Rabu, 10 Januari 2024

kisah Maharsi Wiswamitra

 

Semesta tempat kita hidup ini mengandung semua unsur: gelap, terang, baik, buruk, frekwensi tinggi, frekwensi rendah, bhur, bwah, swah. Dengan yang mana kita terkoneksi, tergantung dari bagaimana kita, di frekwensi mana kita berada.

Manawadharmasastra V.109 mengajarkan “Adbhirgatrani suddhyanti, manah satyena suddhyanti, widya tapobhyam bratatma, buddhirjnana suddyati” (tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kejujuran, atman disucikan dengan tapa brata, budhi disucikan dengan kebijaksanaan).
Seorang maharsi bisa jatuh bangun dalam usahanya mencapai kesempurnaan tapa brata, sebagaimana kisah Maharsi Wiswamitra.

Rsi Wiswamitra dulunya adalah seorang raja, bernama Kausika. Suatu saat raja Kausika mampir ke ashram Maharsi Vasista. Disana dia menerima jamuan mewah dan karenanya dia merasa heran, darimana Rsi Vasista memperoleh makanan mewah ini, di ashram yang berada di tengah hutan belantara? Rsi Vasista memberitahu tamunya bahwa ashram memiliki seekor sapi anugerah dewata yang mampu memberikan apapun kebutuhan ashram. Raja Kausika tergoda untuk memiliki sapi itu, sehingga timbullah pertempuran karena sapi tidak bersedia dibawa ke kerajaan. Sapi itu menciptakan pasukan dimana dangan itu raja Kausika dikalahkan. Raja Kausika merasa terpukul dan meletakkan jabatan, kemudian menjadi pertapa dengan satu tujuan: mengalahkan Rsi Vasista. Dengan tapanya yang keras, ia memperoleh Brahmastra kemudian menyerang Rsi Vasista. Namun, Rsi Vasista tetap bukan tandingannya. Energi Brahmasta luluh diserap kekuatan Rsi Vasista. Raja Kausika kembali mepakukan tapa yang lebih berat, untuk memperoleh kekuatan yang lebih dahsyat. Dewa Indra lalu mencoba keteguhan tapa Kausika dengan mengirim bidadari Menaka, dan ternyata Kausika tergoda. Mereka menikah dan dari pernikahan itu lahir Sakuntala, yg kelak dipinang Raja Dusmanta, leluhur bangsa Bharata.

Kausika menyesali kegagalannya, lalu kembali bertapa dengan tekad yg lebih keras. Maka ketika Dewa Indra kembali mengirim bidadari Rhamba, Kausika tidak lagi tergoda. Ia marah atas sikap Rhamba yang menggoda tapanya, lalu mengutuknya. Namun ia segera menyadari, bahwa ia tetap gagal. Kali ini ia gagal mengendalikan amarah yg berujung kutukan. Maka ia kembali bertapa dengan tekad yg lebih kuat lagi, kali ini ia menutup seluruh indria termasuk mulutnya. Dan di ujung tapanya, Rsi Vasista datang memeluknya dan menganugerahkan gelar Brahmarsi dan Kausika berganti nama menjadi Wiswamitra. Kemarahan, dendam dan rasa persaingannya luluh, ia kini sempurna disucikan tapanya.


Demikianlah kekuatan dan di disi lain godaan tapa brata. Dan kita harus menyadari, tiap hari dalam hidup kita adalah “pertapaan”, apapun profesi kita dan dimanapun kita hidup. Dan itu adalah proses terus menerus dari satu tangga ke tangga yang lain.

Untuk memperkuat pembersihan diri, kita juga tiap hari berdoa “om pranamya bhaskara dewam, sarwa klesa winasanam”.
Kita memohon agar Dia yang maha cemerlang menghancurkan klesa atau kekotoran bathin kita.
Menurut Yoga Sutra Patanjali, ada 5 klesa yaitu: 1). Awidya, ketidaktahuan. Seperti cermin tertutup debu, demikianlah ketidaktahuan menutupi kita sehingga kita lupa akan hakikat sang diri. 2). Asmita, atau ahamkara, ego. Inilah banyak sumber masalah dunia. Merasa berjasa, merasa besar, merasa istimewa. “Aku” seolah2 menjadi pusat semesta, padahal galaksi bima sakti saja hanya setitik debu dalam semesta. 3). Raga, keterikatan akan hal2 duniawi. Mobil mewah, rumah mewah, pasangan glowing dan banyak hal2 duniawi lainnya yang tak bertepi. 4). Dvesa, penolakan bahkan kemarahan atas hal2 yang tidak diinginkan.
Padahal dunia diisi milyaran mahluk yg tidak bisa kita atur. Belajar menerima hal2 yg tdk kita inginkan adalah salah satu kunci bersihnya hati. 5). Abhinivesah, ingin hidup dan takut mati. Ini alami, tapi bukankah satu2nya yg pasti bagi yg hidup adalah mati? Maka tak usah takutkan kematian, tapi takutlah bila hidup memunggungi kebenaran.

Pada akhirnya, bagaimanapun, kita harus membawa ajaran2 dan pengetahuan spiritual itu dalam hidup keseharian kita. Melatih diri agar semakin hari semakin dekat dengan tuntunan kebenaran, tidak hanya karena kebenaran itu bersumber dari kitab suci, tetapi juga karena ajarannya etis dan logis.

Untuk ini tidak ada cara instan. Latihan dan disiplin adalah satu2nya cara. Seperti kita minum kopi pahit, awalnya sangat tidak enak. Enaknya kopi adalah pada pahit yang bercampur manis. Tapi dengan latihan minum kopi pahit setiap hari, dalam 6 bulan kita akan mulai merasakan nikmatnya kopi pahit. Kita mulai merasakan sensasinya, bahkan tiba2 ada rasa manis muncul. Bila kita bisa melatih indria lahiriah kita, dengan cara yang sama kita juga bisa melatih dimensi batiniah kita. Mengendalikan amarah, meluruhkan klesa sebagaimana doa Panca Sembah bait ke 2 itu, sama mungkinnya dengan penerimaan lidah pada kopi pahit. Yang kita perlukan adalah pengetahuan dan komitmen. Dan, itu adalah sebaik2nya ajaran agama: yaitu ajaran yang meningkatkan kualitas hidup kita dan mewujud dalam tri kaya parisudha kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar