Rabu, 10 Januari 2024

kisah Maharsi Wiswamitra

 

Semesta tempat kita hidup ini mengandung semua unsur: gelap, terang, baik, buruk, frekwensi tinggi, frekwensi rendah, bhur, bwah, swah. Dengan yang mana kita terkoneksi, tergantung dari bagaimana kita, di frekwensi mana kita berada.

Manawadharmasastra V.109 mengajarkan “Adbhirgatrani suddhyanti, manah satyena suddhyanti, widya tapobhyam bratatma, buddhirjnana suddyati” (tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kejujuran, atman disucikan dengan tapa brata, budhi disucikan dengan kebijaksanaan).
Seorang maharsi bisa jatuh bangun dalam usahanya mencapai kesempurnaan tapa brata, sebagaimana kisah Maharsi Wiswamitra.

Rsi Wiswamitra dulunya adalah seorang raja, bernama Kausika. Suatu saat raja Kausika mampir ke ashram Maharsi Vasista. Disana dia menerima jamuan mewah dan karenanya dia merasa heran, darimana Rsi Vasista memperoleh makanan mewah ini, di ashram yang berada di tengah hutan belantara? Rsi Vasista memberitahu tamunya bahwa ashram memiliki seekor sapi anugerah dewata yang mampu memberikan apapun kebutuhan ashram. Raja Kausika tergoda untuk memiliki sapi itu, sehingga timbullah pertempuran karena sapi tidak bersedia dibawa ke kerajaan. Sapi itu menciptakan pasukan dimana dangan itu raja Kausika dikalahkan. Raja Kausika merasa terpukul dan meletakkan jabatan, kemudian menjadi pertapa dengan satu tujuan: mengalahkan Rsi Vasista. Dengan tapanya yang keras, ia memperoleh Brahmastra kemudian menyerang Rsi Vasista. Namun, Rsi Vasista tetap bukan tandingannya. Energi Brahmasta luluh diserap kekuatan Rsi Vasista. Raja Kausika kembali mepakukan tapa yang lebih berat, untuk memperoleh kekuatan yang lebih dahsyat. Dewa Indra lalu mencoba keteguhan tapa Kausika dengan mengirim bidadari Menaka, dan ternyata Kausika tergoda. Mereka menikah dan dari pernikahan itu lahir Sakuntala, yg kelak dipinang Raja Dusmanta, leluhur bangsa Bharata.

Kausika menyesali kegagalannya, lalu kembali bertapa dengan tekad yg lebih keras. Maka ketika Dewa Indra kembali mengirim bidadari Rhamba, Kausika tidak lagi tergoda. Ia marah atas sikap Rhamba yang menggoda tapanya, lalu mengutuknya. Namun ia segera menyadari, bahwa ia tetap gagal. Kali ini ia gagal mengendalikan amarah yg berujung kutukan. Maka ia kembali bertapa dengan tekad yg lebih kuat lagi, kali ini ia menutup seluruh indria termasuk mulutnya. Dan di ujung tapanya, Rsi Vasista datang memeluknya dan menganugerahkan gelar Brahmarsi dan Kausika berganti nama menjadi Wiswamitra. Kemarahan, dendam dan rasa persaingannya luluh, ia kini sempurna disucikan tapanya.


Demikianlah kekuatan dan di disi lain godaan tapa brata. Dan kita harus menyadari, tiap hari dalam hidup kita adalah “pertapaan”, apapun profesi kita dan dimanapun kita hidup. Dan itu adalah proses terus menerus dari satu tangga ke tangga yang lain.

Untuk memperkuat pembersihan diri, kita juga tiap hari berdoa “om pranamya bhaskara dewam, sarwa klesa winasanam”.
Kita memohon agar Dia yang maha cemerlang menghancurkan klesa atau kekotoran bathin kita.
Menurut Yoga Sutra Patanjali, ada 5 klesa yaitu: 1). Awidya, ketidaktahuan. Seperti cermin tertutup debu, demikianlah ketidaktahuan menutupi kita sehingga kita lupa akan hakikat sang diri. 2). Asmita, atau ahamkara, ego. Inilah banyak sumber masalah dunia. Merasa berjasa, merasa besar, merasa istimewa. “Aku” seolah2 menjadi pusat semesta, padahal galaksi bima sakti saja hanya setitik debu dalam semesta. 3). Raga, keterikatan akan hal2 duniawi. Mobil mewah, rumah mewah, pasangan glowing dan banyak hal2 duniawi lainnya yang tak bertepi. 4). Dvesa, penolakan bahkan kemarahan atas hal2 yang tidak diinginkan.
Padahal dunia diisi milyaran mahluk yg tidak bisa kita atur. Belajar menerima hal2 yg tdk kita inginkan adalah salah satu kunci bersihnya hati. 5). Abhinivesah, ingin hidup dan takut mati. Ini alami, tapi bukankah satu2nya yg pasti bagi yg hidup adalah mati? Maka tak usah takutkan kematian, tapi takutlah bila hidup memunggungi kebenaran.

Pada akhirnya, bagaimanapun, kita harus membawa ajaran2 dan pengetahuan spiritual itu dalam hidup keseharian kita. Melatih diri agar semakin hari semakin dekat dengan tuntunan kebenaran, tidak hanya karena kebenaran itu bersumber dari kitab suci, tetapi juga karena ajarannya etis dan logis.

Untuk ini tidak ada cara instan. Latihan dan disiplin adalah satu2nya cara. Seperti kita minum kopi pahit, awalnya sangat tidak enak. Enaknya kopi adalah pada pahit yang bercampur manis. Tapi dengan latihan minum kopi pahit setiap hari, dalam 6 bulan kita akan mulai merasakan nikmatnya kopi pahit. Kita mulai merasakan sensasinya, bahkan tiba2 ada rasa manis muncul. Bila kita bisa melatih indria lahiriah kita, dengan cara yang sama kita juga bisa melatih dimensi batiniah kita. Mengendalikan amarah, meluruhkan klesa sebagaimana doa Panca Sembah bait ke 2 itu, sama mungkinnya dengan penerimaan lidah pada kopi pahit. Yang kita perlukan adalah pengetahuan dan komitmen. Dan, itu adalah sebaik2nya ajaran agama: yaitu ajaran yang meningkatkan kualitas hidup kita dan mewujud dalam tri kaya parisudha kita. 

GAMA TELU




 Di Nusantara ada ajaranya GAMA TELU yaitu :

1. AGAMA
2. IGAMA
3. UGAMA
Yang mampu membebaskan Sang Roh dari Kemelekatan Jagat Alit ( Tri Sarira ) dan Melepaskan Sang Roh dari kemelekatan Jagat Agung ( Tri buana ) dan menjadikan Sang Roh Kudus yang berwujud Nur yaitu Cahaya ( dewa ) sehingga bisa kembali ke asal yaitu Pusat Cahaya ( Dewa Siwa - Siwa Raditya - Matahari ).
Karena kita di ajarkan untuk menerima kenyataan apa adanya ( Ana - Agama ) menjalani Hidup dengan Logika Ilmiah ( Idep - Igama ) sehingga muncul Rasa dalam bentuk Kesadaran akan Diri Sejati ( Urip - Ugama )


9 Pelinggih




Pelinggih di Mrajan Kawitan yang jumlahnya ada 9 Pelinggih kita urai satu persatu termasuk sumber sastra Kitab Suci nya antara lain sbb:

Pelinggih Rong Tiga adalah untuk memuja leluhur yang disebut sebagai Bethara Eyang dari seluruh garis keturunan nya. Sumber sastra nya disabdakan dalam: Regveda.
Kedua Pelinggih Taksu (rong satu atau dalam bentuk tugu). Taksu dimaknai kekuatan, kekuatan dari pemuja nya apapun profesinya bertujuan untuk memohon segala keperluan sesuai profesinya Sejatinya yg dilinggihkan di Pelinggih Taksu adalah Sarasvati karena Sarasvati sakti dari Brahma mempunyai kemampuan untuk memenuhi segala permohonan (Atharvaveda XXVIII, 1, 41). Yang dilinggihkan Sarasvati tetapi di abhiseka sebagai Hyang Taksu.
Ketiga Pelinggih Surya yang tempat ditengah antara Rong Tiga dan Taksu bentuk Pelinggih nya Padmasana ada simbol acintya nya tetapi di bebataran paling bawah tidak ada simbol naga taksaka dan antaboga serta bedawang nala. Surya adalah Dewa dari segala Dewa (Regveda I, 50, 10).
Kesimpulan nya: kalau membangun Mrajan untuk satu keluarga sesuai yg dianjurkan dalam Lontar Bhama Kerti atau Purwa Bhumi Kemulan maka Pelinggih cukup tiga atau Tri Lingga, inilah kebenaran yang mutlak itu berarti Pelinggih yang lainnya semata mata mengikuti adat kebiasaan di Desa/lingkungan yang dianggap benar.

Selasa, 09 Januari 2024

Siwa Ratri Malam perenungan dosa

 



Bagaimanq Penebusan dosa semasih hidup dapat dilakukan dalam agama hindu.baca dengan seksama.

Tuhan telah memberikan kebebasan berkehendak kepada umat manusia, dan sastra-sastra Veda telah memberikan tuntunan agar kita bisa hidup di jalan Dharma. Sarasamuscaya 18 menyatakan Dharma dapat melebur dosa jagat tiga ini. '"dharma mantasakenikang triloka'"
Sebelumnya, sloka 17 menyebutkan, bagaikan prilaku matahari yang terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikian pulalah orang yang melakukan Dharma. Dharma akan memusnahkan segala macam dosa. Sebaliknya, mereka yang melanggar Dharma akan dihukum dengan siklus kelahiran dan kematian (punarbhava) yang tidak jelas kapan berakhirnya. Semasih hukum Karma dan Punarbhawa mengikat kita, maka selama itu kebebasan (moksha) tidak akan tercapai.
Permohonan ampun atas dosa-dosa yang telah dilakukan diajarkan dalam Sruti. Melalui pemujaan kepada Varuna. Tuhan memberi peluang agar manusia bertobat. Disebutkan, "Bila melalui kehendak pikiran, kami melanggar hukum-Mu, sudilah Engkau tidak menghukum kami "(Rgveda VII.89.5). Mengingat mantram itu ada dalam Sruti, maka dapat dijadikan jaminan bahwa Tuhan Veda pun memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk melakukan pertobatan. Pertobatan, yang dalam Hindu disebut prayascita, dapat dilakukan dengan upacara samskara (penyucian dari luar) tetapi yang lebih penting adalan penyucian dari dalam diri, lewat tapa, brata, yoga, dan samadhi.
Manawa Dharmasastra II. 102 memberikan petunjuk, bahwa dosa terhapus dengan melakukan sandhya mengucapkan mantra Savitri. Mantra Savitri lebih dikenal sebagai Gayatri Mantram, karena memakai chanda Gayatri. Mantram tersebut sesungguhnya terdapat dalam Rgveda III. 62.10, serta Yajurveda 11.35 dan XXX.2. Itu berarti, mantra bait pertama Puja Trisandhya itu sesungguhnya sangat utama karena dapat menghapuskan dosa orang yang merafalkannya dengan penuh ketulusan hati, apalagi dilakukan
dengan berjapa.
Lewat upacara samskara, khususnya yang berkaitan dengan manusa samskara, kita sering menggunakan banten beakala (bayakaon), pengelukatan, prayascita, sampai sesayut guru piduka. Semua itu mengemban makna mengusir sumber dosa, pembersihan diri dari dosa-papa, dan permohonan maaf kepada Tuhan. Tindakan tersebut akan semakin efektif jika dilengkapi dengan penyucian diri dari dalam dengan asucilaksana. Yajur Veda XIX. 30 menyatakan bahwa kesucian (diksa) diperoleh melalui pengendalikan indria (brata). Brata sendiri adalah disiplin akan tapa.
Berikutnya, Manawa Dharmasastra V. 109, secara bertahap menuntun umat manusia melakukan penyucian diri mulai dari pembersihan tubuh dengan air, pikiran dengan kebenaran, jiwa dengan tapa brata, kemudian kecerdasan (buddhi) dengan pengetahuan yang benar (jnana). Kitab-kitab susastra, menegaskan perlunya melaksanakan japa, dan pemakaian bhasma (Wrhaspati Tattwa dan Panca Siksa). Bahkan, bhasma sendiri dianggap sebagai pelebur dosa. Lebih rinci lontar Silakrama menyebutkan bahwa prayascita mesti akukan dengan mandi, nyurya sevana, melakukan pemujaan, berjapa, dan melaksanakan homa (agnihotra).

Dari uraian di atas, prayascita sebagai bentuk peleburan dosa, telah diajarkan dalam Veda dan susastranya. Karena itu, permohonan dalam Tri Sandhya tidaklah sia-sia. Pada bait keempat mantram tersebut ada pengakuan penyembah yang penuh nestapa. "Papo ham papakarmaham papatma papasambhavah. Lebih lanjut, pada bait kelima penyembah memohon pengampunan kepada Mahadewa. Sang Penyelamat segala makhluk. Permohonan ampun atas segala dosa yang dilakukannya, disampaikan lagi pada bait keenam (terakhir). Om ksantavyah kayiiko dosah (ampunilah segala dosa karena perbuatan hamba), ksantavyo vaciko mama (ampunilah dosa karena ucapan hamba), ksantavyo manaso dosah (ampunilah dosa yang berasal dari pikiran hamba), tat pramadat ksama-svamam (ampunilah segala kelalaian hamba).
Itu adalah mantram harian umat Hindu, yang secara eksplisit pula menepis pandangan bahwa Hindu tidak mengenal pengampunan dosa! Pandangan itu keliru, karena Sri Krishna sendiri mewejangkan, bahwa orang-orang yang telah meninggalkan (menyelesaikan) semua swadharmanya, dan datang mohon perlindungan kepada Brahman, akan dibebaskan dari segala dosa (Bhagavad gita. XVIII. 66).
Brata Sivaratri
Mengingat Veda tidak banyak dikenal oleh masyarakat awam, maka para Maharsi membuatkan menu spiritual buat mereka dalam bentuk ceritera yang mudah dimengerti. Dalam kitab-kitab Purana, pengampunan atau peleburan dosa dikemas dalam bentuk brata Sivaratri. Brata yang dilakukan pada setiap purwanining Tilem, khususnya Maha Sivaratri pada Purwanining Tilem Kepitu, ditujukan kepada Dewa Siva. Berbagai kitab Purana menyebutkan keagungan dan keutamaan brata tersebut. Ada yang mengatakan mampu menyeberangkan penyembahnya dari alam neraka (Garuda Purana), ada pula yang menyatakan akan mendatangkan kebahagiaan dan kebebasan (Agni Purana).
Sementara itu, Padma Purana menyebutkan sebagai malam peleburan atau pembebas manusia dari kepapaan. 'Sivaratri wijneya sarvapapa paharini' atau 'tesam papaninasyanti sivaratri prajagarat'. Lebih rinci lagi, dalam Siva Purana disebutkan, bahwa di antara berbagai brata, seperti tirtayatra, dana punya, yajna, tapa dan japa, semua itu tidak ada yang melebihi keutamaan brata Sivaratri. Hal senada disampaikan dalam Sivaratri Kalpa 37, 7-8 : walaupun benar-benar sangat jahat, melakukan perbuatan kotor, membunuh orang tidak bersalah, congkah dan tidak hormat kepada guru, membunuh bayi dalam kandungan, seluruh kepapaan itu lenyap dengan melakukan brata Sivaratri.
Label brata menunjukkan Sivaratri tidak cukup dilakukan sekali dalam setahun, tetapi harus setiap saat sepanjang hayat. Kata ratri yang bermakna malam mesti dimaknai sebagai kegelapan pikiran yang disebabkan oleh avidya dalam bentuk Sapta Timira, yang disimbolkan dengan Purwanining Tilem Kapitu. Brhadarannaka Up. 1.3.28 menyebutkan, tamaso ma jyotirgamaya, tuntunlah hamba dari kegelapan pikiran menuju cahaya suci-Mu, ya Tuhan. Agar bisa lepas dari peteng pitu, maka kita harus jagra, bangkit dari tidur (turu). Dalam Vrhaspati Tattwa, tidur berarti dibelenggu oleh indria dan berbuat menurut tuntutan nafsu (raga). Orang-orang demikian disebut manusia papa (khilap). Agar bebas dari papa, Deva Siva memberikan petunjuk, " ... yan matutur ikang atma ri jatinya ..." Maknanya, kesadaran akan sang diri. Orang yang sadar akan jati dirinya, bahwa dia atma bukan badan (deha), akan berbuat atas dasar kedasaran atma, sehingga bebas dari dosa.

Dalam kesadaran atma, orang melakukan upavasa yang pada akhirnya menyatu dengan Sunya. Upavasa berarti mendekatkan diri dengan penguasa, dalam hal ini Tuhan. Dalam aktivitas fisik diwujudkan dengan tidak makan. Mengingat makanan menentukan pikiran, dan pikiran menjadi pengendali perbuatan (karma), maka pengendalian pikiran secara langsung mengendalikan gerak karma kita. Monabrata yang berarti tidak berbicara, mengandung makna penyucian ucapan. Mona melahirkan kesunyian, yang merupakan simbolik Sunya, Tuhan itu sendiri. Dengan demikian, secara simbolik brata Siwaratri membuat Tri Kaya menjadi suci (suddhi). Jagra menyucikan buddhi dan manah, upavasa menyucikan karma, dan mona memprayascita ucapan.
Upaya prayascita Tri Kaya menurut brata Sivaratri sejalan dengan petunjuk Lontar Agastya Parva yang bersifat Sivaistik. Lontar tersebut menyebutkan ada tiga cara untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan, yaitu tapa, yajna, dan kirti. Tapa mengandung makna pengendalian indria. Mereka yang tidak melakukan tapa, secara spiritual sesungguhnya adalah mayat (sava) berjalan. Berdasarkan pengendalian diri, orang-orang melakukan yajna, dan jadilah mereka penyembah yang mencintai Tuhan. Mencintai Tuhan tidak cukup dengan yajna semata, tetapi mereka harus melakukan pelayanan kepada makhluk lain, sebagai wujud fisik Tuhan. Pelayanan itulah yang disebut kirti, sadhana atau seva. Mereka kini menjadi orang-orang yang dicintai Tuhan, yang pada akhirnya mereka akan menyatu dengan Siva.
Orang-orang yang mendapat berkah Sivaratri akan memiliki keluarga bahagia bagaikan keluarga besar Dewa Siva. Dalam keluarga Siva yang pluralistik semua hidup harmonis. Kata keluarga sendiri berasal dari kata kula (=pelayanan) dan warga (=jalinan). Karena itu, keluarga bermakna jalinan pelayanan atas dasar cinta. Wahana Dewa Siva berupa lembu Nandini, sementara di leher-Nya melilit ular kobra yang sangat berbisa. Parwati, Sakti Dewa Siva, mengendarai singa, sementara kedua putranya, masing-masing Ganesha mengendarai tikus dan Kumara berwahana burung merak. Dalam kehidupan nyata, betapa susahnya menyatukan sapi dengan singa, ular dengan tikus, dan buruk merak dengan ular. Namun dalam keluarga Siva, semua itu bisa hidup berdampingan karena mereka memiliki cinta sebagai unsur pemersatu. Semoga pikiran baik datang dari segala penjuru.

Minggu, 07 Januari 2024

Lis amu amuan

  


Jan banggul
Tipat pusuh simbol jantung....aksara suci "I"
Tipat tulud simbol Ati ...aksara suci "A"
Tipat lepas simbol ginjal ....aksara sucinya "KA"
Tipat lasan simbol paru" aksara sucinya " SA "
Basang wayah simbol usus besar....aksara suci "MA"
Basang Muda simbol usus halus...aksara suci "RA"
Lawat buah simbol pembuluh getah bening ....aksara sucinya "LA"
Tangge menek tangge tuwun simbol usus 12 jari aksara sucinya "WA"
Lawat Nyuh simbol urat syaraf...aksara suci "YA"
Isuh" simbul pembuluh darah....aksara suci "UNG"

LIS AMUAN memiliki makna sebagai sarana untuk memohon kekuatan penyucian dan kekuatan " DASA BAYU " yg merupakan penyangga urip dr setiap insan di alam semesta ini.
Sesuai mantra DASA BAYU :
ONG, I A KA, SA, MA, RA, LA, WA, YA, UNG
Digunakan pada banten :
Banten Durmenggala
Banten Pengulapan
Serta banten yg lainnya yg butuh/dilengkapi lis amuan

Jenis & Unsur DiBalik Banten Segehan



 Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibuat kerucut) kecil-kecil atau dananan.

Wujud banten segehan berupa ganjal taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.

Makna Banten Segehan

Segehan artinya “Suguh” (menyuguhkan), dalam hal ini segehan di haturkan kepada para Bhutakala agar tidak mengganggu dan  juga Ancangan Iringan Para Betara dan Betari, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan insan dalam kala waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan mampu menetralisir dan menghilangkan dampak negative dari limbah tersebut. Segehan juga mampu dikatakan sebagai lambang harmonisnya kekerabatan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).
Segehan ini biasanya dihaturkan setiap hari. Penyajiannya diletakkan di bawah atau sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan. Segehan dan juga Caru banyak disinggung dalam lontar Kala Tattva, lontar Bhamakertih. Dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam) dan menghaturkan persembahan di kawasan-tempat terjadinya pembunuhan, seperti pada ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan.

Jenis-Jenis Banten Segehan
1. Segehan Kepel Putih
Segehan kepel putih ini yaitu segehan yang paling sederhana dan biasanya seringkali di haturkan setiap hari.
2. Segehan Putih Kuning
Sama mirip segehan putih, hanya saja salah satu nasinya diganti menjadi warna kuning.
biasanya segehan putih kuning ini di haturkan di bawah pelinggih

3. Segehan Kepel Warna Lima (Manca Warna)
Sama mirip segehan kepel putih, hanya saja warna nasinya menjadi 5, yaitu putih, merah, kuning, hitam dan brumbun. Dan penempatan warna mempunyai daerah atau posisi yang khusus sebagi pola ;

  • Warna Hitam menempati posisi Utara.
  • Warna Putih menempati posisi Timur.
  • Warna merah menempati posis selatan.
  • Warna kuning menempati posisi Barat.
  • Sedangkan Warna Brumbun atau kombinasi dari ke empat warna di atas menempati posisi di tengah tengah, yang mampu di katakan Brumbun tersebut sebagai Pancernya.

Segehan Manca Warna ini biasanya di letakkan pada pintu masuk pekarangan (lebuh pemeda­l)atau di perempatan jalan

4. Segehan Cacahan
Segehan ini sudah lebih sempurna alasannya adalah nasinya sudah dibagi menjadi lima atau delapan tempat. sebagai bantalan dipakai taledan yang berisikan tujuh atau Sembilan buah tangkih.
Kalau menggunakan 7 (tujuh) tangkih, sebagai berikut:

  • 5 tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di timur, selatan, barat, uatara dan tengah.
  • 1 tangkih untuk daerah untuk lauk pauknya ialah bawang, jahe dan garam.
  • 1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
  • kemudian diatas disusun dengan canang genten.
  • Kalau memakai 9 (sembilan) tangkih,sebagai berikut:
  • 9 tangkih untuk kawasan nasi yang posisinya di mengikuti arah mata angin.
  • 1 tangkih untuk kawasan untuk lauk pauknya adalah bawang, jahe dan garam.
  • 1 tangkih lagi untuk kawasan base tampel, dan beras.
  • lalu diatas disusun dengan canang genten.
  • Keempat jenis segehan diatas mampu dipergunakan setiap kajeng kliwon atau pada ketika upacara–upacara kecil, artinya dibebaskan penggunaanya sesuai dengan kemampuan.

5. Segehan Agung
Merupakan tingkat segehan terakhir. Segehan ini biasanya dipergunakan pada ketika upacara piodalan, penyineban Bhatara, budal dari pemelastian, serta menyertai upacara Bhuta Yadnya yang lebih besar lainnya. Adapun isi dari segehan agung ini yakni; alasnya ngiru/ngiu, ditengahnya ditempatkan daksina penggolan (kelapanya dikupas tapi belum dihaluskan dan masih berserabut), segehan sebanyak 11 tanding, mengelilingi daksina dengan posisi canangnya menghadap keluar, tetabuhan (tuak, arak, berem dan air), anak ayam yang masih kecil, sebelum bulu kencung ( ekornya belum tumbuh bulu yang panjang) serta api takep (api yang dibentuk dengan serabut kelapa yang dibentuk sedemikian rupa sehingga membentuk tanda + atau tampak dara).
Adapun tata cara ketika menghaturkan segehan yaitu pertama menghaturkan segehannya dulu yang berdampingan dengan api takep, lalu buah kelapanya dipecah menjadi lima, diletakkan mengikuti arah mata angin, kemudian anak ayam diputuskan lehernya sehingga darahnya menciprat keluar dan dioleskan pada kelapa yang telah dipecahkan tadi, telor lalu dipecahkan, di”ayabin” lalu ditutup dengan tetabuhan.

Setiap menghaturkan segehan kemudian di siram dengan tetabuhan, tetabuhan ini mampu memakai air putih yang higienis, atau tuak, brem, dan arak. Dengan cara mengelilingi segehan yang di haturkan.

Unsur-unsur Banten Segehan
Setiap unsur-unsur dari segehan sejatinya memiliki filosofi didalamnya, berikut penjelasannya:

Di atasnya disusun canang genten. Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, ialah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai bakteri/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah  biar semua kuman, Virus, bakteri yang merugikan yang ada di sekitar kawasan itu menjadi hilang/mati. (CF/Google)

Banten Otonan, Cara Otonan, Mantra Otonan

 



Bagaimanakah tata cara yang benar saat ‘ngotonin’? Pertanyaan seperti ini sering sekali muncul dari orang tua terutama ibu-ibu muda yang akan Otonan anaknya. Seperti, apa sajakah bantennya, dan bagaimanakah langkah-langkah membuatnya, dan siapa sajakah yang boleh “Otonan”.
Bahan-bahan Persiapan Banten Otonan
Penggunaan Banten sebenarnya fleksibel, namun beberapa masyarakat menggunakan banten seperti tumpeng telu dan tumpeng lima. Pada banten tumpeng lima berisi banten : Pengambean Dapetan Peras Pejati Sesayut Segehan Sarana-sarana lain seperti, Bija, Dupa, Toya Anyar, Tirta Pelukatan, dan Tirta Hyang Guru.
Tahapan-tahapan Sebelum memulai, sang ibu wajib ngayab (menghaturkan) banten kehadapan Sang Hyang Atma. sebagai pertanda bahwa inilah hari dimana beliau manumadi (menjelma). Dilanjutkan menghaturkan Segehan ring sor ( bawah ) bale atau tempat anaknya me’otonan’. Memohon kepada Sang Hyang Butha Kala agar prosesi berjalan lancar, terbebas dari mara bahaya. Selanjutnya ritual otonan dapat dimulai.



Pertama-tama adalah mesapuh-sapuh, yaitu mengusap telapak kanan anak dengan Buu, dimulai dari tangan kanan kemudian tangan kiri, diiringi dengan sesontengan
"Cening-cening ne jani mesapuh-sapuh, apang ilang dakin liman ceninge, apang kedas cening ngisiang urip’
Dilanjutkan mengusap dengan toya anyar. Mesapuh-sapuh bertujuan untuk menghilangkan mala atau leteh pada badan kasar yang bersangkutan. Dilanjutkan dengan masegau atau matepung tawar, yaitu mengusap kedua tangan yang bersangkutan dengan don dapdap.
"Cening-cening ne jani masegau, suba leh liman ceninge melah-melah ngembel rahayu’
Selanjutnya yang bersangkutan diberi tirta pelukatan. Maknanya adalah, menyucikan, menetralisir kembali Sang Hyang Atma. Agar jiwa yang bersangkutan senantiasa suci, melah (baik), ngembel (dalam genggaman) dan rahayu (keselamatan).
Dilanjutkan dengan Matetebus. Ambil dua helai benang, pertama diletakan di atas kepala sisanya dililit dipergelangan tangan kanan yang bersangkutan, diiringi sesontengan.
Setelah itu yang bersangkutan diberi tirta Hyang Guru. Ini memiliki makna agar yang bersangkutan memperoleh kesehatan dan keselamatan lahir batin, selalu diberi perlindungan oleh sang pencipta.
Yang terakhir adalah Ngayab Sesayut diputar 3 kali searah jarum jam diiringi sesontengan
"Nah jani cening ngilehang sampan, ngilehang perahu, batu mokocok, tungked bungbungan, teked dipasisi napetang perahu bencah”.
Banten pengenteg bayu tersebut bermakna untuk memohonkan agar yang bersangkutan tetap pendirian serta berkepribadian stabil (tidak labil) didalam menjalani kehidupannya.
Tujuan yang dapat diperoleh dari meotonan antara lain, diawali Masesapuh, yakni pembersihan badan kasar dari segala leteh atau mala.
Kemudian Matepung tawar/Masegau, sebagai sarana untuk menyucikan kembali jiwa atau Sang Hyang Atma, lalu menghubungkan serta menguatkan kembali badan kasar dengan Sang Hyang Atma melalui benang tebus, dan diakhiri dengan mestabilkan pikiran (Ngayab sesayut pengenteg bayu).