Selasa, 16 Januari 2024
Jajan Pulagembal
Ilmu leak merupakan ilmu yang diturunkan oleh Dewi Durga
Memaknai Yadnya
Bendu dan Guru Piduka, Mohon Maaf dan Bersihkan Jejak Kotor
BALI EXPRESS, DENPASAR – Upacara Guru Piduka dan Bendu Piduka menjadi pilihan warga Desa Adat Besakih untuk membersihkan ‘jejak kotor’ si bule nekat yang menaiki Palinggih Padmasana di Pura Gelap Besakih. Sejatinya, apa itu upacara Bendu Piduka dan Guru Piduka?
Upacara Bendu Piduka, sebelumnya pernah dilaksanakan di Desa Pakraman Dauh Waru, Jembrana. Ketika itu, warga mengalami kabrebehan (kejadian aneh), di mana anggota masyarakatnya meninggal tidak wajar secara berturut – turut. Hal itu terjadi paska pelaksanaan melasti jelang Hari Raya Nyepi tahun lalu. Secara etimologi, Bendu memiliki pengertian kesal , perbuatan buruk dan kecewa.
Sedangkan Piduka berarti berduka. Jadi, Bendu Piduka berarti pembersihan untuk perbuatan buruk yang membuat berduka. Biasanya upacara ini dilakukan untuk menetralisasi leteh atau pengaruh negatif pada suatu tempat atau suatu daerah.
Ida Pandita Mpu Parama Daksa menjelaskan, Bendu Piduka adalah rangkaian prosesi untuk menetralisasi segala sesuatu yang mencemari alam ini, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Baik karena perbuatan maupun karena perkataan.
“Dalam tradisi adat Bali, kita mengenal istilah ngayah. Ngayah itu bentuk dari sebuah pelayanan kita kepada Tuhan dan leluhur, baik itu di pura ataupun sanggah merajan. Mungkin saja ketika kita ngayah ada perkataan kita yang membuat sebuah lokasi atau tempat tersebut menjadi leteh. Bisa juga karena perbuatan, seperti yang terjadi di Jembrana atau Besakih,” ujar Sulinggih asal Mengwi ini kepada Bali Express ( Jawa Pos Group), kemarin.
Dikatakannya, Bendu Piduka tertulis dalam lontar Dewa Tatwa yang menyebut bahwa upakara piduka, terdiri dari dua macam, yakni Guru Piduka dan Bendu Piduka.
Dalam kepercayan umat Hindu mengenai Usadha, lanjutnya, dikatakan penyakit terdiri dari dua penyebab yaitu secara Skala (nyata) dan secara Niskala (tidak nyata atau tidak terlihat). Adapun penyebab penyakit secara skala misalnya penyakit jantung karena pola hidup tidak sehat, terluka karena jatuh. Penyebab penyakit yang diakibatkan secara niskala, di antaranya pekarangan rumah yang angker sehingga keluarga tidak harmonis, adanya kesalahan tindakan yang kurang baik di tempat suci atau sanggah, sehingga menyebabkan terjadinya mala petaka berturut – turut.
“ Yang paling berbahaya itu, ketika kita mengucapkan janji disertai sumpah (sapa atau semaya) dan kita lupa, serta mengingkarinya. Akibatnya, leluhur, para dewa sebagai manifestasinya Tuhan akan marah dengan mengirim bhuta bhuti dan mengganggu kesehatan serta keharmonisan keluarga tersebut. Jadi, jangan macam – macam soal niskala,” ujar Ida Pandita Mpu Parama Daksa. Dalam Lontar Dewa Tatwa dipaparkan, untuk menetralisasi pengaruh negatif akibat kesalahan kesalahan itu, lanjutnya, maka masyarakat dianjurkan untuk menghaturkan banten Maguru Piduka dan tetebasan Bendu Piduka. Mengapa menghaturkan banten Guru Piduka dan tetebasan Bendu Piduka?
“Sesungguhnya, kedua banten itu hanya sebagai prasarana sementara, sebagai permohonan maaf serta janji untuk melaksanakan upakara yadnya sebagai bentuk permohonan maaf yang tulus,” ujarnya.
Selain menggelar upakara yadnya, dalam lontar Dewa Tatwa juga menganjurkan untuk membuat palinggih baru dengan melinggihkan Ida Bhatara Indra Balaka dan pengayahan leluhur kawitan, dengan tujuan menetralisiasi pekarangan.
Ditegaskannya, menggelar upakara Guru Piduka dan Bendu Piduka tidak boleh sembarangan. “Ketika kita merasa pekarangan rumah panes atau merasa ada penyebab niskala, lantas menganggap perlu dilakukan upacara tersebut tanpa mempertimbangkan aspek lainnya, dan hal itu tentu saja akan berakibat fatal,” ujarnya.
Dalam lontar Dewa Tatwa disebutkan, tanda – tanda perlunya melaksanakan upakara tersebut adalah adanya kejadian akibat bencana yang menimpa manusia. Seperti Sakit berkepanjangan yang tak kunjung sembuh, banyak orang meninggal dalam waktu singkat, di daerah tersebut banyak terjadi mati salah pati dan ulah pati, juga terjadinya hubungan ‘salah timpal’, yakni hubungan seks antara manusia dengan binatang atau antara binatang yang berbeda jenis. Selain itu, adanya kematian anggota keluarga yang bertepatan dengan piodalan di sanggah merajan, sering terjadi cekcok atau keributan dalam keluarga, tempat suci yang terbakar, baik oleh api maupun oleh halilitar, serta diporak-porandakan angin puyuh.
Dalam lontar Dewa Tatwa disebutkan: Muah yang ketibenin apui tanpan para, yadnya linus tan pantara mwang telas basmi kayangan ika cihmaning anemu ala sang madrewe khayangan ika, hana sot tan tinawang wenang ngagen sot rigumi piduka.
Artinya, demikianlah pula bila khayangan terjadi kebakaran tanpa sebab, demikian juga angin beliung tanpa sebab, apalgi sampai menghanguskan seluruh bangunan kahyangan. Itulah ciri bahwa yang memiliki kahyangan tersebut mendapat bahasa, karena kaulnya tidak dibayar. Oleh karena itu, sepatutnya agar sot (berjanji) akan membayar kaul dengan mempersembahkan Guru Piduka dan Bendu Piduka.
Ida Pandita Mpu Parama Daksa juga menjelaskan, ada baiknya dalam melaksanakan upacara Guru Piduka dan Bendu Piduka diiringi suara gender atau angklung, terlebih lagi jika tempat pelaksanaan upacara tersebut di pura. Hal ini untuk menjaga keselamatan desa pakaraman. Dalam Widhi Sastra juga dijelaskan, apabila pelaksanaan Guru Piduka dan Bendu Piduka diakibatkan karena tempat suci yang roboh atau terbakar, sebaiknya setiap anggota pemaksa yang menghaturkan ayah dan bakti menggunakan lima keping uang kepeng dalam kwangen yang digunakan ketika menghaturkan sembah.
“Karena upakara Guru Piduka dan Bendu Piiduka ini hanya sebagai janji yang ditunda, maka sebaiknya harus segera disusul upacara yadnya yang sesuai kedurmanggalan,” ujarnya.
Dalam rangkaian upakara, biasanya belum lengkap jika tidak menggunakan prasarana banten, mantra serta tirtha. Begitu pula dalam upakara Guru Piduka dan Bendu Piduka sebagai upaya menetralisasi pengaruh negatif yang disebabkan karena niskala.
Dalam lontar Dewa Tatwa disebutkan, bentuk bebantenan Guru Piduka secara sederhana, yakni Suci soroh, Sesayut pangambeyan salaran bebek dan ayam yang masih hidup. Tetegenan, sesantun, soda putih kuning, makembaran, sesayut dirgayusa gumi, dan dilengkapi Tatebasan Guru Piduka. Sedangkan untuk bebantenan Tatebasan Bendu Piduka,
tumpeng 1 , matatakan kulit sesayut iwaknia rerasmen, sudang, tulung 1, canang pawitra maraka jaja bendu, mwang woh wohan sampian nagasari. Tujuan mempersembahkan Tatebasan Bendu Piduka adalah sebagai bentuk permohonan maaf kepada Hyang Kawitan yang telah menurunkan kedukaan, dikarenakan keingkaran si penghuni rumah atau masyarakat yang menempati daerah tersebut. Uacara Bendu Piduka sering juga disebut banten paneduh pada waktu ‘meneduh’ di desa pakraman.
(bx/tya/yes/JPR) –sumber
Sabtu, 13 Januari 2024
Tattwa PURUSA-PREDANA Dalam Olahan Lawar Bali.
Jumat, 12 Januari 2024
Memahami Makna Ongkara
Ongkara=Omkara adalah Simbol Suci dalam Agama Hindu. Di dalam Upanisad ongkara atau omkara disebut Niyasa artinya alat bantu agar konsentrasi kita menuju kepada Hyang Widhi, serta pemuja mendapat vibrasi kesucian Hyang Widhi. Niyasa atau sarana yang lain misalnya banten, pelinggih, kober, dll.
Sebagai simbol suci Niyasa sudah sepantasnya digunakan atau diletakkan pada tempat yang wajar karena disucikan. Pada beberapa kasus di Bali simbol-simbol Hindu pernah digunakan tidak pada tempatnya misal: penggunaan canang sari dengan bola golf diatasnya pada fotosebuah iklan, penggunaan simbol ongkara pada bagian-bagian tubuh yang tidak sepantasnya dll.
Perlakuan pada niyasa-niyasa/Simbol Suci yang tidak wajar mungkin karena faktor ketidaktahuan (awidya) atau memang sengaja (rajasika). Mengapa salah satu niyasa berbentuk ongkara/Omkara, karena gambar itulah yang dilihat dalam jnana para Maha Rsi penerima wahyu Hyang Widhi, yang kemudian diajarkan kepada kita turun temurun.
Ongkara di Bali terdiri dari 5 Jenis: Ongkara Gni, Ongkara Sabdha, Ongkara Mrta, Ongkara Pasah dan Ongkara Adu-muka. Penggunaan berbagai jenis Ongkara ini dalam rerajahan sarana upakara pada upacara Panca Yadnya dimaksudkan untuk mendapat kekuatan magis yang dibutuhkan dalam melancarkan serta mencapai tujuan upacara.
Ongkara Gni
Ongkara Gni
Ongkara Sabdha
Ongkara Sabdha
Ongkara Mrta
Ongkara Mrta
Ongkara Pasah
Ongkara Pasah
Ongkara Adumuka
Ongkara Adumuka
Unsur-unsur Ongkara ada 5 yaitu:Nada,
Windu,
Arda Candra,
Angka telu (versi Bali),
Tarung.
Semuanya melambangkan Panca Mahabutha, unsur-unsur sakti Hyang Widhi, yaitu: Nada = Bayu, angin, bintang; Windu = Teja, api, surya/ matahari; Arda Candra = Apah, air, bulan; Angka telu = Akasa, langit, ether; Tarung = Pertiwi, bumi, tanah.
Unsur-unsur Ongkara
Unsur-unsur Panca Mahabutha di alam raya itu dinamakan Bhuwana Agung. Panca Mahabutha ada juga dalam tubuh manusia:Daging dan tulang adalah unsur Pertiwi
Darah, air seni, air kelenjar (ludah, dll) adalah unsur Apah
Panas badan dan sinar mata adalah unsur Teja
Paru-paru adalah unsur Bayu
Urat syaraf, rambut, kuku, dan 9 buah lobang dalam tubuh: 2 lobang telinga, 2 lobang mata, 2 lobang hidung, 1 lobang mulut, 1 lobang dubur, dan 1 lobang kelamin, adalah unsur Akasa.
Unsur-unsur Panca Mahabutha dalam tubuh manusia disebut sebagai Bhuwana Alit. Dalam kaitan inilah upacara Pitra Yadnya dilakukan ketika manusia meninggal dunia di mana dengan upacara ngaben (ngapen=ngapiin), unsur-unsur Panca Mahabutha dalam tubuh manusia (Bhuwana Alit) dikembalikan/ disatukan ke Panca Mahabutha di alam semesta (Bhuwana Agung).
Kesimpulan: Simbol Ongkara adalah simbol ke Maha Kuasaan Hyang Widhi.
Simbol Ongkara di Bali pertama kali dikembangkan oleh Maha-Rsi: Ida Bhatara Mpu Kuturan sekitar abad ke11 M, ditulis dalam naskah beliau yang bernama “Tutur Kuturan”
Ongkara Untuk Menuju Sat(Yang Tak Berwujud)
Ongkara Simbol Suci
Seperti penjelasan diatas Ongkara merupakan simbol suci untuk mempermudahkan umat manusia untuk menuju Tuhan, SAT(yang tak berwujud) Dari Ongkara muncullah Dwi Aksara yaitu Ang dan Ah. Dwi Aksara juga adalah perlambang Rwabhineda (Dualitas), Ang adalah Purusa (Bapa Akasha) dan Ah adalah Prakerti (Ibu Prtivi).
Pada tahapan berikutnya, dari Dwi Aksara ini muncullah Tri Aksara, yaitu Ang, Ung dan Mang. Dari banyak sumber pustaka, dikatakan bahwa AUM inilah yang mengawali sehingga muncullah OM. (Apakah ini petunjuk bahwa ONG itu lebih dulu/tua daripada OM?)
Pada tahapan berikutnya, dari Tri Aksara muncullah Panca Aksara, yaitu SANG, BANG, TANG, ANG, dan ING. Dari Panca Aksara kemudian muncullah Dasa Aksara, yaitu SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG, dan YANG.
Pada arah mata angin, Dasa Aksara terletak berurutan dari Timur = SANG, Selatan = BANG, Barat = TANG, Utara = ANG, dan tengah-tengah/poros/pusat = ING, kemudian Tenggara = Nang, Barat Daya = Mang, Barat Laut = SING, Timur Laut = WANG dan tengah-tengah/poros/pusat = YANG. Ada dua aksara yang menumpuk di tengah-tengah, yaitu ING dan YANG. (Apakah ini asal muasal YING dan YANG?)
Tapak Dara (+) adalah simbol penyatuan Rwabhineda (Dualitas), (|) dan segitiga yang puncaknya ke atas, mewakili Purusa/Bapa Akasha/Maskulin/Al/El/God/Phallus. Sedangkan (-) dan segitiga yang puncaknya ke bawah mewakili Prakerti/Ibu Prtivi/Feminim/Aloah/Eloah/Goddess/Uterus.
Hanya dengan melampaui Rwabhineda (dualitas), menyatukan/melihat dalam satu kesatuan yang utuh/keuTUHAN, maka pintu gerbang menuju Sat akan ditemukan. KeuTUHAN disini, bukan menjadikan satu, namun merangkum semuanya, menemukan intisari dari semua perbedaan yang ada tanpa menghilangkan atau menghapus perbedaan yang ada. Bukan juga merangkul semuanya dalam satu sistem tertentu, bukan juga untuk satu agama tertentu, tapi temukan dan kumpulkanlah semua serpihan kebenaran yang ada di setiap perbedaan yang membungkusnya. Inilah BHINEKA TUNGGAL IKA TAN HANNA DHARMA MANGRWA.
Sumber : Paduarsana
Sejarah Tari Legong di Bali
Tari Legong dalam khasanah budaya Bali termasuk ke dalam jenis tari klasik karena awal mula perkembangannya bermula dari istana kerajaan di Bali. Tarian ini dahulu hanya dapat dinikmati oleh keluarga bangsawan di lingkungan tempat tinggal mereka yaitu di dalam istana sebagai sebuah tari hiburan. Para penari yang telah didaulat menarikan tarian ini di hadapan seorang raja tentu akan merasakan suatu kesenangan yang luar biasa, karena tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam istana.
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI
Mengenai tentang awal mula diciptakannya tari Legong di Bali adalah melalui proses yang sangat panjang. Menurut Babad Dalem Sukawati, tari Legong tercipta berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made Karna, Raja Sukawati yang bertahta tahun 1775-1825 M. Ketika beliau melakukan tapa di Pura YoganAgung desa Ketewel ( wilayah Sukawati ), beliau bermimpi melihat bidadari sedang menari di surga. Mereka menari dengan menggunakan hiasan kepala yang terbuat dari emas.
Ketika beliau sadar dari semedinya, segeralah beliau menitahkan Bendesa Ketewel untuk membuat beberapa topeng yang wajahnya tampak dalam mimpi beliau ketika melakukan semedi di Pura Jogan Agung dan memerintahkan pula agar membuatkan tarian yang mirip dengan mimpinya. Akhirnya Bendesa Ketewel pun mampu menyelesaikan sembilan buah topeng sakral sesuai permintaan I Dewa Agung Made Karna. Pertunjukan tari Sang Hyang Legong pun dapat dipentaskan di Pura Jogan Agung oleh dua orang penari perempuan.
Tak lama setelah tari Sang Hyang Legong tercipta, sebuah grup pertunjukan tari Nandir dari Blahbatuh yang dipimpin I Gusti Ngurah Jelantik melakukan sebuah pementasan yang disaksikan Raja I Dewa Agung Manggis, Raja Gianyar kala itu. Beliau sangat tertarik dengan tarian yang memiliki gaya yang mirip dengan tari Sang Hyang Legong ini, seraya menitahkan dua orang seniman dari Sukawati untuk menata kembali dengan mempergunakan dua orang penari wanita sebagai penarinya. Sejak itulah tercipta tari Legong klasik yang kita saksikan sekarang ini.
Bila ditinjau dari akar katanya, Legong berasal dari kata “ leg “ yang berarti luwes atau elastis dan kata “gong” yang berarti gamelan. Kedua akar kata tersebut bila digabungkan akan berarti gerakan yang sangat diikat ( terutama aksentuasinya ) oleh gamelan yang mengiringinya (Dibia, 1999:37).
Sebagai sebuah tari klasik, tari Legong sangat mengedepankan unsur artistik yang tinggi, gerakan yang sangat dinamis, simetris dan teratur. Penarinya pun adalah orang-orang yang berasal dari luar istana yang merupakan penari pilihan oleh raja ketika itu. Maka, tidaklah mengherankan jika para penari merasakan kebanggaan yang luar biasa jika menarikan tari Legong di istana. Begitu pula sang pencipta tari. Akan menjadi suatu kehormatan besar apabila dipercaya untuk menciptakan suatu tarian oleh seorang pengusa jaman itu. Walaupun nama mereka tidak pernah disebutkan mencipta suatu tarian kepada khalayak ramai, mereka tidak mempersoalkan itu asalkan didaulat mencipta berdasarkan hati yang tulus dan penuh rasa persembahan kepada sang raja. Ini dapat dilihat dari hampir seluruh tari-tari klasik maupun tari tradisi lain yang berkembang di luar istana seperti tari Legong, Baris, Jauk dan Topeng.
Kini di jaman yang tidak lagi menganut paham feodalisme, keseian Legong telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari segi kuantitas maupun kualitas. Disebutkan bahwa tari Legong Keraton ( karena berkembang di istana ) keluar dari lingkungan istana pada awal abad ke-19. Para penari wanita yang dahulunya berlatih dan menari Legong di istana kini kembali ke desa masing-masing untuk mengajarkan jenis tarian ini kepada masyarakat. Sebagaimana diketahui, orang Bali adalah orang yang sangat kreatif sehingga gaya tari masing-masing pun sedikit berbeda sesuai dengan kemampuan membawakannya. Oleh karena itu, timbul style-style Palegongan yang tersebar di berbagai daerah seperti di desa Saba, Peliatan, Bedulu, Binoh, Kelandis dan beberapa tempat lainnya. Dari sekian daerah perkembangan tari Legong, hanya desa Saba dan Peliatan yang masih kuat mempertahankan ciri khasnya dan mampu melahirkan jenis-jenis tari Palegongan dengan berbagai nama.
Tari-tari legong yang ada di Bali pada awalnya diiringi oleh gamelan yang disebut Gamelan Pelegongan. Perangkat gamelan ini terdiri dari dua pasang gender rambat, gangsa jongkok, sebuah gong, kemong, kempluk, klenang, sepasang kendang krumpungan, suling, rebab, jublag, jegog, gentorang. Sebagai tambahan, terdapat seorang juru tandak untuk mempertegas karakter maupun sebagai narrator cerita melalui tembang. Namun, seiring populernya gamelan gong kebyar di Bali, akhirnya tari-tari palegongan ini pun bisa diiringi oleh gamelan Gong Kebyar, karena tingkat fleksibilitasnya.
Kiriman: Ida Bagus Gede Surya Peradantha, SSn., Alumni ISI Denpasar
Sumber : isi-dps.ac.id dan cakepane.blogspot.com