Jumat, 19 Januari 2024
ALASAN MENGAPA DOA DOA KITA TIDAK DIKABULKAN !
Cerita Kalarau dan Terjadinya Bulan Terang (Purnama) dan Bulan Mati (Tilem)
Berawal dari pemutaran Gunung Mandara Giri oleh para deva dan raksasa di Lautan Ksirarnawa. Pemutaran dilakukan untuk mendapatkan tirta amerta, air suci yang dapat membuat seseorang hidup abadi. Dalam pengadukan lautan susu tersebut, Deva Viṣṇu menjelma sebagai kurma (kura-kura). Beliau bertugas sebagai penyangga Gunung Mandara agar gunung tersebut tidak tenggelam. Naga Vasuki membelit gunung tersebut sebagai tali yang kemudian ditarik oleh para deva dan raksasa. Para deva memegang ekor sang naga, sedangkan para raksasa memegang kepalanya. Deva Indra memegang puncak gunung tersebut agar tidak melambung ke atas selama pemutaran gunung. Dengan semangatnya para deva dan raksasa berusaha mengaduk Lautan Ksirarnawa dengan memutar Gunung Mandara. Lautan menjadi bergemuruh dan gunung pun menyala. Setelah itu, keluarlah berbagai Devi, binatang, dan berbagai harta karun bertuah. Akhirnya, keluarlah Devi Dhanwantari membawa kendi yang berisi tirta amerta. Karena harta karun yang sebelumnya keluar telah diambil semua oleh para deva, para raksasa menuntut tirta amerta dimiliki oleh mereka. Tirta amerta pun kemudian dikuasai oleh para raksasa.
Image; Google
Melihat tirta amerta berada di tangan raksasa, Deva Viṣṇu menjadi khawatir dan memikirkan siasat untuk merebutnya. Deva Viṣṇu pun mengubah wujudnya menjadi seorang devi cantik bernama Mohini untuk memikat hati para raksasa. Mereka pun akhirnya terpikat oleh kecantikan Mohini dan menyerahkan tirta amerta tersebut kepadanya. Setelah mendapatkan tirta amerta, Devi Mohini pun lari sambil berubah wujud menjadi Deva Viṣṇu, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 96).
Melihat hal tersebut, para detya dan raksasa pun menjadi berang. Kemudian, terjadilah pertempuran sengit antara para deva dengan raksasa. Deva Viṣṇu mengeluarkan senjata cakra dan menyambar-nyambar para raksasa. Mereka lari tunggang langgang karena mengalami kekalahan dari para deva dan tirta amerta pun dikuasai oleh para deva.
Di tempat tinggal Deva Viṣṇu (Viṣṇu loka), tirta amerta dibagi- bagikan kepada para deva sehingga mereka hidup abadi. Mengetahui hal tersebut, seorang raksasa yang merupakan anak sang Wipracitti dan sang Singhika bernama Kalarau mengubah wujudnya menyamar menjadi deva. Perilaku keduanya diketahui oleh Sang Hyang Aditya dan Sang Hyang Candra dan langsung diberitahukan kepada Deva Viṣṇu. Tepat ketika raksasa yang menyamar tersebut mendapat giliran meminum tirta amerta, betapa bahagianya dapat meminumnya. Akan tetapi, baru sampai tirta amerta tersebut di tenggorakannya, Deva Viṣṇu seketika menghempaskannya Deva Visnu kemudian mengeluarkan senjata cakranya dan membinasakan sang raksasa. Raksasa itu pun mati, tetapi kepalanya masih hidup karena tirta amerta telah menyentuh hingga tenggorokannya. Sang Raksasa pun menjadi marah kepada Sang Hyang Aditya dan Sang Hyang Candra karena mengacaukan penyamarannya Kalarau pun bersumpah akan memakan Sang Hyang Aditya dan Sang Hyang Candra pada saat pertengahan bulan (ngurahpandu). (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 97).
Terjadinya Bulan Terang (Purnama) dan Bulan Mati (Tilem)
Daksa adalah anak dari Deva Brahmā. Beliau mempunyai putri sebanyak dua puluh tujuh. Putri-putrinya dinikahkan dengan Candra. Rohini adalah istri Candra yang paling cantik dan sangat disayangi oleh Deva Candra. Karena cintanya kepada Rohini, Deva Candra menjadi pilih kasih dengan istri-istrinya yang lain. Kemudian, istri-istri Deva Candra yang lain mengeluh pada ayahnya, Sang Daksa. Daksa menjadi marah dan mengutuk Deva Candra,“ Hai Candra! Karena engkau tidak bisa adil dengan semua istri-istrimu, aku akan mengutukmu! Engkau akan merasakan sakit yang tidak dapat disembuhkan.”
Karena kutukan tersebut, dari hari ke hari kekuatan dan cahaya Deva Candra berkurang. Akhirnya, Deva Candra meminta perlindungan kepada Deva Śiva. “Oh, Deva Śiva, aku datang ke hadapan-Mu untuk memohon perlindungan atas kutukan yang telah Sang Daksa berikan.” Deva Śiva yang penuh kasih melegakan hati Candra yang sedang sakit dan menaruh Candra di kepala-Nya. Dengan berada di kepala Deva Śiva, Candra/Bulan menjadi kekal dan bebas dari segala bahaya. Mengetahui sang suami telah meninggalkan dirinya, putri-putri Daksa itu sedih dan menangis. Mereka datang menghadap sang ayah, Daksa. Putri-putri Daksa berkata,“ Oh, Ayah, dahulu kami mohon kepadamu agar kami mendapat berkah dari suami. Tetapi, kini bukan mendapat berkah darinya, melainkan dia telah meninggalkan kami.”
“Oh Ayah, meskipun kami memiliki mata, kami hanya menemukan kegelapan di mana-mana. Sekarang kami sadar bahwa suami adalah mata satu-satunya bagi wanita," (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 98).
“Mohon kembalikan suami kami. Anda adalah putra Deva Brahmā dan Anda cukup perkasa untuk menciptakan sendiri satu alam semesta.” Mendengar kata-kata dari semua putrinya itu, Daksa lalu pergi menghadap Deva Śiva. Deva Śiva bangkit dari tempat duduknya dan sujud menghormati Daksa. Daksa lalu memberkati Deva Śiva. Melihat perilaku Deva Śiva yang rendah hati, kemarahan Daksa menjadi hilang. Kemudian, Daksa berkata,“Oh Deva Śiva, mohon kembalikan menantuku yang dicintai oleh putri-putriku yang melebihi nyawanya sendiri. Anda juga adalah menantuku. Jika Anda tidak mengembalikan Candra kepadaku, saya akan ucapkan kutukan keras atas dirimu.”
Setelah mendengar Daksa bicara, Deva Śiva mengucapkan kata- kata yang terdengar lebih manis dari amrita. Deva Śiva berkata,“Anda boleh bakar saya jadi abu, atau ucapkan satu kutukan atas diriku sesuai kehendakmu, tetapi saya tidak dapat mengembalikan Candra (Bulan) yang telah berlindung kepadaku.”
Mendengar kata-kata Deva Śiva yang demikian, Daksa hendak mengucapkan kutukan atas Deva Śiva. Deva Śiva ingat Govinda. Pada saat itu pula, Sri Kṛṣṇa muncul di sana dalam wujud seorang Brahmāna tua. Baik Deva Śiva maupun Daksa sujud kepada Brahmāna tersebut dengan penuh hormat. Beliau memberkati mereka berdua dan berkata kepada Deva Śiva.
“Oh, Śiva, tidak ada apa pun yang lebih disayangi oleh semua makhluk hidup selain dirinya sendiri. Dengan merenungi hal ini, oh, penguasa para Deva, Anda hendaknya selamatkan dirimu dengan memberikan Candra kepada Daksa. Anda adalah tempat berlindung terbaik, Anda tenang, Anda adalah Vaisnava yang paling terkemuka dan Anda memperlakukan segala makhluk dengan cara yang sama, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 99).
Anda bebas dari tindak kekerasan dan kemarahan. Daksa adalah putra perkasa Deva Brahmā dan dia berwatak pemarah. Deva yang mulia, mengalah di hadapan yang sedang marah.”
CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
Deva Śiva tersenyum dan berkata, “Saya dapat mengorbankan pertapaan saya, kemuliaan saya, semua keberhasilan saya, kekayaan, dan bahkan nyawa saya sendiri. Tetapi, saya tidak bisa meninggalkan orang yang telah berlindung kepada saya. Dia yang telah mencampakkan seseorang yang telah berlindung kepadanya akan ditinggalkan oleh Dharma. Oh, Tuhanku, Anda tahu betul tentang Dharma. Mengapa Anda mengucapkan kata-kata yang dipengaruhi khayalan? Anda adalah pencipta dan pelebur segala sesuatu. Orang yang berbhakti kepada-Mu tidak takut kepada siapa pun.”
Brahmanayangmengetahuibetulperasaansetiaporang,mendengar kata-kata Deva Śiva dengan saksama. Kemudian, Beliau mengambil setengah bagian Candra (Bulan) yang sakit dan memberikannya kepada Daksa. Selanjutnya, Beliau mengambil setengah bagian Bulan yang sehat dan menaruhnya di kepala Deva Śiva.
Melihat setengah Bulan (Candra) yang sakit, Daksa kemudian berdoa kepada Sri Kṛṣṇa. Beliau lalu mengatur bahwa Bulan akan bercahaya penuh selama dua minggu dan tidak akan bercahaya selama dua minggu berikutnya. Demikianlah, setelah memberkati Deva Śiva dan Daksa, Sri Kṛṣṇa kembali ke tempat tinggal-Nya (Brahma-Vaivarta Purana Brahma-kAnda 9.49-53), (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 100).
Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2018/12/cerita-kalarau-dan-terjadinya-bulan.html
Susila, Komang dan Sri Mulia Dewi, I Gusti Ayu. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (kelas 3) / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.
Kontributor Naskah : Komang Susila dan I Gusti Ayu Sri Mulia Dewi
Penelaah : I Wayan Paramartha dan I Made Redana
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015
Selasa, 16 Januari 2024
Pura Campuhan Windhu Segara
BALI EXPRESS, DENPASAR – Pura Campuhan Windhu Segara, salah satu pura unik yang ada di Denpasar. Kawasan suci yang berlokasi di pinggir Pantai Padang Galak, Sanur ini, merupakan perpaduan dari beragam kultur dan aliran kepercayaan yang menyatu dalam satu tempat persembahyangan. Kenapa belakangan begitu mencuat namanya?
Pura Campuhan Windhu Segara diyakini sebagai tempat bagus untuk Malukat (membersihkan fisik dan nonfisik) dan memohon rezeki. Tak hanya pada hari tertentu, bahkan hampir setiap hari tempat ini penuh dipadati pamedek yang ingin sembahyang dan Malukat. Walaupun keberadaan pura ini tergolong cukup baru ( mulai dibangun 7 Juli 2005), namun tempat Malukat ini cepat dikenal. Mengapa begitu populer? Pemangku sekaligus pendiri pura, Jro Mangku Gede Alit Adnyana memaparkan, pura ini memadukan berbagai kultur aliran, seperti siwa dengan linggamnya, ada juga patirtaan Dewi Subadra dan palinggihan Dewi Nyai Roro Kidul.
“Mungkin karena menjadi perpaduan dari beragam aliran dan budaya itu, yang membuat banyak masyarakat yang tertarik,” papar Jro Mangku Adnyana kepada Bali Express ( Jawa Pos Group), pekan kemarin.
Pura Campuhan ini terletak di tepi Pantai Padang Galak, karena campuhan sendiri berarti campuran. Campuran yang dimaksud adalah campuran atau pertemuan antara air laut dan sungai. Begitu juga dengan Pura Campuhan Windhu Segara yang lokasinya ada di pinggir pertemuan antara air laut Padang Galak dan air tawar yang mengalir dari aliran Sungai Ayung yang populer dengan atraksi rafting atau arung jeram.
Dikatakannya, pura ini berawal dari kisah dari seorang pemangku yang bernama Jro Mangku Gede Alit Adnyana, yang sempat menderita panyakit gagal ginjal. Upaya untuk berobat sudah dilakukan ke berbagai daerah, dan telah dilakukan dengan beragam cara. Namun, sakitnya tak kunjung sembuh, bahkan sempat putus asa dan pasrah.
Pemangku yang memiliki nama lain sebagai Mahaguru Hatria Narayanam ini, mengatakan,
pembangunan pura ini terjadi secara tidak sengaja, berawal saat ia mengalami putus asa akan kehidupannya.
Suatu ketika, Jro Mangku Adnyana menemukan sebatang kayu di pinggir Pantai Padang Galak, dan anehnya kayu tersebut mengeluarkan asap. Ia berkeyakinan api tersebut pertanda akan kebesaran Tuhan.
Setelah kejadian itu, ia juga mendapat pewisik (petunjuk gaib) untuk membangun parahyangan Ida Bhatara di tempat kayu tersebut ditemukan. “Saya berusaha untuk menyanggupi dan ajaibnya penyakit saya sembuh,” paparnya. Tempat ditemukan kayu tersebut kini digunakan sebagai tegak (tempat) mendirikan palinggih.
Setelah melalui perjuangan panjang, pada 7 Juli 2005 Pura Campuhan Windhu Segara akhirnya mulai dibangun. Dukungan dari berbagai pihak mengalir. Tidak hanya dari umat Hindu saja yang berpartisipasi, umat agama lain, seperti umat Islam, Budha dan Kristen turut memberikan sumbangan, sebagai wujud tolerenasi beragama .
“Nah di situ letak keunikannya. Selain pencampuran antara air laut dan air sungai, dan juga perpaduan kultur, di sini juga bebas dalam perpaduan keyakinan. Siapa saja boleh datang untuk malukat dan sembahyang. Yang penting mereka percaya. Siapapun di terima, tanpa harus membawa banten apa pun,” ujarnya.
Memang benar, tak hanya masyarakat lokal Bali yang memadati pura tersebut, masyarakat luar daerah serta tamu mancanegara pun datang untuk Malukat serta sembahyang.
Hal senada dipaparkan Rusmini, warga Klaten, Jawa Tengah ini datang untuk nyekar di Palinggih Nyai Roro Kidul yang terdapat di Pura Campuhan Windhu Segara.
Pura Campuhan Windhu Segara ini akhirnya dibuatkan prasasti, berisi tanggal berdiri pura, 7 Juli 2005 oleh Mahaguru Altreya Narayana yang sekaligus sebagai pangawit. Dan, selanjutnya diresmikan 9 September 2016 oleh Gubernur Bali I Made Mangku Pastika dan diketahui juga oleh Ida Dalem Semaraputra sebagai wakil dari Puri Klungkung. Adapun palinggih yang ada di kawasan Pura Campuhan Windhu Segara adalah Palinggih Betara Wisnu, Padmasana, Rambut Sedana, Kanjeng Ratu, Dewi Kwam In, Pusering Jagat, Panglukatan, Ratu Bagus Padang Galak, Ratu Manik Segara, Ratu Gede Dalem Ped, Siwa Budha, Taksu Agung, Hyang Baruna, Tajuk Kiwa dan Tengen.
Selain pujawali ataupun piodalan di Pura Campuhan Windhu Segara, dilakukan juga beberapa upacara unik seperti masakapan pasih untuk merayakan pertemuan antara air laut dan air sungai. Selain itu, juga ada upacara matatah, seperti halnya upacara yang dilakukan kepada manusia.
“Sebenarnya tirta panglukatan di sini fungsinya sebagai tirta pangleburan mala. Biasanya buang sial, kekotoran dalam diri. Namun itu kembali lagi ke pribadi, ” urai Mahaguru yang seempat diciduk polisi hutan ketika melaksanakan tapa brata di hutan Buleleng, beberapa bulan lalu.
Dia mencontohkan, ada yang datang untuk nunas di Patirtan Dewi Badra , biasanya untuk mereka yang berjualan. Nah ada juga yang ingin memohon kesehatan. Banyak juga yang memohon jodoh, diberkati anak dan rezeki. Ingin Malukat?
Ada beberapa sarana yang diperlukan saat bersembahyang dan Malukat di Pura Campuhan Windhu Segara, pertama adalah banten pajati. Minimal satu buah pajati untuk di tempat panglukatan Ida Bhatara Wisnu dan satu buah bungkak (kelapa gading). Kalau membawa pajati lebih dari satu, bisa dihaturkan di tempat Malukat berikutnya, yaitu di Pura Beji dan Penataran Utama Pura.
Kelapa gading biasanya sudah dijual di lokasi dan sudah dibuka (kasturi). Namun, agar lebih aman karena bisa saja kehabisan, bungkak nyuh gading sebaiknya dibawa dari rumah dan siapkan pisau untuk membukanya.
Urutan Malukat di Pura Campuhan Windhu Segara
1. Panglukatan di tempat pemujaan Ida Sang Hyang Wisnu dengan sarana pajati dan nyuh gading. Pamedek akan dilukat (diruwat) oleh Jro Mangku dengan guyuran air suci, kemudian dilanjutkan malukat dengan bungkak kelapa (nyuh) gading.
2. Panglukatan berikutnya di Pantai Padang Galak, tepatnya di lokasi Campuhan atau tempat bertemunya air laut dengan air sungai.
3. Panglukatan di Pura Beji. Di pura ini ada tiga tahap penglukatan, yaitu di Tirta Darmada, Tirta Dewi Gangga, dan Tirta Linggam. Setelah selesai Malukat, pamedek melakukan persembahyangan di natar (halaman) Pura Beji.
Setelah proses Malukat di Pura Beji dan melakukan persembahyangan di natar Pura Beji, pamedek bisa ganti pakaian memakai pakaian kering atau tetap bisa memakai pakaian basah tersebut, untuk melanjutkan persembahyangan di natar utama Pura Campuhan Windhu Segara. Setelah selesai melakukan persembahyangan di Palinggih Utama Pura Campuhan Windhu Segara, selanjutnya melakukan persembahyangan di Palinggih Kanjeng Ratu di sebelah selatan (kanan) palinggih utama.
(bx/tya/yes/JPR) –sumber
Topeng Sidhakarya
SARANA UPACARA BHUTA YADNYA.
Jajan Pulagembal