persemayaman Sang Hyang Saraswati, sebagai tulisan ajaib di lidah Ni Kiwa dan I Tengen serta inilah doa untuk tempat aksaranya, yakni Om Sang Hyang Kedep di pangkal lidahmu, Sang Hyang Mandi Swara di ujung lidahmu, Sang Hyang Mandi Manik di tengah lidahmu, Sang Hyang Nagaresi di dalam otot lidahmu, Sang Hyang Manik Astagina di kulit lidahmu, dewanya adalah Dewa Siwa, sebagai pemberi kekuatan hidup adalah Hyang Brahma, Wisnu dan Iswara, sorganya adalah di hati, di empedu, di jantung, inilah persebaran tempat beliau Sang Hyang Tiga, yakni Ang di hati, Ung di empedu, Mang di jantung. Inilah kekuatan (energi) Sang Hyang Tri Aksara yang patut diingat, Mantranya Ang Ung Mang. Ajaran ini sangat utama, jangan sembrono (Aja Wera), dan dengan memusatkan kekuatan bathin semoga kalian dapat memahami Tatwa Lingga Aksara (Liak) ini, serta hakikat arti Sang Hyang Panca Aksara yang berada di alam (makrokosmos), yang mana tempatnya dan yang mana pula lambang aksara sucinya, yang harus selalu kalian ingat wahai Kiwa dan Tengen, semoga kalian paham.

Selanjutnya, abdikanlah diri kalian pada negeri dan masyarakat serta muliakanlah ajaran Liak yang telah Aku anugerahkan, karena hanya dengan ajaran Lingga Aksara (Liak) saja kalian biasa mencapai pembebasan yang sempurna di dunia ini. Sebab, orang dikatakan sempurna ketika manunggal Sang Hyang Panca Maha Butha ialah hanya saat kematian. Maka sekali lagi Aja Wera karena ketika kalian menggunakan ajaran Liak, disini jasad kalian akan mati sesaat (mati suri) ketika alam jiwa menuju pembebasan kepada Tuhan, inilah yang dikenal dengan istilah alam relaksasi atau levitasi (meraga suksma). Demikianlah, setelah selesai semuanya, Hyang Nini kemudian kembali menuju Kahyangan Cungkub, diiringi penghormatan oleh Ni Kiwa dan I Tengen dengan Mantra : "Om Niratma ditempatkan di leher, Atyatma di antara kedua alis, Niskalatma di pusat telapak tangan, Sunyatma di pusat kepala, alam dewata yang kokoh".

Banten Tanpa Daging, Apa Mungkin?


Bebangkit Harus Gunakan Babi Guling, Bukan Bebek

REFORMIS CERDAS.
OM Anno badrah kartavo yantu visvatah.
.
Banten Tanpa Daging, Apa Mungkin?
Saya telah puluhan kali muput upacara tanpa daging, jika itu memang salah, nafas saya pasti sudah dicabut. Toh saya tetap bugar, sehat,” tukas Pedanda Gede Nabe Bang Buruan Manuaba.//
Berenang di lautan tradisi tak selamanya enak, memang. Kesukaan ini menyebabkan orang jerih memandang perubahan. Terkecuali bagi mereka yang ingin terus bertumbuh, terbuka pada pembaruan, tradisi kerap dianggap sebagai penjara. Nyatanya tak banyak sosok yang berani melawan arus besar tradisi. Apalagi hendak merubah sesuatu yang diwariskan turun-temurun -- sungguh tak mudah dilakukan.
Ida Pendanda Gede Nabe Bang Buruan Manuaba, boleh jadi sosok langka dalam pergolakan besar antara tradisi dan pembaruan. Sulinggih asal Karangasem yang kini menetap di Lingkungan Muding Indah, Kerobokan, Kabupaten Badung ini kerap dituduh nyeleneh, ide-idenya sering dianggap asing, tak anut sasana, karena keberaniannya melawan arus besar kelaziman tradisi. “Tak hanya nyeleneh, saya juga dituduh pengkhianat,” papar Ida Pedanda sembari tertawa.
Saat muncul pilihan sejumlah kelompok untuk tak menyertakan hewan kurban dan daging dalam upacara di Bali, Ida Pendanda Bang adalah sosok paling memaklumi hal ini. Ia berani pasang badan, manakala banyak sulinggih menolak muput upacara yang dianggap tidak lazim itu. Pun ketika upacara-upacara di Bali dituding kelompok tertentu mengaturkan “bangkai” pada setiap ritualnya – sekali lagi hanya Ida Pedanda Bang Buruan siap pasang badan -- membela gigih pandangan-pandangan Hindu Bali yang dianggap kolot. “Ya kita coba mediasi hal itu supaya tidak muncul benturan, karena sering setiap yang baru membuat masayarakat terbelah,” tambah Ida Pedanda.
Bagi Ida Pendanda Bang, tidak ada yang salah dalam keyakinan itu. Tanpa kurban atau menyertakan kurban prinsip dasarnya sama. Coba baca teks Bukbuksah Gagakaking? Di sana ada dua pertapa kakak beradik, yang sama-sama menjalanan tapa brata. Yang satu Bubuksah, berpaham Siwa, bertapa di puncak gunung, pemakan segala, alias sarwa baksa. Sang adik berpaham Budaa, bertapa di hilir sungai, ia sangat hati-hati dalam hal makan, menghindari daging, yang hanya makan buah, biji, dan daun-daunan Gagakaking menjalani laku tapa nyridanta, istilah kerennya vegatarian.
Bagi Ida Pedanda Bang, dua kakak beradik dalam kisah Bubuksah dan Gagakaking merupakan dua model pabratan. Ini sama-sama dibenarkan, keduanya pun mendapat karunia surga. Makan daging seperlunya supaya tubuh tetap sehat juga dianjurkan, karena manusia hidup perlu energi. Hidup vegetarian tanpa hendak menyakiti makhluk lain juga bagus. Yang jelas dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Sebaiknya jangan rusak tubuh ini, makanlah secukupnya, tak berlebih dan berkurang. Jangan pula menyiksa karena “janji” hendak masuk surga. Tuhan yang nyata berada di sini di tubuh ini dan pada apa yang bisa lihat dan rasakan.
Kalau dalam brata saja ada dua jalan, jalan Bubuksah dan Gagakaking, kenapa tidak dilakukan juga dalam upacara? Pertanyaan inilah yang meneguhkan Ida Pedanda Bang berterima muput setiap upacara yang tidak menyertakan hewan atau binatang kurban. Alasanya tak cuma ingin mencari jalan tengah atau hendak mendamaikan. Lebih dari itu, membiasakan orang berpikir demokratis, tidak saling mencela, tidak juga saling menyalahkan. “Saya telah puluhan kali muput upacara tanpa daging, jika itu memang salah, nafas saya pasti sudah dicabut. Toh saya tetap bugar, sehat,” tukas Pedanda yang menghabiskan masa mudanya di Lombok


Bagaimana dengan puja panganteb itu? Menurut Ida Pedanda Bang, puja itu di mana-mana sama. Baik upacara tanpa daging atau tidak, puja tidak berbeda. Sadari puja itu tidak bersifat destruktif. “Semua kurban yang dihadirkan dalam caru misalnya hanyalah sebatas penyertaan, tidak untuk dibunuh. Yang terpenting adalah penyertaan warna sebagaimana pangider-ider yang harus disesuikan dengan dewa penguasa arah. Misalnya kurban kebo bisa diganti dengan beras hitam, injin. Sapi bisa diganti dengan beras merah. “Dalam muput caru tiang biasa menyertakan kurban hewan dan binatang masih hidup, dan setelah dihaturkan kami lepas kembali ke habitat semula”
Caru sebagaimana hakikat intinya, sebagaimana diyakini Ida Pedanda Gede Nabe Bang Buruan Manuaba, tidak melulu harus diartikan sebagai upaya mendamaikan energi Bhuta Kala, tapi saatnya diupayakan terus merawat keharmonisan alam. Sebab sebagaimana makna dasarnya, caru berarti membuat ia selalu cantik atau manis, dan berarti juga ikut menggerakkan. Tidak membuang sampah plastik sembarangan, tidak mencemari sungai dengan limbah beracun, tidak merusak humus tanah dengan limbah kimia merupakan bagian dari caru yang rutin itu. “Jika Anda ingin tetap sehat, udara tetap bersih, mohon jangan kotori alam ini dengan beragam sampah, alih-alih sampah kimia,” tukas Ida Pedanda Bang serius.
Sepanjang upacara itu belum diupayakan merawat ekosistem hidup, maka apa pun bentuknya upacara itu jauh dari makna dan guna. Memang tidak ada masalah dengan upacara, tetapi bila implikasinya merusak alam apakah tak patut dipikirkan? Coba perhatikan, lanjut Ida Pedanda Bang, dalam hal materi upacara misalnya, orang Bali tergantung pada Jawa. Janur, pisang, telor, itik, semua didatangkan dari Jawa. Bayangkan jika pohon kelapa di Jawa musnah, atau tak berbuah, bayangkan jika Bali terserang wabah flu burung, bukankah ini resiko langsung kesukaan berupacara tanpa pikiran cerdas. “Karena itu, melepas burung-burung ke udara, melepas ikan-ikan ke danau dan sungai-sungai meruapakan aplikasi lebih pantas,” papar Ida Pedanda Bang Buruan.
“Jika ini dinilai kurang baik bagi sejumlah orang, mohon tunjukkanlah yang lebih baik,” tantang lembut Ida Pedanda. Menurutnya, kita ini adalah para pencari, tidak baik orang mengklaim ada jalan paling benar, apalagi paling menjanjikan. Dulu India kaum Brahmana dikritisi Budha, yang mengklaim surga dan pembebasan hanya diperoleh dengan jalan kurban. Nyatanya tidak begitu, Budha pun dikritisi, pembebasan tidak melulu ditemukan dengan jalan pengasingan diri. Di sini, di rumah keluarga, tanpa menjauh dari kehidupan sehari-hari pembebasan pun bisa tercapai. “Nah artinya semua orang ada dalam proses mencari, setelah latihan cuma ada jalan latihan.”
Apakah upacara yang memakai daging itu tergolong yajna rendah? Imbuh Ida Pedanda Bang, dalam konteks pemujaan tidak ada istilah tinggi rendah. Semua diukur atas ketulusan dan kedalaman hati.Tidak salah mereka yang menggunakan daging, dan tidak keliru pula mereka lebih sreg tanpa menggunakan daging. Semua pilihan itu harus dihormati, dikasi ruang lebih mulia, bahwa tunas yang baru bertumbuh itu belum tentu jelek. “Saatnya orang berpikir cerdas, demokratis, bahwa kita semua hanya para pencari, bukan penentu. Karenanya, betapa mulia bagi mereka yang bisa saling merawat,” anjur Ida Pedanda.

Minggu, 24 Desember 2023

Pura Prapat Agung Jejak Nirartha Terakhir Ditemukan






PERADABAN : Pura Prapat Agung diyakini menjadi tempat cikal bakalnya peradaban masyarakat Bali. (GDE RIANTORY/BALI EXPRESS)

JEMBRANA, BALI EXPRESS-Dalam Lontar Dwijendra Tattwa, yang merupakan babon kisah sejarah perjalanan suci Dang Hyang Nirartha, disebutkan ada 35 tempat yang berkaitan dengan perjalanan suci siar keagamaan Dang Hyang Nirartha. Kemudian di tempat tersebut didirikan pura untuk mengenang dan memuja jasanya. Salah satu tempatnya adalah Pura Prapat Agung yang berada di dalam kawasan hutan lindung Taman Nasional Bali Barat (TNBB).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Berdasarkan Lontar Dwijendra Tattwa, Pura Prapat Agung sejatinya adalah asal permandian Ida Bhatara Sakti Dwijendra. Di tempat inilah awal Dang Hyang Nirartha mempelajari dan menyelami peradaban masyarakat Bali. Hal ini ditandai dengan adanya tempat ‘payogan’ bersamadhi Dang Hyang Nirartha di sisi kiri utama mandala Pura Prapat Agung.


Selain mendalami tentang peradaban masyarakat Bali, dari payogannya, Dang Hyang Nirartha juga menciptakan sebuah telaga (kolam) yang diperuntukkan hewan-hewan yang kehausan. Telaga tersebut tidak pernah kering, meskipun terjadi kemarau panjang.


TELAGA : Telaga dengan air warna-warni, jadi penanda tempat tersebut bukti perjalanan Dang Hyang Nirartha. (GDE RIANTORY/BALI EXPRESS)


Kini di sisi utara telaga dibangun Pura Taman Beji, sebagai bagian dari Pura Dang Kahyangan Prapat Agung, terutama saat pelaksanaan pujawali. Berdasarkan penelusuran Lontar Deijendra Tatwa, sekitar tahun 1990 Pura Dang Kahyangan Prapat Agung beserta telaga warna yang ditemukan di areal hutan TNBB.

“Ketika masih di dalam telaga, warna air biasa-biasa saja. Tetapi kalau diambil dan ditempatkan dalam wadah tersendiri, warnanya akan berbeda. Luas telaga sekitar 4 x 6 meter. Airnya memiliki lima warna berbeda, yakni merah, hitam, kuning, putih jernih, dan biru,” tutur Ketua Umum Yayasan Pengembang Dang Kahyangan Prapat Agung, Ida Bagus Susrama, akhir pecan kemarin.

Keberadaan telaga ini, lanjut Susrama, merupakan salah satu penanda (land mark) Pura Prapat Agung, seperti yang tertera dalam Lontar Dwijendra Tatwa. “Di lontar itu disebutkan ciri-ciri keberadaan pura, salah satunya adalah telaga tersebut,” terangnya.

Keberadaan Pura Dang Kahyangan Prapat Agung, diyakini merupakan salah satu pura yang didirikan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh, atau yang juga dikenal dengan sebutan Dang Hyang Nirartha. Dalam perjalanan spiritualnya dari Kerajaan Majapahit, beliau mendirikan tempat peribadatan yang cukup banyak di Kabupaten Jembrana, seperti Pura Dang Kahyangan Jati, Pura Dang Kahyangan Gede Perancak, Pura Dang Kahyangan Rambut Siwi, Pura Dang Kahyangan Mertasari, dan Pura Dang Kahyangan Prapat Agung.

“Pura Dang Kahyangan Prapat Agung ditemukan paling terakhir dibanding pura-pura peninggalan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Penelusuran dilakukan karena umat merasa masih ada satu pura yang belum ditemukan sesuai yang tercantum dalam Lontar Dwijendra Tatwa, yaitu Pura Prapat Agung ini,” imbuh Susrama. Keberadaan pura ini tidak diketahui karena posisinya di dalam hutan, berbeda dengan pura lainnya yang berada di kawasan permukiman penduduk.

Dengan mendapat konsesi lahan seluas 3 hektare dari Kementerian Kehutanan, pengembangan pura, termasuk infrastruktur yang dibangun harus memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan pola pelestarian lingkungan, pengembangan pura termasuk akses jalan tidak merusak lingkungan, sehingga umat Hindu tidak saja dapat bersembahyang di pura, juga mendapatkan pemandangan alam yang indah di kawasan hutan. Pengunjung juga dapat menuju tempat itu melalui jalur laut. Dari Pelabuhan Penyebarangan Gilimanuk-Ketapang hanya dibutuhkan waktu 15 menit.

Untuk menuju telaga, para pengunjung juga dapat melalui jalan utama ruas Gilimanuk-Singaraja. Setelah itu, memasuki kawasan hutan yang kondisi jalannya tidak beraspal, sehingga nuansa alaminya dapat dipertahankan.

Meskipun pengunjung harus melalui kawasan yang secara administrasi masuk wilayah Kabupaten Buleleng, Susrama mengakui, pura dan telaga itu tetap berada di wilayah Kabupaten Jembrana. “Memang jalurnya melingkar. Tapi lingkaran itu kembali berujung-pangkal di wilayah Kabupaten Jembrana,” pungkasnya.

PANCA MAHA YAJNA, Lima Kewajiban dari Kepala rumah tangga/ Grihastha



Selain kegiatan normal yang terkait dengan profesi seseorang (varna dharma) dan tahap dalam kehidupan (ashrama dharma), rutinitas sehari-hari dari seorang Hindu yang taat adalah melakukan Pancha Maha Yajna (lima tugas harian) atau pancha nitya karmas (lima tugas tetap) . Ini adalah praktik minimal yang memandu seseorang dalam kehidupan sehari-hari dan menjamin perdamaian, kesejahteraan material dan spiritual.
Pancha vaa ete mahayajnaassatati Prataayante satati santishtante
Devayajnah pitr. yajno bhutayajno Manushya yajno brahmayajna iti.
- Taittiriya Aranyaka 2.10
“Ini adalah lima pengorbanan besar (panca maha yajna) yang harus dilakukan dan diselesaikan setiap hari. yaitu dewa yajna, pitru yajna, bhuta yajna, manushya yajna dan brahma yajna ”
1. Deva yajna (Hutang kepada Dewa): Memuja Dewa (Deva Yajna) dalam bentuk dewa keluarga (Ishta Devata) di kuil rumah melalui doa dan meditasi. Praktik ini membantu seseorang untuk menjadi sadar akan Tuhan dalam semua kegiatan sehari-hari. Selain itu, praktik ini membangkitkan rasa kebersamaan dalam keluarga, karena anggota keluarga sembahyang bersama dan berpartisipasi dalam ritual, nyanyian, dan penelaahan tulisan suci. Tradisi mengatakan bahwa "sebuah keluarga yang berdoa bersama tetap bersama." Dengan demikian menyenangkan para Dewa melalui homa dan yajna.
2. Pitru yajna (hutang kepada leluhurnya): Renungkan ajaran pria dan wanita suci, dan nenek moyang seseorang (Pitri Yajna). Praktik ini dimaksudkan untuk berfungsi sebagai pengingat untuk melestarikan, memperkaya dan melanjutkan warisan budaya dan nilai-nilai keluarga seseorang. Ini termasuk menyediakan makanan dan air untuk leluhur yang mati. Sementara penghuni rumah yang hidup harus melayani mereka dengan penuh rasa hormat.
3. Bhuta yajnam (hutang terhadap alam): Berikan makanan bagi mereka yang membutuhkan (Bhuta Yajna). Praktik ini dimaksudkan untuk menciptakan semangat berbagi dengan orang lain. Menyediakan makanan untuk anjing, kucing, burung gagak dan makanan untuk hewan lain. Ini termasuk perlindungan hewan piaraan dan binatang liar.
4. Manusya yajna (hutang kepada masyarakat): melayani tamu dengan cinta, dan penuh hormat (Nara Yajna). Praktek ini adalah dasar untuk keramahan tradisi rumah tangga Hindu. Menyediakan makanan untuk manusia (tamu, miskin dll). merawat istri dan anak-anak. Jika seorang istri murni, maka suaminya harus mendukungnya. Dia juga harus membesarkan anak-anak mereka sampai mereka cukup umur.
5. Brahma yajna (hutang kepada para Resi): Pelajari Veda dan kitab suci lainnya (Brahma Yajna). Praktik ini menyegarkan pikiran seseorang dengan pengetahuan suci dan juga membantu melestarikan dan memperkaya pengetahuan tersebut. Ini termasuk menyanyikan dan mengajarkan Veda.
Para perumah tangga yang tidak melakukan lima yagna ini sama dengan mati dan tidak akan mencapai moksha..
Menjalankan itu juga membantu dalam menghilangkan dosa yang terjadi saat menggunakan alat-alat rumah tangga seperti palu, oven, panci air, pembersih dll. Menggunakan alat-alat ini membunuh banyak serangga yang menyebabkan dosa bagi keluarga. Pancha Maha Yajna akan menghancurkan dosa-dosa harian ini.

Tugas, Peranan dan Fungsi Warna, Bukan Kasta Wangsa





Peranan dan Fungsi Brahmana
Brahmana (brh artinya tumbuh), berfungsi untuk menumbuhkan daya cipta rohani umat manusia untuk mencapai katentrama hidup lahir batin. Brahmana juga berate Pendeta, yang merupakan pemimpin agama yang menuntun umat Hindu mencapai ketenangan dan memimpin umat dalam melakukan upacara agamanya. Oleh karena tugasnya itu seorang Brahmana wajib untuk mepelajari dan memelihara Weda, dan tidak melakukan pekerjaan duniawi.

Penjelasan tentang Brahmana ada pada Slokantara sloka I yang berbunyi

“…..tidak ada manusia yang melebihi Brahmana, Brahmana arti (tepatnya) ialah orang yang telah menguasai segala ajaran-ajaran Brahmacari ……….. Brahmana ialah beliau yang mempunyai kebijaksanaan yang lebih tinggi melebihi (pengetahuan) manusia umumnya……”


selanjutnya Mahabharata III. CLXXX, 21, 25 dan 26 menguraikan sifat-sifat dan tanda-tanda Brahmana dan hal itu tidak turun menurun. Bunyinya

“…….jujur, dermawan, suka mengampuni, bersifat baik, sopan, suka melakukan pantangan agama dan pemurah dialah yang hendaknya dipandang Brahmana…..”
“……bila sifat-sifat ini ada pada Sudra dan tidak ada pada Brahmana, Sudra itu bukan Sudra dan Brahmana itu bukan Brahmana”
“Pada siapa tanda ini terdapat, hai ular, dialah yang harus dipandang Brahmana, pada siapa tanda ini tidak terdapat, hai ular, dia harus dipandang sebagai Sudra”.

Dalam Manawa Dharmasastra, X, 65 menjelaskan sifat Warna Brahmana itu tidak ditijau dari keturunan. Sloka tersebut berbunyi

“seorang Sudra menjadi Brahmana dan Brahmana menjadi Sudra (Karena sifat dan kewajiban), ketahuilah sama halnya dengan kelahiran Ksatria dan Waisya”.

Peranan dan Fungsi Ksatria
Ksatria dalam bahasa sansekerta artinya suatu susunan pemerintahan, atau juga berarti pemerintah, prajurit, daerah, keunggulan, kekuasaan dan kekuatan.
Sifat-sifat Ksatria , Bhagavad gita XVIII, 43, menguraikan sebagai berikut

“Berani, pekasa, teguh iman , cekatan dan tak mundur dalam peperangan, dermawan dan berbakat memimpin adalah karma (kewajiban) Ksatria”.

Dalam Manawa Dharmasastra I, 89, menguraikan tentang kewajiban Ksatria. Bunyinya

“ Para Ksatria diperintahkan untuk melindungi rakyat, memberikan hadiah-hadiah, melakukan upacara kurban, mempelajari Weda dan mengekang diri dari ikatan-ikatan pemuas nafsu”.


Dalam lontar Brahmokya Widhisastra lembaran 6a, menyebutkan larangan dan sanksi-sanksi Warna Ksatria, bunyinya

“…. Apabila ada Ksatria berbuat tidak benar………. Diluar sifat Ksatria…… mereka akan menjadi Sudra……”

Peranan dan Fungsi Waisya
Waisya (vic) dalam bahasa sansekerta berarti bermukim diatas tanah tertentu. Dari kata tersebut, kemudian berkembang artinya menjadi golongan pekerja atau seseorang yang mengusahakan pertaniaan.
Dalam Bhagavad gita XVIII, 44, menguraikan kewajiban Waisya, bunyinya

“…Bercocok tanam, berternak sapi dan berdagang adalah karma (kewajiban) Waisya menurut bakatnya….”

Dalam Slokantara sloka 62, diuraikan juga tugas waisya;

"orang waisya bekerja sebagai petani, pengembala, pengumpul hasil tanah, bekerja dalam lapangan perdagangan dan memiliki rumah penginapan. orang yang lahir di keluarga waisya itu lahir sebagai pelindung ladang"

Selain itu dalam Manawa Dharmasastra I, 90, disebutkan pula

“Para waisya ditugaskan untuk memelihara ternak, memberikan hadiah, melakukan upacara korban, mempelajari Weda, meminjamkan uang dan bertani”

Jadi singkatnya fungsi waisya adalah dalam bidang ekonomi.

Peranan dan Fungsi Sudra
Sudra artinya pengbdi yang utama.
Peranan dan fungsi Warna Sudra diuraikan pada Sarasamuccaya, 60, bunyinya

“…….prilahu Sudra, setia mengabdi kepada Brahmana, Ksatria dan Waisya sebagaimana mestinya, apabila puaslah ketiga golongan yang dilayani olehnya, maka terhapuslah dosanya dan berhasil segalanya”

Dalam Bhagavadgita disebutkan bahwa

“…meladeni (menjual tenaga) adalah kewajiban Sudra menurut bakatnya”.

Warna Sudra bukanlah berarti paling buruk dan jelek. Bhagavata Purana, VII, XI, 24, menunjukan cirri-ciri Warna Sudra sebagai mahkluk Tuhan yang utama. Bunyinya

“… kerendahan hati, kesucian, bhakti kepada atasan dengan tulus, ikhlas beryadnya tanpa mantra, tidak mempunyai kecenderungan untuk mencuri, jujur dan menjaga sapi sang Vipra (brahmana) inilah cirri-ciri yang dimiliki oleh Sudra”.

Dalam Slokantara sloka 63, diuraikan juga kewajiban seorang sudra:

"seorang sudra ialah membuat barang pecah belah dan berdagang. ia melakukan pembelian dan penjualan, bekerja dibidang jual beli"

dari slokantara diatas, dikatakan bahwa golongan sudra adalah pedagang, menjual belikan barang dagangannya. dia tidak membuat atau memproduksi barang dagangannya karena itu tugas waisya.

Keempat Warna itu akan dapat saling isi mengisi antara satu dengan yang lainnya. Pengelompokan masyarakat ke dalam empat warna itu akan menumbuhkan hubungan social yang saling membutuhkan. Keretakan diantara profesi itu akan dapat merugikan semua pihak.
lalu adakah golongan selain yang diatas tersebut, selain catur warna...?
tentu ada, yaitu:
golongan CANDALA
dalam slokantara 64 dikatakan bahwa:



"diantara bangsa burung, gagaklah yang candala. diantara binatang berkaki empat, keledailah yang candala. diantara manusia, orang pemarahlah yang candala dan akhirnya orang jahat itulah yang candala"

sebagai imbangan dari sloka diatas, dalam Kitab Niti Sastra I.8 disebutkan bahwa:

"diantara jenis burung jahat, burung gagak yang dianggap candala yang terkenal jahat hatinya. diantara binatang yang berkaki empat, keledailah yang candala karena tersohor rendah budinya. didalam perwatakan, tabiat pemarah itu rendah sekali karena tak mengenal kasih sayang. tetapi candala yang paling rendah melebihi ketiganya diatas itu ialah orang penghianat"

dalam Slokantara 65, kembali ditegaskan lagi bahwa yang bisa dimasukan candala adalah 8 jenis pekerjaan tertentu. adapun bunyinya"

"orang membuat kapur, pembuat arak dan minuman keras lainnya, tukang celup, tukang cuci, pembuat periuk, jagal, tukang mas, tukang celup benang, ini semua termasuk golongan delapan candala"

dan dalam slokantara 66 disebutkan kembali bahwa;

" orang yang membuat minuman keras, pencuci pakaian / penatu, jagal, pembuat periuk belanga dan tukang emas, kelimanya ini dikenal sebagai candala"

Dari sloka diatas dapat dikatakan bahwa yang dinamai candala itu bukan orangnya tetapi pekerjaannya. dia tidak akan lagi dinanai candala jika ia berhenti mengerjakan pekerjaan itu.

Demikianlah tugas, peranan dan fungsi warna, dan ingatlah agama Hindu sanatana dharma tidak mengenal kasta ataupun wangsa, jadi mohon dipilah, jangan sampai terpelosok ke lembah kegelapan. semoga bermanfaat.


Sumber : cakepane.blogspot.com

KEUTAMAAN BELAJAR KANDA PAT

  




Berikut beberapa hal yang layak untuk dipertimbangkan agar kita lebih cepat dalam menguasai Kekuatan Gaib Kanda Pat :

1. Wajib memiliki Guru
Dalam dunia spiritual berdasarkan sumbernya Guru dibedakan menjadi 4 yaitu :
a. Guru Buku, berguru /belajar melalui kitab-kitab, lontar-lontar , atau riwayat kuno yang memang telah diwariskan secara turun temurun.
b. Guru Hidup, berguru atau belajar dari seseorang yang telah menerima wahyu/pewaris, telah mencapai tarap hidup yg tinggi dalam ilmu, memiliki kekuatan dan ilmu gaib, memiliki kepribadian baik, memiliki ketenangan jiwa dan sabar.
Karena saat kita dalam penggalian, ada saat dan ada hal yang tidak bisa kita mengerti, agar tidak tersesat dan salah kekaden, disinilah peranan Guru Hidup seperti pelita yang mencerahkan sangat diperlukan.
c. Guru Alam, berguru/belajar dari getaran-getaran alam dalam mengolah rasa, sehingga kita mampu mengenali getaran atau rasa yg ada disekitar kita, misal jika kita pergi ke suatu tempat, kebetulan tempat itu angker, ada pepasangan dll maka alam akan mengirimkan sinyal kepada kita, kita menerima sinyal itu dan menterjemahkannya kedalam rasa spt merinding, kesieng kesieng, dada terasa panas, pudak berat, dengan sinyal itu kita menjadi tahu bahwa tempat itu angker.
d. Guru Rahasia, biasanya disebut juga Guru Sejati, untuk bertemu dengan Guru Rahasia harus memiliki kesucian lahir batin. Semua orang memilikinya, tetapi tidak semua bisa menjumpainya, Dia berada di tempat yang rahasia...


Agar cepat berhasil dalam belajar spiritual mininal kita memiliki 2 guru dari 4 guru yang ada yaitu Guru Buku dan Guru Hidup.
2. Kepercayaan yang kuat
Kepercayaan merupakan suatu keadaan psikologis pada saat seseorang menganggap suatu ajaran spiritual adalah benar atau nyata, dan layak untuk dipelajari dan diresapi. Tanpa kepercayaan ini mustahil kita bisa memiliki Kekuatan Gaib Kanda Pat.
3. Ketekunan dalam menjalani
Ketekunan merupakan sikap keras dalam berusaha, kesungguhan dalam belajar dan keasyikan atau ada rasa kecintaan didalamnya. Berusaha keras dalam mengekang hawa nafsu, berusaha keras menyelesaikan tirakat/laku, bersungguh sungguh menjauhkan diri dari kenistaan.
4. Sabar.
Belajar spiritual harus dilatih sedikit demi sedikit (tinelatih amrih titik,) wening hening, tidak boleh kesusu (grasa grusu), harus dimengerti di dalam batin melalui olah rasa. Karena siapapun yang ingin memiliki kekuatan gaib Kanda Pat akan diuji oleh kekuatan itu sendiri. Geng yasa geng goda, semakin tinggi kekuatan gaib yg kita inginkan, semakin tinggi cobaan dan godaannya.
5. Tidak ngerusak pagar ayu
Tidak berselingkuh, mengurangi senggama.
Layak tidaknya kita mendapatkan Kekuatan Gaib Kanda Pat, tergantung dari usaha dan ketekunan kita dalam menjalani, karena itu "kesabaran" menjadi amat penting disini.
Sumber : Jaga Satru, Kanda Pat Sari, tuntunan Sembah Hyang Sri Empu Dwijananda
Sebelumnya dari lubuk hati yang terdalam izinkan tiang meminta maaf kepada Para Sepuh di Group niki, atas kelancangan tiang menulis beberapa saran yang mungkin layak untuk dipertimbangkan dalam belajar Kanda Pat, tidak ada niat sedikitpun untuk menggurui, hanya ingin berbagi cara dan jalan semoga bisa menjadi salah satu pilihan. Jika ada yang kurang mohon untuk ditambahkan!

Pura Gunung Gondol Penyabangan; Diyakini Memiliki Mercusuar Gaib

 






PUNCAK BUKIT: Suasana di areal Pura Gunung Gendol yang berada di puncak Bukit Gondol wilayah Desa Penyangan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng. (DIAN SURYANTINI/BALI EXPRESS)





Buleleng Barat adalah kawasan kering yang penuh dengan bebukitan. Perjalan Bali Express (Jawa Pos Group) kali ini menuju Desa Penyabangan, Kecamatan Gerokgak. Tepatnya ke Pura Gunung Gondol. Pura ini berlokasi di puncak bukit yang tidak terlalu tinggi di pinggir pantai. Pura ini pun selama ini diyakini memiliki mercuasiar gaib, dan ditafsir sebagai tempat untuk memantau musuh.


Untuk menuju ke lokasi pura, kurang lebih membutuhkan waktu 2 jam dari pusat Kota Singaraja, Buleleng. Jalan menuju pura terletak di kanan jalan bila dari arah Singaraja. Tepat disebelah Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan (BBRBLPP), yang terdapat jalan kecil menuju ke utara. Sepanjang jalan tersebut akan disuguhi pemandangan pantai dengan hamparan pasir putih. Tak jauh dari sana, tampak sebuah bukit layaknya pulau kecil yang tak berpenghuni. Disanalah lokasi Pura Gunung Gondol.


Setibanya di areal pura, dengan didampingi Pemangku Pura Gunung Gondol, pertama akan menjumpai Palinggih Gusti Bagus yang masih terbuat dari turus lumbung. Kemudian Palinggih Ganesha yang masih berbentuk seonggok batu. Naik lagi akan bertemu Palinggih Mekele Gede, Bhatara Semar, Palinggih Raja Merana (hama), Ratu Niang Lingsir. Kemudian tepat ditepian jalan melingkar akan ada Palinggih Bunda Ratu sebagai penguasa laut. Sebelah selatannya ada Palinggih Bunda Dewi Kwan In, lalu Palinggih Ulo Ratu.




Sampailah pada utama mandala. Disana terdapat Palinggih Surya, Taksu, dan Peraneman. Uniknya disana terdapat pula sebuah tugu yang dibalut kain merah putih. Di depannya terdapat dua buah tiang bendera legkap dengan bendera merah putih dan tergantung foto Soekarno. Konon tugu itu adalah tiang pemantau yang digunakan untuk memantau musuh yang datang dari arah laut. Ternyata tugu yang ditafsir terbuat dari tembaga itu adalah mercusuar. Sebab sewatu-waktu dapat mengeluarkan sinar.

Sembari duduk diatas bebatuan yang ada disekitar pura, Jro Mangku Nyoman Masjana yang akrab disapa Jro Jengki ini bercerita awal mula ia ngayah di Pura Gunung Gondol. Sebelumnya ia adalah seorang pengelana. Hidup bebas dari satu tempat ke tempat yang lain. Hidup sesuka hati yang kerjanya hanya foya-foya. Sampai akhirnya ia mendengar bisikan-bisikan yang memintanya untuk mengabdikan diri di suatu tempat. Ia pun kembali ke Bali pada tahun 2010. Sejak saat itu ia mulai sering mendengar panggilan-panggilan yang entah dari mana asalnya. “Baru kembali tahun 2010 dari Tarakan. Sebenarnya sudah ada pelinggih. Ada tiga. Tapi masih gunung. Tidak terurus. Saat di Tarakan, saya mendengar suara. Saya diminta untuk ngayah. Suara itu seperti suara komandan perang. Saya hanya mendengar suara saja, tidak pernah melihat wujud. Suaranya sangat jelas,” tuturnya sembari menghisap sebatang rokok kretek.

Paggilan itupun tidak sekali dua kali ia dengar. Panggilan itu selalu mengikutinya hingga ia memutuskan untuk mencari sumber suara tersebut. Jro Jengki pun sempat menginap atau mekemit di beberapa pura untuk memohon petunjuk agar menemukan sumber suara yang memanggilnya, meminta ia untuk ngayah. “Karena suara itu terus memanggil saya, saya selalu mencari. Suaranya jauh sekali diawang-awang, tapi jelas. Dan memanggil saya. Saya sampai mencari ke Bunut Bolong, Uluwatu, Besakih, dan masih banyak lagi. Sampai akhirnya saya putus asa dan tidak peduli lagi. Ini paling telinga saya saja yang rusak. Salah dengar atau yang lainnya,” jelasnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Karena merasa hal tersebut hanya mimpi dan halusinasi, Jro Jengki tidak lagi mencari sumber suara itu. Meskipun ia tetap mendengar suara tersebut, namun ia tetap acuh. Sampai suatu ketika ia penasaran dengan keramaian yang ada di Bukit Gondol saat ia berjalan-jalan di pantai. “Suatu ketika saya berjalan di pantai, saya melihat ada banyak orang di Gunung Gondol. Ternyata ada yang membangun wantilan. Saya naik kesana, tiba-tiba saya mendengar suara itu lagi. Saat itu saya kaget. Ternyata asal suara itu dari sini. Dan kedatangan saya sudah ditunggu. Tidak ada yang mendengar. Hanya saya. Orang-orang tidak ada yang percaya sampai saya dikira gila. Saat itu pula saya langsung menyanggupi untuk ngayah di tempat ini sampai nafas terakhir saya,” kata dia.

Setelah menyanggupi tugas yang diberikan untuk ngayah di tempat tersebut, ia lalu pulang mengabari keluarganya. Ia menyampaikan kepada keluarga bahwa ia telah berjanji untuk mengabdi menjadi pemangku di pura tersebut. Sejak saat itu pula ia telah terikat dengan Pura Gunung Gondol. “Saya juga bilang ke keluarga, mulai saat itu saya akan ngayah di Gunung Gondol. Anggap saya tidak ada. Saya tidak akan memberikan nafkah lahir bathin. Saya bilang kepada istri saya juga, jika ingin menikah lagi, saya persilahkan. Karena saya berjanji seluruh hidup saya, saya gunakan untuk ngayah di tempat ini. Saya akan lakukan tugas saya sampai akhir. Karena panggilan ini dari tahun 1995 sudah saya dengar,” lanjutnya.

Ketika mulai ngayah dan mengabdikan diri, Jro Jengki selalu berada di lokasi pura untuk menata tempat itu. Berhari-hari ia tidak pulang. Untuk bertahan hidup, Jro Jengki hanya memakan buah yang ada di Bukit Gondol. Saat berada disana untuk bersih-bersih, Jro Jengki mendengar suara yang memerintahkannya untuk mengambil sesuatu diantara bebatuan. Ternyata disana terdapat gambar Bung Karno yang terbuat dari tembaga. “Saat saya berada disini, saya tidak makan. Saya makan buah-buahan yang ada disini saja. Kebetulan ada bekul. Saya makan itu saja. Supaya saya kenyang saja. Tiba-tiba saya mendengar suara yang sama dengan perintah mengambil seseuatu dibagian bawah batu. Saya ikuti ternyata ada gambar Bung Karno dari tembaga seberat setengah kilogram. Ada tiga itu. Aslinya ada di rumah saya. Saat saya temukan, saya lapor ke aparat desa dan kepolisian. Saya takut karena ini benda purbakala, nanti saya dikira mencuri. Saat ini saya simpan di rumah,” ujarnya.


Pengerjaan pura terus dilakukan, penataan tempat maupun taman. Setelah beberapa lama, muncul sinar terang berwarna hijau. Jro Jengki menyaksikan sendiri cahaya tersebut. Ia pun mencari sumber cahaya itu. Ditengah perjalanan ia bertemu dengan warga yang juga melihat sinar itu. Ia menyampaikan kepda Jro Jengki bahwa sinar itu berasal dari bukit. Jro Jengki bergegas ke bukit ingin membuktikan kemunculan sinar itu. “Muncul sinar palang X berwarna hijau saat kajeng kliwon. Dari kejauhan saya lihat dari atas Gunung Gondol ini. Setelah saya cari kesini sinarnya jauh diatas. Lagi saya turun untuk memastikan, adanya disini. Lalu lagi saya naik, lagi sinar itu jauh diatas. Saya penasaran, saya tungguin. Saya semedi disini, lalu diberi petunjuk. Ternyata sinar itu muncul dari sebuah patok tembaga lebih dari satu meter tertancap di depan pura,” bebernya.

Menurut Jro Jengki, kemunculan sinar itu tidak sekali dua kali saja. Setelah kemunculan sinar hijau yang pertama, ia pun menyaksikan kembali kemunculan sinar berikutnya. “Setelah saya amati, beberapa hari kemudian muncul lagi sinar berwarna hijau dan merah. Sinar itu layaknya mercusuar ditengah laut. Tapi yang dilihat mata kita, manusia ya ini, patok ini. Keluarnya dari sini,” tegasnya.