Selasa, 16 Januari 2024

Ilmu leak merupakan ilmu yang diturunkan oleh Dewi Durga

 



Umumnya orang Bali mengetahui Leak sebagai ilmu hitam yang mematikan yang digunakan orang untuk menyakiti orang lain. Sejatinya pada awal diciptakan, ilmu leak merupakan ilmu yang diturunkan oleh Dewi Durga, agar suatu saat bisa digunakan untuk kebenaran.
Menurut Lontar Kuno ilmu Leak atau Liak adalah singkatan dari kata Lelintihan Aksara atau Linggihan Aksara, aksara yang dimaksud adalah Dasa Aksara (Sepuluh Cakra Dalam Diri Manusia) yaitu Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya jadi ilmu leak adalah ilmu yang mengajarkan untuk mengolah cakra sehingga pelakunya memperoleh suatu kekuatan supranatural.

Kemudian ilmu leak digunakan oleh para ksatria dan pendekar untuk melindungi kerajaan dan mengelabuhi musuh dengan kekuatan tenaga dalam atau berubah wujud menjadi makhluk seram, terciptalah ajian-ajian leak yang dahsyat, dan ilmu leak terbagi menjadi dua yaitu Leak Pemaron (Pengiwa atau Aliran Kiri) dan Leak Sari (Penengen atau Aliran Kanan).
Ilmu leak pemaron atau pengiwa berhak menyakiti orang yang melakukan kesalahan, itupun kalau diizinkan oleh leluhur orang tersebut, jadi tidak sembarangan menyakiti orang, sedangkan ilmu Leak Sari atau Penengen, tingkatan ilmunya sudah tinggi, dan jauh lebih sakti dari Leak Pemaron, bertugas mengobati orang yang sakit akibat Leak Pemaron contohnya Balian.
Ilmu Leak bukan semata-mata untuk menyakiti, tergantung kepada orang yang menekuni ilmu tersebut, bahkan dulu ilmu leak digunakan untuk menghalau penjajah.
payanadewa,com



Memaknai Yadnya

 


Setiap kata adalah ekspresi dr sebuah ide atau lebih yg disampaikan dg sebaik2nya agar orang lain yg menerima eķapresi tsb memahami dg sebaik2nya ide yg dimaksud.
Terlebih dlm bahasa "samskritam" yg tiada lain maknanya sam + krita = samskritam yg berarti sesuatu yg dibangun dg cara terbaik.
Artinya dlm bahasa sansekerta, setiap kata dibangun sedemikian rupa shg mendapatkan bentukan kata yg terbaik untuk menyampaikan sebuah "bhawa" atau ide. Bhawa ini biasanya tersimpan dlm akar kata atau root verb dr kata bentukan td. Jd dg mengetahui akar katanya, kita mendapatkan ide atau bhawa de kata tsb, dan mengembangkan maknanya untuk memahami apa yg dimaksud.
Yadnya adalah salah satu kata "samskritam", berasal dr akar "yaj" menjadi "yajina" menjadi yadnya dan maknanya adalah
“an act of applying oneself quietly and persistently to master something by focused intention”
Jadi yajnya adalah suatu tindakan yg dilakukan dengan ketekunan dan khidmat untuk menguasai sesuatu dengan konsentrasi yg menunggal. Dalam melakukan yajnya spirit ini yg harus ditanamkan. Walaupun intinya hanya satu tujuan dr yajnya yaitu untuk mencapai Tuhan, sesuai definisi, tetapi manifetasinya yang beragam membuat kita harus menyesuaikan dg obyek yajnya, karenanya kita mengenal:
(Berdasarkan pembagian yajnya dlm filsafat ANANDA MARGA - Shrii Shrii Anandamurti))
1. Bhuta yajnya,
2. Manusa yajnya (atau Nr Yajnya, nr=nara=manusia),
3. Rsi yajnya,
4. Pitra yajnya atau (Pitr) dan
5. Dewa yajnya(atau Adhyatma yajnya=Tuhan)
Bhuta yajya mencakup segala ciptaan diluar dr keempat lainnya. Berarti seluruh mahluk spt tumbuhan, hewan dan batu, tanah air, lingkungan dsb. Bhuta yajnya dilakukan dg memperlakukan "mereka" (sarvabhuta) dg baik, menjaga keharmonisan lingkungan alam, tidak mencemari lingkungan (udara, air dan tanah) merupakan bentuk bhuta yajnya. Memberi makan hewan, menyiram tanaman juga termasuk bhuta yajnya. Dengan bhuta yajnya keseimbangan alam semesta akan terjaga. Bhuta yajnya harus dilakukan dlm kehidupan sehari2 berkesinambungan.

Manusa Yajnya mencakup pelayanan terhadap sesama manusia, menolong orang yg sakit, membantu yg miskin, membantu org terkena bencana dsb. Semua dilakukan dg spirit melayani Tuhan, menyadari sesama sebagai bagian yg tak terpisahkan dr diri kita. Tat tvam asi.
Pitra yajnya, bagaimana melayani leluhur? Ini sdh sering dibahas panjang lebar. Leluhur yg sdh jauh dr jangkauan dunia maya, maka untuk melayaninya adalah dg menjaga prati sentananya, keturunan dan keluarga yg masih ada, menerapkan nilai2 luhur yg mereka ajarkan.
Rsi Yajnya, diantara manusia ada orang2 tertentu yang telah menyumbangkan hasil karya yang besr bagi umat manusia. Mereka yang menurunkan pengetahuan, yg membuat kesehjateraan manusia spt yg kita nikmati skrng patut dihargai. Dengan meniru tauladannya, menyebarkan ajaran sucinya.
Adhyatma, ini adalah bentuk yajnya terakhir dalam bentuk sadhana. Melakukan yoga, meditasi, dsb. Sebuah usaha mensucikan jiwa raga agar menjadi dekat dgNya.
Kesimpulannya kalau kita fahami dengan baik, semua merupakan satu kesatuan untuk menciptakan tatanan kehidupan yg harmonis fisik mental dan spiritual, dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Internal maupun eksternal. Antar sesama manusia dan dengan alam semesta dan Tuhan (Tri Hita Karana). Kalau ini difahami dan dilaksanakan dengan benar, hasilnya adalah nyata. Tetapi kalau hanya dijadikan simbolik, maka tdk ada hasilnya. Demikianlah Yadnya yang bersifat simbolik kalau tidak diikuti dg praktek nyata, tdk akan memberikan kesejahteraan.

Bendu dan Guru Piduka, Mohon Maaf dan Bersihkan Jejak Kotor

 



BALI EXPRESS, DENPASAR – Upacara Guru Piduka dan Bendu Piduka menjadi pilihan warga Desa Adat Besakih untuk membersihkan ‘jejak kotor’ si bule nekat yang menaiki Palinggih Padmasana di Pura Gelap Besakih. Sejatinya, apa itu upacara Bendu Piduka dan Guru Piduka?

Upacara Bendu Piduka, sebelumnya pernah dilaksanakan di Desa Pakraman Dauh Waru, Jembrana. Ketika itu, warga mengalami kabrebehan (kejadian aneh), di mana anggota masyarakatnya meninggal tidak wajar secara berturut – turut. Hal itu terjadi paska pelaksanaan melasti jelang Hari Raya Nyepi tahun lalu. Secara etimologi, Bendu memiliki pengertian kesal , perbuatan buruk dan kecewa.
Sedangkan Piduka berarti berduka. Jadi, Bendu Piduka berarti pembersihan untuk perbuatan buruk yang membuat berduka. Biasanya upacara ini dilakukan untuk menetralisasi leteh atau pengaruh negatif pada suatu tempat atau suatu daerah.

Ida Pandita Mpu Parama Daksa menjelaskan, Bendu Piduka adalah rangkaian prosesi untuk menetralisasi segala sesuatu yang mencemari alam ini, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Baik karena perbuatan maupun karena perkataan.



“Dalam tradisi adat Bali, kita mengenal istilah ngayah. Ngayah itu bentuk dari sebuah pelayanan kita kepada Tuhan dan leluhur, baik itu di pura ataupun sanggah merajan. Mungkin saja ketika kita ngayah ada perkataan kita yang membuat sebuah lokasi atau tempat tersebut menjadi leteh. Bisa juga karena perbuatan, seperti yang terjadi di Jembrana atau Besakih,” ujar Sulinggih asal Mengwi ini kepada Bali Express ( Jawa Pos Group), kemarin.

Dikatakannya, Bendu Piduka tertulis dalam lontar Dewa Tatwa yang menyebut bahwa upakara piduka, terdiri dari dua macam, yakni Guru Piduka dan Bendu Piduka.

Dalam kepercayan umat Hindu mengenai Usadha, lanjutnya, dikatakan penyakit terdiri dari dua penyebab yaitu secara Skala (nyata) dan secara Niskala (tidak nyata atau tidak terlihat). Adapun penyebab penyakit secara skala misalnya penyakit jantung karena pola hidup tidak sehat, terluka karena jatuh. Penyebab penyakit yang diakibatkan secara niskala, di antaranya pekarangan rumah yang angker sehingga keluarga tidak harmonis, adanya kesalahan tindakan yang kurang baik di tempat suci atau sanggah, sehingga menyebabkan terjadinya mala petaka berturut – turut.

“ Yang paling berbahaya itu, ketika kita mengucapkan janji disertai sumpah (sapa atau semaya) dan kita lupa, serta mengingkarinya. Akibatnya, leluhur, para dewa sebagai manifestasinya Tuhan akan marah dengan mengirim bhuta bhuti dan mengganggu kesehatan serta keharmonisan keluarga tersebut. Jadi, jangan macam – macam soal niskala,” ujar Ida Pandita Mpu Parama Daksa. Dalam Lontar Dewa Tatwa dipaparkan, untuk menetralisasi pengaruh negatif akibat kesalahan kesalahan itu, lanjutnya, maka masyarakat dianjurkan untuk menghaturkan banten Maguru Piduka dan tetebasan Bendu Piduka. Mengapa menghaturkan banten Guru Piduka dan tetebasan Bendu Piduka?

“Sesungguhnya, kedua banten itu hanya sebagai prasarana sementara, sebagai permohonan maaf serta janji untuk melaksanakan upakara yadnya sebagai bentuk permohonan maaf yang tulus,” ujarnya.


Selain menggelar upakara yadnya, dalam lontar Dewa Tatwa juga menganjurkan untuk membuat palinggih baru dengan melinggihkan Ida Bhatara Indra Balaka dan pengayahan leluhur kawitan, dengan tujuan menetralisiasi pekarangan.

Ditegaskannya, menggelar upakara Guru Piduka dan Bendu Piduka tidak boleh sembarangan. “Ketika kita merasa pekarangan rumah panes atau merasa ada penyebab niskala, lantas menganggap perlu dilakukan upacara tersebut tanpa mempertimbangkan aspek lainnya, dan hal itu tentu saja akan berakibat fatal,” ujarnya.

Dalam lontar Dewa Tatwa disebutkan, tanda – tanda perlunya melaksanakan upakara tersebut adalah adanya kejadian akibat bencana yang menimpa manusia. Seperti Sakit berkepanjangan yang tak kunjung sembuh, banyak orang meninggal dalam waktu singkat, di daerah tersebut banyak terjadi mati salah pati dan ulah pati, juga terjadinya hubungan ‘salah timpal’, yakni hubungan seks antara manusia dengan binatang atau antara binatang yang berbeda jenis. Selain itu, adanya kematian anggota keluarga yang bertepatan dengan piodalan di sanggah merajan, sering terjadi cekcok atau keributan dalam keluarga, tempat suci yang terbakar, baik oleh api maupun oleh halilitar, serta diporak-porandakan angin puyuh.

Dalam lontar Dewa Tatwa disebutkan: Muah yang ketibenin apui tanpan para, yadnya linus tan pantara mwang telas basmi kayangan ika cihmaning anemu ala sang madrewe khayangan ika, hana sot tan tinawang wenang ngagen sot rigumi piduka.

Artinya, demikianlah pula bila khayangan terjadi kebakaran tanpa sebab, demikian juga angin beliung tanpa sebab, apalgi sampai menghanguskan seluruh bangunan kahyangan. Itulah ciri bahwa yang memiliki kahyangan tersebut mendapat bahasa, karena kaulnya tidak dibayar. Oleh karena itu, sepatutnya agar sot (berjanji) akan membayar kaul dengan mempersembahkan Guru Piduka dan Bendu Piduka.

Ida Pandita Mpu Parama Daksa juga menjelaskan, ada baiknya dalam melaksanakan upacara Guru Piduka dan Bendu Piduka diiringi suara gender atau angklung, terlebih lagi jika tempat pelaksanaan upacara tersebut di pura. Hal ini untuk menjaga keselamatan desa pakaraman. Dalam Widhi Sastra juga dijelaskan, apabila pelaksanaan Guru Piduka dan Bendu Piduka diakibatkan karena tempat suci yang roboh atau terbakar, sebaiknya setiap anggota pemaksa yang menghaturkan ayah dan bakti menggunakan lima keping uang kepeng dalam kwangen yang digunakan ketika menghaturkan sembah.

“Karena upakara Guru Piduka dan Bendu Piiduka ini hanya sebagai janji yang ditunda, maka sebaiknya harus segera disusul upacara yadnya yang sesuai kedurmanggalan,” ujarnya.

Dalam rangkaian upakara, biasanya belum lengkap jika tidak menggunakan prasarana banten, mantra serta tirtha. Begitu pula dalam upakara Guru Piduka dan Bendu Piduka sebagai upaya menetralisasi pengaruh negatif yang disebabkan karena niskala.

Dalam lontar Dewa Tatwa disebutkan, bentuk bebantenan Guru Piduka secara sederhana, yakni Suci soroh, Sesayut pangambeyan salaran bebek dan ayam yang masih hidup. Tetegenan, sesantun, soda putih kuning, makembaran, sesayut dirgayusa gumi, dan dilengkapi Tatebasan Guru Piduka. Sedangkan untuk bebantenan Tatebasan Bendu Piduka,

tumpeng 1 , matatakan kulit sesayut iwaknia rerasmen, sudang, tulung 1, canang pawitra maraka jaja bendu, mwang woh wohan sampian nagasari. Tujuan mempersembahkan Tatebasan Bendu Piduka adalah sebagai bentuk permohonan maaf kepada Hyang Kawitan yang telah menurunkan kedukaan, dikarenakan keingkaran si penghuni rumah atau masyarakat yang menempati daerah tersebut. Uacara Bendu Piduka sering juga disebut banten paneduh pada waktu ‘meneduh’ di desa pakraman.

(bx/tya/yes/JPR) –sumber

Sabtu, 13 Januari 2024

Tattwa PURUSA-PREDANA Dalam Olahan Lawar Bali.

 



Dalam olahan lawar Bali, terkandung enam rasa yang disebut dengan “sad rasa”. 6 rasa ini keluar dari kekuatan panca tan matra yang telah bersemayam di alam semesta, yaitu ganda tan matra, sparsa tan matra, sabda tan matra, rupa tan matra, dan rasa tan matra.
.
Dari rasa tan matra inilah memunculkan sumber rasa ketuka (pedas), tikta (pahit), kesaya (sepet), madhura (manis), lawana (asin), dan amla (asam).
.
Dari sari-sari sad rasa inilah menjadi kekuatan kehidupan di dunia, kalau berada pada laki-laki menjadilah kekuatan “sukla” (spermatozoa) dan kalau berada pada wanita menjadi kekuatan “swanita” (sel telur), demikian juga pada makhluk lainnya sehingga hal ini memunculkan birahi.
.
Apabila sukla bertemu dengan swanita maka terjadilah kekuatan penciptaan kehidupan, merupakan kekuatan lingga dan yoni, dan bila keduanya menyatu maka akan melahirkan kekuatan-kekuatan yang baru.

.
Sehingga boleh dikatakan, bahwa rasa olahan dalam lontar Dharma Caruban sebagai dharmaning paebatan (ketentuan wajib mengolah makanan) mengandung makna dan sebagai simbol kekuatan purusa (lingga) dan kekuatan prakerti (yoni).
.
Bilamana kedua kekuatan ini menyatu maka akan menciptakan kekuatan pelindung (bhatara).
Sumber: IB. Purwa Sidemen, S.Ag., M.Si, dalam denpasarinstitute.com


Jumat, 12 Januari 2024

Memahami Makna Ongkara









Ongkara=Omkara adalah Simbol Suci dalam Agama Hindu. Di dalam Upanisad ongkara atau omkara disebut Niyasa artinya alat bantu agar konsentrasi kita menuju kepada Hyang Widhi, serta pemuja mendapat vibrasi kesucian Hyang Widhi. Niyasa atau sarana yang lain misalnya banten, pelinggih, kober, dll.
Sebagai simbol suci Niyasa sudah sepantasnya digunakan atau diletakkan pada tempat yang wajar karena disucikan. Pada beberapa kasus di Bali simbol-simbol Hindu pernah digunakan tidak pada tempatnya misal: penggunaan canang sari dengan bola golf diatasnya pada fotosebuah iklan, penggunaan simbol ongkara pada bagian-bagian tubuh yang tidak sepantasnya dll.

Perlakuan pada niyasa-niyasa/Simbol Suci yang tidak wajar mungkin karena faktor ketidaktahuan (awidya) atau memang sengaja (rajasika). Mengapa salah satu niyasa berbentuk ongkara/Omkara, karena gambar itulah yang dilihat dalam jnana para Maha Rsi penerima wahyu Hyang Widhi, yang kemudian diajarkan kepada kita turun temurun.

Ongkara di Bali terdiri dari 5 Jenis: Ongkara Gni, Ongkara Sabdha, Ongkara Mrta, Ongkara Pasah dan Ongkara Adu-muka. Penggunaan berbagai jenis Ongkara ini dalam rerajahan sarana upakara pada upacara Panca Yadnya dimaksudkan untuk mendapat kekuatan magis yang dibutuhkan dalam melancarkan serta mencapai tujuan upacara.
Ongkara Gni

Ongkara Gni
Ongkara Sabdha

Ongkara Sabdha
Ongkara Mrta

Ongkara Mrta
Ongkara Pasah

Ongkara Pasah
Ongkara Adumuka

Ongkara Adumuka
Unsur-unsur Ongkara ada 5 yaitu:Nada,
Windu,
Arda Candra,
Angka telu (versi Bali),
Tarung.
Semuanya melambangkan Panca Mahabutha, unsur-unsur sakti Hyang Widhi, yaitu: Nada = Bayu, angin, bintang; Windu = Teja, api, surya/ matahari; Arda Candra = Apah, air, bulan; Angka telu = Akasa, langit, ether; Tarung = Pertiwi, bumi, tanah.

Unsur-unsur Ongkara
Unsur-unsur Panca Mahabutha di alam raya itu dinamakan Bhuwana Agung. Panca Mahabutha ada juga dalam tubuh manusia:Daging dan tulang adalah unsur Pertiwi
Darah, air seni, air kelenjar (ludah, dll) adalah unsur Apah
Panas badan dan sinar mata adalah unsur Teja
Paru-paru adalah unsur Bayu
Urat syaraf, rambut, kuku, dan 9 buah lobang dalam tubuh: 2 lobang telinga, 2 lobang mata, 2 lobang hidung, 1 lobang mulut, 1 lobang dubur, dan 1 lobang kelamin, adalah unsur Akasa.


Unsur-unsur Panca Mahabutha dalam tubuh manusia disebut sebagai Bhuwana Alit. Dalam kaitan inilah upacara Pitra Yadnya dilakukan ketika manusia meninggal dunia di mana dengan upacara ngaben (ngapen=ngapiin), unsur-unsur Panca Mahabutha dalam tubuh manusia (Bhuwana Alit) dikembalikan/ disatukan ke Panca Mahabutha di alam semesta (Bhuwana Agung).
Kesimpulan: Simbol Ongkara adalah simbol ke Maha Kuasaan Hyang Widhi.
Simbol Ongkara di Bali pertama kali dikembangkan oleh Maha-Rsi: Ida Bhatara Mpu Kuturan sekitar abad ke11 M, ditulis dalam naskah beliau yang bernama “Tutur Kuturan”
Ongkara Untuk Menuju Sat(Yang Tak Berwujud)

Ongkara Simbol Suci
Seperti penjelasan diatas Ongkara merupakan simbol suci untuk mempermudahkan umat manusia untuk menuju Tuhan, SAT(yang tak berwujud) Dari Ongkara muncullah Dwi Aksara yaitu Ang dan Ah. Dwi Aksara juga adalah perlambang Rwabhineda (Dualitas), Ang adalah Purusa (Bapa Akasha) dan Ah adalah Prakerti (Ibu Prtivi).
Pada tahapan berikutnya, dari Dwi Aksara ini muncullah Tri Aksara, yaitu Ang, Ung dan Mang. Dari banyak sumber pustaka, dikatakan bahwa AUM inilah yang mengawali sehingga muncullah OM. (Apakah ini petunjuk bahwa ONG itu lebih dulu/tua daripada OM?)
Pada tahapan berikutnya, dari Tri Aksara muncullah Panca Aksara, yaitu SANG, BANG, TANG, ANG, dan ING. Dari Panca Aksara kemudian muncullah Dasa Aksara, yaitu SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG, dan YANG.
Pada arah mata angin, Dasa Aksara terletak berurutan dari Timur = SANG, Selatan = BANG, Barat = TANG, Utara = ANG, dan tengah-tengah/poros/pusat = ING, kemudian Tenggara = Nang, Barat Daya = Mang, Barat Laut = SING, Timur Laut = WANG dan tengah-tengah/poros/pusat = YANG. Ada dua aksara yang menumpuk di tengah-tengah, yaitu ING dan YANG. (Apakah ini asal muasal YING dan YANG?)
Tapak Dara (+) adalah simbol penyatuan Rwabhineda (Dualitas), (|) dan segitiga yang puncaknya ke atas, mewakili Purusa/Bapa Akasha/Maskulin/Al/El/God/Phallus. Sedangkan (-) dan segitiga yang puncaknya ke bawah mewakili Prakerti/Ibu Prtivi/Feminim/Aloah/Eloah/Goddess/Uterus.
Hanya dengan melampaui Rwabhineda (dualitas), menyatukan/melihat dalam satu kesatuan yang utuh/keuTUHAN, maka pintu gerbang menuju Sat akan ditemukan. KeuTUHAN disini, bukan menjadikan satu, namun merangkum semuanya, menemukan intisari dari semua perbedaan yang ada tanpa menghilangkan atau menghapus perbedaan yang ada. Bukan juga merangkul semuanya dalam satu sistem tertentu, bukan juga untuk satu agama tertentu, tapi temukan dan kumpulkanlah semua serpihan kebenaran yang ada di setiap perbedaan yang membungkusnya. Inilah BHINEKA TUNGGAL IKA TAN HANNA DHARMA MANGRWA.
Sumber : Paduarsana

Sejarah Tari Legong di Bali




Tari Legong dalam khasanah budaya Bali termasuk ke dalam jenis tari klasik karena awal mula perkembangannya bermula dari istana kerajaan di Bali. Tarian ini dahulu hanya dapat dinikmati oleh keluarga bangsawan di lingkungan tempat tinggal mereka yaitu di dalam istana sebagai sebuah tari hiburan. Para penari yang telah didaulat menarikan tarian ini di hadapan seorang raja tentu akan merasakan suatu kesenangan yang luar biasa, karena tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam istana.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Mengenai tentang awal mula diciptakannya tari Legong di Bali adalah melalui proses yang sangat panjang. Menurut Babad Dalem Sukawati, tari Legong tercipta berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made Karna, Raja Sukawati yang bertahta tahun 1775-1825 M. Ketika beliau melakukan tapa di Pura YoganAgung desa Ketewel ( wilayah Sukawati ), beliau bermimpi melihat bidadari sedang menari di surga. Mereka menari dengan menggunakan hiasan kepala yang terbuat dari emas.

Ketika beliau sadar dari semedinya, segeralah beliau menitahkan Bendesa Ketewel untuk membuat beberapa topeng yang wajahnya tampak dalam mimpi beliau ketika melakukan semedi di Pura Jogan Agung dan memerintahkan pula agar membuatkan tarian yang mirip dengan mimpinya. Akhirnya Bendesa Ketewel pun mampu menyelesaikan sembilan buah topeng sakral sesuai permintaan I Dewa Agung Made Karna. Pertunjukan tari Sang Hyang Legong pun dapat dipentaskan di Pura Jogan Agung oleh dua orang penari perempuan.

Tak lama setelah tari Sang Hyang Legong tercipta, sebuah grup pertunjukan tari Nandir dari Blahbatuh yang dipimpin I Gusti Ngurah Jelantik melakukan sebuah pementasan yang disaksikan Raja I Dewa Agung Manggis, Raja Gianyar kala itu. Beliau sangat tertarik dengan tarian yang memiliki gaya yang mirip dengan tari Sang Hyang Legong ini, seraya menitahkan dua orang seniman dari Sukawati untuk menata kembali dengan mempergunakan dua orang penari wanita sebagai penarinya. Sejak itulah tercipta tari Legong klasik yang kita saksikan sekarang ini.

-
Bila ditinjau dari akar katanya, Legong berasal dari kata “ leg “ yang berarti luwes atau elastis dan kata “gong” yang berarti gamelan. Kedua akar kata tersebut bila digabungkan akan berarti gerakan yang sangat diikat ( terutama aksentuasinya ) oleh gamelan yang mengiringinya (Dibia, 1999:37).

Sebagai sebuah tari klasik, tari Legong sangat mengedepankan unsur artistik yang tinggi, gerakan yang sangat dinamis, simetris dan teratur. Penarinya pun adalah orang-orang yang berasal dari luar istana yang merupakan penari pilihan oleh raja ketika itu. Maka, tidaklah mengherankan jika para penari merasakan kebanggaan yang luar biasa jika menarikan tari Legong di istana. Begitu pula sang pencipta tari. Akan menjadi suatu kehormatan besar apabila dipercaya untuk menciptakan suatu tarian oleh seorang pengusa jaman itu. Walaupun nama mereka tidak pernah disebutkan mencipta suatu tarian kepada khalayak ramai, mereka tidak mempersoalkan itu asalkan didaulat mencipta berdasarkan hati yang tulus dan penuh rasa persembahan kepada sang raja. Ini dapat dilihat dari hampir seluruh tari-tari klasik maupun tari tradisi lain yang berkembang di luar istana seperti tari Legong, Baris, Jauk dan Topeng.

Kini di jaman yang tidak lagi menganut paham feodalisme, keseian Legong telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari segi kuantitas maupun kualitas. Disebutkan bahwa tari Legong Keraton ( karena berkembang di istana ) keluar dari lingkungan istana pada awal abad ke-19. Para penari wanita yang dahulunya berlatih dan menari Legong di istana kini kembali ke desa masing-masing untuk mengajarkan jenis tarian ini kepada masyarakat. Sebagaimana diketahui, orang Bali adalah orang yang sangat kreatif sehingga gaya tari masing-masing pun sedikit berbeda sesuai dengan kemampuan membawakannya. Oleh karena itu, timbul style-style Palegongan yang tersebar di berbagai daerah seperti di desa Saba, Peliatan, Bedulu, Binoh, Kelandis dan beberapa tempat lainnya. Dari sekian daerah perkembangan tari Legong, hanya desa Saba dan Peliatan yang masih kuat mempertahankan ciri khasnya dan mampu melahirkan jenis-jenis tari Palegongan dengan berbagai nama.

Tari-tari legong yang ada di Bali pada awalnya diiringi oleh gamelan yang disebut Gamelan Pelegongan. Perangkat gamelan ini terdiri dari dua pasang gender rambat, gangsa jongkok, sebuah gong, kemong, kempluk, klenang, sepasang kendang krumpungan, suling, rebab, jublag, jegog, gentorang. Sebagai tambahan, terdapat seorang juru tandak untuk mempertegas karakter maupun sebagai narrator cerita melalui tembang. Namun, seiring populernya gamelan gong kebyar di Bali, akhirnya tari-tari palegongan ini pun bisa diiringi oleh gamelan Gong Kebyar, karena tingkat fleksibilitasnya.

Kiriman: Ida Bagus Gede Surya Peradantha, SSn., Alumni ISI Denpasar
Sumber : isi-dps.ac.id dan cakepane.blogspot.com

Rabu, 10 Januari 2024

YAMARAJA

 



BILA SUDAH MENERIMA 4 WA DARI YAMARAJA, TANDA MENUNGGU JEMPUTAN LANGSUNG DARI YAMARAJA

Seorang pria bernama Amrita, yang hidup di bumi, berpikir bahwa satu-satunya hal yang paling dia takuti adalah kematian.
Untuk menghindari kematian, Amrita mempraktikkan pertapaan dan memusatkan pikirannya pada Dewa Yama, Penguasa Kematian.
Dewa Yama senang dan memberikan visi kepada Amrita.
Dewa Yama berkata: “KehadiranKu hanya tersedia bagi mereka yang akan meninggal atau sudah meninggal. Namun aku memberimu visiku saat kamu masih hidup, senang dengan penebusan dosamu”.
Amrita berkata: “Saya meminta bantuan Anda. Jika kematian tidak dapat dihindari, saya mohon jika saya akan meninggal, maka paling tidak kirimkanlah surat kepada saya sebelum kematian agar saya dapat memenuhi kebutuhan keluarga saya sebelum keberangkatan dan juga mempersiapkan diri untuk kehidupan berikutnya dengan sadhana yang benar dan pemujaan kepada Tuhan ”
Dewa Yama berkata, “Tentu, saya pasti akan melakukan ini. Tapi segera setelah Anda menerima pesannya, silakan mulai melakukan persiapan.”, dan dia menghilang.
Bertahun-tahun berlalu setelah ini. Rambut Amrita perlahan-lahan mulai memutih, namun ia menjalani kehidupan yang penuh dengan aktivitas berdosa tanpa memikirkan rasa takut akan kematian.
Dia senang karena sejauh ini belum ada surat dari Penguasa Kematian yang datang. Beberapa Waisnawa mendekatinya dan menasihatinya untuk melakukan bhakti. Dia tidak mengindahkan instruksi mereka karena dia pikir masih banyak waktu yang tersisa.
Beberapa tahun lagi berlalu. Pada saat ini Amrita telah kehilangan sebagian besar giginya dan para pengikutnya datang lagi untuk memperingatkan dia tentang kematiannya yang akan segera terjadi . Tetap saja ia tidak ambil pusing karena belum ada surat yang datang dari temannya Yama.
Seiring berlalunya waktu, penglihatan Amrita menjadi semakin redup. Namun ia melanjutkan kehidupan sensualnya berterima kasih kepada temannya Yamaraj karena tidak mengirimkan surat apapun sejauh ini.
Beberapa tahun lagi berlalu.
Amrita sekarang sudah sangat tua dan dengan punggung membungkuk ke depan, dia tidak bisa berjalan tanpa dukungan tongkat. Kulitnya keriput . Suatu hari dia menderita stroke dan menjadi lumpuh. Kata orang, kondisinya sangat kritis.
Namun Amrita masih dalam suasana hati yang bahagia, karena dia tidak menerima surat apapun dari Yamaraj.
Kemudian takdir hidupnya tiba dan Dewa Yama, dewa kematian, memasuki ruangan.
Amrita terkejut dan pikirannya diliputi rasa takut.

Yamaraj berkata, “Temanku, ayolah, kamu telah sangat menderita.
Hari ini aku datang untuk membawamu bersamaku.”
Amrita gemetar ketakutan dan berkata, “Temanku, kamu telah mengkhianatiku dengan melanggar anugerahmu. Anda belum mengirimi saya surat apa pun seperti yang Anda janjikan. Sekarang tiba-tiba kamu membawaku dari dunia ini. Kamu Penipu".
Dewa Yama berkata, “ Amrita! Anda menghabiskan seluruh hidup Anda dalam pemanjaan indra tanpa minat pada kehidupan spiritual. Lalu bagaimana kamu bisa mengetahui surat-surat yang kukirimkan kepadamu? Bukan hanya satu, tapi empat surat yang kukirimkan padamu. Tapi kamu mengabaikan semuanya.”
Amrita sangat bingung: “Empat surat yang kamu kirim? Tapi tidak ada satupun surat yang sampai padaku. Mungkin saja tukang pos/kurir lupa mengantarkannya.”.
Dewa Yama berkata, “Temanku, apakah menurutmu aku akan mengambil kertas dan pena dan menulis surat kepadamu?
Tidak, Dengan tubuhmu seperti kertas, dengan pena perubahan tubuh Aku menulis surat-suratku dan waktu adalah pembawa pesan yang menyampaikan surat-surat itu.
1) Bertahun-tahun yang lalu, rambut Anda beruban. Itu adalah surat pertamaku. Anda mengabaikannya.
2) Gigi tanggal adalah surat kedua saya.
3) Surat ketiga saya dikirimkan kepada Anda ketika penglihatan Anda gagal.
4) Pesan keempat adalah ketika tubuh Anda menjadi lumpuh.
Anda dengan nyaman mengabaikan semua surat ini. Sekarang saya datang bukan sebagai temanmu tetapi sebagai pemberi Hukum Tuhan.”, dan Yamaraj mengikatkan tali di leher Amrita dan menariknya dengan kuat.
Orang-orang di sekitar Amrita berkata, “Amrita sekarang sudah mati”.
Pesan moral dalam cerita:
Jadi ketika tubuh masih muda dan sehat dan ketika kita tidak mendapat surat apapun dari Yamaraj, kita harus memulai persiapan kita untuk menghadapi pukulan mematikannya.
Jika kita sama sekali mengabaikan surat-suratnya, maka kita berada di bawah kendalinya.
Orang yang berbeda takut terhadap hal yang berbeda dalam hidup dan objek ketakutan seseorang bukanlah objek ketakutan orang lain.
Namun secara umum, ketakutan akan kematian adalah hal yang umum terjadi pada semua orang. Beberapa orang mungkin menyombongkan diri bahwa mereka tidak takut mati.
Namun ketika mereka terkena penyakit mematikan yang melumpuhkan mereka atau dalam bahaya, ketakutan akan kematian akan terlihat jelas di mata mereka.
Tidak ada solusi material terhadap serangan Yamaraj dan hukumannya setelah kematian.
Meskipun kematian sangat berat dan tidak dapat dikalahkan, Sripada Sankaracharya, salah satu acharya agung dalam tradisi Vedantik, memberikan solusi yang sangat sederhana untuk menghindari wawancara dengan Yamaraj.
Dalam karyanya yang terkenal “Bhaja Govindam” muncul sloka berikut.
bhagavad gita kinchit adeeta / ganga jala lava kanika peetaa
sakrdapyena muraari samarca / kriyate tasya yamena sasarcaa
“Jika seseorang sedikit membaca Bhagavad Gita, mengambil sedikit setetes air Gangga dan melakukan pemujaan kepada Murari (Sri Krishna) minimal sekali dalam hidupnya, maka dia tidak harus menghadapi wawancara dengan Yamaraj.”
Dalam Bhagavata Purana (6.3.29), Yamaraj sendiri mengidentifikasi siapa saja calon hukumannya.
jihvaa na vakti bhagavad-guna-naamadheyam
cetas ca na smarati tac-caranaaravindam
krishnaya no namati yac-chira ekadapi
taan aanayadhvam asato 'krita-vishnu-krityaan
“Hamba-hambaku yang terkasih, tolong bawakan kepadaku hanya orang-orang berdosa yang tidak menggunakan lidah mereka untuk melantunkan nama suci dan sifat-sifat dari Krishna, yang hatinya tidak mengingat kaki padma Krishna satu kali pun, dan kepalanya tidak sujud sedikit pun di hadapan Sri Krishna. Kirimkan kepadaku orang-orang yang tidak melaksanakan kewajibannya terhadap Wisnu, yang merupakan satu-satunya kewajiban dalam kehidupan manusia. Tolong bawakan aku semua orang bodoh dan bajingan itu.”
Bila belum dapat surat ke 4 atau wa ke 4 masih ada waktu leha leha atau santai, kurir yamaraja masih jauh atau masih siap-siap.